Bidan Kita

Home Post Partum Parenting AWAS, ALERGI BISA MENGUBAH PERILAKU!

AWAS, ALERGI BISA MENGUBAH PERILAKU!

0

Menurut Dr Zakiudin Munasir, SpKA, dokter ahli alergi dari divisi alergi imunologi anak RSCM, alergi yang menimbulkan gangguan perilaku bisa terjadi, namun tidak secara langsung. „Kalau alerginya kronis, besar kemungkinan perilakunya juga akan pemarah, tidak sabaran, tidak bisa belajar, otaknya kurang oksigen, hidungnya mampet dan sebagainya,” tuturnya.

„Selain itu, pada saat alergi kadar histamin dalam tubuh penderita meningkat. Histamin ini akan diedarkan ke seluruh tubuh. Jika beredar ke sistem pernafasan, akan menyebabkan hidung mampet. Sedangkan kalau beredar ke otak, akan langsung mengubah kadar histamin dalam otak. Histamin berfungsi „membangunkan” otak. Kalau jumlahnya berlebihan, otak akan semakin terangsang. Jadi, perubahan perilaku merupakan pengaruh tidak langsung dari gejala penyakitnya itu,” lanjut lagi.

Sedangkan menurut Dr Widodo, sejumlah ahli berpendapat bahwa alergi makanan bisa mengganggu perilaku berdasarkan teori target organ (organ sasaran). Reaksi alergi merupakan manifestasi klinis yang karena proses alergi pada seseorang dapat mengganggu semua organ dan sistem tubuhnya. Karena setiap orang bersifat sangat individual, maka organ atau sistem tubuh sasaran yang diserang juga bisa berbeda-beda.

Jika yang diserang adalah sistem pernafasan, maka gejala alergi berupa batuk, pilek, sesak napas, atau mimisan. Sedangkan jika alergi menyerang sistem pencernaan maka gejala yang ditimbulkan berupa nyeri perut, kolik pada bayi, diare, sembelit, kembung, sariawan, atau mulut berbau. Begitu juga kulit bisa menjadi organ sasaran, umumnya timbul gejala gatal-gatal, eksem (dermatitis), biduran (urtikaria), bengkak di bibir, bisa juga muncul dalam produksi keringat yang berlebihan.

Otak juga bisa jadi sasaran alergi

Di dalam otak kita terdapat sistem susunan saraf pusat. Mengingat otak merupakan organ tubuh yang paling peka terhadap setiap bentuk rangsang, maka otak juga bisa menjadi organ sasaran. Apalagi otak merupakan organ tubuh yang paling peka terhadap rangsang. Selain itu, hampir 30% dari energi yang kita peroleh berasal dari makanan sehingga bisa saja zat-zat tertentu yang terkandung dalam makanan tersebut mempengaruhi fungsi otak. Jika fungsi otak sudah terganggu, struktur senyawa kimia di dalamnya menjadi tidak seimbang.

Alergi yang menyerang fungsi otak atau susunan saraf pusat ini bisa timbul dalam dua macam gejala. Pertama disebut neuroanatomis, gejalanya berupa sering sakit kepala, migren, dan gangguan tidur, seperti yang pernah dialami oleh Pramandita. Yang kedua neuroanatomis fisiologis, gejalanya berupa emosi yang tidak terkendali, agresif, gangguan koordinasi, gangguan konsentrasi, hiperaktif, bahkan autisme. Gejala seperti inilah yang dialami oleh Mutia dan Sally.

Gangguan perilaku yang dikaitkan dengan alergi

Reaksi simpang makanan, baik yang berupa alergi atau intoleransi bisa menyerang semua usia, namun sebagian besar diderita oleh anak-anak terutama yang berusia 5 – 7 tahun. Meskipun begitu gejala yang timbul tidaklah sama. Pada bayi dan anak-anak di antaranya berupa:

Gerakan motorik yang berlebihan. Misalnya suka memanjat, bergulung-gulung, menjatuhkan diri di kasur, selalu bergerak.

Gangguan tidur. Pada malam hari tidurnya gelisah; berbicara, berteriak atau tertawa dalam tidur, sering tiba-tiba terbangun saat tidur, dan mengorok.

