PENGAPURAN PLASENTA, BAHAYAKAH?
Pengapuran plasenta atau placental calcification adalah kondisi di mana terdapat penumpukan kalsium di jaringan plasenta. Ini bukan penyakit atau kelainan, melainkan bagian dari proses penuaan alami plasenta yang terjadi mendekati akhir masa kehamilan.
Secara sederhana:
-
Plasenta adalah organ sementara yang berfungsi mengalirkan oksigen dan nutrisi dari ibu ke janin.
-
Seiring usia kehamilan bertambah (terutama setelah usia 36 minggu), plasenta juga mengalami penuaan sel, penurunan elastisitas, dan mulai muncul endapan mineral seperti kalsium.
-
Endapan ini terlihat seperti bercak putih pada hasil USG—itulah yang disebut “pengapuran”.
ibaratnya, Seperti rambut yang mulai beruban di usia 40-an: Rambut beruban tidak berarti kita sakit, tapi itu tanda tubuh kita sedang menua. Begitu juga plasenta—mulai “beruban” lewat bintik putih (kalsium) saat mendekati HPL.
atau mungkin bisa Anda ilustrasikan seperti daun yang menguning menjelang gugur:
Plasenta, seperti daun tua, menguning lalu rontok. Tapi selama batang (sistem tubuh) dan akar (janin) masih kuat, tidak perlu buru-buru memangkas pohonnya (baca: induksi/SC).
atau mungkin bisa saja seperti dinding rumah yang mulai berjamur di sudut-sudutnya:
Munculnya bercak bukan berarti rumahnya roboh. Tapi kita lihat dulu, apakah hanya kosmetik atau memang ada kerusakan struktural?

Plasenta: Organ Ajaib yang Menua Bersama Bayi
Plasenta adalah organ janin—dibentuk dari sperma dan sel telur yang sama dengan bayi. Seiring pertumbuhan janin, plasenta juga menua. Proses ini sangat mirip dengan perubahan alami pada tubuh manusia—seperti keriput pada kulit. Artinya, munculnya bercak kalsium di plasenta (pengapuran) adalah bagian dari pematangan, bukan “kematian dini”.
❗ Jadi, pengapuran yang muncul di usia kehamilan 39–42 minggu bukanlah tanda kegagalan plasenta, melainkan bukti bahwa tubuh sudah siap menyelesaikan tugas kehamilan.
Kenapa bisa terjadi pengapuran?
Ada beberaoa Faktor-faktor yang bisa mempercepat pengapuran:
-
Usia kehamilan mendekati HPL (paling umum & normal)
-
Tekanan darah tinggi dalam kehamilan
-
Perokok aktif/pasif
-
Diabetes atau gangguan pembuluh darah ibu
-
Infeksi atau kondisi medis lainnya (jarang)
Tetapi dalam 80–90% kasus, pengapuran tidak disertai gangguan apa pun dan tidak memerlukan tindakan khusus.
Saat pemeriksaan USG di trimester akhir, tak jarang seorang ibu hamil mendapat komentar dari dokter seperti, “Bu, ini plasentanya mulai mengapur ya, sudah Grade II atau bahkan Grade III.” Kalimat seperti ini kerap menimbulkan kecemasan, terutama jika tidak disertai penjelasan yang memadai. Banyak ibu langsung membayangkan bahwa plasentanya sudah “rusak”, bayinya dalam bahaya, dan harus segera dilahirkan—entah melalui induksi atau operasi sesar. Padahal, jika usia kehamilan sudah melewati 36 minggu, munculnya pengapuran plasenta merupakan hal yang sangat lazim dan fisiologis.
Ambil contoh Ibu A, yang sedang hamil 38 minggu. Ketika melakukan USG, dokter menyatakan bahwa plasentanya sudah berada di Grade III. Namun, hasil pemantauan menunjukkan bahwa bayi dalam kandungan tetap aktif, air ketuban dalam batas normal, dan detak jantung janin stabil. Dalam kondisi seperti ini, tidak ada alasan medis yang mengharuskan persalinan segera.
Berbeda dengan Ibu B yang baru berusia kehamilan 34 minggu. Ia juga mendapat informasi bahwa plasentanya sudah mulai mengapur, dan tanpa penjelasan lebih lanjut, langsung dijadwalkan untuk induksi. Padahal, dalam situasi seperti ini, penting dilakukan evaluasi menyeluruh terlebih dahulu: apakah ada tanda pertumbuhan janin terhambat (IUGR)? Bagaimana volume air ketuban? Apakah janin tetap aktif dan sehat? Jika semua parameter ini masih normal, kemungkinan besar pengapuran tersebut hanyalah bagian dari variasi normal (early calcification) yang tidak memerlukan tindakan khusus selain pemantauan berkala.
