Perubahan patofisiologi pada infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan penyakit antara DBD dengan DD. Perubahan patofisiologis tersebut adalah kelainan hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Oleh karena itu, trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan kejadian yang selalui dijumpai.
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.
Kriteria klinis:
Demam tinggi mendadak tanpa diketahui penyebab yang jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
a. Uji tourniquet positif
b. Ptekie, ekimosis, purpura
c. Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
d. Hematemesis dan atau melena
Pembesaran hati Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris adalah:
Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang) Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau lebih
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia dan atau terjadi perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia mendukung diagnosis DBD.
Diagnosis Laboratoris
Diagnosis defenitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan cara isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien.
Diagnosis Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologis yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue, yaitu:
Uji hemaglutinasi inhibisi
Uji hemaglutinasi inhibisi adalah uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai dan dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis.
Uji komplemen
Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh karena selain cara pemeriksaan agak rumit prosedurnya juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
Uji neutralisasi
Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (>4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
IgM Elisa
Uji ini pada tahun terakhir merupakan uji serologi yang banyak dipakai. Uji ini mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan yaitu hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifisitas yang sama dengan uji HI.
IgG Elisa
Uji IgG Elisa sebanding dengan uji HI, hanya sedikit lebih spesifik.
Diagnosis banding
Etiologi demam pada awal penyakit umumnya sulit diketahui, karenanya perlu ditelit infeksi pada alat-alat tubuh baik yang disebabkan bakteri maupun virus, seperti bronkopneumonia, kolesistitis, pielonefritis, demam tifoid, malaria dan sebagainya. Adanya ruam yang akut seperti pada morbili perlu dibedakan dengan DBD. Biasanya pada morbili ruamnya lebih banyak, adanya bintik-bintik koplik pada selaput lendir mulut dan selalu ditemukan koriza. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan leptospirosis. Pada hari ke 3-4 demam dengan adanya manifestasi perdarahan, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar.
Perdarahan di kulit seperti petekie dan kimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi, misalnya sepsis, meningitis, meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear. Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningokokus jelas terdapat tanda rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
Penyakit-penyakit darah seperti idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), leukemia pada stadium lanjut dan anemia aplastik dapat pula memberikan gejala-gejala yang mirip DBD. Pemeriksaan sumsum tulang akan dapat memberi kepastian mengenai diagnosis.
Renjatan endotoksik dan renjatan karena dengue sulit dibedakan. Umur, faktor predisposisi dan perjalanan klinisnya dapat membantu membedakannya.
Gejala penyakit yang disebabkan virus Chikungunya (juga suatu arbovirus) mirip sekali dengan dengue, terutama mengenai lama demam dan manifestasi perdarahan, tetapi tidak pernah menyebabkan renjatan dan gangguan kesadaran.
Komplikasi
1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID).
2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik.
3. Edema Paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat berlebihan pemberian cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstra, apabila cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan tampak adanya gambaran edema paru pada foto dada.
Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DBD atau DSS mortalitasnya cukup tinggi.
Pencegahan
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara paling memadai saat ini. Vektor dengue khususnya A.aegypti sebenarnya mudah diberantas karena sarang-sarangnya terbatas di tempat yang berisi air bersih dan jarak terbangnya maksimum 100 meter. Tetapi karena vektor terbesar luas, untuk keberhasilan pemberantasan diperlukan total coverage (meliputi seluruh wilayah) agar nyamuk tak dapat berkembang biak lagi. Terdapat 2 cara pemberantasan vektor:
1. Menggunakan insektisida.
Yang lazim dipakai dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa (adultisida) dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan (thermal fogging) atau pengabutan (cold fogging). Untuk pemakaian rumah tangga dapat digunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan di dalam kamar/ruangan, misalnya golongan organofosfat, karbamat atau pyrethroid. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate (sand granules) ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes, yaitu bejana tempat penampungan air bersih. Dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram Abate SG 1 % per 10 liter air.
2. Tanpa insektisida
Caranya adalah:
a. Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1x seminggu (perkembangan telur ke nyamuk lamanya 7-10 hari.
b. Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
c. Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.