Bidan Kita

Home Pregnancy HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

0
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Prevent-Pre-Eclampsia

Seorang ibu hamil datang ke Bidan Kita untuk melakukan pemeriksaan kehamilan. Ibu ini, sebut saja namanya Ny Shinta. Hamil pertama kali dan selama ini dia tidak pernah menderita hipertensi. Namun saat Ny Shinta saya periksa, ditemukan bahwa tekanan darahnya adalah 180/100 mmHg. Kaget memang karena saat itu umur kehamilannya sudah menginjak 32 minggu dan selama ini tekanan darahnya baik-baik saja.

Ketika saya coba menggali lagi akar masalah dari hipertensi ini, dan mencoba membantu mengatasinya, saya meminta Ny Shinta untuk mengisi dan menjawab beberapa pertanyaan di form skala distres supaya saya mengetahui sebenarnya ada hal lain apa yang memicu Ny Shinta ini menjadi hipertensi. Dan memang benar setelah saya melakukan scoring ternyata Ny Shinta mengalami distres yang cukup tinggi, skornya 60 saat itu.

Langsung saja saat itu saya anjurkan beliau untuk mengikuti kelas Hypnobirthing. Setelah mengikuti 6 kali pertemuan tiap minggunya ternyata tekanan darahnya perlahan-lahan turun dan kembali normal. Sehingga di umur kehamilan 39 minggu Ny Shinta ini berhasil melahirkan normal dengan nyaman, lancar bahkan bebas dari rasa nyeri. Tekanan darahnyapun tetap normal hingga saat ini.

Nah dalam artikel ini saya tidak akan membahas banyak tentang hipnobirthing dalam kasus hipertensi kehamilan, tetapi saya akan membahas tentang apa dan bagaimana hipertensi dalam kehamilan.

 

Definisi dan klasifikasi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg atau tekanan sistolik lebih atau sama dengan 140 mHg. Tekanan tersebut harus diukur dalam dua kali pengukuran paling tidak berjarak 6 jam dan tekanan diastolik adalah saat suara korotkoff fase V.

Kalsifikasi penyakit hipertensi pada kehamilan

Hipertensi dalam kehamilan Preeklampsia : ringan dan berat Eklampsia Hipertensi kronik Hipertensi kronik superimposed preeklampsia atau eklampsia

Preeklampsia

Didefinisikan sebagai timbulnya hipertensi, proteinuri setelah kehamilan 20 minggu pada wanita dengan tekanan darah yang normal sebelumnya. Dapat juga berkaitan dengan gejala dan tanda lainnya seperti edema, gangguan penglihatan, nyeri kepala, nyeri ulu hati. Preeklampsia dapat timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu pada wanita dengan kehamilan mola atau adanya lupus antikoagulan. Terdapat dua jenis preeklampsia yaitu

  1. Preeklampsia ringan, bila tidak ditemukan adanya tanda preeklampsia berat
  2. Preeklampsia berat, bila satu atau lebih kriteria di bawah ini terpenuhi

Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau diastolik > 110 mmHg dalam dua kali pengukuran dengan jarak 6 jam Proteinuri sebesar 5 g/24 jam atau +3 atau lebih pada pengukuran semikuantitatif Olguria, produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam Gangguan serebral atau penglihatan, gangguan kesadaran, nyeri kepala, skotoma Edema paru Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas Gangguan fungsi hati tanpa adanya etiologi lain Trombositopenia Pertumbuhan janin terhambat

 

Eklampsia adalah timbulnya kejang umum atau penurunan kesadaran pada wanita dengan preeklampsia setelah penyakit neurologis, seperti epilepsi sudah disingkirkan.Jika hipertensi ditemukan pada kehamilan < 20 minggu dan tidak adanya mola hidatidosa maka wanita tersebut didiagnosis dengan hipertensi kronik. Dan bila kemudian timbul proteinuri maka disebut preeklampsia superimposed. Kriteria lain preeklampsia superimposed adalah peningkatan tekanan darah yang mendadak, timbulnya hemolisis, gangguan fungsi hati, timbulnya sindroma hellp.

