Bidan Kita

Home Baby care KISAH GENTLE BIRTH DG RIWAYAT syndrom ACA (kekentalan darah) dan Myasthenia Gravis

KISAH GENTLE BIRTH DG RIWAYAT syndrom ACA (kekentalan darah) dan Myasthenia Gravis

0

Kisah Kelahiran Aaliyah Mikaila Adyofa : Ujian kesabaran dan pemberdayaan diri untuk naik kelas. By FaNi FaNiasuri in Gentle Birth Untuk Semua ·

Aaliyah terlelap di pangkuanku. Lentik matanya, bibir tipisnya, kulit merahnya, semuanya adalah keajaiban. Betapa tidak? putri kecilku ini lahir melalui pergulatan panjang melawan trauma paska 2 kali kuguguran dan menjalani kehamilan dengan 2 penyakit auto imun, syndrom ACA (kekentalan darah) dan Myasthenia Gravis (kelemahan otot). Syndrom ACA sendiri merupakan penyakit autoimun dimana tubuh memproduksi antibodi yang menyerang bagian tubuh sendiri.

 

Kini aku tak bermimpi ketika mengecup keningnya, merasakan kulit halus di bibirku, mencium aroma tubuhnya. Rasa haru selalu memenuhi rongga dadaku setiap kali memandangnya. Betapa mimpi itu, keajaiban itu, kini terbaring dalam pelukanku. Aku memuji-Mu, Tuhanku, dalam setiap nafas kecilnya.

Kehadiran Aaliyah, sejak awal kehamilan hingga persalinannya, penuh liku dan perjuangan. Dua keguguran yang kualami sebelumnya menjadi mimpi buruk yang selalu membayangiku. Di saat yang sama, aku juga harus bergelut dengan ACA yang membuatku harus disuntik, setiap hari, demi menjaga keenceran darah. ACA ini kuketahui saat cek darah di masa awal kehamilan Aaliyah.

 

Proses Kehamilan

Aku menerima kenyataan itu, darahku terlalu kental. Dokter mengatakan kondisi ini bisa mengancam janinku. Karena darah yang terlalu kental membuat alirannya tak lancar saat melalui plasenta. Bisa-bisa janinku tak mendapat suplai darah yang cukup. Untuk mengencerkannya, aku harus disuntik setiap hari selama 9 bulan ke depan!

 

Bahkan sebelum dinyatakan positif ACA, dokter justru menyuruh membeli obat agar bisa diajari menyuntik. Aku tanya, “Kok nggak menunggu hasil tes lab dulu?” Dokternya menjawab “Dari pada ‘lolos’?”. Jleb. Itu memberi tekanan sangat besar, dan mengukir tinta tebal di pikiran, “Apapun yang terjadi, anakku akan besar dengan suntikan ini,”

 

Ritual menyuntik pun kulakukan setiap hari. Aku menahan sakit setiap kali jarum itu menancap di perutku. Tak jarang luka bekas suntikkan itu meninggalkan memar biru di wilayah perut karena tak menancap di tempat yang tepat.

 

Aku harus mengeluarkan biaya Rp 165 ribu untuk satu kali suntikkan. Padahal aku harus disuntik setiap hari. Terbayang berapa besar biaya yang harus kusiapkan untuk sembilan bulan ke depan. Kecemasan ini bertumpuk dengan trauma keguguran dan rasa sakit setiap kali ujung jarum menembus perutku. Begitu berat rasanya.

 

Beruntung aku pernah membaca kisah kelahiran Atisha-nya Dewi Lestari dan kelahiran Jose-nya Mbak Prita dan Yusuf- nya Hanita Fatmawati. Kisah-kisah mereka tak hanya inspiratif, tapi juga menyiram semangatku untuk terus berjuang. Aku terus memupuk mental dan tekadku selama kehamilan awal. Beruntung juga aku bertemu keduanya di sebuah diskusi, mereka yang kemudian memberikan bantuan di kemudian hari.

 

Mbak Prita saat juga menyarankan berkonsultasi dengan Ibu Andang Gunawan untuk mengubah pola makan. Dari beliau aku mulai memahami bahwa mengencerkan darah tak selalu harus dengan suntikan. “Apa yang kita makan itulah cermin tubuh kita. Makanan kita anggap sehat, percuma jika tak bisa terserap baik oleh tubuh?” Sejak saat itu aku mengubah total pola makan demi kehamilan ini. Ternyata hal ini sangat berperan membantu kondisiku selanjutnya.

