Apa yang bisa pengaruhi Fase MENGEJAN?
Kita sering membayangkan proses melahirkan sebagai momen dramatis di mana air ketuban pecah, ibu berteriak “sakit!” lalu bayi keluar dalam hitungan menit setelah tiga kali mengejan keras. bayangannya persis kayak orang melahirkan di TV atau sinetron.
Namun di kenyataannya, proses melahirkan tidak sesederhana itu — apalagi saat seorang ibu masuk ke kala II, yaitu tahap di mana pembukaan sudah lengkap dan tubuh mulai memberi dorongan untuk mengeluarkan bayi. Kala II — fase mengejan — sering dianggap sebagai “momen puncak” dalam proses melahirkan. Di sinilah tubuh membuka penuh, bayi siap dilahirkan, dan ibu diminta mengejan sesuai dorongan.
Tapi sayangnya…
Yang sering dilupakan adalah: tubuh ibu belum tentu siap jika pikiran dan jiwanya belum merasa aman.
Kala ini sering disebut sebagai “fase mengejan”. Tapi, mengejan bukan hanya soal “dorong sekuat mungkin.” Ia adalah titik temu antara tubuh, pikiran, dan jiwa ibu.
Ya, kala II bukan hanya soal kerja rahim, tapi juga kondisi psikologis ibu yang diam-diam memengaruhi segalanya: dari kekuatan kontraksi, efektivitas dorongan, sampai risiko trauma dan robekan perineum.
Kala II adalah ruang suci.
Ruang transisi.
Ruang di mana tidak hanya bayi yang dilahirkan — tapi juga seorang ibu.
Kala II adalah fase yang paling sunyi sekaligus paling berisik.
Bagi sebagian ibu, ini adalah titik lepas kendali. Tubuh bergerak sendiri. Suara-suara primal keluar begitu saja.
Bagi yang lain, ini justru fase yang hening. Mereka diam, memejam, mengalir mengikuti gelombang tubuh yang tidak lagi bisa dikendalikan dengan logika.
Namun satu hal yang sama: kondisi psikis ibu di kala ini sangat menentukan.
Sayangnya, banyak dari kita terlalu sibuk mengatur teknis:
“Sudah lengkap nih!? Ayo NGejen! yang kuat!!”
“Udah kontraksi kuat, kenapa nggak segera lahir?”
“Ngejan yang bener, tahan napas!”
Tanpa sadar, kita lupa bahwa ibu mungkin:
-
Sedang panik karena tiba-tiba harus “ngejan” padahal belum siap
-
Masih trauma dengan kelahiran sebelumnya
-
Merasa malu karena suaminya melihat dia menangis, mengerang, atau buang air saat mengejan
-
Menahan sakit karena merasa “harus kuat”, padahal sebetulnya ingin dipeluk saja
Kala II bukan hanya kerja otot rahim. Tapi kerja hormon, rasa percaya, dan rasa aman.
Para pakar gentle birth — seperti Ina May Gaskin, Rachel Reed, dan Pam England — bersepakat bahwa rasa takut, tekanan, atau perasaan tidak didukung dapat menghambat proses mengejan secara alami.
Bahkan dalam Neuroendocrinology of Birth disebutkan bahwa sistem hormon kelahiran (oksitosin, endorfin, prolaktin) bekerja sangat erat dengan kondisi emosional ibu.
Artinya, jika ibu merasa tidak aman → otak akan mengaktifkan mode bertahan → adrenalin naik → oksitosin turun → kontraksi melemah → bayi tidak kunjung lahir → ibu makin panik.
Jadi, saat kita bicara soal kala II, kita seharusnya tidak hanya bertanya:
-
“Sudah berapa lama dia mengejan?”
-
“Bayinya sudah turun belum?”
-
“Berapa kali butuh ngjen kuat lagi?”
Tapi juga:
-
“Apakah dia merasa didampingi?”
-
“Adakah ada ketakutan yang belum tersampaikan?”
