Bidan Kita

Home Pregnancy DEMAM BERDARAH PADA KEHAMILAN

DEMAM BERDARAH PADA KEHAMILAN

0

Isolasi pasien agar pasien tidak digigit vektor untuk ditularkan kepada orang lain sulit dilaksanakan lebih awal dari perawatan di rumah sakit karena kesulitan praktis. Mencegah gigitan nyamuk dengan cara memakai obat gosok maupun pemakaian kelambu memang dapat mencegah gigitan nyamuk, tetapi cara ini dianggap kurang praktis. Imunisasi maupun pemberian anti-virus dalam usaha memutuskan rantai penularan, saat ini baru dalam taraf penelitian.

Dampak Infeksi Virus Dengue Pada Kehamilan

Wanita hamil harus berhati-hati pada infeksi virus dengue, karena infeksi yang terjadi mungkin dapat mempengaruhi janin. Demam dengue pada wanita hamil tidak menyebabkan abnormalitas pada janin tetapi dapat berisiko terjadi kematian janin. Janin yang dilahirkan dapat menderita kegagalan multiorgan pada saat lahir.

Ada beberapa laporan kasus transmisi  vertikal virus dengue. Salah satunya pada wanita Thailand dengan sakit panas yang melahirkan bayinya melalui seksio sesarea. Meski virus dengue tidak dapat diisolasi dari si ibu, namun data serologi menunjukkan dengue sebagai penyebab panas pada ibu tersebut. Bayi yang dilahirkan menderita pireksia pada umur 6 hari dan hal ini mungkin dikarenakan si bayi mendapat infeksi virus dengue dari ibunya, meskipun ada kemungkinan si bayi digigit nyamuk pada umur 1 atau 2 hari. Selain itu, pada kasus yang lain dilaporkan bayi yang dilahirkan dari seorang wanita yang menderita DBD pada waktu hamil menderita panas pada umur 48 jam. Bayi ini menderita panas selama 2 hari, hepatomegali, trombositopenia, dan efusi pleura. Dengan menggunakan PCR (polymerase chain reaction) terdeteksi virus dengue tipe 1 di serumnya.

PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE

Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk DD dan DBD karena infeksi virus ini adalah self limited. Pengobatan dengue fever tanpa komplikasi mencakup terapi suportif dan meliputi penghilangan rasa nyeri, penurunan temperatur tubuh, tirah baring, dan pemberian cairan.

Pada beberapa kasus yang meragukan diperlukan observasi dan pemeriksaan lanjut dan penderita dapat dirawat di rumah sakit apabila:

DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan DBD dengan perdarahan masih dengan atau tanpa syok DBD tanpa perdarahan masif dengan: Hb, Ht normal dengan trombositopenia < 100.000/µl Hb, Ht yang meningkat dengan trombositopenia < 150.000/µl

Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit dalam batas normal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya atau apabila keadaan pasien memburuk.

1. Penatalaksanaan DBD tanpa perdarahan masif dan syok

Pada pasien DBD tanpa perdarahan masif dan syok di ruang rawat, cairan Ringer Laktat merupakan pilihan pertama. Cairan lain yang dapat digunakan antara lain adalah cairan Dextrosa 5% dalam Ringer Laktat atau Ringer Asetat, Dextrosa 5% dalam NaCl 0,45%, Dextrosa 5% dalam larutan garam atau NaCl 0,9%.

Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam, pasien mengalami dehidrasi sedang, maka pasien dengan berat badan sekitar 50-70 kg diberikan Ringer Laktat perinfus sebanyak 3.000 cc/24 jam. Pada pasien dengan berat badan lebih dari 70 kg dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000 cc/24 jam. Jumlah ini harus diperhitungkan kembali dengan cermat terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu.

Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya setiap harinya tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu tubuh mulai menurun, pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar 2 liter/24 jam) dan tidak didapatkan tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai meningkat lebih dari 50.000/ul, maka jumlah cairan infus selanjutnya dapat mulai dikurangi.

Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif dan tanpa syok tersebut sudah memadai, maka pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit dilakukan setiap 12 jam untuk pasien dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/ul, sedangkan untuk pasien dengan jumlah trombosit berkisar 100.000-150.000/ul, pemeriksaan dilakukan setiap 24 jam. Pemeriksaan darah, frekuensi nadi dan pernafasan, dan jumlah urin dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien makin memburuk dengan didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan tanda-tana vital harus diawasi dengan ketat.

Mengenai tanda-tanda syok harus diwaspadai sedini mungkin karena penatalaksanaan pasien dengan syok (DSS) lebih sulit, dan disertai dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Tanda-tanda syok dini yang harus segera dicurigai adalah apabila pasien tampak gelisah, atau adanya penurunan kesadaran, akral teraba dingin dan tampak pucat, serta jumlah urin yang menurun kurang dari 0,5 ml.kgBB/jam. Gejala-gejala tersebut merupakan tanda berkurangnya aliran darah ke organ vital tubuh. Tanda-tanda lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi cepat dan kecil. Apabila ditemui tanda-tanda tersebut, maka penatalaksanaan DBD dengan syok (DSS) harus segera diberikan.

Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif (perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit < 100.000 ul, dengan atau tanpa koagulasi intravaskular diseminata (KID). Pasien DBD dengan trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi suspensi trombosit.

Pasien dapat dipulangkan apabila:

a. Keadaan umum/kesadaran dan hemodinamika baik, serta tidak demam

b. Pada umum Hb, Ht dan jumlah trombosit dalam batas normal serta stabil 24 jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah trombosit belum mencapai normal, pasien sudah dapat dipulangkan.