 

Dalam diskusi itu juga aku bertemu Ibu Robin. Kepada beliau aku menceritakan mengenai penyakit ACA, dan telah divonis dokter caesar disaat umur kandungan baru 8 minggu. Namun dari bibir beliau mengalir semangat dan ketabahan baru. Nasihatnya saat itu akan selalu kutancapkan di hatiku: “Caesarian can also be gentle and don’t forget, baby have their own way to birth.”

 

Dari sini aku mulai memahami dua hal: mengencerkan darah tak harus melalui injeksi dan kekentalan darah tak selalu harus berakhir di meja Cesar. Mendadak seberkas sinar menerangi hatiku: aku menemukan kembali gairah untuk melahirkan secara normal.

 

Pelajaran self healing yang diberikan Mas Reza Gunawan dan kelas hypnobirthing dari Ibu Lanny Kuswandi, yang aku ikuti setelah keguguran pertama, membuatku lebih sanggup mengontrol pikiran, membersihkan trauma dan menanamkan sugesti-sugesti positif. “Pokoknya aku tidak ingin dikalahkan lagi oleh ACA!”

 

Bu Lanny mengajarkan rileks dan bagaimana membuat sugesti positif. Ini sangat membantu ketika di usia kandungan 10 minggu aku mengalami pendarahan. Di sepanjang perjalanan ke RS, aku terus berkomunikasi dengan janin dan membuat sugesti positif bahwa darah akan segera berhenti. Alhamdulillah janin dalam kondisi baik dan pendarahan berhenti 30 jam kemudian.

 

Hari demi hari berlalu. Suntikan demi suntikan pengencer darah masih terus kulakoni. Hingga di minggu ke-22, uniknya DSOG rujukan khusus untuk USG 4D menilai aku tak perlu menyuntikkan obat pengencer darah itu setiap hari. Dia menilai aliran darah (blood flow) ke janin cukup bagus . Buktinya, kata dokter, ukuran janinku sesuai dengan usianya. Sebelumnya aku tak mengetahui apa itu blood flow. Biasanya jika periksa kandungan, hanya bertanya kondisi janin sehat atau tidak. Tapi kehamilan ini memberikan pelajaran ada banyak pertanyaan yang bisa diajukan ke dokter, seperti bagaimana aliran darah, oksigen dan lain-lain.

 

Saran dokter itu seharusnya membuat aku senang. Namun disisi lain juga melahirkan kebimbangan. Berjuta pertanyaan menyeruak ketika itu. Bagaimana jika darahku kembali mengental jika suntikkan dihentikan? Bagaimana dengan janinku nanti? Apa tidak sayang berhenti di tengah jalan? Bukankah sejauh ini bisa jadi lancar karena terbantu suntikan?

 

Dalam kebimbangan itu aku sempat berkonsultasi dengan Dr Hariyasa Sanjaya. Beliau menyarankan aku  tetap menjaga asa untuk melahirkan secara normal. Dengan persalinan normal, kata beliau, pembuluh darah akan lebih bekerja sehingga tidak stagnan. Lalu aku berkonsultasi ke DSOG di Jakarta yang direkomendasikan Dr Hariyasa. Ia setuju menghentikan suntikkan. Namun itu sebaiknya dilakukan secara bertahap.

 

Atas saran ini, aku mulai mengurangi porsi suntikkan. Dari semula 1 kali sehari menjadi 2 hari 1 kali. Dukungan moral dari suami membuat semuanya menjadi lebih baik. Aku kemudian memutuskan untuk berhenti total menyuntik.

 

Aku juga pergi ke dokter darah yang direkomendasikan DSOG-ku yang lainnya. Ketika di tes, hasilnya cukup menggembirakan. Kekentalan darah (D-dimer) aku memang cukup tinggi namun tingkat penggumpalan darahnya (agregasi trombosit) rendah. Bisa dibilang, aliran darahku cukup seimbang. Dokter bertanya angka blood flow, karena jika di atas 3 artinya dosis minum obat oral harus ditambah, atau malah kembali disuntik. Alhamdulillah skor tertinggiku 2,9. Makin lama nilainya semakin kecil karena darah pun semakin mencair untuk persiapan persalinan.

