Bidan Kita

Home Pregnancy DEMAM BERDARAH PADA KEHAMILAN

DEMAM BERDARAH PADA KEHAMILAN

0

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopictus dengan empat manifestasi klinis utama berupa demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan pada kasus yang berat ditandai dengan kegagalan sirkulasi. Pasien dengan keadaan ini dapat berkembang menjadi syok hipovolemik karena adanya kebocoran plasma, yang dikenal dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) yang berakibat fatal.

Epidemiologi

Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai telah terjadi di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Jogjakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974, epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1994 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di pedesaan.

Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973) menjadi 8,65 (1983) dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1988 yaitu 27,09 per 100.000 penduduk dengan penderita sebanyak 57.573 orang, dengan 1.527 orang penderita dilaporkan meninggal dari 201 daerah tingkat II.

Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dengan kondisi metereologis.

Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur penderita memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun, pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat.

Di Indonesia virus DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 telah berhasil diisolasi dari darah penderita. Di Jakarta daerah endemis tinggi, dari sebagian besar penderita DBD derajat berat maupun yang meninggal dapat diisolasi virus DEN-3. Survei virologis penderita DBD telah dilekukan di beberapa rumah sakit di Indonesia sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1995. Keempat serotipe virus dengue berhasil diisolasi baik dari penderita DBD derajat ringan maupun berat. Selama 17 tahun, serotipe yang berdominasi adalah virus dengue serotipe DEN-2 atau DEN-3

Laporan kepustakaan mengenai demam berdarah dengue dalam kehamilan dan persalinan masih sangat sedikit. Penelitian di Haiti dan Republik Dominika melaporkan bahwa setengah dari semua anak yang telah mencapai usia 2 tahun di negara tersebut mempunyai antibodi terhadap dengue. Pada saat periode non epidemik, surveilens di Republik Dominika terhadap darah dari 54 ibu hamil dan darah tali pusat bayi yang dilahirkannya menunjukkan bahwa attack rate adalah 6%. Dilaporkan pula bahwa kadar antibodi di dalam darah tali pusat lebih tinggi daripada di dalam darah ibu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam kehamilan telah terjadi imunisasi pasif transplasental.

 

Etiologi

Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, yang memiliki 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe yang lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.

 

Patofisiologi

Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah pada kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga meningmbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasme menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung oleh penemuan post-mortem meliputi efusi serosa, efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia.

Tidak terjadi lesi destruktif yang nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diarborbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor yaitu perubahan vaskuler, trombositopenia, dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopenia, dan banyak di antaranya penderita menunjukkan hasil pemeriksaan koagulasi yang abnormal.

 

Patogenesis

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegepty atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus ini adalah organ hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari perbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.

Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue mulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.

Semua Flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan reaksi silang pada uji serologis. Hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi di antara keempat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada proteksi silang terhadap serotipe virus yang lain.

Patogenesa DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) atau hipotesis immune enchancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog, mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita DBD atau DSS. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan faktor reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enchancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous infection theory yang dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Di samping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-43 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, ascites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.

Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phospat) sehingga trombosit mekekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID=koagulasi intravaskuler diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akibatnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

Gangguan Hemostasis Pada Demam Berdarah Dengue

Infeksi virus dengue dapat asimtomatik atau disertai manifestasi klinis berupa demam tidak terdiferensiasi, demam dengue atau demam berdarah dengue. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan manifestasi infeksi virus dengue yang berat yang ditandai dengan terjadinya perembesan plasma dan gangguan hemostasis sehingga berpotensi menimbulkan syok (Dengue Shock Syndrome). Gangguan hemostasis pada demam berdarah dengue dapat berupa vaskulopati, trombositopenia, gangguan fungsi trombosit, koagulopati dan Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID).

Proses imunopatologi yang terjadi pada demam berdarah dengue melibatkan sistem imunitas humoral dan selular. Hipotesis secondary heterologous infection oleh Halstead menyatakan reaksi antibodi terhadap virus dari infeksi sebelumnya akan mempermudah infeksi virus terhadap monosit dan makrofag (antibody dependent enhancement). Disamping hipotesis tersebut diketahui pula peran komplemen, limfosit T dan berbagai mediator seperti TNF-a, IL-2, IL-6, IFN-g, PAF, C3a, C5a dan histamin yang menyebabkan disfungsi endotel, perembesan plasma, renjatan, gangguan koagulasi dan manifestasi perdarahan  Peran IL-18 terhadap diferensiasi sel T menjadi T-helper 1 diperkirakan juga berperan dalam patogenesis demam berdarah dengue.