-
“Apakah dia masih bisa mendengar suara hatinya sendiri di tengah semua suara luar?”
Karena ibu yang didukung dengan empati, kasih, dan kehadiran penuh, memiliki peluang lebih besar untuk melahirkan bukan hanya dengan lancar — tapi juga dengan utuh secara emosional.
Setelah berjam-jam menghadapi kontraksi, banyak orang mengira “kerja berat” justru dimulai saat ibu diminta mengejan. Padahal, sering kali justru di titik inilah tubuh ibu seperti berhenti merespons.
Kontraksinya melemah.
Dorongan mengejan tak muncul.
Bayi belum juga turun.
Semua orang mulai panik — dan kadang ibu pun mulai menyalahkan diri sendiri.
Tapi… apakah ini benar karena “ibu nggak bisa ngejen dengan benar”?
Atau jangan-jangan… ada faktor lain yang lebih dalam — yaitu kondisi emosional dan psikologis ibu saat kala II?
Dalam pendekatan gentle birth, kita diajak untuk melihat bahwa tubuh dan jiwa ibu adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Rahim tidak akan bekerja optimal jika otak ibu merasa terancam.
Dan saat sistem sarafnya memasuki mode “fight or flight”, maka kontraksi pun bisa melemah atau berhenti sama sekali.
Yuk kita bahas satu per satu apa saja faktor psikis yang diam-diam bikin kontraksi jadi “mager” — dan apa yang bisa kita lakukan untuk membantunya:
1. Rasa Takut dan Cemas
Ini adalah penyebab utama yang paling sering terjadi — tapi jarang diakui.
Takut robek, takut bayinya kenapa-kenapa, takut dianggap gagal, bahkan takut pup di hadapan suami (padahal ini normal banget, Bu!).
Ketakutan ini memicu hormon adrenalin, yang bersifat “melawan atau lari.” Sayangnya, adrenalin justru menurunkan hormon oksitosin dan endorfin — dua hormon utama yang mengatur kontraksi dan rasa nyaman selama persalinan.
Simkin & Ancheta (2017) menjelaskan bahwa ketegangan emosional dan rasa takut dapat menghambat refleks Ferguson, yaitu refleks alami yang memicu dorongan mengejan.
➡️ Jadi kalau oksitosin drop → kontraksi jadi lemah → bayi susah turun → ibu tambah panik.
Lingkaran setan pun dimulai.
2. Lelah Fisik dan Mental
Bayangkan ibu sudah kontraksi 12–18 jam, belum makan enak, belum tidur, dan langsung disuruh “Ngejan ya, Buuun!”
Tubuhnya mungkin masih bisa diajak kerja. Tapi jiwanya?
Mungkin dia cuma pengen bilang:
“Boleh gak aku rebahan 5 menit aja dulu?”
Menurut Penny Simkin (2020), kala II akan jauh lebih efektif jika ibu masih memiliki cadangan energi, istirahat yang cukup, dan tidak merasa terburu-buru.
Tapi sayangnya, banyak ibu tidak diberi kesempatan untuk beristirahat sejenak sebelum mengejan, padahal istirahat sebentar bisa memperbaiki kualitas dorongan.
Gentle birth mengajarkan bahwa “pause bukan berarti gagal.” Tapi justru memberi tubuh kesempatan untuk terkoneksi kembali dengan iramanya sendiri.
3. Merasa Diabaikan
Mungkin terdengar aneh: ada suami, bidan, bahkan dokter — tapi kenapa ibu tetap merasa “sendirian di tengah keramaian”?
Karena sering kali semua orang terlalu sibuk dengan:
-
Monitoring CTG
-
Jam dinding
-
Ukuran pembukaan
-
Instruksi-instruksi teknis
Tidak ada yang betul-betul menatap matanya, memegang tangannya, atau memaknai napas berat dan air mata yang turun di pipinya.
Di sinilah gentle birth hadir — bukan dengan alat-alat canggih, tapi dengan kehadiran utuh dan empatik. dan kehadiran yang empatik lebih penting dari sekadar instruksi teknis.