 

Saat kehamilan memasuki usia 29 minggu, aku juga mengikuti pelatihan menjadi doula di Ubud, Bali, selama 12 hari. Di tempat Ibu Robin ini aku semakin meresapi cara persalinan gentle birth dan mulai menyadari arti penting doula, pendamping persalinan. Doula membuatku belajar memahami proses persalinan dan penangannya serta pentingnya pendampingan pada saat kehamilan sebagai support untuk sekedar berbagi mengatasi rasa takut, was-was, mitos, dan tekanan negatif dari luar.

 

Myasthenia Gravis

Pada usia kehamilan 32 minggu, ketika semuanya mulai tampak baik-baik saja, muncul masalah baru. Myasthenia Gravis, penyakit lemah otot dan syaraf, kembali datang setelah pernah sembuh pada 2009 lalu. Untungnya, Myasthenia Garvis yang kualami masih di level paling awal.

Saat myasthenia muncul, pandangan menjadi ganda lalu mata akan “menutup” seperti boneka garfield. Efek lainnya, kondisi fisik mudah drop hingga untuk naik tangga saja rasanya begitu sulit. Namun Dokter Hariyasa kembali memberikan suport bahwa kelemahan otot ini bukan halangan untuk melahirkan normal. Aku menarik nafas lega.

Hanya setelah persalinan nanti, oleh dokter Neurolog, aku disarankan untuk MRI. Ini untuk mengetahui apakah penyakit itu muncul karena dipicu kehamilan atau memang muncul kembali.

 

Menjelang Persalinan

HPL ku sebenarnya 20 Mei 2012. Namun hingga dua hari pasca HPL belum ada tanda-tanda kontraksi. Hasil pemeriksaan VT: mulut rahim mulai lunak dan sudah ada pembukaan satu. Namun air ketuban sudah berkurang. Dokter saat itu menawarkan induksi. Namun aku menolak. Sebisa mungkin aku ingin melahirkan secara normal.

 

Empat hari pasca HPL, USG kembali dilakukan. Dari situ terlihat air ketuban semakin berkurang. Ini cukup membingungkan karena selama dua hari sebelumnya, aku terus rehidrasi 5 liter per hari, apalagi ketubanku tidak pecah dini. Dokter lagi-lagi menyuruh induksi. Namun aku masih bersikeras ingin mengalami persalinan alami.

 

Dokter saat itu mengatakan berkurangnya air ketuban yang bisa mengakibatkan penekanan pada tali pusat ke janin. Sementara janinku sudah ada satu lilitan tali pusat di leher. Tekadku mulai goyah, tapi aku mengatakan “Baiklah aku akan datang besok untuk induksi.” Namun ucapan itu tidak kulakukan.

Kembali aku mencari dokter alternatif. Jika dihitung-hitung aku sudah “belanja” enam dokter SPOG selama kehamilan ini. Tak perlu fanatik dengan satu dokter, tapi terus mencari mana dokter yang “sreg di hati”.  Aku juga menyiapkan mental jika harus dilakukan operasi Caesar, karena yang kupelajari mengenai gentle birth adalah bagaimana kita memberdayakan diri untuk memberikan kado terbaik kepada Aaliyah. Aku percaya kehamilan akan berjalan baik jika didukung suport sistem yang baik.

 

Pemeriksaan dokter lain menunjukkan air ketubanku dinyatakan bagus dan normal. Harapan melahirkan di rumah kembali memanggil- manggil. Beruntung aku sempat ngobrol dengan Bidan Rini pada saat Kopdar Gentle Birth Untuk Semua (GBUS). Mungkin ini rejeki juga pas bidan Rini di Jakarta, sehingga bisa berkunjung ke rumah.

 

Pada 25 Mei (HPL+5), bidan Rini datang ke rumah. Beliau langsung menyarankan melakukan persiapan kamar sekaligus mensterilisasi kolam yang akan digunakan untuk persalinan. Bidan Rini juga sempat melakukan VT. Hasilnya tetap sama: masih pembukaan satu dan mulut serviks sudah lunak.

Dua hari kemudian (HPL+7), Bidan Rini datang lagi. Saat itu masih dalam tahap kontraksi palsu. Belum ada kontraksi intens dan belum ada perubahan pembukaan. Bidan Rini pulang ke Bandung. Namun beliau temannya, yaitu Bidan Lisa.

