Bidan Kita

Home Baby care Kisah GentleBirth , HomeBirth & Waterbirth Baby JALU

Kisah GentleBirth , HomeBirth & Waterbirth Baby JALU

0

Ting!!

Hamil dan melahirkan adalah hal yang jarang terbesit dalam pikiran saya sebagai wanita. Meskipun sudah tiga tahun menikah, tapi kami tidak benar-benar merencanakan kehamilan. Hingga akhirnya saya mendapati diri saya hamil. Baru saya sadari bahwa saya tidak tahu apapun tentang kehamilan dan persalinan. Sementara saya dan suami tinggal jauh dari orang tua. Akhirnya, seperti banyak pasangan muda lainnya, “mbah google” menjadi sahabat setia kami dalam setiap pertanyaan seputar kehamilan.

Masa awal kehamilan saya yang bebas hambatan-karena tidak mengalami mual,muntah,nyidam dll- adalah sebuah anugerah. Itu sebabnya suami sering lupa kalau saya sedang hamil..hehe.. Bahkan saya dan suami sempat traveling bareng temen-temen kantor ke Karimun Jawa saat usia kandungan saya 13 minggu. Kondisi hamil muda yang “tanpa kisah”membuat saya menjadi sangat fokus pada rencana persalinan sejak usia kandungan saya masih berumur belasan minggu. Awalnya saya dan suami belum memiliki gambaran tentang persalinan seperti apa yang ingin kami jalani, tetapi jika diminta berkhayal, saya sangat mendambakan proses persalinan seindah pengalaman waterbirth Oppie Andaresta, karena jujur, saya tipe orang yang takut sakit..hehe..

Meskipun sempat pesimis dengan dugaan tentang betapa mahalnya waterbirth di Indonesia dan minimnya nakes yang menguasai “ilmu air” tersebut, saya tetap berusaha bertanya pada “mbah google” andalan saya. Sampai akhirnya penelusuran saya tertaut pada artikel “kisah kelahiran Atisha Prajna Tiara” di website gentlebirthindonesia.com. Pada saat yang bersamaan di tab yang berbeda, saya mendapat alamat email bidan Yesie, seorang praktisi gentle birth, lewat sebuah komentar bubid di sebuah blog (saya lupa alamatnya).

Ting!! Seketika itu juga anggapan saya tentang waterbirth berubah. Selain waterbirth menjadi hal yang lebih “mungkin” untuk saya alami, saya juga menemukan esensi baru tentang konsep “melahirkan” yang bukan sekedar “di air”.

Perjodohan saya dengan konsep “Gentle birth” lewat penelusuran virtual ini layaknya bola salju. Terus menggelinding dan memperbesar niat dan pengetahuan saya akan proses persalinan yang lembut dan indah. Dan entah bagaimana, Tuhan seperti telah menjodohkan saya dan bayi saya dengan bubid Yesie yang tulisannya tentang gentle birth di websitenya hampir selalu jadi bacaan harian saya. Bahkan secara tidak sengaja, saya mendapat pinjaman buku “Siapa Bilang Melahirkan Itu Sakit” plus CD relaksasi yang ternyata karya bu Yesie.

Sejak itu, masa kehamilan saya dipenuhi oleh “virus” gentle birth. Apalagi sejak bergabung dengan grup GBUS, info seputar gentle birth menjadi hal yang sangat mudah didapat. Artikel, video, dan testimony seputar gentle birth menjadi bahan diskusi saya dan suami sehari-hari.

Love& Support

Sejak awal komunikasi saya dengan bubid Yesie via email, saya sudah membayangkan home-water birth. Mengingat tempat tinggal saya di Jogja tidak memungkinkan untuk jadi “venue”, maka pilihannya adalah numpang di rumah orangtua saya di Solo. Berarti ada satu hal lagi yang harus saya lakukan: menularkan “virus” yang sama ke orangtua saya. Hehe..

Awalnya saya kurang yakin jika orangtua saya mengijinkan, terutama ibu saya, karena gentle birth adalah sesuatu yang mudah dipahami tapi sulit dijelaskan. Saya berpikir harus ada persenjataan narasi dan visual yang harus dibawa. Berbekal film “Birth as we know it” hasil download-an suami, dan print artikel “Atisha” saya merayu orangtua. Tak disangka, orangtua saya langsung mengijinkan rumahnya “dijajah” untuk rencana persalinan saya. Bahkan almarhum bapak saya sempat membantu mencari info tentang bidan di sekitar rumah yang bisa menjadi back up plan andai saja bubid Yesie berhalangan datang pas hari h, padahal saat itu kondisi tubuh bapak  tidak sehat karena sakit yang dideritanya (Saya selalu trenyuh jika teringat hal ini, karena akhirnya almarhum tidak sempat ketemu cucunya. Bapak meninggal 20 hari sebelum Jalu lahir..).