Etiologi

Teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeklampsia harus memperhatikan pengamatan bahwa penyakit hipertensi karena kehamilan lebih mungkin terjadi pada wanita yang:

  1. Terpajan villi korialis untuk pertama kalinya
  2. Terpajan villi korialis yang jumlahnya banyak, seperti dalam kembar atau mola hidatidosa
  3. Mempunyai penyakit vaskuler sebelumnya
  4. Mempunyai predisposisi genetik untuk hipertensi

Meskipun vili korialis penting dalam etiologi preeklampsia, namun letaknya tidak harus di dalam uterus dan juga janin tidak menjadi penentu timbul atau tidaknya preeklampsia. Apapun etiologi yang mendasarinya, kaskade peristiwa yang menghasilkan sindrom preeklampsia mempunyai ciri kerusakan endotel vaskuler dengan vasospasme, transudasi plasama yang diikuti sekuele iskemia dan trombosis.

Beberapa mekanisme sudah diajukan untuk menjelaskan etiologi preeklampsia. Menurut sibai, etiologi yang dianggap potensial adalah

  1. Invasi trofoblas pembuluh darah uterina yang abnormal
  2. Intoleransi imunologis antara jaringan maternal dan janin-plasenta
  3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskuler atau inflamasi selama kehamilan
  4. Defisiensi nutrisi
  5. Pengaruh genetik

Patofisiologi

Preeklampsia adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala yang mempunyai konsekuensi patofisiologi pada seluruh sistem tubuh. Perubahan pada masing-masing sistem organ saling mempengaruhi dan juga derajat patologi masing-masing sistem organ berbeda-beda sehingga spektrum penyakit preeklampsia-eklampsia sangat bervariasi.

Gangguan pada sistem kardiovaskuler umum ditemukan pada pasien preeklampsia atau eklampsia. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya beban afterload karena hipertensi, perubahan preload yang diakibatkan oleh berkurangnya hipervolemia pada kehamilan dan aktivasi endotel dengan ekstravasasi plasma. Derajat aberasi kardiovaskuler tergantung beberapa faktor, termasuk beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kronik, ada tidaknya preeklampsia dan waktu pemeriksaan.

Hemokonsentrasi adalah fitur utama dari preeklampsia-eklampsia. Wanita dengan berat badan rata-rata seharusnya mempunyai 5000 cc volume darah pada saat aterm dibandingkan 3500 cc pada wanita yang tidak hamil. Pada preeklampsia-eklampsia volume yang meningkat sebesar 1500 cc tidak terjadi. Dengan adanya hemokonsentrasi, vasospasme dan kebocoran endotel maka wanita dengan preeklampsia-eklampsia sensitif terhadap terapi cairan yang diberikan dan terhadap kehilangan darah saat persalinan.

Kelainan hematologi juga terjadi pada beberapa wanita dengan preeklampsia. Trombositopenia, penurunan faktor pembekuan dan hemolisis eritrosit adalah yang sering terjadi. Penurunan jumlah trombosit diakibatkan oleh aktivasi platelet, agregasi dan konsumsi yang meningkat disertai rentang hidup yang berkurang. Trombositopenia di bawah 100.000/ul menggambarkan proses penyakit yang berat, dan biasanya akan terus menurun. Setelah persalinan, jumlah trombosit akan meningkat progresif untuk mencapai kadar normal dalam 3-5 hari. Preeklampsia berat sering disertai dengan hemolisis yang ditandai dengan kadar LDH yang meningkat. Bukti lainnya adalah pada apus darah tepi banyak terjadi perubahan morfologi eritrosit seperti schizocytosis, spherocytosis dan retikulocytosis. Hal ini disebabkan oleh hemolisis mikroangiopati yang diakibatkan oleh disfungsi endotel yang disertai dengan deposit fibrin dan agregasi trombosit. Adanya perubahan membran eritrosit, meningkatnya agregasi akan memfasilitasi kondisi hiperkoagulasi. Perubahan laboratorium kearah kondisi hiperkoagulasi pada dasarnya bersifat ringan. Oleh karena itu pemeriksaan rutin faktor koagulasi, termasuk PT/APTT dan fibrinogen tidak diperlukan pada pasien dengan preeklampsia-eklampsia. Trombofilia adalah defisiensi faktor pembekuan yang mengakibatkan kondisi hiperkoagulasi. Hal ini berhubungan dengan preeklampsia early-onset. Dilaporkan juga bahwa kadar antitrombin lebih rendah pada wanita dengan preeklampsia dibandingkan dengan wanita normal atau dengan hipertensi kronis. Adanya trombositopenia, hemolisis dan peningkatan enzim hati disebut sindroma HELLP yang merupakan perburukan dari preeklampsia. Beberapa klinisi memberikan kortikosteroid untuk mengurangi berat penyakit. Pasien dengan sindroma HELLP mempunyai angka komplikasi yang tinggi, Haddad dkk menemukan pada 40% kasus.

