Usia kandungan 38 minggu..
Setelah sempat mengalami masa sedih karena kepergian Bapak , dan sempat malas berlatih yoga selama beberapa minggu, semangat gentle birth saya kembali menyala. Saya kembali membangun komunikasi dengan baby Jalu, merayunya agar lahir lebih cepat dari HPL (ngarep…hehe..), rajin berolah raga dengan gym ball dan berolah jiwa lewat doa dan relaksasi. Kelas hypnobirthing terakhir juga makin memantapkan niat saya untuk home- water birth. Saking mantapnya, sampai-sampai saat bubid Yesie mengingatkan tentang plan B, saya linglung. Jujur saya sama sekali belum serius hunting RS & dokter jika sewaktu-waktu ada kondisi disko daruratt… Terakhir kali saya ke dokter cuma untuk USG, itu saja setengah hati karena dokternya model ekspress. Nggak asik.
UK 39 w
Ternyata rayuan saya nggak manjur. Sudah 39 minggu tapi baby Jalu masih ayem-ayem saja di perut saya. Saat teman-teman dekat & keluarga saya mulai sibuk menanyakan kapan bayi saya lahir (pertanyaan umum yang bikin gerah..hehe..) saya baru “ngeh” kalau HPL Â Jalu tepat satu hari setelah Imlek (24 Januari 2012). Lantas saya mulai mikir, jangan-jangan baby Jalu pengen lahir di tahun naga? Rupanya pikiran yang sama terlintas di benak sohib saya, Adhe. Kata-katanya cukup bikin adem lewat sekelumit sms yang berbunyi: “nunggu Imlek, Na?” Halah, mungkinkaahh? (stingky abeess..). Ibu saya juga menentramkan: “mungkin saja anakmu masih ayem di dalam perut karena disitu anget, tentrem, aman..”. Akhirnya saya hentikan rayuan saya. Biar saja Jalu memilih harinya sendiri. Bisik saya buat Jalu:”Oke deh, dik. Pick your number, pick your shio”..hehe..
Daripada nglangut, saya ajak Adhe yang kebetulan pengantin baru untuk hunting dokter dan RS buat plan B. Sekalian iming-imingi dia biar cepet nyusul dan ikutan hamil. Atas rekomendasi seorang teman, saya memutuskan untuk kontrol ke seorang dokter Spog di sebuah RS di Solo. Setahu saya dokter tersebut pro normal dan RS tempat dia praktek juga tidak jauh dari rumah. Setelah USG (Puji Tuhan semua normal, ketuban bagus, tidak ada lilitan) dan anjuran untuk stop ngemil untuk menghindari ukuran bayi yang terlalu besar, obrolan bergeser ke rencana persalinan.
Tidak saya duga, dokter tersebut sangat tertarik dengan rencana persalinan saya yang home-water birth. Begitu juga ketiga perawat yang saat itu ada di ruangan dokter.Bahkan acara kontrol dokter yang umumnya berlangsung singkat, sama sekali tidak terjadi. Yang terjadi justru saya -istilah jawanya- “ditanggap ” untuk bercerita lebih jauh tentang gentle birth. Pertanyaan bertubi-tubi nan antusias disampaikan bergantian, mulai dari persiapan yang harus dilakukan, apa dan bagaimana melakukan yoga prenatal, dimana beli CDnya, apa itu pelvic rocking, apa itu gym ball (halahh…)sampai pertanyaan teknis seputar kapan saatnya nyemplung ke air, kalo KPD gimana, bagaimana rasanya di hypnobirthing dan sebagainya. Bak seorang penyuluh gentle birth berpengalaman, saya menjawab semua pertanyaan dengan tenaaang..ha..ha… Padahal belum mengalami blass…
Akhirnya saya pulang dengan berbunga-bunga. Selain lega karena Tuhan sudah mempertemukan saya dengan “the best plan B”, saya pun dibekali doa oleh para nakes-nakes yang sangat open mind itu. Mereka berharap semua rencana home-water birth saya berjalan lancar, dan suatu saat saya kembali untuk berbagi cerita bahagia…
The Day
UK 40 w
Saat pertemuan di kelas hypnobirthing terakhir, bubid Yesie merilis agendanya yang mendekati HPL saya. Yang terdekat adalah seminar di Semarang pada 22 Januari. Itu sebabnya kami semua mengirim pesan cinta bagi baby Jalu, jika memang ingin dibantu tante Yesie maka dik Jalu bisa memilih hari lahirnya sebelum atau sesudah tanggal itu. Tapi ternyata Jalu ingin merangkai kisah lahirnya sendiri.
