Bidan Kita

Home Post Partum Parenting AWAS, ALERGI BISA MENGUBAH PERILAKU!

AWAS, ALERGI BISA MENGUBAH PERILAKU!

0

Di dalam otak kita, terdapat sekitar 10 miliar sel saraf otak (neuron) Setiap sel saraf ini berhubungan dengan 10 ribu sel saraf otak lainnya melalui jutaan kabel saraf. Untuk memperlancar komunikasi antar sel di dalam tubuh, diperlukan jasa zat kimiawi penghantar saraf yang menghubungkan sel-sel saraf tubuh dengan sel otak. Penghantar saraf ini disebut neurotransmitter.

Dari sekitar 60-an neurotransmitter, baru beberapa yang teridentifikasi mempengaruhi emosi dan perilaku. Di antaranya adalah serotonin, asetikolin, dopamin, dan norepinefrin (sering disebut noradrenalin).

Serotonin merupakan zat penghantar saraf yang berpengaruh terhadap nafsu makan, perasaan nyaman, optimis, kemampuan konsentrasi, dan hasrat seksual. Orang yang kekurangan serotonin biasanya mudah sedih, sering merasa lemah dan malas. Sebaliknya, jika jumlah serotonin ini terlalu berlebihan dapat memunculkan perilaku beringas dan hiperaktif.

Asetikolin berperan dalam kemampuan kognitif dan otak sehingga hormon ini sangat dibutuhkan dalam proses belajar.

Sedangkan domapin dan norepinefrin berhubungan dengan adrenalin, sehingga berpengaruh terhadap perasaan tertantang, dorongan untuk beritndak, dan ketajaman pikiran. Jika konsentrasi kedua zat penghAntar saraf tersebut merosot, akan mengakibatkan munculnya perasaan depresi, mudah lelah, dan sulit konsentrasi. Sebaliknya, konsentrasi neropinefrin dan dopamin yang terlalu tinggi akan memancing kecemasan dan membuat perasaan tidak menentu.

Zat dalam makanan memicu alergi

Orang yang dicurrigai alergi, kerap dianjurkan untuk menghindari makanan-makanan seperti telur, susu sapi, keju, ikan laut, dan makanan-makanan yang diproses. Mengapa demikian? Menurut Andang, sebenarnya alergi tidak dipicu oleh makanan, namun dipicu oleh zat tertentu yang terkandung di dalamnya. Keju sering memicu alergi karena memang ada orang tertentu yang sensitif terhadap zat tertentu yang terkandung di dalamnya, di antaranya tiramin.

„Susu sapi umumnya mengandung laktosa yang kadarnya cukup tinggi. Tidak semua orang, terutama bayi dan anak-anak bisa mencerna laktosa dengan baik sehingga mengalami alergi atau menimbulkan reaksi tertentu pada tubuhnya. Selain itu umumnya susu sapi sudah diproses dengan suhu yang sangat tinggi. Tujuannya untuk menghilangkan bakteri jahat yang mungkin terkandung di dalamnya. Sayangnya, proses pemanasan ini juga sekaligus menghancurkan enzim yang bisa menetralisasi risiko alergi. Zat yang memicu alergi juga bisa didapatkan dari zat-zat kimia yang ditambahkan pada proses pengolahan susu formula atau susu bubuk,” tutur Andang.

Selain itu, Andang juga mengatakan bahwa makanan olahan dianggap bisa memicu alergi karena proses pengolahan hingga penyajiannya ke tangan konsumen memakan waktu panjang, proses pengolahan yang panjang memungkinkan ada sebagian zat gizi yang hilang, Di sisi lain, makanan olahan biasanya telah diberi bahan tambahan seperti pengawet, pewarna, perasa atau aroma yang semuanya bersifat kimiawi. Sebagian besar zat kimiawi karakternya tidak cocok dengan tubuh kita, sehingga dianggap benda asing yang membahayakan, sehingga menimbulkan reaksi alergi.

Deteksi alergi

Bagaimana cara membedakan gangguan perilaku yang disebabkan oleh alergi makanan dengan pengaruh kejiwaan yang sudah „dari sononya”? Hal ini bisa diketahui dari tes alergi. Cara termudah adalah menghindari makanan yang dicurigai. Jika saat dihindari reaksinya hilang, artinya itu bukan alergi. Dr Widodo berkata, „Pada umumnya diagnosa alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosa yang sifatnya klinis, yakni dengan mengetahui riwayat penyakit, riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak kecil.”

Tes alergi dengan menyuntikkan alergen tertentu pada kulit cukup populer. Namun menurut Dr widodo, tes ini kurang efektif karena yang sering terdeteksi proses reaksi cepat (yang timbul dalam waktu kurang dari 8 jam) seperti bila makan udang maka timbul gatal-gatal. Namun peroses alergi makanan yang reaksinya lambat (lebih dari 8 jam) sering tidak terdeteksi.