Perubahan pada sistem endokrin, homeostasis juga terjadi pada pasien dengan preeklampsia-eklampsia. Volume cairan ekstraseluler akan meningkat, diakibatkan oleh adanya kerusakan endotel. Akibat adanya kadar protein yang menurun maka terjadi tekanan onkotik yang rendah dan memfasilitasi terjadinya ekstravasasi cairan ke ekstrasel. Terjadi juga perfusi ginjal dan laju filtrasi glomerulus yang berkurang yang mungkin diakibatkan oleh volume plasma yang berkurang. Sebagai akibatnya pada pasien dengan preeklampsia maka kadar kreatinin plasma akan meningkat hingga 2 kali kadar kehamilan normal (dari 0,5 mg/dl menjadi 1,0 mg/dl). Pada kasus yang lebih berat lagi yang disertai dengan vasospasme intrarenal maka kadar kreatinin dapat mencapai 2-3 mg/dl. Secara anatomis juga terjadi perubahan pada ginjal, yaitu adanya endoteliosis kapiler glomerulus yang ditandai dengan pembengkakan endotel kapiler glomerulus yang disertai deposit materi protein subendotel. Pada kasus yang berat dapat terjadi kegagalan ginjal yang diakibatkan oleh nekrosis tubuler akut dengan ciri oliguri atau anuria dan peningkatan kadar kreatinin yang cepat (sekitar 1 mg/dl/hari).

Perubahan pada hepar wanita eklampsia pertama kali dikemukakan oleh Virchow pada tahun 1856. Lesi yang khas adalah perdarahan periportal di perifer hepar. Sheehan dan Lynch menemukan perdarahan yang disertai infark pada 50% kasus. Perdarahan yang terjadi biasanya ditangani secara konservati kecuali hematom bertambah besar, yang memerulukan intervensi bedah.

Preeklampsia-eklampsia juga mengakibatkan perubahan pada susunan saraf pusat. Perubahan anatomis yang bisa terjadi adalah perdarahan akibat robeknya pembuluh darah karena hipertensi dan mungkin juga timbul edema, hiperemi, iskemi, trombosis dan perdarahan. Pada perubahan yang pertama lebih sering terjadi pada wanita dengan hipertensi kronik sebelumnya. Dengan teknologi dopler maka sekarang dapat dilakukan pengukuran aliran darah dan perfusi serbral nir invasif. Belfort dkk menemukan bahwa preeklampsia berhubungan dengan peningkatan tekanan perfusi serebral yang dilawan dengan peningkatan resistensi serebrovaskuler sehingga tidak ada perubahan aliran darah serebral. Pada eklampsia, karena hilangnya autoregulasi aliran serebral, terjadi hiperperfusi seperti yang ditemukan pada ensefalopati hipertensi. Zeeman dkk dengan studi MRI menemukan bahwa kehamilan normal berhubungan dengan penurunan 20% aliran darah serebral sedangkan pada preeklampsia terjadi hiperperfusi yang mungkin berperan pada edema vasogenik yang ditemukan pada MRI.

Selain pada sirkulasi maternal, preeklampsia-eklampsia juga mempengaruhi perfusi uteroplasenta akibat adanya vasospasme. Brosens dkk melaporkan rerata diameter arteriol spiralis miometrium sebesar 200 µm pada wanita dengan preeklampsia dibandingkan rerata diameter 500 µm pada wanita dengan kehamilan normal. Pemeriksaan penurunan perfusi uteroplasenta dilakukan secara indirek menggunakan doppler. Dari penelitian yang ada, peningkatan resistensi terjadi pada beberapa namun tidak semua kasus preeklampsia.

