Jadi pelajaran yang dapat dipetik adalah:jika anda berencana untukmenggunakan air galon untuk water birth, untuk memenuhi setengah kolam karet ukuran standard saja diperlukan paling tidak 15 galon air. Maka bijaklah dengan tidak memilih “venue” di lantai atas..haha..
Jam 7 malam. Gelombang rahim yang saya rasakan semakin signifikan. Saya semakin sulit rileks, dan menjadi gusar akan hal-hal kecil. Dengan keringat yang mengucur deras, dipandu suara lembut bu bidan cantik, saya dan suami mulai mempraktekkan endhorpin massage dengan lebih intens sambil berdansa pelaaaan sekali. Senyum, senyum, rileks, begitu kira-kir a ajakan bu Yesie. Kolam karet yang sudah terisi air (meskipun masih air dingin saja) tampak sangat menggiurkan. Tapi bu Yesie masih mencegah nafsu “nyebur” saya, karena saat di VT lagi (haduhh..) masih bukaan 6.
Untuk menghemat tenaga, bubid menyarankan untuk berbaring dan jika memungkinkan tidur sebentar. Saat itu saya juga melihat bu Yesie tampak sangat lelah karena belum sempat istirahat sama sekali. Jadilah adegan ini: pasien tidur bareng bidan. Lucu, tapi wajar karena perjalanan masih panjang dan harus mengumpulkan tenaga.
Jam 10 malam. Gelombang rahim yang saya rasakan sudah mencapai pantat dan paha bagian atas, dengan jeda yang semakin sedikit. Posisi berbaring sudah tidak nyaman lagi, dan kolam karet tampak semakin menggiurkan. Saya merasa sudah saatnya masuk kolam. Setelah bernegosiasi dengan bubid untuk tidak di VT lagi, saya dianjurkan untuk mandi terlebih dahulu. Setelah mandi dan berganti kostum,saya sempat menggigil, antara kedinginan atau lapar saya tidak tahu. Saya sempat khawatir tubuh saya nggak connect dengan air, tapi setelah nyemplung…nyeessss….hufftt…uenakk!! sensasi air hangat yang merendam pinggang saya sangat menentramkan. Tubuh saya terasa sangat ringan, dan rasa nyeri hanya terasa saat gelombang rahim datang. Saat tidak ada kontraksi, saya benar-benar bisa merasakan tubuh saya beserta gerakan baby Jalu di perut saya. saat itu bu Yesie kembali melakukan VT (kali ini saya tidak keberatan sama sekali) dan sudah bukaan 8. Bagus,puji saya sendiri.
Jam 11 lebih sekian menit (saya lupa) ketuban pecah. Yaaay..kami: saya, bubid, suami dan ibu saya yang ikut mendampingi bersorak. Sangat indah melihat ketuban pecah di air, seperti cat air yang menetes kecil di air dalam gelas lalu membaur..sensasi visual yang sulit dilupakan. Sejak itu, saya mulai merasakan gerakan baby Jalu semakin vertikal. Turun, turun,lalu hilang beberapa saat. Lalu begitu lagi. Di fase ini saya semakin kehilangan kendali atas tubuh dan pikiran saya. Mulut saya terus mengeluarkan bunyi erangan yang tidak enak didengar, tidak enak pula untuk diingat. Pikiran saya berbunyi: ayo cepat, cepat, cepat. Semua ilmu olah otak-olah raga- olah jiwa seketika meluap. Tapi bu Yesie dan suami saya terus mengingatkan saya untuk rileks, berkomunikasi dengan baby Jalu dan terus menyampaikan pesan cinta agar dia memilih waktunya sendiri.
Jam 12 malam. Tepat setelah bunyi kembang api tahun baru china, saya kembali merasakan gelombang vertikal. Ayolah dik, sudah tahun naga ini. Kalau memang ingin bershio naga, inilah saatnya. Guyonan tentang shio ini selalu bisa membuat saya tersenyum. Beberapa saat setelah itu saya mulai merasakan insting untuk mengejan. Seperti pesan bu Yesie, saya mengejan hanya pada saat tubuh merasakan dorongan untuk mengejan. Tapi lagi-lagi saya kehilangan kendali atas tubuh saya. arahan untuk mengejan dengan nafas perut hanya terjadi satu dua kali. Selebihnya saya mengejan bak rocker, mengandalkan tenggorokan untuk teriak. Ketika bubid mengatakan kalau sudah crowning, bukannya tambah rileks, saya justru semakin getol mengejan bahkan saat tubuh saya belum mengintruksikannya. Keinginan untuk segera bertemu bayi saya mejadi alasannya.