Terkadang, satu kalimat lembut dari suami seperti “Aku di sini” lebih ampuh daripada 10 menit penuh dengan menginstruksikan mengejan.
4. Tekanan Sosial dan Harapan yang Tidak Realistis
“Kamu kan udah ikut kelas gentle birth, masa gak bisa tenang?”
“Kamu kan bidan, harusnya tahu dong cara napas yang benar.”
“Kamu anak kedua lho, masa kayak baru pertama?”
Kalimat-kalimat ini terdengar ringan, tapi dampaknya bisa besar.
Dalam jurnal Midwifery Today (2019) disebutkan bahwa tekanan psikologis saat persalinan dapat menyebabkan ketegangan otot dasar panggul dan memperlambat keluarnya bayi.
Dan yang lebih menyedihkan, banyak ibu akhirnya memendam rasa malu dan merasa gagal — bukan karena prosesnya tidak berhasil, tapi karena harapan orang lain yang tidak realistis.
Gentle birth mengajarkan: setiap kelahiran itu unik. Dan yang paling penting adalah bukan seberapa cepat bayi keluar, tapi seberapa utuh ibu setelah proses itu selesai.
Jadi, kalau kamu merasa kontraksi tiba-tiba melambat atau dorongan mengejan tidak terasa kuat, bukan berarti tubuhmu salah.
Bisa jadi tubuhmu hanya sedang menunggu:
-
Rasa aman
-
Kalimat yang menguatkan
-
Napas yang selaras
-
Sentuhan yang membumi
-
Atau… izin untuk menangis dulu
Karena yang dilahirkan bukan cuma bayi, tapi juga kamu, sebagai seorang ibu baru.
Dan kamu layak untuk hadir sepenuhnya — bukan hanya sebagai tubuh yang mengejan, tapi jiwa yang didukung dan dimuliakan.
Apa yang Bisa Dilakukan Suami dan Bidan Saat Kala II?
Kala II sering kali digambarkan sebagai “momen aksi” — saat ibu mengejan, bayi turun, dan semua orang bersiap menyambut kelahiran. Tapi justru di titik inilah, ibu paling membutuhkan dukungan emosional dan kehadiran psikologis yang utuh.
Suami atau bidan tidak perlu menjadi superhero, pelatih, apalagi komentator pertandingan.
Yang ibu butuhkan hanyalah:
manusia yang hadir sepenuhnya
tanpa tekanan, tanpa penilaian, tanpa agenda
✅ 1. Kata-Kata Lembut dan Validatif
“Tubuhmu tahu caranya.”
“Kamu sudah luar biasa sejauh ini.”
“Napas, Sayang… Aku di sini.”
Mungkin terdengar sederhana. Tapi kalimat seperti ini bisa menjadi jangkar di tengah badai. Ketika ibu mulai kehilangan kepercayaan diri, kata-kata yang lembut dan validatif bisa menyambungkannya kembali dengan tubuh dan jiwanya.
Dalam studi oleh Hodnett et al. (2013), ditemukan bahwa dukungan emosional dari orang terdekat selama persalinan dapat mempercepat proses kala II, menurunkan kebutuhan intervensi, dan meningkatkan pengalaman kelahiran yang positif.
Bayangkan perbedaannya:
-
Dibanding “Ayo dong ngejan!” → lebih baik, “Kalau kamu sudah siap, tubuhmu akan kasih sinyal.”
-
Dibanding “Jangan nangis, bikin bayinya stres!” → lebih baik, “It’s okay, keluarkan aja semua rasa, kamu aman.”
Karena dalam gentle birth, kata-kata bukan cuma bunyi — mereka adalah energi dan sinyal hormonal. Kata-kata penuh kasih akan menyalakan sistem saraf parasimpatis ibu → membuat otot dasar panggul melembut, serviks terbuka, dan tubuh bisa bekerja seperti yang Tuhan desain.
