Induksi Persalinan untuk Kehamilan Lewat Waktu: Apa yang Perlu Kamu Ketahui?

Di negara kita, apalagi di kota besar dengan layanan medis yang canggih, induksi persalinan sudah menjadi hal umum—bahkan dalam satu generasi, waktu rata-rata kehamilan pun ikut berubah. Misalnya, di Jakarta, mayoritas bayi lahir di usia kehamilan 39 minggu. Hanya sedikit yang benar-benar sampai 42 minggu atau lebih. Artinya, kehamilan yang “melewati waktu” sebenarnya sudah makin jarang, karena banyak ibu sudah diinduksi sebelum itu terjadi—bahkan sejak 39 minggu dengan alasan seperti usia ibu, dugaan diabetes, atau indeks massa tubuh (BMI) tinggi.

Apa Itu Kehamilan Lewat Waktu?

  • Kehamilan cukup bulan (term): 37–42 minggu
  • Lewat HPL (post-dates): lebih dari 40 minggu
  • Lewat waktu (post-term): 42 minggu ke atas

Jadi sebenarnya, kehamilan disebut prolonged (berkepanjangan/lewat waktu) bila sudah melewati 42 minggu. Tapi di praktiknya, induksi sudah sering ditawarkan bahkan sebelum itu—jadi jarang sekali ibu benar-benar mengalami kehamilan lewat waktu. apalagi jaman sekarang, ibu ibu yang umur kehamilannya baru 36 minggu yang niat awalnya mau periksa kehamilan rutin saja tiba tiba langsung di “speak-speak” di kasih wacara buat segera di lahirkan bahkan udah ada yang dikasih “surat cinta” sama dokternya. 

padahal Faktanya, lamanya kehamilan bisa sangat dipengaruhi faktor genetik dari ibu dan ayah, juga kondisi nutrisi ibu. Artinya, tidak semua kehamilan “normalnya” selesai di minggu ke-40.

Dan penting juga diingat: bayi adalah pihak yang memulai proses persalinan. Tubuhnya lah yang memberi sinyal bahwa sudah siap untuk lahir. Jadi kalau persalinan diinduksi terlalu cepat, proses adaptasi alami ini bisa terpotong.

“Semua Pilihan Punya Risiko, Tapi Kita Berhak Memilih Risiko yang Kita Pahami”

“Bu, kalau ditunggu-tunggu terus, nanti bayinya bisa kekurangan oksigen lho.”

“ini harus segera lahir lho, kalau ada apa apa saya gak mau tanggung jawab lho!toh ini juga sudah matang kok.”

Pernah dengar kalimat-kalimat seperti itu?

Kalau iya, kamu tidak sendiri. Banyak ibu hamil—terutama yang menjelang akhir kehamilan—akan “dihadapkan” pada pilihan-pilihan sulit. Tunggu persalinan alami atau setuju untuk induksi? Semuanya terdengar penuh risiko.

Dan memang benar, tidak ada keputusan yang sepenuhnya tanpa risiko. Tapi bedanya, risiko yang dipahami dan disadari lebih mudah dijalani, dibanding risiko yang datang dari ketidaktahuan.

Prinsip Dasarnya: Tidak Ada Opsi yang 100% Aman

Dalam ilmu kedokteran dan kebidanan, ini dikenal sebagai prinsip informed choice atau pilihan berdasarkan informasi yang cukup. Ini berarti:

  • Ibu harus tahu apa saja opsi yang ada.
  • Ibu harus tahu risiko dan manfaat dari setiap opsi.
  • Ibu juga berhak tahu bahwa “tidak melakukan apa-apa” pun tetap merupakan pilihan.

Berdasarkan teori bioetika, ini terkait dengan prinsip:

  1. Autonomy – Hak seseorang untuk mengambil keputusan tentang tubuhnya sendiri.
  2. Non-maleficence – Jangan membahayakan.
  3. Beneficence – Berbuat demi kebaikan pasien.
  4. Justice – Perlakuan adil dan setara terhadap pasien.
Apa Kata Penelitian?

Montgomery vs Lanarkshire Health Board (UK, 2015)
Kasus hukum ini menetapkan bahwa dokter berkewajiban memberi tahu pasien tentang semua risiko material yang relevan, bukan hanya risiko yang menurut dokter penting. Artinya: kalau menurut ibu suatu risiko penting untuk dipertimbangkan, dokter harus memberi tahu, bahkan jika risikonya kecil.