 

Selama memasuki masa HPL aku terus melakukan pelvic rock dengan birthing ball, berkomunikasi dengan janin, induksi alami, pijat endhorphine, moxa, akupuntur, NTS (Neuro Tendo Stimulation), makan duren, nanas, dan jeruk. Namun kontraksi sesungguhnya tak kunjung datang. Bahkan kami sempat memutuskan jika sampai HPL+12 masih belum ada kontraksi, aku pun ikhlas menjalani induksi.

 

Pada 29 Mei (HPL+9), Bidan Lisa memutuskan pulang ke Bandung karena kontraksi masih belum intens. Aku masih sempat mengantar Bidan Lisa ke travel. Saat itu pukul 07.00 WIB. Saat itulah, sesudah membeli makanan, perlahan mulai merasakan kontraksi hebat, meski intensitasnya tak beraturan. Jam 09.00 WIB, kontraksinya terasa cepat sekali, badan rasanya capeek banget. Perut terasa seperti di remas dari dalam, dengkul lunglai, begitu pun paha dan kaki. Seperti nyeri haid dengan kekuatan berlipat kali lebih besar.

 

Saat itu juga aku mengabari Bidan Rini bahwa kontraksi mulai intens. Bidan Rini akan menyusul ke  Jakarta, begitu Bidan Lisa sampai di Bandung. Selama menunggu Bidan Rini, aku berada di kasur, persis anak kucing yang mencari puting susu ibunya.

 

Pukul 13.00 wib Bidan Rini dan Bidan Lisa tiba di rumah. Kontraksi saat itu sudah teratur. Aku bahkan sempat tidur. Setelah dicek, ternyata baru pembukaan tiga. Sempat shock juga mendengarnya. “Whaat??? Baru pembukaan tiga? Waah, kalau pembukaan ke dua ke tiga saja lama dan seperti ini rasanya, gimana nanti ya?” Namun berkat kerja cekatan Mbak Rini dan Mbak, aku tetap merasa nyaman. Keduanya melakukan pijitan, moxa, dan rebozo. Tidak menghilangkan rasa nyeri, tapi lumayan tereduksi dengan treatment itu.

 

Bu Lanny yang kebetulan tinggal tak jauh dari rumah juga mampir memberikan dukungan. Dukungan beliau berdampak dahsyat sekali. Beliau sempat mengajakku bercanda diantara masa true labor, mempraktekkan pelatihan doula di Bali, dan mengajak berdansa bersama.

 

Akhirnya, tepat pukul 19.00 wib, pembukaan 7. Di situ mulai “seriosa” nggak jelas setiap gelombang cinta  datang. Jarak antar gelombang cinta juga semakin dekat. Pada pukul 21.00 akhirnya bukaan lengkap (10). Aku pun masuk ke kolam.

 

Saat masuk ke kolam rasanya lega sekali. “Mak nyeess”. Terasa nikmat sekali berada di kolam persalinan sendiri. Di kolam itu aku membutuhkan waktu cukup lama di Kala II itu. Kontraksi juga semakin  berkurang. Meski bukaan sudah lengkap, namun tetap membutuhkan waktu cukup lama. Ketika mulai kontraksi, aku membantu dengan mengejan. Bahkan ketika kepala Aaliyah sudah mulai keluar dan aku bisa menyentuh ubun-ubunnya yang masih terbalut ketuban, aku masih membutuhkan perjuangan cukup panjang. Rasanya lelah sekali. Aku bersender ke suami yang memeluk dari belakang. Awalnya aku jongkok di kolam, lalu berubah posisi berbaring dengan tangan yang menopang paha, dengan perut yang dinaikkan.

 

Di tengah-tengah proses itu, aku kadang beristirahat untuk menyimpan tenaga. Pada saat Aaliyah mulai mencari jalan lahirnya, aku pun membantu dengan mengejan. Akupun menaikkan pantat agar Aaaliyah mudah ditangkap. Jika orang lain mungkin butuh 1-3 kali mengejan ketika kepala janin sudah keluar, aku butuh lebih dari 10 kali. Mungkin karena penyakit lemah otot ku sehingga proses ini berlansung lama.

 

Beruntung, ‘tim hore’ di sekitarku terus menyemangati. Aku pun terpacu. Lewat kaca, aku bisa melihat posisi kepala Aaliyah. Setiap kontraksi datang, tim hore terus meniupkan semangat. Aku pun kembali mengejan. “Ayoo.. Fan, sudah setengah kepala nih, satu kali mengejan pasti keluar!”