Betapa beruntungnya saya. Niat gentlebirth dengan home –water birth menjadi sebuah rencana yang penuh dengan dukungan keluarga. Bahkan kadang saya merasa, suami saya kok malah jauh lebih yakin dari saya. Ketika saya seringkali bimbang dan khawatir atas suatu hal, suami selalu meyakinkan kembali bahwa semua akan baik-baik saja.

Preparation

Bagi seorang primigravida, termasuk saya,  rasa takut dan cemas akan kehamilan dan persalinannya selalu hinggap sepanjang waktu. Selain karena belum berpengalaman, kita juga dikelilingi oleh “petuah” dan larangan yang belum tentu benar. Ada yang menghadapinya dengan santai, mengesampingkan rasa cemas tersebut dan berpikir semua akan baik-baik saja. Tetap mengikuti kebiasaan-kebiasaan umum dan merencanakan persalinan setelah mendekati masa cuti hamil.

Tapi ternyata saya tidak bisa bersikap begitu. Seperti saya bilang tadi, saya tipe penakut, dan seorang penggila rencana. Saya tidak bisa bersikap tenang saat saya tidak tahu apa-apa. Dan saat tidak tahu apa-apa, saya tidak bisa berencana! Apalagi saat saya membaca sebuah contoh birth plan yang diunggah bubid Yesie dalam salah satu artikelnya, saya bertemu istilah-istilah baru yang belum pernah saya dengar: perineum, episiotomy, litotomi,  epidural…wahahaa..apa-apaan itu? Lantas saya bertekad: saya harus membuat birth plan! Dengan –lagi-lagi – bantuan “mbah google” dan”jeng wiki” saya cari tahu satu-satu arti setiap kata,lantas saya susun birth plan. Saya juga kerap menyaksikan proses waterbirth via youtube untuk membantu visualisasi.  Itu untuk olah otak. Untuk olah raga, saya rutin yoga dengan video yoga prenatal hasil download-an suami. Sementara CD relaksasi karya bubid Yesie menjadi sarana bagi saya untuk olah jiwa..huwaaahh…

Ternyata inilah yang sering didengungkan mbak Dyah P dan bubid Yesie tentang memberdayakan diri, yang bagi saya berarti mengelola rasa cemas menjadi pengetahuan dan mengoptimalkan tubuh dan jiwa agar mampu tenang selama persalinan. Olah otak- olah raga- olah jiwa..ayee!!

Tik tok tik tok…

Usia kandungan 38 minggu..

Setelah sempat mengalami masa sedih karena kepergian Bapak , dan sempat malas berlatih yoga selama beberapa minggu, semangat gentle birth saya kembali menyala. Saya kembali membangun komunikasi dengan baby Jalu, merayunya agar lahir lebih cepat dari HPL (ngarep…hehe..), rajin berolah raga dengan gym ball dan berolah jiwa lewat doa dan relaksasi. Kelas hypnobirthing terakhir juga makin memantapkan niat saya untuk home- water birth. Saking mantapnya, sampai-sampai saat bubid Yesie mengingatkan tentang plan B, saya linglung. Jujur saya sama sekali belum serius hunting RS & dokter jika sewaktu-waktu ada kondisi disko daruratt… Terakhir kali saya ke dokter cuma untuk USG, itu saja setengah hati karena dokternya model ekspress. Nggak asik.

UK 39 w

Ternyata rayuan saya nggak manjur. Sudah 39 minggu tapi baby Jalu masih ayem-ayem saja di perut saya. Saat teman-teman dekat & keluarga saya mulai sibuk menanyakan kapan bayi saya lahir (pertanyaan umum yang bikin gerah..hehe..) saya baru “ngeh” kalau HPL  Jalu tepat satu hari setelah Imlek (24 Januari 2012). Lantas saya mulai mikir, jangan-jangan baby Jalu pengen lahir di tahun naga? Rupanya pikiran yang sama terlintas di benak sohib saya, Adhe. Kata-katanya cukup bikin adem lewat sekelumit sms yang berbunyi: “nunggu Imlek, Na?” Halah, mungkinkaahh? (stingky abeess..). Ibu saya juga menentramkan: “mungkin saja anakmu masih ayem di dalam perut karena disitu anget, tentrem, aman..”. Akhirnya saya hentikan rayuan saya. Biar saja Jalu memilih harinya sendiri. Bisik saya buat Jalu:”Oke deh, dik. Pick your number, pick your shio”..hehe..

