Penggunaan Metode Epidural pertama kali adalah pada tahun 1885, ketika seorang ahli saraf New York J. Leonard Corning menyuntikkan kokain ke bagian tulang belakang pasien yang menderita “kelemahan tulang belakang dan inkontinensia mani.”1 Lebih dari satu abad kemudian, epidural telah menjadi metode analgesia yang paling populer, atau penghilang rasa sakit, di kamar persalinan di AS. Pada tahun 2004, hampir dua-pertiga dari wanita yang bersalin melaporkan bahwa mereka diberikan epidural, termasuk 59 persen wanita yang telah melahirkan pervagina (2). Di Kanada, sekitar setengah dari wanita yang melahirkan secara normal memakai epidural, (3) dan di Inggris, 21 persen wanita diberikan epidural sebelum melahirkan (4).
Epidural merupakan suntikan yang menggunakan obat bius lokal (berasal dari kokain) dan disuntikkan ke dalam ruang-ruang epidural yang melindungi sumsum tulang belakang. Pada epidural konvensional klien akan mati rasa baik saraf sensorik maupun motoriknya. Dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir, epidural telah dikembangkan dengan konsentrasi obat bius yang (bius local), dan dengan kombinasi anestesi lokal serta opiat (obat yang mirip dengan morfin dan meperidin) pembunuh rasa sakit untuk mengurangi blok motor, dan untuk menghasilkan apa yang disebut epidural “berjalan”.
Â
Â
Analgesia Spinal juga telah semakin digunakan dalam persalinan untuk mengurangi blok motor. Spinals menyuntik narkoba menembus dura dan ke dalam ruang (intratekal) tulang belakang, dan hanya menghasilkan analgesia jangka pendek. Untuk memperpanjang-efek menghilangkan rasa sakit dalam persalinan, dosis bisa ditambah sesuai kebutuhan
Epidurals dan spinals menawarkan bentuk yang paling efektif dari penghilang rasa sakit yang tersedia dalam pertolongan persalinan, dan wanita yang telah menggunakan analgesia untuk mengurangi rasa nyeri mempunyai tingkat kepuasan yang tinggi terhadap metode ini, Namun, kepuasan tidak mengalami nyeri ini tidak tidak sama dengan kepuasan keseluruhan keseluruhan persalinan (5) selain itu ternyata epidural juga dapat membahayakan keselamatan ibu dan bayi.
Epidural dan hormon persalinan
Secara signifikan penggunaan epidural mengganggu beberapa hormon utama persalinan, yang dapat mempunyai dampak negatif pada proses kelahiran (6). WHO mengatakan bahwa analgesia epidural adalah salah satu contoh yang paling mencolok dari medikalisasi persalinan normal. yang, mengubah acara fisiologis menjadi prosedur medis (7).
Sebagai contoh, oksitosin, yang dikenal sebagai hormon cinta, yang juga merupakan uterotonika alami-sebuah zat yang menyebabkan rahim wanita untuk mengalami kontraksi selama proses persalinan. Epidural membuat produksi oksitosin alami dalam tubuh menurun bahkan hilang (9). Anestesi epidural juga melenyapkan ekskresi puncak oksitosin yang harusnya terjadi saat bayi dilahirkan (11) –padahal hormone oksitosin inilah yang membantu ibu dan bayi untuk jatuh cinta pada pertemuan pertama. Hormon lain yang penting dalam uterotonika seperti, prostaglandin F2 alfa, juga berkurang pada wanita yang menggunakan epidural(12).
B eta-endorphin adalah hormon alami yang berfungsi untuk membantu wanita yang bersalin untuk mengatasi rasa sakit. Beta-endorphin juga berhubungan dengan kondisi kesadaran yang berubah pada proses persalinan. Hormon ini juga membantu menuntun ibu untuk berjuang dan bekerjasama secara naluriah dengan tubuhnya dan bayinya, sehingga kadang wanita bersalin sering menggunakan gerakan dan suara. Epidural mengurangi produksi beta-endorphin dalam tubuh wanita (13,14).
Adrenaline dan noradrenalin (epinefrin dan norepinefrin, yang dikenal sebagai katekolamin, atau CA) juga dirilis atau di produksi di bawah kondisi stres, dan terjadi peningkatan alami selama persalinan tanpa pengobatan (15) Pada tahap akhir kala 2 persalinan, lonjakan hormon alami ini memberikan ibu energi untuk mendorong bayi keluar, dan membuat dia bersemangat dan penuh waspada pada pertemuan pertama dengan bayinya. Hal ini dikenal sebagai refleks ejeksi fetus (the fetal ejection reflex )(16)
Namun persalinan dapat di hambat dengan tingkat CA yang sangat tinggi, yang dapat dilepaskan ketika wanita merasa lapar, dingin, takut, atau tidak aman selama persalinan (17). ini masuk akal karena Jika indra ibu mengatakan bahaya, maka hormon nya akan memperlambat atau menghentikan persalinan dan memberinya waktu untuk “melarikan diri” untuk mencari tempat yang aman untuk melahirkan. Dan ini normal dalam proses evolusi manusia.