✅ 2. Sentuhan Lembut yang Menyentuh Jiwa
Kadang ibu tidak perlu disuruh napas, atau diberi ceramah… cukup dielus pelipisnya.
-
Pegang tangannya saat dia merasa rapuh
-
Usap peluk punggungnya saat dia menangis tanpa kata
-
Tekan lembut sakrum saat kontraksi datang
-
Peluk dari belakang sambil napas bareng saat ibu ragu dengan dirinya sendiri
Dalam pendekatan Somatic Birth Support, sentuhan lembut memicu produksi endorfin (hormon penghilang nyeri alami) dan memperkuat refleks Ferguson — refleks fisiologis yang membuat ibu mengejan spontan saat bayi menekan dasar panggul.
Contoh nyata:
Seorang ibu di ruang bersalin Bidan Kita pernah berkata:
“Yang paling aku ingat justru bukan suara bidan atau monitornya. Tapi tangan suamiku yang menggenggam tanganku di setiap kontraksi. Itu yang bikin aku percaya aku gak sendiri.”
✅ 3. Jaga Suasana Aman, Tenang, dan Privat
Sering kali kontraksi lemah bukan karena tubuh ibu “gagal”, tapi karena lingkungan sekitar terlalu bising, terang, atau tegang.
-
Matikan atau redupkan lampu
-
Minimalkan orang keluar masuk ruangan
-
Jangan buka-buka pintu terus
-
Matikan notifikasi handphone
-
Bicara dengan suara lembut
-
Jangan terlalu banyak perintah teknis
-
Ciptakan nuansa ruang lahir seperti “gua” — hangat, gelap, sunyi
Menurut teori dari Sarah Buckley dalam “Gentle Birth, Gentle Mothering”, hormon oksitosin sangat sensitif terhadap rasa aman dan privasi.
➡️ Jika neokorteks ibu (bagian otak sadar/logis) terlalu aktif, maka otak primitifnya tidak bisa memicu proses kelahiran alami.
Dalam bahasa sederhana:
“Kalau otak ibu sibuk mikirin siapa yang lihat, siapa yang komen, siapa yang ngatur… tubuhnya gak bisa kerja penuh.”
✅ 4. Biarkan Ibu Mengejan Sesuai Irama Tubuh
Ini salah satu kesalahan yang sering terjadi:
Begitu pembukaan 10 cm langsung disuruh mengejan. Padahal, tubuh belum tentu siap.
Tanda-tanda tubuh ibu sudah memberi “izin” untuk mengejan:
-
Rasa tekanan kuat ke arah bawah
-
Suara napas jadi berat dan terdengar “grunty”
-
Ibu seperti tidak bisa menahan dorongan dari dalam tubuh
Menurut Rachel Reed dalam “Reclaiming Childbirth” (2018), urge to push yang alami (bukan dipaksakan)akan menghasilkan kelahiran yang lebih halus, risiko trauma perineum lebih rendah, dan pengalaman emosional ibu lebih positif.
Kalau ibu belum merasakan dorongan itu?
Tunggu. Dukung dengan napas.
Biarkan tubuhnya memimpin, bukan jam di dinding.
✅ 5. Hadirkan Energi Psikologis yang Positif
Ibu yang sedang dalam kala II tidak butuh coach.
Ia butuh penjaga ruang jiwa.
-
Duduklah dekat, diam-diam, tapi hadir penuh
-
Jangan takut kalau dia menangis — itu proses release
-
Jangan buru-buru kasih saran — kadang ibu cuma butuh diizinkan merasa
-
Kalau dia berkata, “Aku gak kuat…” → jangan langsung jawab, “Kamu kuat kok!”
Tapi coba tanya, “Apa yang kamu rasakan sekarang?”
Validasi. Temani. Biarkan ia pulih kembali pada dirinya sendiri.
Seperti kata Pam England:
“Birth is not about being rescued. But about being witnessed.”
Kala II bukan hanya tentang bayi yang keluar.