Daripada nglangut, saya ajak Adhe yang kebetulan pengantin baru untuk hunting dokter dan RS buat plan B. Sekalian iming-imingi dia biar cepet nyusul dan ikutan hamil. Atas rekomendasi seorang teman, saya memutuskan untuk kontrol ke seorang dokter Spog di sebuah RS di Solo. Setahu saya dokter tersebut pro normal dan RS tempat dia praktek juga tidak jauh dari rumah. Setelah USG (Puji Tuhan semua normal, ketuban bagus, tidak ada lilitan) dan anjuran untuk stop ngemil untuk menghindari ukuran bayi yang terlalu besar, obrolan bergeser ke rencana persalinan.

Tidak saya duga, dokter tersebut sangat tertarik dengan rencana persalinan saya yang home-water birth. Begitu juga ketiga perawat yang saat itu ada di ruangan dokter.Bahkan acara kontrol dokter yang umumnya berlangsung singkat, sama sekali tidak terjadi. Yang terjadi justru saya -istilah jawanya- “ditanggap ” untuk bercerita lebih jauh tentang gentle birth. Pertanyaan bertubi-tubi nan antusias disampaikan bergantian, mulai dari persiapan yang harus dilakukan, apa dan bagaimana melakukan yoga prenatal, dimana beli CDnya, apa itu pelvic rocking, apa itu gym ball (halahh…)sampai pertanyaan teknis seputar kapan saatnya nyemplung ke air, kalo KPD gimana, bagaimana rasanya di hypnobirthing dan sebagainya. Bak seorang penyuluh gentle birth berpengalaman, saya menjawab semua pertanyaan dengan tenaaang..ha..ha… Padahal belum mengalami blass…

Akhirnya saya pulang dengan berbunga-bunga. Selain lega karena Tuhan sudah mempertemukan saya dengan “the best plan B”, saya pun dibekali doa oleh para nakes-nakes yang sangat open mind itu. Mereka berharap semua rencana home-water birth saya berjalan lancar, dan suatu saat saya kembali untuk berbagi cerita bahagia…

The Day

UK 40 w

Saat pertemuan di kelas hypnobirthing terakhir, bubid Yesie merilis agendanya yang mendekati HPL saya. Yang terdekat adalah seminar di Semarang pada 22 Januari. Itu sebabnya kami semua mengirim pesan cinta bagi baby Jalu, jika memang ingin dibantu tante Yesie maka dik Jalu bisa memilih hari lahirnya sebelum atau sesudah tanggal itu. Tapi ternyata Jalu ingin merangkai kisah lahirnya sendiri.

Sejak 21 Januari malam saya sudah merasakan kontraksi meskipun belum teratur.  Malam itu saya masih bisa tidur dengan mendengarkan CD relaksasi dari “Bidan Kita”. 22 Januari pagi saya mulai merasakan kontraksi semakin teratur dengan jarak antar kontraksi lebih kurang 10 menit. Saya mulai berkomunikasi dengan bubid Yesie sejak jam 6 pagi via sms. Saat itu bu Yesie sudah berada di Semarang, tapi kabar baiknya, bubid akan mengisi seminar di sesi pertama. Kemungkinan terbaiknya, begitu selesai sesi pertama bu Yesie akan langsung meluncur ke Solo tanpa mampir ke klinik di Klaten, sementara segala alat& keperluan homebirth akan dibawa suami bubid dari Klaten langsung ke Solo. Hi..hi..jadi nggak enak bikin repot bubid sekeluarga..Tapi saya terus berdoa agar begitulah nanti terjadinya…

Teryata disinilah serunya homebirth. Ada rasa galau, kalau-kalau bayi lahir sebelum bidan datang. Rasa cemas, antara harus banyak berbaring atau bergerak. Rasa sungkan karena membuat keluarga di rumah khawatir, dan lain-lain. Maka satu-satunya hal yang bisa dilakukan–yang ternyata sulit sekali dipraktekkan saat masa persalinan tiba- adalah: tetap tenang!