Epidural mengurangi produksi CA pada ibu bersalin yang sebenarnya membantu dalam persalinan. Namun, penurunan produksi CA akhir dapat berkontribusi pada kesulitan seorang wanita untuk mempunyai keinginan mengejan atau semangat untuk mendorong bayinya keluar. Sehingga akhirnya ini sangat meningkatkan risiko persalinan dengan instrumental (forseps dan vakum)
Efek pada proses persalinan
Epidurals membuat persalinan berjalan lebih lambat, karena bukti dari penelitian bahwa anestesi lokal yang digunakan dalam epidural dapat menghambat kontraksi dengan langsung mempengaruhi otot rahim (18).
Sebagai contoh, epidural juga membuat otot panggul terasa kebas/ baal, padahal otot panggul ini penting dalam membimbing dan mengubah kepala bayi untuk bergerak menuju posisi yang terbaik untuk dilahirkan. Epidural membuat resiko empat kali lebih tinggi pada kemungkinan kejadian posisi kepala bayi posterior pada tahap akhhir dalam sebuah penelitian kejadian ini 13 persen lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang bersalin tanpa epidural yang hanya 3 persen (21). Posisi posterior ini tentu saja akan mengurangi kesempatan melahirkan melalui vagina secara spontan dalam sebuah studi, hanya 26 persen pada ibu yang melahirkan pertama kali (dan 57 persen dari ibu yang berpengalaman) dengan bayi bayi posterior dapat bersalin per vaginam dengan spontan, lainnya langsung dilakukan forcep, vaccum atau bahkan SC (22).
Resiko bagi bayi, persalinan dengan bantuan instrumental dapat meningkatkan risiko jangka pendek seperti memar, cedera wajah, dan cephalohematoma (bekuan darah di bawah kulit kepala) (24) Risiko perdarahan intrakranial (pendarahan dalam otak) meningkat dalam sebuah studi lebih dari empat kali untuk bayi yang lahir dengan forsep dibandingkan dengan kelahiran spontan, (25) meskipun dua studi menunjukkan tidak ada perbedaan perkembangan terdeteksi untuk kelahiran anak forseps (26,27
Epidural juga meningkatkan kebutuhan untuk Pitocin untuk menambah kontraksi, wanita yang bersalin dengan epidural hampir tiga kali lebih mungkin diberikan Pitocin (29). Kombinasi epidural dan Pitocin, dapat menyebabkan kelainan pada denyut jantung janin (Foetal Heart Rate) yang memicu fetal distress, sehingga secara nyata meningkatkan risiko operasi (forseps, vakum, atau sesar). Dalam salah satu survei diAustralia, sekitar setengah ibu yang pertama kali bersalin dan diberikan epidural berakhir dengan persalinan SC (30)
Efek samping Epidural
Obat yang digunakan dalam persalinan dengan epidural yang cukup kuat membuat mati rasa, dan biasanya melumpuhkan, dan dapat mempengaruhi tekanan darah ibu, sehingga tidak mengherankan bahwa akan ada efek samping yang signifikan bagi ibu dan bayi.
Efek samping bagi Ibu
1. efek samping yang paling umum dari epidural adalah penurunan tekanan darah. Efek ini hampir universal, dan biasanya di dahului dengan pemberian cairan IV sebelum memberikan epidural. Hipotensi dapat menyebabkan komplikasi mulai dari perasaan pingsan serangan jantung, 37 dan juga dapat mempengaruhi suplai darah ke bayi. Hipotensi dapat diobati dengan pemberian cairan IV lebih banyak dan, jika parah, dengan suntikan epinefrin (adrenalin).
