Pengeluaran hasil konsepsi pada missed abortion merupakan satu tindakan yang tidak lepas dari bahaya, karena plasenta dapat melekat erat pada dinding uterus dan kadang-kadang terdapat hipofibrinogenemia. Apabila diputuskan untuk mengeluarkan hasil konsepsi itu, pada uterus yang besarnya tidak melebihi 12 minggu, sebaiknya dilakukan pembukaan serviks uteri dengan memasukkan laminaria selama kira-kira 12 jam dalam kanalis servikalis, yang kemudian dapat diperbesar dengan busi Hegar sampai cunam ovum atau jari dapat masuk ke dalam kavum uteri. Dengan demikian, hasil konsepsi dapat dikeluarkan lebih mudah serta aman, dan sisa-sisanya kemudian dibersihkan dengan kuret tajam.
Jika besar uterus melebihi kehamilan 12 minggu, maka pengeluaran hasil konsepsi diusahakan dengan infus intravena oksitosin dosis cukup tinggi. Dosis oksitosin dapat dimulai dengan 20 tetes permenit dari cairan Ringer Laktat dengan 10 satuan oksitosin ; dosis ini dapat dinaikkan sampai ada kontraksi. Bilamana diperlukan, dapat diberikan sampai 50 satuan oksitosin, asal pemberian infus untuk 1 kali tidak lebih dari 8 jam karena bahaya keracunan air.
Jika tidak berhasil, infus dapat diulangi setelah penderita istirahat 1 hari. Biasanya pada percobaan ke 2 atau ke 3 akan dicapai hasil.
Dengan prostaglandin E baik intra vaginal atau infus kebehasilan cukup baik (90%) dalam satu hari. Apabila fundus uteri tingginya sampai 2 jari di bawah pusat, maka pengeluaran hasil konsepsi dapat dikerjakan dengan penyuntikan larutan garam 20% ke dalam kavum uteri melalui dinding perut. Apabila terdapat hipofibrinogenemia, perlu diadakan persediaan darah segar atau fibrinogen.
ABORTUSÂ HABITUALIS
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu.
Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis pada semua kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya warton dan Fraser dan Llewellyn-Jones memberi prognosis yang lebih baik yaitu 25,9% dan 39%.
Etiologi abortus habitualis pada dasarnya sama dengan sebab-musabab abortus spontan seperti yang telah dibicarakan. Selain itu telah ditemukan sebab imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross reactive (TLX). Pasien dengan reaksi lemah atau tidak ada, akan mengalami abortus. Sistem TLX ini merupakan cara untuk melindungi kehamilan. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi leukosit atau heparin.
Dalam usaha untuk mencari sebab itu perlu dilakukan penyelidikan yang teliti : anamnesis yang lengkap, pemeriksaan golongan darah suami dan istri ; ada tidaknya inkompabilitas darah ; pemeriksaan VDRL, pemeriksaan tes toleransi glukosa, pemeriksaan kromosom dan pemeriksaan mikoplasma.
Abortus habitualis yang terjadi dalam triwulan kedua dapat disebabkan oleh serviks uteri yang tidak sanggup terus menutup, melainkan perlahan-lahan membuka (inkompeten). Kelainan ini sering kali akibat trauma pada serviks, misalnya karena usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas dan sebagainya.
Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia menunjukkan gambaran klinik yang khas, yaitu dalam kehamilan triwulan kedua terjadi pembukaan serviks tanpa disertai mules yang selanjutnya diikuti oleh pengeluaran janin yang biasanya masih hidup dan normal.
Apabila penderita datang dalam triwulan pertama, maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan vaginal tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan dengan histerosalpingografi yaitu ostium uteri internum melebar lebih dari 8 mm.
Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh karena itu penanganannya terdiri atas : memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga.
Terapi dengan hormon progesteron, vitamin, hormon steroid dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis karena penderita mendapat kesan bahwa ia diobati.
Calvin melaporkan penyelidikannya tentang 141 wanita hamil yang sebelumnya mengalami 1 sampai 4 abortus berturut-turut : hanya 22,7% mengalami abortus dan pada 76,6% kehamilan berlangsung terus sampai cukup bulan tanpa pengobatan apapun.
Apabila pada pemeriksaan histerosalpingografi yang dilakukan di luar kehamilan menunjukkan kelainan seperti mioma submukosum atau uterus bikornis, maka kelainan tersebut dapat diperbaiki dengan pengeluaran mioma atau penyatuan kornu uterus dengan operasi menurut Strassman.
Pada serviks inkompeten, apabila penderita telah hamil maka operasi untuk mengecilkan ostium uteri internum sebaiknya dilakukan pada kehamilan 12 minggu atau lebih sedikit. Dasar operasi ialah memperkuat jaringan serviks yang lemah dengan melingkari daerah ostium uteri internum dengan benang sutera atau dakron yang tebal. Bila terjadi gejala atau tanda abortus insipien, maka benang harus segera diputuskan, agar pengeluaran janin tidak terhalang.