Karena saya sudah mengalami flek dan sedikit rembesan (meskipun tidak yakin kalau itu air ketuban) bubid menyarankan untuk banyak istirahat, konsumsi air putih dan po**ri. Saat-saat seperti itu rasanya ingin sekali saya nongkrong di atas gym ball. Tapi karena belum pasti jam berapa bu Yesie tiba di Solo dan seberapa jauh bukaan yang saya alami, maka saya menahan diri dan lebih banyak berbaring. Ditemani pijatan lembut suami di setiap gelombang rahim datang, saya mencoba untuk tidur. Suami juga rajin mencatat durasi serta titik-titik nyeri di setiap kontraksi. Busett..ternyata banyak juga ya. Saya tidak bisa membayangkan kontraksi yang dipacu dengan induksi oksitosin buatan yang kata banyak orang tanpa jeda. Yang banyak jeda aja udah bikin lemes begini..hihi..

Sekitar jam 1 siang bu Yesie mengirim kabar bahwa sudah di perjalanan menuju Solo, dan memastikan bahwa suami bu Yesie juga sudah siap berangkat dari Klaten. Lega sekali kami mendengar kabar itu. Begitu bu Yesie mengabarkan bahwa sudah masuk Solo, cepat-cepat saya duduk goyang di atas gym ball..hff..nyamannyaaa…

Jam 5 sore bu Yesie tiba, komplit bareng suaminya dan seperangkat peralatan home birth (Hehe.. makasih pak Hendro mau ikut repot di hajatan home birth saya..). Pertama-tama: periksa bukaan. Ya ampuuun, ternyata VT bener-bener nggak nyaman! Saya langsung memohon ke bubid supaya nggak sering-sering di VT..hehe.. Hasilnya: masih bukaan dua. Kembali saya goyang-goyang di atas gym ball, sementara bu Yesie memompa kolam karet yang ternyata super gede. Saat itu semua personel di rumah (kecuali saya, karena saya sibuk berkutat dengan gym ball dan rasa nyeri) bergerak dengan tugas masing-masing.

Yang paling banyak tugas adalah suami, yang saat itu terdaulat menjadi “komandan perang”.  Mulai dari pasang aroma terapi, pasang musik sampai tugas rutin memijat pinggul saya, semuanya dia. Yang terberat, karena sumber air di rumah orang tua saya (sumur bor) sedang keruh-keruhnya, kami memutuskan untuk menggunakan air galon isi ulang. Delapan galon air yang sudah kami siapkan ternyata masih kurang banyak. Dibantu adik dan pembantu, suami harus beli air lagi. Untung tempat isi ulangnya tidak jauh, hanya sekitar 100m dari rumah.  Menjadi kurang beruntung karena dengan beberapa pertimbangan kami memilih lantai atas sebagai “venue” . Alhasil suami harus angkat bergalon-galon air ke lantai atas. Haha…lop yu full deh, Nji..hehe..

Jadi pelajaran yang dapat dipetik adalah:jika anda berencana untukmenggunakan air galon untuk water birth, untuk memenuhi setengah kolam karet ukuran standard saja diperlukan paling tidak 15 galon air. Maka bijaklah dengan tidak memilih “venue” di lantai atas..haha..

Jam 7 malam. Gelombang rahim yang saya rasakan semakin signifikan. Saya semakin sulit rileks, dan menjadi gusar akan hal-hal kecil. Dengan keringat yang mengucur deras, dipandu suara lembut bu bidan cantik, saya dan suami mulai mempraktekkan endhorpin massage dengan lebih intens sambil berdansa pelaaaan sekali. Senyum, senyum, rileks, begitu kira-kir a ajakan bu Yesie. Kolam karet yang sudah terisi air (meskipun masih air dingin saja) tampak sangat menggiurkan. Tapi bu Yesie masih mencegah nafsu “nyebur” saya, karena saat di VT lagi (haduhh..) masih bukaan 6.

Untuk menghemat tenaga, bubid menyarankan untuk berbaring dan jika memungkinkan tidur sebentar. Saat itu saya juga melihat bu Yesie tampak sangat lelah karena belum sempat istirahat sama sekali. Jadilah adegan ini: pasien tidur bareng bidan. Lucu, tapi wajar karena perjalanan masih panjang dan harus mengumpulkan tenaga.