Tahukah Anda, bahwa pengapuran plasenta itu sebenarnya bisa diklasifikasikan tingkatannya?

Dalam dunia medis, dikenal istilah Grannum classification—yaitu cara untuk mengelompokkan pengapuran plasenta menjadi empat grade berdasarkan tingkat keparahannya, yang biasanya terlihat saat USG.
Grade 0 adalah kondisi plasenta yang masih sangat muda. Bentuknya masih homogen, rata, dan belum ada tanda-tanda kalsifikasi. Ini biasanya terlihat pada kehamilan di bawah 28 minggu. Ibaratnya, ini plasenta yang masih “mulus”.
Grade I, mulai muncul titik-titik kalsifikasi kecil di bagian pinggir plasenta. Biasanya terjadi antara usia kehamilan 28 hingga 32 minggu. Ini seperti tanda-tanda awal penuaan, tapi belum berarti ada masalah.
Grade II, kalsifikasinya makin tampak. Bukan cuma di pinggir, tapi juga mulai muncul bercak putih kecil di bagian dalam. Ini sering terlihat pada usia kehamilan 32 sampai 36 minggu—dan masih dalam batas wajar.
Lalu yang terakhir, Grade III. Di sini, kalsifikasi sudah lebih luas dan mulai terlihat pemisahan antara lobus-lobus plasenta. Ini yang kadang membuat ibu hamil panik. Padahal, jika muncul di atas usia kehamilan 36 minggu dan kehamilan berjalan normal, Grade III bukanlah tanda bahaya.
Jadi penting ya, untuk memahami bahwa tingkatan pengapuran ini perlu dilihat bersama kondisi klinis ibu dan janin. Bukan hanya berdasarkan angka Grade-nya saja.
Ingat Juga: Tidak Semua “Bercak” Adalah Kalsium
Kadang setelah persalinan, plasenta terlihat memiliki bintik-bintik putih dan dianggap sebagai “kalsifikasi”. Tapi sebenarnya itu bisa saja adalah infark plasenta—jaringan mati yang diganti oleh fibrin (jaringan parut).
Infark kecil sangat umum ditemukan di plasenta sehat yang cukup bulan dan tidak berkaitan dengan masalah janin.
Infark baru menjadi masalah jika lebih dari 10% area plasenta rusak dan terjadi pada trimester awal atau pertengahan. Faktor-faktor penyebabnya termasuk:
-
Hipertensi
-
Gizi buruk
-
Kadar Hb terlalu tinggi (>12)
-
Merokok
Apakah Pengapuran Plasenta Itu Berbahaya?
Pertanyaan ini sering muncul, dan sayangnya—sering juga dijawab dengan terburu-buru. Banyak ibu hamil yang langsung dilabeli “bahaya” begitu mendengar kata “pengapuran”, padahal jawabannya tidak sesederhana itu.
Pengapuran tidak selalu berbahaya. Untuk menilainya, kita tidak boleh hanya melihat hasil USG semata, melainkan harus mempertimbangkan kondisi ibu dan janin secara keseluruhan.
✅ Pengapuran Tidak Bermasalah Jika:
-
Ibu dalam keadaan sehat, tidak ada tekanan darah tinggi atau diabetes yang tidak terkontrol.
-
Janin tumbuh sesuai usia kehamilan—berat badannya cukup, tidak ada tanda-tanda IUGR (Intrauterine Growth Restriction).
-
Volume air ketuban normal (tidak terlalu sedikit atau terlalu banyak).
-
Detak jantung janin (DJJ) stabil dan dalam rentang normal.
-
Janin aktif dan pergerakannya tetap terasa setiap hari.
-
Tidak ada tanda-tanda gawat janin seperti penurunan gerak atau pola napas janin yang terganggu.
Dalam kondisi seperti ini, pengapuran hanya merupakan penanda penuaan fisiologis plasenta—bukan ancaman. Tidak ada urgensi untuk induksi ataupun tindakan sesar hanya karena plasenta “sudah grade III”.