 

Diagnosis

Hipertensi didiagnosis bila tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih dengan menggunakan fase 5 korotkoff sebagai definisi tekanan diastolik. Peningkatan tekanan sistolik sebesar 30 mmHg dan diastoli sebesar 15 mmHg tidak lagi direkomendasikan sebagai kriteria diagnostik. Proteinuria yang signifikan adalah bila melebihi 300 mg/24 jam atau 30 mg/dl (positif 1 pada dipstick) yang menetap pada sampel urin acak.

Bila ditemukan hipertensi pada wanita hamil tanpa disertai adanya proteinuria maka disebut hipertensi dalam kehamilan atau hipertensi transien bila tidak timbul preeklampsia dan tekanan darah menjadi normal dalam 12 minggu pasca persalinan. Jadi hipertensi dalam kehamilan sebenarnya diagnosis eksklusi dan perlu diingat bahwa beberapa pasien dapat memburuk menjadi preeklampsia. Preeklampsia didiagnosis bila adanya hipertensi yang disertai proteinuria. Disebut preeklampsia berat bila memenuhi kriteria yang ada di atas.

 

Penatalaksanaan Medis

Dalam dunia kedokteran, Hipertensi dalam kehamilan pada prinsipnya ditangani secara rawat jalan. Dilakukan pemantauan tekanan darah, proteinuria dan kondisi janin setiap minggu. Jika terdapat tanda pertumbuhan janin terhambat maka dilakukan perawatan untuk menilai kesejahteraan janin dan perlu tidaknya terminasi kehamilan. Selama rawat jalan pasien dan keluarga diberikan informasi mengenai tanda bahaya yang mengarah ke preeklampsia atau eklampsia.

Prinsip utama penanganan preeklampsia adalah terminasi kehamilan dengan trauma terkecil baik pada ibu dan janin, melahirkan bayi yang viabel dan mengembalikan kesehatan ibu secara komplit.

Preeklampsia ringan dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu maka dilakukan pemantauan 2 kali seminggu untuk menilai tekanan darah, urin dan kondisi janin. Selama pemantauan tidak perlu diberikan antikonvulsan, sedatif atau penenang , antihipertensi dan restriksi garam. Jika kehamilan lebih dari 37 minggu dan ada tanda perburukan kondisi janin seperti cairan amnion yang berkurang atau pertumbuhan janin terhambat maka persalinan perlu dipercepat. Jika serviks matang maka dilakukan amniotomi dan induksi oksitosin. Jika serviks tidak matang, dilakukan pematangan dengan prostaglandin atau kateter folley atau dilakukan seksio sesarea.

Preeklampsia berat ditangani hampir sama dengan eklampsia dengan perbedaan bahwa lahirnya bayi harus dalam 12 jam setelah kejang pada kasus dengan eklampsia. Seperti telah disebutkan terminasi kehamilan adalah prinsip penanganan preeklampsia, jadi pada preekalmpsia berat prinsip utamanya adalah pencegahan kejang dan kerusakan organ dan melahirkan bayi. Magnesium sulfat parenteral adalah obat antikonvulsan yang efektif tanpa depresi sistem saraf pusat bayi dan ibu. Kadar terapeutik adalah sebesar 4-7 mEq/L . Refleks patella akan menghilang pada kadar 10 mEq/L dan merupakan tanda toksisitas paling awal. Jika kadar melebihi 10 mEq/L maka akan timbul depresi pernafasan dan henti nafas terjadi pada kadar 12 mEq/L atau lebih. Pemberian MgSO4 harus memperhatikan fungsi ginjal, karena ekskresinya tergantung dari ekskresi oleh ginjal. Estimasi fungsi ginjal dilakukan dengan mengukur kadar kreatinin plasma, dimana bila kadar > 1,3 mg/dl maka pemberian MgSO4 rumatan diberikan dalam setengah dosis. Pada kasus toksik, pemberian Ca glukonat 1 gr intravena dengan menghentikan pemberian MgSO4 dapat mengatasi depresi pernafasan. Namun pada kasus berat atau disertai henti jantung maka intubasi dan ventilasi mekanik harus dilakukan.