Cochrane Review (Middleton et al., 2020)
Studi ini menyebutkan bahwa induksi pada atau setelah 41 minggu bisa sedikit menurunkan risiko kematian perinatal. Tapi… selisihnya sangat kecil secara statistik, dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua wanita. Bahkan peneliti sendiri menyarankan agar keputusan tetap dibuat secara individual dan kontekstual.

Dahlen et al. (2021)
Penelitian di Australia ini menemukan bahwa ibu yang menjalani induksi (terutama anak pertama) lebih berisiko mengalami:

  • Intervensi bertingkat (epidural, vakum, SC)
  • Trauma perineum
  • Gangguan menyusui dan bonding
  • Masalah emosional pasca lahir

Jadi, risiko bukan hanya tentang bayi saja. Risiko pada tubuh dan jiwa ibu juga harus dihitung.

Kalau Gitu, Apa yang Harus Dilakukan?

✔️ Tanya semua opsi. Apa saja yang bisa dilakukan selain induksi? Adakah alternatif?

✔️ Tanya risiko & manfaat masing-masing. Baik menunggu maupun induksi punya risiko. Tapi manakah yang paling bisa kamu terima?

✔️ Tanya apa indikasinya. Apakah induksi ini dilakukan karena kondisi medis serius, atau hanya karena “sudah lewat HPL”?

✔️ Tanya tentang prosedur. Kalau setuju induksi, seperti apa tahapannya? Apa efek sampingnya?

Ibu Berhak Tahu. Ibu Berhak Memilih.

Keputusan soal melahirkan bukan cuma soal medis, tapi juga menyangkut hati, tubuh, dan kehidupan seorang ibu dan bayinya. Maka, pilihan itu harus dibuat bersama, bukan dipaksakan sepihak.

Dan yang paling penting: ibu tidak boleh ditakut-takuti. Karena takut bukan dasar yang sehat untuk mengambil keputusan besar.

 “Kalau Ditunggu Terlalu Lama, Nanti Bahaya, Bu!”

Kalimat ini seringkali jadi awal dari keputusan induksi. Kadang muncul dari niat baik, tapi sering juga tanpa penjelasan yang cukup.

Padahal, bagi sebagian besar ibu hamil yang sehat dan kehamilan yang tidak berisiko tinggi, menunggu persalinan spontan bisa jadi pilihan yang aman—selama ada pemantauan dan informasi yang jujur dan utuh.

Mari kita bahas satu per satu beberapa kekhawatiran umum yang sering disampaikan tenaga kesehatan (atau orang sekitar), dan bagaimana sebenarnya pandangan ilmiahnya.

1. Plasenta “Menua”?

“Plasentanya sudah tua, Bu. Takutnya nanti nggak bisa kasih oksigen ke bayi.”

Kekhawatiran ini sering muncul ketika usia kehamilan melewati 40 minggu. Memang benar, secara ilmiah struktur dan fungsi plasenta berubah seiring waktu. Penelitian menunjukkan adanya peningkatan biomarker penuaan seperti apoptosis (kematian sel alami), fibrosis, dan pengendapan kalsium pada plasenta yang lewat waktu【McKenna et al., 2021】.

Tapi penting dicatat:
Ini bukan tanda penyakit, melainkan proses alami.

Bahkan, menurut Dr. Rachel Reed dan penelitian dari Gude et al. (2004), perubahan ini membantu plasenta untuk lebih mudah terlepas setelah bayi lahir, dan berperan dalam mendorong bayi untuk “mengaktifkan mode lahir”.

Contohnya: hormon kortisol (hormon stres) pada bayi akan meningkat menjelang akhir kehamilan, yang berfungsi untuk:

  • Mematangkan paru-paru bayi
  • Memicu produksi surfaktan
  • Memicu sinyal bahwa bayi siap lahir

Jadi, bukannya rusak, plasenta justru sedang mempersiapkan bayi menghadapi dunia luar.

Gude et al., 2004 dan McKenna et al., 2021:
Plasenta memang mengalami perubahan (fibrosis, kalsifikasi) seiring waktu. Tapi ini alami dan bisa justru berfungsi untuk memicu kelahiran.

Plasenta tidak “rusak” setelah 40 minggu—fungsi fisiologisnya tetap berjalan baik selama ibu dan janin dipantau secara rutin.

2. “Takutnya Bayi Terlalu Besar, Bu…”

Kekhawatiran ini juga umum banget. Memang benar, semakin lama bayi di dalam kandungan, kemungkinan berat badannya akan bertambah.

Tapi… kalau plasentanya dianggap menua dan gagal fungsi, kok bisa bayinya terus tumbuh?

Justru ini membuktikan bahwa plasenta masih bekerja baik.