Namun, Pengapuran Bisa Menjadi Tanda Risiko Jika Disertai Dengan:
-
Pertumbuhan janin terhambat (IUGR)
Bayi tidak bertambah berat badan dengan optimal karena fungsi plasenta terganggu. -
Oligohidramnion
Volume air ketuban sangat sedikit, yang bisa menandakan berkurangnya suplai darah dan cairan dari plasenta. -
Detak jantung janin tidak stabil, lemah, atau ada deselerasi pada rekaman CTG.
-
Penurunan gerakan janin, yang menunjukkan bahwa bayi mungkin dalam kondisi stres atau kekurangan oksigen.
Dalam situasi ini, pengapuran bisa menjadi bagian dari masalah yang lebih besar. Tapi perlu digarisbawahi: pengapuran itu bukan penyebab tunggal. Yang penting adalah evaluasi menyeluruh terhadap semua aspek kesejahteraan janin.
Prinsip Bijak: Jangan Takut Karena Satu Kata
Sering kali, ibu hamil merasa ditekan karena kata “pengapuran”. Padahal, keputusan medis tidak boleh hanya berdasarkan satu temuan USG. Pengambilan keputusan harus berbasis:
-
Data klinis yang menyeluruh
-
Pantauan pertumbuhan janin
-
Pemeriksaan DJJ dan gerakan janin
-
Dukungan informasi yang jujur dan empatik dari tenaga medis
“Tubuh saya diciptakan untuk membawa kehidupan. Plasenta saya menua, itu artinya tubuh saya bersiap. Saya berhak tahu, berhak bertanya, dan berhak memilih langkah terbaik dengan informasi yang lengkap.”
APA KATA PENELITIAN DAN PEDOMAN INTERNASIONAL?
Penelitian dan pedoman internasional sepakat bahwa pengapuran plasenta bukanlah indikator tunggal untuk menentukan perlunya induksi atau operasi sesar. Berikut adalah beberapa temuan penting dari literatur ilmiah:
1. Boehm et al. (2016):
Dalam studi yang melibatkan lebih dari 2.000 ibu hamil, Boehm dan tim menemukan bahwa:
“Plasenta Grade III pada usia kehamilan di atas 37 minggu tidak berkorelasi secara signifikan dengan peningkatan risiko komplikasi janin, persalinan prematur, atau kebutuhan intervensi segera.”
Artinya, pengapuran lanjut pada trimester akhir adalah bagian dari proses penuaan plasenta yang normal dan tidak harus menjadi dasar intervensi medis, selama janin tetap sehat.
2. Jauniaux et al. (2000):
Penelitian ini menegaskan bahwa:
“Pengapuran plasenta adalah temuan umum yang sering muncul pada akhir kehamilan, dan tidak dapat dijadikan sebagai indikator tunggal untuk menentukan perlunya induksi atau kelahiran prematur.”
Sebaliknya, penilaian kesejahteraan janin secara menyeluruh jauh lebih penting daripada sekadar melihat derajat kalsifikasi plasenta.
3. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG):
Dalam pedoman praktiknya, ACOG menekankan:
“Keputusan untuk melakukan intervensi persalinan tidak boleh hanya didasarkan pada temuan USG seperti pengapuran plasenta, melainkan harus mempertimbangkan faktor klinis lainnya seperti:
-
Detak jantung janin (CTG)
-
Gerakan janin
-
Indeks cairan ketuban
-
Pertumbuhan janin secara keseluruhan”
Dengan kata lain, pengapuran itu hanya salah satu bagian dari gambaran besar, bukan alarm bahaya tunggal.
4. Cali et al. (2011) – Placental Calcification and Adverse Perinatal Outcomes
Penelitian ini menyatakan bahwa:
“Tidak ada korelasi signifikan antara pengapuran plasenta dan kejadian IUFD (kematian janin dalam kandungan) atau komplikasi neonatal, selama pengapuran terjadi mendekati usia kehamilan cukup bulan.”
Namun, penelitian ini juga menyarankan agar tetap dilakukan pemantauan janin jika pengapuran muncul terlalu dini (<32 minggu) atau disertai tanda klinis lain.
5. WHO & NICE Guidelines (UK):
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maupun National Institute for Health and Care Excellence (NICE) di Inggris tidak memasukkan derajat pengapuran plasenta sebagai indikator utama untuk menentukan intervensi persalinan. Fokusnya tetap pada:
-
Pertumbuhan janin yang adekuat
-
Respons janin terhadap kontraksi
-
Kondisi umum ibu
Jadi…
-
Pengapuran plasenta adalah bagian dari proses alami penuaan, terutama setelah usia 36 minggu.