Tapi berkali-kali mengejan kepala Aaliyah belum juga keluar.

 

Akhirnya, setelah perjuangan 2 jam, kepala Aaliyah sepenuhnya ke luar yang kemudian diikuti tubuh mungilnya. Ia lahir dengan selaput ketuban utuh. Lilitan tali pusat di leher, menyilang ke tangannya. Ia ditangkap Bidan Rini yang langsung meletakkan ke dada. Alhamdulillah. proses IMD berjalan lancar.

 

Aaliyah tanggal 29 Mei 2012 pukul 23.26 WIB, dengan berat 3,2 kilo gram dan panjang 46 centimeter. Ia juga menjalani lotus birth dan tali pusatnya 3.5 hari setelah dia dilahirkan. Melihatnya rasanya seperti mimpi.

 

Perjuangan menahan sakitnya ujung jarum suntik saat menembus lapisan kulit perut, biaya berjuta-juta, dan pengorbanan berbulan-bulan terbayar lunas saat itu juga. Aaliyah adalah keajaiban yang teramat layak kami perjuangan.

 

Darinya kami belajar untuk percaya pada kata hati karena tubuh tak pernah mengkhianati. Darinya kami belajar akan kesabaran serta keteguhan. Darinya pula kami belajar bahwa keajaiban tak pernah lahir tanpa perjuangan. Dan darinya pula kami memahami bahwa Tuhan tak pernah memberikan sesuatu tanpa terlebih dahulu menyiapkan jalannya.

Karena setiap bayi punya caranya sendiri untuk hadir ke dunia ini, maka tugas kami hanya menyiapkan kehadirannya, dengan cinta dan peluk mesra.

 

Terimakasih tak terhingga untuk semua inspirasi, dukungan, dan doa-doa yang selalu menyelimuti kami.

 

-Terimakasih kepada ibu peri-ku Lanny Kuswandi, yang selalu mengajarkan untuk menvisualisasikan dan  niatkan apa yang kita mau. Oma hebat! Tangan oma ajaib 🙂

 

-Terimakasih buat bidan Rini dan bidan Lisa, bidan yang sudah menemani dan membantuku dengan penuh kesabaran dalam proses kelahiran Aaliyah

 

-Terimakasih kepada dokter Riyana Kadarsari. Bu Dokter baik hati yang memberi support dahsyat. Birth is truly teacher of patien ya mbak *hugs*.

 

-Thanks juga untuk bunbun Hanita, doula yang selalu siap mendengarkan curhatku *peluk*

 

-Thanks to Mba Prita yang selalu menjadi inspirasi dan selalu kasih support, trims juga untuk semua artikelnya ya mba 🙂

 

-Terimakasih juga kepada Mbak Yessie Aprilia yang mengajari bahwa bayi memiliki caranya sendiri untuk  memilih kapan dan dimana akan lahir. Jodoh di tangan Tuhan ya mbak Yessie 🙂 Terimakasih atas ajarannya untuk terus memberdayakan diri.

 

-Terimaksih untuk Dr Hariyasa Sanjaya, yang menanamkan pikiran bahwa jalan lahir Tuhan lewat bawah.  Kuncinya usaha dan Sabar! Aku selalu mengingat pesan dokter bahwa salah satu gagalnya persalinan  normal adalah hilangnya kesabaran. Kesabaran ini akhirnya membuahkan hasil yang sangat indah.

 

-Terimakasih juga untuk Ibu Robin, yang menanamkan wanita bisa melakukan persalinan normal selama dia  dicintai dan disuport oleh sekelilingnya. Selalu teringat pesanmu bahwa “caesarian can also be gentle and dont’ forger baby have their on way to birth” I Love U Ibu!.

 

– Terimasih untuk mas Reza Gunawan. Terimakasih sudah menginspirasi banyak hal selama ini. Terimakasih telah memberi inspirasi untuk mengusahakan persalinan ramah jiwa dan minim trauma 🙂

 

– Terimakasih untuk Melani Azizah karib kembar sejalan dan sepencarian 🙂

– Terimakasih untuk my lovely Yogi Himawan, supportmu luar biasa. Makasih sayang, it wouldn’ t complete without your love.

 

*written by Nur Farida Ahniar & Dwi Riyanto Agustiar