Kala II adalah ritual kelahiran jiwa.
Ritual menjadi ibu. Menjadi versi baru dari diri seorang perempuan.
Dan di momen ini, apa yang dirasakan ibu — secara emosi, hormon, dan energi — akan ia bawa sepanjang hidupnya.
Jadi jika kamu adalah suami, bidan, atau pendamping, ingatlah:
Hadirmu bukan cuma membantu kelahiran bayi, tapi menjaga lahirnya cinta yang baru.
Karena seorang ibu yang dilahirkan dengan kasih…
akan melahirkan anak-anak yang tahu cara mencintai dunia.
Referensi & Daftar Pustaka
-
Simkin, P., & Ancheta, R. (2017).
The Labor Progress Handbook: Early Interventions to Prevent and Treat Dystocia (4th ed.). Wiley-Blackwell.
→ Buku ini menjelaskan hubungan antara emosi ibu (takut, lelah) dengan efektivitas kontraksi dan progres persalinan, termasuk dampak hormonal seperti adrenalin yang menghambat oksitosin. -
Hodnett, E. D., Gates, S., Hofmeyr, G. J., Sakala, C. (2013).
Continuous support for women during childbirth. Cochrane Database of Systematic Reviews, Issue 7. Art. No.: CD003766.
→ Meta-analisis ini menunjukkan bahwa dukungan emosional dari pendamping secara signifikan menurunkan durasi persalinan dan meningkatkan pengalaman kelahiran yang positif. -
Buckley, S. J. (2015).
Hormonal Physiology of Childbearing: Evidence and Implications for Women, Babies, and Maternity Care. Childbirth Connection.
→ Dokumen ini menjelaskan neuroendokrinologi persalinan, peran hormon kelahiran (oksitosin, endorfin), dan bagaimana rasa aman, privasi, dan dukungan mendalam membantu proses persalinan alami. -
Reed, R. (2018).
Reclaiming Childbirth as a Rite of Passage: Weaving Ancient Wisdom with Modern Knowledge. Pinter & Martin.
→ Rachel Reed menguraikan pentingnya urge to push yang alami, kritik terhadap intervensi medis tergesa-gesa, serta pendekatan gentle birth berbasis rasa percaya pada tubuh perempuan. -
England, P., & Horowitz, R. (2007).
Birthing From Within: An Extra-Ordinary Guide to Childbirth Preparation. Partera Press.
→ Buku ini menekankan pentingnya kehadiran emosional pendamping dan makna spiritual serta transformatif dari pengalaman melahirkan, termasuk bagaimana menangani ekspresi emosional ibu. -
Gaskin, I. M. (2003).
Ina May’s Guide to Childbirth. Bantam Books.
→ Ina May Gaskin menyampaikan pentingnya percaya pada tubuh sendiri, menghindari tekanan eksternal saat mengejan, dan bagaimana suasana hati dan lingkungan memengaruhi hasil lahiran. -
Midwifery Today (2019).
Social and Psychological Pressure in Childbirth: How Expectations Affect Pelvic Floor Response. Midwifery Today, Issue 129.
→ Artikel ini membahas bagaimana tekanan sosial dan ekspektasi (dari suami, keluarga, atau budaya) bisa menyebabkan ketegangan otot dasar panggul yang memperlambat kemajuan kala II. -
Michel Odent (2004).
The Fetus Ejection Reflex. Midwifery Today, Issue 71.
→ Menjelaskan pentingnya membiarkan tubuh mengejan secara alami tanpa interupsi atau instruksi keras. Michel Odent juga menyoroti bagaimana hormon-hormon hanya bekerja jika ibu merasa aman dan tidak diawasi secara invasif. -
World Health Organization (2018).
WHO recommendations: Intrapartum care for a positive childbirth experience. Geneva: World Health Organization.
→ Dokumen resmi WHO yang mendukung pendekatan berbasis dukungan, individualisasi perawatan, dan menghindari intervensi non-esensial selama persalinan.