Dalam hal operasi berhasil, maka kehamilan dapat dilanjutkan sampai hampir cukup bulan, dan benang sutera dipotong pada kehamilan 38 minggu. Operasi tersebut dapat dilakukan menurut cara Shirodkar atau cara Mac Donald. Cara pertama juga dapat dilakukan di luar kehamilan.
ABORTUS INFEKSIOSUS, ABORTUS SEPTIK
Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada genitalia, sedang abortus septik ialah abortus infeksiosus berat disertai penyebaran kuman atau toksin ke dalam peredaran darah atau peritoneum.
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhaikan asepsis dan antisepsis. Umumnya abortus infeksiosus terbatas pada desidua. Pada abortus septik, virulensi bakteri tinggi, dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok.
Diagnosis abortus infeksiosus ditentukan dengan adanya abortus yang disertai gejala dan tanda infeksi alat genital, seperti panas, takikardi, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang membesar lembek, serta rasa nyeri tekan dan leukositosis.
Apabila terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat, kadang-kadang menggigil, demam tinggi dan tekanan darah menurun. Untuk mengetahui kuman penyebab perlu dilakukan pembiakan darah dan getah pada serviks uteri.
Terhadap penderita dengan abortus infeksiosus yang telah mengalami banyak perdarahan hendaknya diberikan infus dan transfusi darah. Pasien segera diberi antibiotika :
a. Gentamycin 3 x 80 mg dan Penicillin 4 x 1,2 juta unit.
b. Chloromycetin 4 x 500 mg
c. Cephalosporin 3 x 1 gram
d. Sulbenacillin 3 x 1-2 gram.
Kuretase dilakukan dalam 6 jam dan penanganan demikian dapat dipertanggungjawabkan karena pengeluaran sisa-sisa abortus mencegah perdarahan dan menghilangkan jaringan yang nekrotis, yang bertindak sebagai medium pembiakan bagi jasad renik.
Pemberian antibiotik diteruskan sampai febris tidak ada lagi selama 2 hari atau ditukar bila tak ada perubahan dalam 2 hari.
Pada abortus septik diperlukan pemberian antibiotik dalam dosis yang lebih tinggi. Sambil menunggu hasil pembiakan supaya dapat diberikan antibiotika yang tepat, dapat diberikan Sulbenicillin 3 x 2 gram. Antibiotika ini terbukti masih ampuh dan berspektrum luas untuk aerob dan anaerob. Pada kasus dengan tetanus, maka selain pengobatan di atas perlu diberikan ATS, irigasi dengan peroksida (H2O2) dan histerektomi total secepatnya
KOMPLIKASIÂ ABORTUS
Komplikasi yang berbahaya pada abortus terdiri dari :
1. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
2. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamat-amati dengan teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparotomi, dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas ; mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus. Dengan adanya dengan atau kepastian terjadinya perforasi, laparotomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya cedera, untuk selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi.
3. Infeksi
4. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat (syok endoseptik).
Penanganan Lanjutan
Setelah abortus pasien perlu diperiksa untuk mencari sebab abortus. Selain itu perlu diperhatikan involusi uterus dan kadar HCG 1-2 bulan kemudian. Ia diharapkan tidak hamil dalam waktu 3 bulan sehingga perlu memakai kontrasepsi seperti kondom atau pil.
DAFTARÂ PUSTAKA
1. Arias F. Early Pregnancy Loss. In Practical Guide to High-Risk Pregnancy and Delivery, 2nd edition. Mosby Year Book, St. Louis, 1991 ; 55-68
2. Cunningham FG, Gant NF, Loveno KJ, et al. Abortion . In Williams Obstetrics. The Mc Graw – Hill Companies, New York 2004 ; 855-877
3. Wibowo B, Gulardi H. Kelainan Dalam Lamanya Kehamilan. Dalam Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono, Jakarta 1991 ;Â 302-312
4. Dyne PL. Vaginal Bleeding and Other Common Complaints in Early Pregnancy. In Obstetric and Gynecologic Emergencies. Diagnosis and Management. The Mc Graw – Hill, New York 2004 ; 39-45
5. Pernoll ML, Garmet SH. Early Pregnancy Risk. In Current Obstetric and Gynecologic. Diagnosis and Treatment, 8th edition. A Lange Medical Book. Appleton and Lange, USA 1997 ; 306-314
6. Dutta DC. Hemorrhage in Early Pregnancy. In Textbook of Obstetrics. New Central Book Agency Ltd, Calcutta, 4th edition, 1998 ; 170-184
7. Saifuddin AB. Abortus. Dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono – JNPKKR – POGI, Jakarta 2001 ; 145-152
8. Miller AW, Hanretty KP. Abortion. In Vaginal Bleeding in Pregnancy. In Obstetric Illustrated, 5th Edition. Churcill Livingstone 1997 ; 172-177
Â