2. Ketidakmampuan untuk buang air kecil (dan kebutuhan untuk pemasangan kateter kencing)
3. gatal-gatal pada kulit (pruritus) (39,40)
4. menggigil (41)
5. mual dan muntah (43)
6. Epidurals juga dapat menyebabkan kenaikan suhu tubuh pada ibu bersalin.
7. Ddapat menyebabkan kesulitan bernapas yang tak terduga bagi ibu (47)
8. Meningkatkan resiko persarahan post partum (48-53)
9. menyebabkan sakit kepala parah yang dapat bertahan hingga enam minggu (57,58)
Efek samping untuk bayi
1. Trauma persalinan (71)
2. Resiko kecanduan pada masa remaja nanti (71)
3. Perubahan denyut jantung janin yang dapat menyebabkan distress
4. Suplai oksigen berkurang akibat tekanan darah ibu yang berkurang
5. APGAR yang kurang
6. Salah satu peneliti telah mencatat sepuluh kali lipat peningkatan risiko ensefalopati baru lahir (tanda-tanda kerusakan otak) pada bayi lahir dengan ibu yang demam akibat epidural (76).
7. Resiko untuk mengalami kejang pada periode baru lahir lebih tinggi, dibandingkan dengan bayi yang lahir normal (75)
8. beberapa studi terhadap kondisi bayi saat lahir, dan hampir semua bayi yang lahir setelah epidural dibandingkan dengan bayi yang lahir setelah terpapar obat opiat, yang diketahui menyebabkan kantuk dan kesulitan bernapas.
9. Beberapa studi yang membandingkan bayi terkena epidural dengan bayi yang ibunya tidak menerima obat yang telah menemukan dampak neurobehavioral yang signifikan, (86,88)
Epidurals juga dapat mempengaruhi pengalaman dan keberhasilan menyusui melalui beberapa mekanisme. Pertama, bayi yang terkena epidural mungkin memiliki kelainan neurobehavioral disebabkan oleh paparan obat yang kemungkinan akan maksimal dalam beberapa jam-yang kritis waktu kelahirannya untuk inisiasi menyusui. Penelitian terakhir telah menemukan (agak jelas) bahwa semakin tinggi skor neurobehavior pada bayi baru lahir, semakin tinggi nilai mereka untuk perilaku menyusui (108)
Dalam penelitian lain, bayi yang terpapar epidural dan spinals lebih mungkin untuk menurunkan berat badan di rumah sakit,
kedua, epidural dapat mempengaruhi perilaku dan kondisi ibu baru, membuatnya lebih sulit menyusui. Hal ini mungkin jika dia telah mengalami persalinan yang panjang, persalinan dengan instrumental, atau pemisahan dari bayinya, yang semuanya lebih mungkin terjadi pada persalinanepidural. gangguan hormonal juga berperan mengingat oksitosin adalah hormone utama dalam proses menyusui
Kesimpulan
Epidural mungkin memiliki manfaat tetapi juga mempunyai risiko yang signifikan bagi ibu yang bersalin dan bayinya. Risiko ini didokumentasikan dengan baik dalam literatur medis, tetapi tidak dapat diungkapkan kepada ibu bersalin. Nah jika Anda ingin bersalin normal dan lancar mulailah upayakan sejak sekarang dengan upaya yang alami dan sehat serta aman.
Referensi
1. G. R. Hamilton and T. F. Baskett, “In the Arms of Morpheus: The Development of Morphine for Postoperative Pain Relief,” Can J Anaesth 47, no. 4 (2000): 367–74.
2. E. Declercq et al., Listening to Mothers: Report of the First U.S. National Survey of Women”s Childbearing Experiences (New York: Maternity Center Association, October 2002): pg 1
3. Canadian Institute for Health Information, Giving Birth in Canada (Ontario: CIHA, 2004): pg 7
4. National Health Service, NHS Maternity Statistics, England: 2002–03 (Crown Copyright, 2004): pg 6
5. E. D. Hodnett, “Pain and Women”s Satisfaction with the Experience of Childbirth: A Systematic Review,” Am J Obstet Gynecol 186, Supplement 5: Nature (2002): S160–S172.
6. S. J. Buckley, “Ecstatic Birth: Nature”s Hormonal Blueprint for Labor,” Mothering no. 111 (March–April 2002): www.mothering.com/articles/pregnancy_birth/birth_preparation/ecstatic.html
7. World Health Organization, Care in Normal Birth: A Practical Guide. Report of a Technical Working Group (Geneva: World Health Organization, 1996): 16.
8. V. A. Rahm et al., “Plasma Oxytocin Levels in Women During Labor With or Without Epidural Analgesia: A Prospective Study,” Acta Obstet Gynecol Scand 80, no. 11 (2002): 1033–1039.
9. R. M. Stocche et al., “Effects of Intrathecal Sufentanil on Plasma Oxytocin and Cortisol Concentrations in Women During the First Stage of Labor,” Reg Anesth Pain Med 26, no. 6 (2001): 545–550.