MgSO4 menunjukkan efektifitas yang baik dalam mencegah kejang. Penelitian Eclampsia Trial Collaborative Group menunjukkan bahwa wanita yang diterapi MgSO4 memiliki kejang ulangan 50% lebih rendah dibandingkan yang diberikan diazepam. Kelompok MgSO4 juga mempunyai angka kematian maternal yang lebih rendah. Sekitar 10-15% wanita dengan eklampsia akan mengalami kejang ulangan dalam pengobatan MgSO4. Dosis tambahan sebesar 2 gr intravena dapat diberikan. Pada kasus eklampsia puerpuralis maka pemberian MgSO4 dilakukan selama 24 jam.

Obat antihipertensi diberikan bila tekanan darah diastolik 110 mmHg atau lebih. Target terapi adalah untuk mempertahankan tekanan diastolik 90-100 mmHg untuk mencegah timbulnya perdarahan otak. Pilihan obat antihiperensi adalah hidralazin, labetalol atau nifedipin dengan cara pemberian sebagai berikut :

  1.  Hidralazin diberikan 5 mg iv secara perlahan setiap 5 menit sampai tekanan darah turun. Diulang setia jam atau berikan hidralazin 12,5 mg IM setiap 2 jam bila diperlukan.
  2. Labetolol diberikan 10 mg iv, jika respon tidak adekuat setelah 10 menit maka diberikan lagi labetolol 20 mg iv. Naikan dosis menjadi 40 mg dan kemudian 80 mg jika tidak didapat respon setelah 10 menit pemberian.
  3. Nifedipin diberikan 5 mg sub lingual, jika tekanan diastolik masih di atas 110 mmHg setelah 10 menit maka diberikan lagi 5 mg sublingual.

Prognosis

Wanita dengan hipertensi yang timbul dalam kehamilan harus dievaluasi pasca persalinan dan diberikan konseling mengenai kehamilan berikutnya dan risiko kardiovaskuler. Jika setelah 12 minggu tekanan darah masih di atas normal maka disebut hipertensi kronik. Wanita dengan riwayat preklampsia mempunyai risiko lebih tinggi untuk timbul hipertensi dalam kehamilan berikutnya. Sibai dkk menemukan bahwa nullipara yang didiagnosis preeklampsia sebelum 30 minggu mempunyai risiko rekurensi sebesar 40% pada kehamilan berikut. Juga harus diingat bahwa wanita dengan preeklampsia early-onset mungkin mempunyai penyakit yang mendasari sehingga dapat mempengaruhi kesehatan jangka panjang.

Penatalaksanaan Holistik

Dalam menangani keluhan dan masalah klien, apalagi ibu hamil tentunya harus ditangani secara holistik atau menyeluruh. Dalam penjabaran di atas, saya sudah coba untuk menjabarkan tentang berbagai penatalaksaanaan yang dilakukan oleh dokter ketika menangani klien-nya yang menderita hipertensi dalam kehamilannya. Namun tentunya ada berbagai upaya lain yang bisa Anda lakukan bersama therapis yang Anda percaya untuk membantu mengatasi masalah ini. Nah ada beberapa alternatif therapy yang bisa Anda lakukan demi menurunkan dan menstabilkan tekanan darah tersebut:

1. Akupunktur dan akupresure

2. Biofeedback.

3. Hypnobirthing

4. Meditasi

5. Stress Management

6. Yoga.

Namun sekalilagi dalam artikel ini saya tidak akan membahas lebih lanjut tentang theapi alternative tersebut, tetapi saya akan membahasnya di artikel lain. Dalam website ini.

Semoga bermanfaat

Daftar Pustaka

Hypertensive disorders in pregnancy. In Cunningham et al, ed. Williams Obstetrics 22nd edition. McGraw-Hill. 2005 Managing Complication in Pregnancy and Childbirth : A guide for midwives and doctors. WHO, 2003.