-
Tidak ada cukup bukti ilmiah yang mendukung bahwa pengapuran Grade III secara mandiri menjadi dasar induksi atau sesar.
-
Evaluasi menyeluruh yang mencakup kesejahteraan janin jauh lebih penting daripada sekadar melihat hasil USG plasenta.
sekali lagi, Mendengar kata “pengapuran plasenta” sering kali membuat ibu hamil merasa cemas dan takut. Tapi penting untuk diingat: bukan semua pengapuran itu berbahaya, dan tidak semua perlu dilahirkan segera. Tubuhmu punya ritmenya sendiri. Maka sebelum mengambil keputusan besar seperti induksi atau SC, yuk lakukan langkah-langkah ini dengan tenang dan sadar:
✅ Yang Bisa Ibu Lakukan:
1. Tanyakan Detail pada Tenaga Medis
“Apakah pengapuran ini disertai kondisi lain yang bermasalah?”
“Bagaimana kondisi bayi saya secara keseluruhan?”
Jangan ragu bertanya. Ibu berhak tahu dasar dari setiap rekomendasi tindakan.
2. Pantau Gerakan Janin Setiap Hari
Gerakan janin adalah indikator kesejahteraan paling alami. Bila janin tetap aktif seperti biasa (minimal 10 gerakan dalam 2 jam saat bayi biasanya aktif), artinya tidak ada tanda gawat janin.
3. Lakukan USG Doppler (jika tersedia)
USG Doppler membantu melihat aliran darah dari ibu ke plasenta dan ke janin. Ini adalah cara yang lebih akurat untuk menilai apakah plasenta masih bekerja dengan baik meski ada pengapuran.
4. Cek DJJ (Detak Jantung Janin) atau CTG (Cardiotocography)
CTG akan merekam pola denyut jantung janin dan kontraksi rahim. Jika hasilnya normal dan respons janin baik, artinya janin tidak dalam kondisi stres.
5. Konsultasi Kedua (Second Opinion)
Jika ibu merasa didorong atau ditekan untuk segera induksi atau SC tanpa indikasi yang jelas, cari opini kedua dari bidan atau dokter yang lebih suportif dan woman-centered. Kadang, keputusan terbaik datang dari sudut pandang yang lebih menghormati fisiologi ibu.
6. Buat Birth Plan yang Memuat Keinginan dan Batasan Ibu
Tuliskan:
“Saya ingin menghindari intervensi dini seperti induksi atau SC hanya karena temuan pengapuran plasenta, kecuali jika disertai indikasi medis yang objektif dan jelas.”
7. Latih Diri untuk Tenang dan Percaya Diri
Gunakan afirmasi positif setiap hari, misalnya:
“Plasenta saya menua karena tubuh saya siap. Saya percaya pada desain Tuhan dan naluri saya.”
Ikuti kelas yang memberdayakan seperti hypnobirthing, prenatal yoga, atau gentle birth class.
8. Libatkan Suami atau Pendamping
Ajak pasangan berdiskusi dan belajar bersama, agar ibu tidak menanggung tekanan sendiri. Pendamping yang sadar dan paham kondisi akan lebih siap mendampingi proses pengambilan keputusan yang tenang dan rasional.
9. Siapkan Dukungan Emosional dan Spiritual
Percayakan bahwa tubuh perempuan diciptakan dengan kecerdasan alami. Bila ada rasa takut, bicarakan. Jika perlu, konsultasi juga ke konselor atau tenaga profesional yang mendukung kelahiran sadar.
Pengapuran itu bukan alarm bahaya otomatis. Itu adalah tanda bahwa tubuhmu bersiap menyelesaikan tugasnya dengan indah. Dengarkan tubuhmu, pahami informasinya, dan putuskan dengan hati yang damai.
Ketika ibu menyusun birth plan, penting untuk tidak hanya menuliskan keinginan tentang posisi lahir atau pendamping persalinan, tetapi juga menyertakan hal-hal yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan seperti pengapuran plasenta.
Sering kali, pengapuran menjadi alasan terburu-buru untuk melakukan induksi atau bahkan SC, padahal tidak disertai tanda-tanda gawat janin. Maka, untuk menjaga agar proses persalinan tetap menghormati fisiologi tubuh ibu, ibu bisa mencantumkan pernyataan ini dalam birth plan:
“Saya memahami bahwa pengapuran plasenta adalah bagian normal dari proses kehamilan akhir. Saya ingin dilibatkan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan terkait persalinan. Selama tidak ditemukan tanda-tanda gawat janin atau indikasi medis yang jelas dan obyektif, saya ingin diberikan waktu dan kesempatan untuk melahirkan secara alami.”