Jam 10 malam. Gelombang rahim yang saya rasakan sudah mencapai pantat dan paha bagian atas, dengan jeda yang semakin sedikit. Posisi berbaring sudah tidak nyaman lagi, dan kolam karet tampak semakin menggiurkan. Saya merasa sudah saatnya masuk kolam. Setelah bernegosiasi dengan bubid untuk tidak di VT lagi, saya dianjurkan untuk mandi terlebih dahulu. Setelah mandi dan berganti kostum,saya sempat menggigil, antara kedinginan atau lapar saya tidak tahu. Saya sempat khawatir tubuh saya nggak connect dengan air, tapi setelah nyemplung…nyeessss….hufftt…uenakk!! sensasi air hangat yang merendam pinggang saya sangat menentramkan. Tubuh saya terasa sangat ringan, dan rasa nyeri hanya terasa saat gelombang rahim datang. Saat tidak ada kontraksi, saya benar-benar bisa merasakan tubuh saya beserta gerakan baby Jalu di perut saya. saat itu bu Yesie kembali melakukan VT (kali ini saya tidak keberatan sama sekali) dan sudah bukaan 8. Bagus,puji saya sendiri.

Jam 11 lebih sekian menit (saya lupa) ketuban pecah. Yaaay..kami: saya, bubid, suami dan ibu saya yang ikut mendampingi bersorak. Sangat indah melihat ketuban pecah di air, seperti cat air yang menetes kecil di air dalam gelas lalu membaur..sensasi visual yang sulit dilupakan. Sejak itu, saya mulai merasakan gerakan baby Jalu semakin vertikal. Turun, turun,lalu hilang beberapa saat. Lalu begitu lagi. Di fase ini saya semakin kehilangan kendali atas tubuh dan pikiran saya. Mulut saya terus mengeluarkan bunyi erangan yang tidak enak didengar, tidak enak pula untuk diingat. Pikiran saya berbunyi: ayo cepat, cepat, cepat. Semua ilmu olah otak-olah raga- olah jiwa seketika meluap. Tapi bu Yesie dan suami saya terus mengingatkan saya untuk rileks, berkomunikasi dengan baby Jalu dan terus menyampaikan pesan cinta agar dia memilih waktunya sendiri.

Jam 12 malam. Tepat setelah bunyi kembang api tahun baru china, saya kembali merasakan gelombang vertikal. Ayolah dik, sudah tahun naga ini. Kalau memang ingin bershio naga, inilah saatnya. Guyonan tentang shio ini selalu bisa membuat saya tersenyum. Beberapa saat setelah itu saya mulai merasakan insting untuk mengejan. Seperti pesan  bu Yesie, saya mengejan hanya pada saat tubuh merasakan dorongan untuk mengejan. Tapi lagi-lagi saya kehilangan kendali atas tubuh saya. arahan untuk mengejan dengan nafas perut hanya terjadi satu dua kali. Selebihnya saya mengejan bak rocker, mengandalkan tenggorokan untuk teriak. Ketika bubid mengatakan kalau sudah crowning, bukannya tambah rileks, saya justru semakin getol mengejan bahkan saat tubuh saya belum mengintruksikannya. Keinginan untuk segera bertemu bayi saya mejadi alasannya.

01.30 dini hari. Akhirnya, dengan tiga kali mengejan setelah crowning, baby Jalu lahir kedunia. Meluncur kedekapan saya tepat setelah ditangkap bu Yesie. Huwaaaa…inilah dia, pengalaman atas beberapa detik dalam kehidupan saya yang tidak pernah bisa saya ceritakan sesempurna aslinya.Tidak pernah ada kata-kata yang mampu mengungkapkan perasaan seindah ini. Saya menjadi ibu, Panji menjadi ayah, dan ibu saya menjadi nenek secara bersamaan, untuk pertama kalinya…

04.00 pagi, setelah acara jahit-jahit, timbang bayi dan beres-beres selesai, mruput-mruput, bu Yesie pamit. Trimakasih banyak, bu bidan cantik, atas semuanya, terutama energi ketenangan yang terus-terusan mengalir. Meskipun saya merasa masih belum maksimal dalam memberdayakan diri (terutama soal latihan nafas dan berakibat masih adanya robekan karena kurang sabar mengejan,sulit sekali tersenyum saat gelombang rahim datang, dll..hufftt..) tapi persalinan ini benar-benar terjadi seperti yang saya visualisasikan sejak awal: terjadi di rumah, dikelilingi oleh orang-orang tersayang, tanpa intervensi medis, dan yang paling utama: saya benar-benar terkoneksi dengan tubuh saya sendiri dan baby Jalu.