2. Penatalaksanaan DBD dengan perdarahan spontan dan masif tanpa syok

Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD misalnya epistaksis, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan Ringer Laktat tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan lainnya yaitu 500 ml/4 jam. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan, dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok sedini mungkin. Pemeriksaan Hb. Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen Plasma diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang memanjang). Packed Red Cell (PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan yang masif dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000 µl, disertai dengan KID.

3. Penatalaksanaan DBD dengan syok dan perdarahan spontan

Pada kasus DBD dengan syok (DSS), cairan yang diberikan adalah Ringer Laktat sebagai cairan kristaloid pertama karena mengandung Na laktat sebagai korektor basa. Pilihan lainnya adalah NaCL 0,9%. Selain resusitasi cairan, pasien juga diberi oksigen 2-4 liter/menit, dan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap, pemeriksaan hemostasis, analisis gas darah, kadar elektrolit natrium, kalium, klorida, serta ureum dan kreatinin.

Pada fase awal Ringer Laktat diberikan sebanyak 20 ml.kgBB/jam dan kemudian dievaluasi selama 30-120 menit. Syok harus dapat diatasi segera dalam 30 menit pertama. Syok dinyatakan teratasi bila keadaan umum pasien membaik, kesadaran/keadaan sistem saraf pusat baik, tekanan sistolik 100 mmHg atau lebih dengan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat dan kulit tidak pucat, serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam.

Apabila syok sudah dapat diatasi, pemberian Ringer Laktat selanjutnya dapat dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam dan dievaluasi selama 60-120 menit berikutnya. Bila keadaan klinis stabil, maka pemberian cairan Ringer Laktat selanjutnya sebanyak 500 cc/4 jam. Pengawasan dini terhadap kemungkinan terjadinya syok berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadinya syok, oleh karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, juga karena sifat cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam dari saat pemberiannya. Oleh karena itu apabila hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30 vol%, dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1, sedangkan bila nilai Ht kurang dari 30 vol% hendaknya diberikan transfusi sel darah merah (PRC).

Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada DBD dengan syok mengingat kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD adalah apabila didapatkan adanya infeksi sekunder di tempat lain. Antibiotik yang digunakan hendaknya tidak mempunyai efek terhadap sistem pembekuan.

Penatalaksanaan DBD dengan syok tanpa perdarahan

Pada prinsipnya penatalaksanaan kelompok ini mirip dengan penatalaksanaan pasien DBD dengan syok dan perdarahan, hanya pemeriksaan secara klinis maupun laboratorium perlu dilakukan secara lebih teliti dan seksama untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi disertai dengan KID. Apabila tidak ditemukan tanda-tanda perdarahan, walaupun hasil hemostasis menunjukkan adanya KID, heparin tidak diberikan, kecuali bila ada perkembangan ke arah perdarahan.

DAFTAR PUSTAKA

 

1. Dengue Haemorrhagic Fever. Diakses dari: http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/012-23.pdf

2. Hadinagoro SR. Tatalaksana Demam Dengue/Demam Berdarah dengue. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Rektorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999

3. Satari HI. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap Pelatihan Bagi Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta, 1999

4. Prawirohardjo S. Penyakit Menular. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 1999: 567-560

5. Sumarmo S.P.S. Infeksi Virus Dengue. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis. Hipokrates. Jakarta, 1999: 177-205

6. Prasetyo AA. Infeksi Virus Dengue. Infeksi Virus & Kehamilan. Penerbit Pustaka Cakra Surakarta. Surakarta, 2005: 138-142

7. WHO. Reported Cases and Deaths of DF/DHF in SEAR. Diakses dari http://www.who.int

8. Hacker NF, Moore JG. Fisiologi Ibu. Esensial obstetri dan ginekologi. Jakarta : Hipokrates, 2001 : 68-82

9. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. Anatomy and Physiology. William Obstetrics, 22nd ed. Mc Graw Hill Medical Publishing Division. New York, 2001: 64-66

10. Prawirohardjo S. Perubahan Anatomik dan Fisiologik pada Wanita Hamil. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 1999: 89-100

11. Soegijanto Soegeng. Aspek Imunologi Penyakit Demam Berdarah Dengue. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya, 1998: 11-33

12. Dengue Fever. Diakses dari: http://www.acpmedicine.com/sample2/ch0731s.htm

13. Shepherd Suzanne. Dengue Fever. Diakses dari: http://www.emedicine.com/MED/topic528.htm

14. Acang Nusirwan. Pemberian Cairan Pada Demam Berdarah Dengue. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-Unand. RS Dr. M. Djamil Padang

15. Dengue Type 1 Epidemic in Polynesia 2001. Diakses dari: http://www.spc.org.nc/phs/PPHSN/Outbreak/Reports/Dengue_report2001-FrenchPolynesia.pdf

16. Saibi DA. Demam Berdarah Dengue Pada Kehamilan, Persalinan dan Nifas. Bagian Obstetri dan Ginekologi RSCM FKUI. Jakarta, 1998

17. Dengue Fever. Disease Control and Prevention. Public Health Notifiable Disease Management Guidelines December 2005. Diakses dari: http://www.health.gov.ab.ca/professionals/ND_DengueFever.pdf

18. Dengue Hemorrhagic Fever. Diakses dari: http://www.shands.org/health/information/article/001373.htm