Sejak 21 Januari malam saya sudah merasakan kontraksi meskipun belum teratur. Malam itu saya masih bisa tidur dengan mendengarkan CD relaksasi dari “Bidan Kita”. 22 Januari pagi saya mulai merasakan kontraksi semakin teratur dengan jarak antar kontraksi lebih kurang 10 menit. Saya mulai berkomunikasi dengan bubid Yesie sejak jam 6 pagi via sms. Saat itu bu Yesie sudah berada di Semarang, tapi kabar baiknya, bubid akan mengisi seminar di sesi pertama. Kemungkinan terbaiknya, begitu selesai sesi pertama bu Yesie akan langsung meluncur ke Solo tanpa mampir ke klinik di Klaten, sementara segala alat& keperluan homebirth akan dibawa suami bubid dari Klaten langsung ke Solo. Hi..hi..jadi nggak enak bikin repot bubid sekeluarga..Tapi saya terus berdoa agar begitulah nanti terjadinya…
Teryata disinilah serunya homebirth. Ada rasa galau, kalau-kalau bayi lahir sebelum bidan datang. Rasa cemas, antara harus banyak berbaring atau bergerak. Rasa sungkan karena membuat keluarga di rumah khawatir, dan lain-lain. Maka satu-satunya hal yang bisa dilakukan–yang ternyata sulit sekali dipraktekkan saat masa persalinan tiba- adalah: tetap tenang!
Karena saya sudah mengalami flek dan sedikit rembesan (meskipun tidak yakin kalau itu air ketuban) bubid menyarankan untuk banyak istirahat, konsumsi air putih dan po**ri. Saat-saat seperti itu rasanya ingin sekali saya nongkrong di atas gym ball. Tapi karena belum pasti jam berapa bu Yesie tiba di Solo dan seberapa jauh bukaan yang saya alami, maka saya menahan diri dan lebih banyak berbaring. Ditemani pijatan lembut suami di setiap gelombang rahim datang, saya mencoba untuk tidur. Suami juga rajin mencatat durasi serta titik-titik nyeri di setiap kontraksi. Busett..ternyata banyak juga ya. Saya tidak bisa membayangkan kontraksi yang dipacu dengan induksi oksitosin buatan yang kata banyak orang tanpa jeda. Yang banyak jeda aja udah bikin lemes begini..hihi..
Sekitar jam 1 siang bu Yesie mengirim kabar bahwa sudah di perjalanan menuju Solo, dan memastikan bahwa suami bu Yesie juga sudah siap berangkat dari Klaten. Lega sekali kami mendengar kabar itu. Begitu bu Yesie mengabarkan bahwa sudah masuk Solo, cepat-cepat saya duduk goyang di atas gym ball..hff..nyamannyaaa…
Jam 5 sore bu Yesie tiba, komplit bareng suaminya dan seperangkat peralatan home birth (Hehe.. makasih pak Hendro mau ikut repot di hajatan home birth saya..). Pertama-tama: periksa bukaan. Ya ampuuun, ternyata VT bener-bener nggak nyaman! Saya langsung memohon ke bubid supaya nggak sering-sering di VT..hehe.. Hasilnya: masih bukaan dua. Kembali saya goyang-goyang di atas gym ball, sementara bu Yesie memompa kolam karet yang ternyata super gede. Saat itu semua personel di rumah (kecuali saya, karena saya sibuk berkutat dengan gym ball dan rasa nyeri) bergerak dengan tugas masing-masing.
Yang paling banyak tugas adalah suami, yang saat itu terdaulat menjadi “komandan perang”. Mulai dari pasang aroma terapi, pasang musik sampai tugas rutin memijat pinggul saya, semuanya dia. Yang terberat, karena sumber air di rumah orang tua saya (sumur bor) sedang keruh-keruhnya, kami memutuskan untuk menggunakan air galon isi ulang. Delapan galon air yang sudah kami siapkan ternyata masih kurang banyak. Dibantu adik dan pembantu, suami harus beli air lagi. Untung tempat isi ulangnya tidak jauh, hanya sekitar 100m dari rumah. Menjadi kurang beruntung karena dengan beberapa pertimbangan kami memilih lantai atas sebagai “venue” . Alhasil suami harus angkat bergalon-galon air ke lantai atas. Haha…lop yu full deh, Nji..hehe..