Lagipula, menurut WHO dan ACOG, perkiraan berat bayi lewat USG bisa meleset 10–15%, dan tidak boleh dijadikan satu-satunya alasan induksi atau SC.

Yang sering terjadi adalah intervensi medis karena asumsi bayinya besar:

  • Dipaksa melahirkan cepat (induksi)
  • Posisi dibatasi (tidak boleh jongkok, tidak boleh berdiri)
  • Diberi epidural → gerak terbatas → posisi janin tidak optimal
  • Akhirnya… persalinan macet → SC

Studi oleh Blackwell et al. (2021) menunjukkan bahwa justru intervensi medis terhadap dugaan makrosomia (bayi besar) sering jadi penyebab komplikasi—bukan ukuran bayinya sendiri.

3. Ketuban Berwarna Mekonium = Bahaya?

Mekonium adalah tinja pertama bayi. Biasanya keluar setelah lahir. Tapi pada kehamilan lewat waktu, kemungkinan mekonium keluar saat masih dalam kandungan memang meningkat.

Ini bukan selalu tanda bahaya.

Faktanya: sekitar 12–20% bayi yang cukup bulan dan sehat bisa mengeluarkan mekonium tanpa komplikasi【Cleary & Wiswell, 1998】.

Mekonium bisa jadi tanda bahwa sistem pencernaan bayi sudah matang. Masalah baru muncul jika bayi stres dan menghirup cairan ketuban yang mengandung mekonium (meconium aspiration syndrome), dan itupun jarang terjadi pada kehamilan sehat yang diawasi.

4. “Risiko Kematian Janin Meningkat Kalau Lewat HPL”

Ini salah satu “kartu truf” yang sering dipakai saat membujuk ibu untuk setuju diinduksi. Dan ya, secara statistik, memang ada peningkatan risiko kematian perinatal (kematian janin dan neonatal) pada usia kehamilan 41–42 minggu.

Tapi mari kita lihat angkanya secara adil:

Menurut penelitian dari Muglu et al. (2019):

  • Risiko kematian janin pada usia 41 minggu: 0.8 per 1000
  • Risiko pada usia 42 minggu: 0.88 per 1000

Artinya: risikonya memang naik, tapi sangat kecil dan tetap langka.

Dan penting diingat: sebagian besar penelitian membandingkan induksi vs manajemen observasi, bukan induksi vs persalinan spontan.

Jadi, sulit menyimpulkan bahwa induksi pasti “menyelamatkan nyawa” jika dilakukan sebelum 42 minggu—apalagi pada kehamilan sehat.

JADI Kesimpulan-nya: Tunggu Boleh, Tapi Jangan Buta Informasi

Menunggu persalinan spontan itu bukan pilihan sembrono—asal:

  • Kehamilan ibu dan bayi dipantau
  • Tidak ada komplikasi seperti preeklamsia, diabetes tidak terkendali, dsb
  • Ibu tahu tanda bahaya dan kapan harus segera ke fasilitas kesehatan

Keputusan menunggu atau induksi bukan soal mana yang “benar” atau “salah”, tapi soal pilihan sadar berdasarkan informasi yang lengkap.

Karena pada akhirnya, ini bukan hanya soal kapan bayi lahir. Tapi juga bagaimana ia lahir. Dan bagaimana pengalaman itu membekas di tubuh dan hati seorang ibu.

INGAT!

Persalinan bukan hanya soal “lahirnya bayi”, tapi juga lahirnya seorang ibu. Maka, keputusan besar seperti induksi harus dibuat dengan ketenangan, bukan ketakutan. Dengan ilmu, bukan tekanan. Dengan cinta, bukan paksaan.

Sebagaimana disampaikan oleh Dick Read:

“Rasa takut memblokir hormon alami tubuh. Tapi rasa percaya diri dan dukungan bisa membuka jalan kelahiran.”

Referensi Daftar Pustaka:

  • Middleton P, Shepherd E, Morris J. (2020). Cochrane Database Syst Rev.

  • Dahlen HG et al. (2021). Women and Birth Journal.

  • Buckley SJ. (2020). Hormonal Physiology of Childbearing.

  • Odent M. (2007). The Functions of the Orgasms.

  • Gude NM et al. (2004). Placental ageing.

  • McKenna DS et al. (2021). Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine.

  • Blackwell SC et al. (2021). Obstetrics & Gynecology.

  • Muglu J et al. (2019). BMJ.

  • Cleary GM & Wiswell TE. (1998). Meconium-stained amniotic fluid.

  • Montgomery v Lanarkshire Health Board. (2015). UK Supreme Court.

  • WHO (2020). Recommendations: Induction of labour at or beyond term.





















Similar Posts