Gangguan konsentrasi. Cepat bosan terhadap suatu aktivitas (kecuali nonton teve, membaca komik, atau main games), terburu-buru, tidak teliti, sering kehilangan barang, mudah lupa, sulit menyelesaikan pelajaran dengan baik. Anak-anak ini biasanya justru tampak cerdas dan pintar.

Gangguan emosi. Mudah marah, sering berteriak, mengamuk (tantrum), keras kepala, suka membantah atau sulit diatur, rewel, dan mudah menangis.

Gangguan perkembangan motorik. Pada bayi, ia akan mengalami kesulitan membalik badan, duduk, dan merangkak. Jika berjalan sering terburu-buru, berjalan jinjit, dan duduk dengan bentuk kaki W (terlipat ke belakang).

Terlambat bicara. Waspada jika pada usia 15 bulan bayi sama sekali belum mengeluarkan kata-kata sederhana.

Sedangkan pada orang dewasa, gejala spesifik yang sering timbul adalah gangguan emosi seperti sulit tidur, gelisah, selalu terburu-buru, mudah marah, sensitif berlebihan, depresi, atau justru gembira berlebihan tanpa alasan jelas.

Sementara itu, Richard Mackarness, MS, BS, ahli dan konsultan nutrisi dari Inggris berpendapat bahwa setidaknya ada 5 gejala kunci pada alergi dewasa yang sering tidak disadari. Gejalanya meliputi:

Berat badan yang berlebihan atau sebaliknya, berat badan kurang.

Lelah terus menerus dan tidak hilang meski sudah beristirahat.

Terjadi pembengakakan di sekitar mata, perut, tangan dan pergelangan kaki.

Denyut jantung yang cepat dan berdebar-debar, khususnya setelah makan.

Produksi keringat yang berlebihan meskipun tidak berolahraga atau beraktivitas.

Berhubungan dengan saluran cerna

Berdasarkan penelitian berjudul Dietary Intervention as a Therapy for Behaviour Problems in Children with Gastrointestinal Allergy yang pernah dilakukan oleh Dr Widodo, kasus alergi makanan yang menimbulkan gangguan perilaku sebagian besar diderita oleh orang yang mengalami gangguan saluran pencernaan. Penyakit saluran cerna yang sering ditemui adalah Celiac (kelainan yang ditandai dengan intoleransi terhadap gluten) dengan leaky gut syndrome (kebocoran usus sehingga zat makanan tidak diserap dengan sempurna) sebagaimana sering terjadi pada anak autis.

Berbagai penelitian klinis hingga kini belum bisa mengungkap secara pasti apa penyebab autis, sehingga disebutkan bahwa autis merupakan penyakit yang disebabkan oleh multifaktor. Beberapa ahli mengatakan autis merupakan gangguan biokimia, atau gangguan jiwa. Namun ahli yang lain juga berpendapat bahwa autis disebabkan oleh kombinasi makanan yang salah, atau lingkungan yang terkontaminasi zat beracun. Keadaan inilah yang memicu gangguan pada usus besarnya, sehingga memicu gangguan perilaku. Keadaan autis semakin diperparah dengan adanya alergi makanan.

Ada beberapa teori yang bisa menjelaskan bagaimana gangguan perilaku bisa berasal dari sistem pencernaan yang terganggu, antara lain:

Teori gangguan perut dan otak (gut brain axis). Karena ketidaksempurnaan saluran cerna (usus halus, atau organ lain) dalam menyerap sari makanan, maka zat yang dialirkan ke otak pun tidak sesuai dengan kebutuhan. Kekurangan nutrisi tertentu pada otak dapat menimbulkan gangguan perilaku.

Teori metabolisme sulfat. Pada orang normal, bahan makanan yang mengandung sulfur seharusnya diubah menjadi sulfat ketika masuk ke dalam tubuh, sisanya dibuang melalui urine. Namun pada penderita alergi, sulfur tersebut justru diubah menjadi sulfit. Sulfit inilah yang mengganggu organ sasaran, termasuk fungsi otak.

Peran neurotransmitter

Sementara itu, Andang mengatakan bahwa setiap bentuk reaksi tubuh terhadap zat makanan yang dikonsumsi, termasuk reaksi gangguan perilaku bisa disebut alergi. Hubungan antara alergi makanan dan gangguan perilaku berkaitan dengan neurotransmitter.