Selain tes kulit, ada cukup banyak tes alergi. Di antaranya adalah pemeriksaan lemak tinja, pemeriksaan pelepasan histamin oleh basofil (basofil histamine release assay), biopsi usus sebelum dan setelah pemberian makanan, hingga cara alternatif seperti pemeriksaan otot (kinesiologi terapan), pemeriksaan kulit elektrodermal, cytotoxic food testing, analisa rambut, tes nadi, dan metode refleks telinga dan jantung.

Menurut Dr Widodo, tes yang dinilainya paling efektif adalah metode provokasi makanan secara buta, disebut Double Blind Plaecbo Control Food Challenge (DBPCFC). Sayangnya, metode ini sangat rumit dan membutuhkan biaya serta waktu yang cukup banyak. Namun ada cara yang mudah untuk mendeteksi alergi yang bisa dilakukan sendiri, yaitu metode eliminasi dan provokasi. Dalam metode ini, penderita harus menghindari beberapa makanan yang dicurigai sebagai penyebab alergi selama 2 sampai 3 minggu. Setelah 3 minggu atau keluhan alergi menghilang, maka dilanjutkan dengan pemberian (provokasi) makanan yang dicurigai selama 1 minggu. Selama itu, dilakukan pengamatan apakah ada reaksi tertentu yang muncul.

Makanan yang dicurigai bsia disebut sebagai penyebab alergi jika dalam 3 kali provokasi menimbulkan gejala. Kasus Mutia adalah salah satu contoh, bahwa tes ini mudah, biayanya murah, namun hasilnya cukup efektif. (N)

BOX 1:

MENGHINDARI ALERGI:

Alergi memang tidak bisa diobati. Namun jangan berkecil hati dulu. Kalau sudah triknya, mencegah alergi tidak terlalu sulit.

Cermati reaksi tubuh. Buatlah semacam buku harian yang berisi catatan makanan dan reaksinya terhadap tubuh. Jika ada makanan tertentu yang dicurigai, konsultasilah dengan dokter ahli alergi. Mutia, Pramandhita, dan Sally akhirnya bisa mengendalikan alerginya dengan cara ini.

Malnutrisi menyebabkan sistem kekebalan tubuh menurun sehingga lebih rentan terhadap alergi. Untuk mencegahnya, konsumsi makanan dengan gizi seimbang. Untuk menghindari kekurangan atau kelebihan zat tertentu, variasikan jenis makanan sebanyak mungkin, lalu gunakan secara bergiliran sehingga asupan nutrisi ke dalam tubuh bisa saling melengkapi.

Proses pengolahan makanan juga mempengaruhi nutrisi yang terkandung di dalamnya. Untuk menghindari hilangnya nutrisi, jangan masak makanan terlalu lama atau menghangatkannya sampai berkali-kali. Serta, jangan biarkan makanan yang bersifat asam terkontak dengan perlengkapan masak berbahan logam. Peralatan masak berbahan aluminium sebaiknya dihindari.

Beberapa makanan yang juga dapat mengganggu fungsi otak, meskipun tidak melibatkan sistem imun (intoleransi) di antaranya salisilat, tartrazin (zat pewarna makanan), nitrat, amine, monosodium glutamat (MSG), dan bahan kimia lain yang banyak terdapat pada makanan olahan. Sebaiknya, sebisa mungkin konsumsi makanan segar dan kurangi konsumsi makanan olahan.

Perkuat sistem kekebalan tubuh dengan menghindari stres.

Berolahragalah secara teratur. Olahraga akan memperlancar sistem metabolisme tubuh, membuang racun, sekaligus memperkuat sistem kekebalan tubuh.

Bila perlu, lalukan detoksifikasi

BOX 2:

Tidak semua alergi bisa diobati dengan imunoterapi!

Imunoterapi merupakan terapi medis untuk mengatasi alergi. Caranya penderita disuntik dengan zat pemicu alergi (alergen) dengan dosis tertentu yang dinaikkan sedikit demi sedikit sampai kadar tertentu, sampai tubuh penderitanya dianggap bisa “menerima” zat tersebut dan tidak mengeluarkan reaksi alergi. Menurut Dr Heru Sundaru, tidak semua jenis alergi bisa diatasi dengan terapi ini. Hanya 2 jenis alergi yang efektif, yakni alergi terhadap racun serangga dan pollen. Sayangnya, di Indonesia hampir semua jenis alergi sering diterapi dengan cara ini sehingga biaya yang dikeluarkan pun sia-sia. (N)

oleh :

Dyah Pratitasari