Well..

Saat saya menulis ini, Jalu sudah berusia hampir 4 bulan. Sejak kelahiran Jalu, pertanyaan umum yang saya hadapi setiap kali bertemu dengan orang lain yang tahu tentang rencana waterbirth saya adalah: “Bagaimana rasanya melahirkan di air? Tetap sakit kan? “. Tentu saja. Saya tidak memilih epidural. Saya tidak menggunakan ILA. Saya memilih untuk menghadapi proses persalinan itu apa adanya, senatural mungkin tanpa bius berlabel apapun. Meskipun saya mengalami nyeri dalam persalinan, tapi saya merasa damai. Menghayatinya, dan tersenyum bahagia setiap kali mengingat bahwa nyeri-nyeri itu setiap detiknya membawa saya semakin dekat pada pertemuan dengan anak lelaki saya.

Dulu, saat saya belum mengalami apa dan bagaimana rasanya sebuah persalinan, saya selalu merasa was-was setiap kali mendengar cerita kawan-kawan saya seusai mereka bersalin. Pikiran saya selalu dipenuhi dengan ketakutan dan kecemasan kalau-kalau saya mengalami hal serupa. Tetapi setelah mengalami dan mempraktekkan sendiri gentlebirth, saya jadi prihatin setiap kali mendengar tentang proses persalinan klasik: induksi, kontraksi tanpa jeda, kehilangan kendali atas tubuh sendiri; lantas berujung pada operasi caesar, dll. Betapa sesungguhnya semua hal tersebut dapat dicegah jika seorang ibu hamil memberdayakan dirinya sendiri seoptimal mungkin sejak awal. Mempersalahkan dokter dan nakes yang tidak pro gentlebirth bukanlah tameng, karena pada prinsipnya “ini tubuhku, ini persalinanku”.Itu sebabnya mulai sekarang saya berniat untuk menyebarkan virus yang mudah dipahami tapi sulit dijelaskan ini. Dimulai dari sahabat terdekat dulu (paling tidak mereka sudah terbukti tahan mendengar “kicauan” saya..ha..ha..), bergeser ke teman-teman di kantor (meskipun saat ini masih pada lajang..hehe..), lalu bidan tetangga rumah, dst.

Sekarang saya dan suami sedang mengalami parenting moment yang indah. Komunikasi Jalu dengan kami –terutama dengan ayahnya- sangat luar biasa. Dengan memahami bahwa tangisan adalah satu-satunya cara seorang bayi menyampaikan kebutuhan, maka kami tidak pernah menganggap Jalu rewel, jengkel atau marah setiap kali dia menangis. Dia hanya ingin berkomunikasi. Tugas kami hanyalah memahami apa makna tangisannya.

Banyak hal positif yang saya rasakan, yang kemungkinan besar adalah dampak dari pilihan kami untuk menerapkan konsep gentlebirth dalam proses kehadiran Jalu ke dunia. Selain ASI yang lancar, Puji Tuhan, hingga saat ini kami juga tidak mengalami fase begadang. Yang jelas, segala hal indah dan kebetulan-kebetulan luar biasa yang terjadi pada kami: googling yang berujung pada artikel “Atisha”, pertemuan dengan bidan Yesie yang ternyata hanya di kota tetangga, grup GBUS yang  penuh dengan bunda-panda yang inspiratif ; adalah kehendak Tuhan yang indah pada waktunya.

Saya tidak ingin sebuah persalinan dilabeli “gentle” atau “nggak gentle” hanya karena tingkat pengetahuan seseorang tentang gentle birth. Buktinya, di desa-desa, di daerah pelosok banyak sekali wanita yang justru dapat melahirkan dengan sangat “gentle” meski mereka tidak mengenal istilah gentle birth sama sekali. Saya hanya berharap kelak banyak wanita modern yang memilih untuk TENANG dalam menghadapi kehadiran buah hatinya, SADAR bahwa tubuhnya telah diciptakan untuk mampu melahirkan sealami mungkin, dan TEGAS untuk menentukan sejauh mana intervensi harus dilakukan dalam persalinannya. Chayookk!!