Bidan Kita

Home Childbirth All About Childbirth Apa yang bisa pengaruhi Fase MENGEJAN?

Apa yang bisa pengaruhi Fase MENGEJAN?

0
Apa yang bisa pengaruhi Fase MENGEJAN?

Kita sering membayangkan proses melahirkan sebagai momen dramatis di mana air ketuban pecah, ibu berteriak “sakit!” lalu bayi keluar dalam hitungan menit setelah tiga kali mengejan keras. bayangannya persis kayak orang melahirkan di TV atau sinetron.

Namun di kenyataannya, proses melahirkan tidak sesederhana itu — apalagi saat seorang ibu masuk ke kala II, yaitu tahap di mana pembukaan sudah lengkap dan tubuh mulai memberi dorongan untuk mengeluarkan bayi. Kala II — fase mengejan — sering dianggap sebagai “momen puncak” dalam proses melahirkan. Di sinilah tubuh membuka penuh, bayi siap dilahirkan, dan ibu diminta mengejan sesuai dorongan. 
Tapi sayangnya…
Yang sering dilupakan adalah: tubuh ibu belum tentu siap jika pikiran dan jiwanya belum merasa aman.

Kala ini sering disebut sebagai “fase mengejan”. Tapi, mengejan bukan hanya soal “dorong sekuat mungkin.” Ia adalah titik temu antara tubuh, pikiran, dan jiwa ibu.

Ya, kala II bukan hanya soal kerja rahim, tapi juga kondisi psikologis ibu yang diam-diam memengaruhi segalanya: dari kekuatan kontraksi, efektivitas dorongan, sampai risiko trauma dan robekan perineum.

Kala II adalah ruang suci.
Ruang transisi.
Ruang di mana tidak hanya bayi yang dilahirkan — tapi juga seorang ibu.

Kala II adalah fase yang paling sunyi sekaligus paling berisik.

Bagi sebagian ibu, ini adalah titik lepas kendali. Tubuh bergerak sendiri. Suara-suara primal keluar begitu saja.
Bagi yang lain, ini justru fase yang hening. Mereka diam, memejam, mengalir mengikuti gelombang tubuh yang tidak lagi bisa dikendalikan dengan logika.

Namun satu hal yang sama: kondisi psikis ibu di kala ini sangat menentukan.

Sayangnya, banyak dari kita terlalu sibuk mengatur teknis:
“Sudah lengkap nih!? Ayo NGejen! yang kuat!!”
“Udah kontraksi kuat, kenapa nggak segera lahir?”
“Ngejan yang bener, tahan napas!”

Tanpa sadar, kita lupa bahwa ibu mungkin:

  • Sedang panik karena tiba-tiba harus “ngejan” padahal belum siap

  • Masih trauma dengan kelahiran sebelumnya

  • Merasa malu karena suaminya melihat dia menangis, mengerang, atau buang air saat mengejan

  • Menahan sakit karena merasa “harus kuat”, padahal sebetulnya ingin dipeluk saja

Kala II bukan hanya kerja otot rahim. Tapi kerja hormon, rasa percaya, dan rasa aman.

Para pakar gentle birth — seperti Ina May Gaskin, Rachel Reed, dan Pam England — bersepakat bahwa rasa takut, tekanan, atau perasaan tidak didukung dapat menghambat proses mengejan secara alami.
Bahkan dalam Neuroendocrinology of Birth disebutkan bahwa sistem hormon kelahiran (oksitosin, endorfin, prolaktin) bekerja sangat erat dengan kondisi emosional ibu.

Artinya, jika ibu merasa tidak aman → otak akan mengaktifkan mode bertahan → adrenalin naik → oksitosin turun → kontraksi melemah → bayi tidak kunjung lahir → ibu makin panik.

Jadi, saat kita bicara soal kala II, kita seharusnya tidak hanya bertanya:

  • “Sudah berapa lama dia mengejan?”

  • “Bayinya sudah turun belum?”

  • “Berapa kali butuh ngjen kuat lagi?”

Tapi juga:

  • “Apakah dia merasa didampingi?”

  • “Adakah ada ketakutan yang belum tersampaikan?”

  • “Apakah dia masih bisa mendengar suara hatinya sendiri di tengah semua suara luar?”

Karena ibu yang didukung dengan empati, kasih, dan kehadiran penuh, memiliki peluang lebih besar untuk melahirkan bukan hanya dengan lancar — tapi juga dengan utuh secara emosional.

Setelah berjam-jam menghadapi kontraksi, banyak orang mengira “kerja berat” justru dimulai saat ibu diminta mengejan. Padahal, sering kali justru di titik inilah tubuh ibu seperti berhenti merespons.

Kontraksinya melemah.
Dorongan mengejan tak muncul.
Bayi belum juga turun.
Semua orang mulai panik — dan kadang ibu pun mulai menyalahkan diri sendiri.

Tapi… apakah ini benar karena “ibu nggak bisa ngejen dengan benar”?
Atau jangan-jangan… ada faktor lain yang lebih dalam — yaitu kondisi emosional dan psikologis ibu saat kala II?

Dalam pendekatan gentle birth, kita diajak untuk melihat bahwa tubuh dan jiwa ibu adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Rahim tidak akan bekerja optimal jika otak ibu merasa terancam.
Dan saat sistem sarafnya memasuki mode “fight or flight”, maka kontraksi pun bisa melemah atau berhenti sama sekali.

Yuk kita bahas satu per satu apa saja faktor psikis yang diam-diam bikin kontraksi jadi “mager” — dan apa yang bisa kita lakukan untuk membantunya:

1. Rasa Takut dan Cemas

Ini adalah penyebab utama yang paling sering terjadi — tapi jarang diakui.
Takut robek, takut bayinya kenapa-kenapa, takut dianggap gagal, bahkan takut pup di hadapan suami (padahal ini normal banget, Bu!).

Ketakutan ini memicu hormon adrenalin, yang bersifat “melawan atau lari.” Sayangnya, adrenalin justru menurunkan hormon oksitosin dan endorfin — dua hormon utama yang mengatur kontraksi dan rasa nyaman selama persalinan.

Simkin & Ancheta (2017) menjelaskan bahwa ketegangan emosional dan rasa takut dapat menghambat refleks Ferguson, yaitu refleks alami yang memicu dorongan mengejan.

➡️ Jadi kalau oksitosin drop → kontraksi jadi lemah → bayi susah turun → ibu tambah panik.
Lingkaran setan pun dimulai.