Pernyataan ini bukan sekadar kalimat formal—tetapi bentuk kesadaran, pengetahuan, dan cinta ibu terhadap proses persalinannya sendiri. Ini juga menjadi pengingat bagi tenaga medis bahwa ibu paham apa yang sedang terjadi, dan berhak mendapatkan penjelasan serta pilihan, bukan tekanan.
Rekomendasi Praktis Berdasar Literatur Terkini
-
Pantau secara intensif bila grade III muncul sebelum 36–37 minggu, karena berpotensi menjadi indikator insufisiensi plasenta.
-
Tetapi grade III setelah usia kehamilan cukup bulan (>37 minggu) dalam kehamilan normal tidak otomatis memerlukan induksi.
-
Untuk edukasi klien atau pembuatan konten profesional (misalnya cetak, audio, video edukatif), saya bisa bantu sediakan kutipan lengkap sesuai standar APA 7th Edition—mau saya lanjutkan?
jadi kesimpulan singkatnya, Pengapuran plasenta adalah bagian normal dari proses penuaan plasenta menjelang akhir kehamilan, bukan tanda bahaya otomatis. Selama janin tumbuh sehat, air ketuban cukup, dan tidak ada tanda gawat janin, pengapuran tidak perlu menjadi alasan untuk induksi atau operasi sesar.
Evaluasi kondisi ibu dan janin secara menyeluruh jauh lebih penting daripada sekadar melihat hasil USG. Ibu berhak bertanya, memahami, dan dilibatkan dalam setiap keputusan persalinan. Tetap tenang, percaya pada tubuh sendiri, dan buat keputusan berdasarkan informasi yang utuh.
DAFTAR PUSTAKA
-
Diagnostics. (2025). The Association of Placental Grading with Perinatal Outcomes: Meta-analysis on Premature Placental Calcification. Diagnostics, 15(10), 1264.
Studi ini menemukan bahwa grade III plasenta sebelum usia kehamilan ~37 minggu terkait peningkatan risiko SGA, preeklamsia, pertumbuhan janin terhambat, prematuritas, dan perawatan NICUjournals.lww.com+11mdpi.com+11pmc.ncbi.nlm.nih.gov+11. -
MDPI Biomolecules. (2023). Placental Tissue Calcification and Its Molecular Pathways in Female …
Menyoroti jalur molekuler (contoh: JNK, RUNX2, osteocalcin) pada plasenta dengan kalsifikasi dan asosiasinya dengan preeklamsia onset lambat pubmed.ncbi.nlm.nih.gov+2mdpi.com+2pmc.ncbi.nlm.nih.gov+2. -
ScienceDirect. (2012). The Role of Preterm Placental Calcification in High‑Risk Pregnancy as a Predictor of Poor Uteroplacental Blood Flow…
Menegaskan pemetaan awal grade III plasenta sebelum 32 minggu sebagai penanda risiko uteroplacentral insufisiensi ijrcog.org+10sciencedirect.com+10msjonline.org+10. -
Frontiers in Medicine. (2022). The Role of Inorganics in Preeclampsia Assessed by Multiscale Approaches
Menyebut bahwa kalsifikasi grade III plasenta berpotensi menjadi indikator awal preeklamsia frontiersin.org. -
International Journal of Reproduction, Medicine (MSJ‑Online). (2018). Determinants of Calcified Placenta and Its Association with Fetal …
Menunjukkan grade II atau III berhubungan dengan hipertensi, merokok, anemia, serta peningkatan risiko komplikasi perinatal pmc.ncbi.nlm.nih.gov+12msjonline.org+12ijrcog.org+12. -
IJRCOG. (2017). Analysis of Placental Pathology and Fetal Outcome
Kalkifikasi plasenta pada kehamilan cukup bulan tidak berkorelasi dengan hasil neonatal abnormalijrcog.org+1arxiv.org+1. -
ResearchGate Review. (2020). Placental Calcification: Long-standing Questions and New Biomedical Research Directions
Review ini menyoroti hubungan antara kalsifikasi plasenta dan hasil perinatal, mekanisme patologi, dan masa depan diagnostik berbasis AI pmc.ncbi.nlm.nih.gov+2researchgate.net+2mdpi.com+2.