01.30 dini hari. Akhirnya, dengan tiga kali mengejan setelah crowning, baby Jalu lahir kedunia. Meluncur kedekapan saya tepat setelah ditangkap bu Yesie. Huwaaaa…inilah dia, pengalaman atas beberapa detik dalam kehidupan saya yang tidak pernah bisa saya ceritakan sesempurna aslinya.Tidak pernah ada kata-kata yang mampu mengungkapkan perasaan seindah ini. Saya menjadi ibu, Panji menjadi ayah, dan ibu saya menjadi nenek secara bersamaan, untuk pertama kalinya…
04.00 pagi, setelah acara jahit-jahit, timbang bayi dan beres-beres selesai, mruput-mruput, bu Yesie pamit. Trimakasih banyak, bu bidan cantik, atas semuanya, terutama energi ketenangan yang terus-terusan mengalir. Meskipun saya merasa masih belum maksimal dalam memberdayakan diri (terutama soal latihan nafas dan berakibat masih adanya robekan karena kurang sabar mengejan,sulit sekali tersenyum saat gelombang rahim datang, dll..hufftt..) tapi persalinan ini benar-benar terjadi seperti yang saya visualisasikan sejak awal: terjadi di rumah, dikelilingi oleh orang-orang tersayang, tanpa intervensi medis, dan yang paling utama: saya benar-benar terkoneksi dengan tubuh saya sendiri dan baby Jalu.
Well..
Saat saya menulis ini, Jalu sudah berusia hampir 4 bulan. Sejak kelahiran Jalu, pertanyaan umum yang saya hadapi setiap kali bertemu dengan orang lain yang tahu tentang rencana waterbirth saya adalah: “Bagaimana rasanya melahirkan di air? Tetap sakit kan? “. Tentu saja. Saya tidak memilih epidural. Saya tidak menggunakan ILA. Saya memilih untuk menghadapi proses persalinan itu apa adanya, senatural mungkin tanpa bius berlabel apapun. Meskipun saya mengalami nyeri dalam persalinan, tapi saya merasa damai. Menghayatinya, dan tersenyum bahagia setiap kali mengingat bahwa nyeri-nyeri itu setiap detiknya membawa saya semakin dekat pada pertemuan dengan anak lelaki saya.
Dulu, saat saya belum mengalami apa dan bagaimana rasanya sebuah persalinan, saya selalu merasa was-was setiap kali mendengar cerita kawan-kawan saya seusai mereka bersalin. Pikiran saya selalu dipenuhi dengan ketakutan dan kecemasan kalau-kalau saya mengalami hal serupa. Tetapi setelah mengalami dan mempraktekkan sendiri gentlebirth, saya jadi prihatin setiap kali mendengar tentang proses persalinan klasik: induksi, kontraksi tanpa jeda, kehilangan kendali atas tubuh sendiri; lantas berujung pada operasi caesar, dll. Betapa sesungguhnya semua hal tersebut dapat dicegah jika seorang ibu hamil memberdayakan dirinya sendiri seoptimal mungkin sejak awal. Mempersalahkan dokter dan nakes yang tidak pro gentlebirth bukanlah tameng, karena pada prinsipnya “ini tubuhku, ini persalinanku”.Itu sebabnya mulai sekarang saya berniat untuk menyebarkan virus yang mudah dipahami tapi sulit dijelaskan ini. Dimulai dari sahabat terdekat dulu (paling tidak mereka sudah terbukti tahan mendengar “kicauan” saya..ha..ha..), bergeser ke teman-teman di kantor (meskipun saat ini masih pada lajang..hehe..), lalu bidan tetangga rumah, dst.
Sekarang saya dan suami sedang mengalami parenting moment yang indah. Komunikasi Jalu dengan kami –terutama dengan ayahnya- sangat luar biasa. Dengan memahami bahwa tangisan adalah satu-satunya cara seorang bayi menyampaikan kebutuhan, maka kami tidak pernah menganggap Jalu rewel, jengkel atau marah setiap kali dia menangis. Dia hanya ingin berkomunikasi. Tugas kami hanyalah memahami apa makna tangisannya.
Banyak hal positif yang saya rasakan, yang kemungkinan besar adalah dampak dari pilihan kami untuk menerapkan konsep gentlebirth dalam proses kehadiran Jalu ke dunia. Selain ASI yang lancar, Puji Tuhan, hingga saat ini kami juga tidak mengalami fase begadang. Yang jelas, segala hal indah dan kebetulan-kebetulan luar biasa yang terjadi pada kami: googling yang berujung pada artikel “Atisha”, pertemuan dengan bidan Yesie yang ternyata hanya di kota tetangga, grup GBUS yang  penuh dengan bunda-panda yang inspiratif ; adalah kehendak Tuhan yang indah pada waktunya.
Saya tidak ingin sebuah persalinan dilabeli “gentle” atau “nggak gentle” hanya karena tingkat pengetahuan seseorang tentang gentle birth. Buktinya, di desa-desa, di daerah pelosok banyak sekali wanita yang justru dapat melahirkan dengan sangat “gentle” meski mereka tidak mengenal istilah gentle birth sama sekali. Saya hanya berharap kelak banyak wanita modern yang memilih untuk TENANG dalam menghadapi kehadiran buah hatinya, SADAR bahwa tubuhnya telah diciptakan untuk mampu melahirkan sealami mungkin, dan TEGAS untuk menentukan sejauh mana intervensi harus dilakukan dalam persalinannya. Chayookk!!