
✅ 2. Sentuhan Lembut yang Menyentuh Jiwa
Kadang ibu tidak perlu disuruh napas, atau diberi ceramah… cukup dielus pelipisnya.
-
Pegang tangannya saat dia merasa rapuh
-
Usap peluk punggungnya saat dia menangis tanpa kata
-
Tekan lembut sakrum saat kontraksi datang
-
Peluk dari belakang sambil napas bareng saat ibu ragu dengan dirinya sendiri
Dalam pendekatan Somatic Birth Support, sentuhan lembut memicu produksi endorfin (hormon penghilang nyeri alami) dan memperkuat refleks Ferguson — refleks fisiologis yang membuat ibu mengejan spontan saat bayi menekan dasar panggul.
Contoh nyata:
Seorang ibu di ruang bersalin Bidan Kita pernah berkata:
“Yang paling aku ingat justru bukan suara bidan atau monitornya. Tapi tangan suamiku yang menggenggam tanganku di setiap kontraksi. Itu yang bikin aku percaya aku gak sendiri.”
✅ 3. Jaga Suasana Aman, Tenang, dan Privat
Sering kali kontraksi lemah bukan karena tubuh ibu “gagal”, tapi karena lingkungan sekitar terlalu bising, terang, atau tegang.
-
Matikan atau redupkan lampu
-
Minimalkan orang keluar masuk ruangan
-
Jangan buka-buka pintu terus
-
Matikan notifikasi handphone
-
Bicara dengan suara lembut
-
Jangan terlalu banyak perintah teknis
-
Ciptakan nuansa ruang lahir seperti “gua” — hangat, gelap, sunyi
Menurut teori dari Sarah Buckley dalam “Gentle Birth, Gentle Mothering”, hormon oksitosin sangat sensitif terhadap rasa aman dan privasi.
➡️ Jika neokorteks ibu (bagian otak sadar/logis) terlalu aktif, maka otak primitifnya tidak bisa memicu proses kelahiran alami.
Dalam bahasa sederhana:
“Kalau otak ibu sibuk mikirin siapa yang lihat, siapa yang komen, siapa yang ngatur… tubuhnya gak bisa kerja penuh.”
✅ 4. Biarkan Ibu Mengejan Sesuai Irama Tubuh
Ini salah satu kesalahan yang sering terjadi:
Begitu pembukaan 10 cm langsung disuruh mengejan. Padahal, tubuh belum tentu siap.
Tanda-tanda tubuh ibu sudah memberi “izin” untuk mengejan:
-
Rasa tekanan kuat ke arah bawah
-
Suara napas jadi berat dan terdengar “grunty”
-
Ibu seperti tidak bisa menahan dorongan dari dalam tubuh
Menurut Rachel Reed dalam “Reclaiming Childbirth” (2018), urge to push yang alami (bukan dipaksakan)akan menghasilkan kelahiran yang lebih halus, risiko trauma perineum lebih rendah, dan pengalaman emosional ibu lebih positif.
Kalau ibu belum merasakan dorongan itu?
Tunggu. Dukung dengan napas.
Biarkan tubuhnya memimpin, bukan jam di dinding.
✅ 5. Hadirkan Energi Psikologis yang Positif
Ibu yang sedang dalam kala II tidak butuh coach.
Ia butuh penjaga ruang jiwa.
-
Duduklah dekat, diam-diam, tapi hadir penuh
-
Jangan takut kalau dia menangis — itu proses release
-
Jangan buru-buru kasih saran — kadang ibu cuma butuh diizinkan merasa
-
Kalau dia berkata, “Aku gak kuat…” → jangan langsung jawab, “Kamu kuat kok!”
Tapi coba tanya, “Apa yang kamu rasakan sekarang?”
Validasi. Temani. Biarkan ia pulih kembali pada dirinya sendiri.
Seperti kata Pam England:
“Birth is not about being rescued. But about being witnessed.”
Kala II bukan hanya tentang bayi yang keluar.
Kala II adalah ritual kelahiran jiwa.
Ritual menjadi ibu. Menjadi versi baru dari diri seorang perempuan.
Dan di momen ini, apa yang dirasakan ibu — secara emosi, hormon, dan energi — akan ia bawa sepanjang hidupnya.
Jadi jika kamu adalah suami, bidan, atau pendamping, ingatlah:
Hadirmu bukan cuma membantu kelahiran bayi, tapi menjaga lahirnya cinta yang baru.
Karena seorang ibu yang dilahirkan dengan kasih…
akan melahirkan anak-anak yang tahu cara mencintai dunia.