Vaskulopati bermanifestasi sebagai uji 1 touniquet yang positif dan petekie yang terjadi pada awal demam sebelum terjadinya, trombositopenia. Gangguan vaskular yang terjadi berupa infiltrasi dinding vaskular oleh limfosit fagosit mononuklear, deposit IgM, komplemen dan fibrinogen. Vaskulopati terjadi sebagai akibat pengaruh virus secara langsung saat awal infeksi atau sebagai akibat reaksi imunologis yang terjadi saat konvalesen.

Trombositopenia dengan jumlah trombosit £ 100.000/ mm3 terjadi pada hari ke 3-7 demam dan kembali meningkat pada hari ke 8-9. Jumlah trombosit pada syok (DSS) pada umumnya £ 50.000/mm3 dengan rata-rata 20.000/mm3. Perdarahan umumnya tidak terjadi walaupun jumlah trombosit £ 20.000/mm3 kecuali pada keadaan syok berkepanjangan (prolonged  shock). Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:

1. Supresi sumsum tulang

2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.

Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan frogmen C3g, karena terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.  Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar B-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit.

Koagulopati terjadi pada berbagai infeksi virus dan bakteri termasuk infeksi virus dengue. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue derajat III dan IV. Terjadi pemanjangan masa protombin (PT), masa tromboplasin parsial teraktivasi (APTT), penurunan fibrinogen dan peningkatan D-Dimer atau FDP, serta penurunan berbagai faktor koagulasi (11, V, VII, VIII, IX, X dan XII). Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue seperti juga pada sepsis diperkirakan melalui jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui, aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex). Aktivitas antitrombin III pada demam berdarah dengue menurun terutama pada DSS dan berkorelasi dengan PT, APTT, kadar albumin dan fibrinogen. Proses koagulopati yang berlangsung di luar batas kompensasi menyebabkan terjadinya penumpukan fibrin, KID dan kegagalan organ multipel.

Bagaimana pengaruh gangguan hemostasis/koagulasi terhadap risiko perdarahan dan mortalitas pada pasien DBD dan DSS, kiranya masih memerlukan penelitian lebih lanjut; walaupun pada DBD derajat I pada umumnya dapat membaik tanpa memerlukan intervensi terapi. Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa gangguan hemostasis pada demam berdarah dengue merupakan proses kompleks yang melibatkan fungsi vaskuler, trombosit dan koagulasi dan terkait dengan keadaan klinis dan derajat penyakit.

 

Manifestasi Klinis

Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimptomatik), demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu demam berdarah dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS).

1. Demam dengue (DD)

Bentuk klasik demam dengue adalah gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam-ruam di kulit. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit dapat menghilang namun timbul kembali pada hari ke 6 atau ke 7 terutama di daerah kaki, tangan, dan telapak kaki atau tangan. Kadang-kadang ditemui keadaan trombositopenia dan leukopenia. Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan.

2. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Bentuk klasik DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Nyeri epigastrium dan di bawah tulang iga kanan, serta nyeri di daerah perut yang bersifat umum, biasa ditemukan. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.

Bentuk perdarahan yang paling sering ditemukan adalah uji tourniquet (rumple leed) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan darah. Pada kebanyakan kasus petekia halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Keadaan hepatomegali juga dapat ditemukan.

Masa kritis dari penyakit terjadi pada fase akhir demam, pada saat ini penurunan suhu yang tiba-tiba sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan, perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.

DBD dibedakan dari DD dengan adanya kebocoran plasma yang bermanifestasi sebagai peningkatan nilai hematokrit, efusi pada rongga pleura atau rongga peritoneum, atau hipoproteinemia. Perjalanan penyakit dapat dipengaruhi oleh diagnosis dini dan pemberian cairan.

Berdasarkan manifestasi klinis yang ditemukan, DBD dibagi atas 4 derajat, yaitu:

Derajat I :Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi  perdarahan ialah uji tourniquet.

Derajat II :Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan/atau perdarahan lain.

Derajat III :Kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat  dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang), atau   hipotensi, ditandai dengan kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah.

Derajat IV  :Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.

Diagnosis