
“Bu, Saya Cek Dalam Ya… Mau Ngecek Panggulnya Sempit atau Nggak.”
Kalimat ini mungkin terdengar biasa saja bagi sebagian orang, tapi bagi banyak ibu hamil—khususnya yang sudah memasuki usia kehamilan di atas 37 minggu—itu bisa jadi awal dari kecemasan, keraguan, dan kehilangan kepercayaan diri terhadap tubuhnya sendiri.
Saya menulis ini karena keresahan yang makin sering saya temui: praktik pemeriksaan dalam (VE/VT) yang dilakukan di akhir kehamilan atas nama ‘cek panggul’. Ibu belum kontraksi. Tidak ada tanda-tanda persalinan. Tapi tiba-tiba diminta buka celana, lalu dinilai apakah panggulnya cukup atau tidak untuk melahirkan normal.
Dan lebih menyakitkan lagi, setelah itu tak jarang ibu langsung “divonis” panggulnya sempit, lalu disarankan untuk operasi caesar, atau diberi bayangan menakutkan bahwa kalau dipaksa melahirkan normal bisa membahayakan bayi. Tanpa edukasi. Tanpa ruang tanya. Tanpa harapan.
Padahal…
❌ Apakah Ibu Hamil Harus VE untuk Menilai Panggulnya Sempit atau Tidak? ❌
TIDAK.
Pemeriksaan dalam saat hamil tidak bisa secara akurat memprediksi apakah seorang ibu dapat melahirkan normal. Tubuh perempuan bukan benda mati yang bisa diukur ukurannya lalu ditentukan takdirnya.
Yang lebih penting lagi, WHO secara eksplisit menyatakan bahwa:
“Routine clinical pelvimetry is not recommended.”
Dengan kata lain: pengukuran panggul secara manual maupun rontgen saat hamil tidak disarankan, karena tidak terbukti bermanfaat dan justru bisa menimbulkan overdiagnosis dan intervensi yang tidak perlu.
Praktik ini bukan hanya keliru dari sisi ilmiah, tapi juga melukai secara emosional. Ia mencuri kesempatan ibu untuk mempercayai tubuhnya, memengaruhi keputusan persalinan, bahkan bisa meninggalkan trauma yang terbawa hingga masa depan.
Saya menulis ini sebagai ajakan—bagi sesama tenaga kesehatan, calon ibu, dan keluarga—untuk meninjau ulang praktik-praktik yang sudah terbiasa namun belum tentu benar. Untuk kembali pada prinsip: bahwa kehamilan dan persalinan adalah proses alami yang layak dihormati, bukan ditakuti.
Menurut WHO Recommendations: Intrapartum Care for a Positive Childbirth Experience (2018):
“Routine clinical pelvimetry is not recommended.”
(Pelvimetri manual atau radiologi tidak disarankan dilakukan secara rutin.)
Kenapa?
-
Tidak akurat: Ukuran panggul tidak statis; ia berubah saat persalinan melalui hormon dan gerakan.
-
Berisiko menyesatkan: Diagnosis “panggul sempit” pra-persalinan sering menyebabkan intervensi medis yang tidak perlu, seperti SC elektif.
-
Bisa menciptakan trauma dan rasa tidak percaya pada tubuh sendiri.
Kenapa Diagnosis Panggul Sempit Itu Meragukan?
-
Panggul itu lentur, bukan KAKU kayak beton.
Panggul adalah struktur dinamis, bukan statis seperti tulang mati. Ia bisa meluas secara alami saat persalinan, dengan bantuan hormon relaksin. -
Posisi ibu dan janin saat lahiran sangat menentukan.
Panggul “sempit” bisa “diperluas” dengan posisi tubuh tertentu, seperti merangkak, squat, atau side-lying. Posisi janin dan ibu saat persalinan sangat berpengaruh — malposisi bisa membuat proses terlihat macet, bukan karena panggul sempit. -
Janin ikut menyesuaikan diri.
Tulang kepala janin dapat moulding (menyesuaikan bentuk), dan janin bisa melakukan gerakan memutar agar bisa lahir. -
Ukuran bayi tidak bisa diukur pasti.
USG pun punya margin of error hingga ±500 gram. Bayi 3,8 kg belum tentu tidak bisa lahir normal. bahkan saya pernah punya klien anak pertama yang berhasil melahirkan NORMAL PERVAGINAM TANPA ROBEKAN dengan BB Janin 4900 gram lho. - Yang disebut “panggul sempit” seringkali hasil asumsi subjektif, bukan fakta anatomi.
Apa Maksudnya “Asumsi Subjektif”?
Sebutan “panggul sempit” seringkali bukan berdasarkan pemeriksaan objektif yang valid, melainkan berasal dari kesan atau pengalaman subjektif provider, misalnya:
-
Meraba bentuk panggul lewat pemeriksaan dalam (VE) saat ibu belum dalam proses melahirkan
-
Membandingkan ukuran bayi dari hasil USG dengan perkiraan tangan atau pengukuran manual
-
Mengacu pada “feeling” atau pengalaman pribadi provider di masa lalu
-
Memberikan vonis tanpa bukti penunjang (misal, tanpa tanda kegagalan progres persalinan yang nyata)
Padahal, panggul perempuan bervariasi bentuk dan kelenturannya, serta dapat berubah saat persalinan karena pengaruh hormon relaksin, posisi tubuh, dan gerakan janin.
⚠️ Mengapa Ini Berbahaya?
Diagnosis yang hanya berdasarkan asumsi subjektif dapat menyebabkan:
-
Ketakutan dan trauma psikologis pada ibu
-
SC elektif tanpa indikasi medis
-
Hilangnya kepercayaan diri ibu pada kemampuan tubuhnya
Lebih dari itu, keputusan yang seharusnya diambil bersama secara sadar dan ilmiah, justru diambil berdasarkan interpretasi yang bias dan tidak terukur.
WHO (2018) menegaskan bahwa pelvimetri manual dan radiologis tidak direkomendasikan dilakukan secara rutin, karena tidak akurat dalam memprediksi keberhasilan persalinan normal.
Studi juga menunjukkan bahwa tidak ada korelasi langsung antara hasil VE saat hamil dengan hasil akhir proses melahirkan, karena persalinan adalah proses dinamis, bukan statis.
Jadi, jika seorang ibu diberi label “panggul sempit” hanya karena hasil VE saat hamil—maka yang dipakai adalah asumsi, bukan anatomi.
Dan keputusan penting seperti melahirkan secara alami atau tidak, tidak boleh didasarkan pada asumsi.
Dampak Diagnosis Palsu: Trauma yang Tak Terlihat
Ketika seorang ibu diberi label “panggul sempit” tanpa dasar yang benar atau tanpa kesempatan mencoba melahirkan secara alami, luka yang ditinggalkan tidak selalu tampak secara fisik, tapi membekas dalam perasaan, pikiran, dan kenangan jangka panjang.
Mari kita bedah dampaknya satu per satu:
1. Ibu Merasa Tubuhnya “Tidak Cukup Baik” untuk Melahirkan
Diagnosis seperti ini sering kali merusak identitas dan kepercayaan diri perempuan.
Ia mulai mempertanyakan tubuhnya sendiri:
“Apakah tubuhku cacat?”
“Apakah aku gagal sebagai ibu?”
“Kenapa aku nggak bisa seperti ibu-ibu lain yang bisa lahiran normal?”