Bidan Kita

Home Childbirth All About Childbirth “Katanya Bayiku Besar, Jadi Harus Sesar?” — Yuk, Berhenti Takut Duluan

“Katanya Bayiku Besar, Jadi Harus Sesar?” — Yuk, Berhenti Takut Duluan

0
“Katanya Bayiku Besar, Jadi Harus Sesar?” — Yuk, Berhenti Takut Duluan

Studi lain oleh Cheng et al. (2008) menemukan bahwa ibu yang dikira mengandung bayi besar:

  • 3x lebih sering diinduksi atau SC,
  • 4x lebih sering mengalami robekan perineum berat dan perdarahan postpartum (PPH),
  • Padahal… angka kejadian distosia bahu tidak berbeda signifikan dibanding ibu yang tidak dilabeli seperti itu.
  • Artinya? Komplikasi yang terjadi lebih disebabkan oleh intervensi medis akibat ketakutan, bukan karena bayinya memang besar.

Jadi, Apa Yang Harus Kita Pelajari?

  • Bayi besar tidak selalu berarti risiko.
  • USG bukan alat ramalan.
  • Diagnosis “bayi besar” bisa salah dan berdampak psikologis.
  • Yang sebenarnya perlu diwaspadai adalah diabetes gestasional yang tidak dikontrol, bukan bayinya sendiri.
  • Jangan takut duluan. Yang dibutuhkan bukan intervensi cepat, tapi informasi yang jujur dan menyeluruh.

Induksi Karena Bayi Besar? Yuk, Pahami Dulu Risikonya”

“Dok, kita induksi aja ya sebelum bayinya makin gede. Takut nanti bahunya nyangkut.”

Kalimat ini sering terdengar begitu seorang ibu hamil dikira mengandung bayi besar. Rasa takut distosia bahu, robekan perineum, hingga “takut terlambat” menjadi alasan paling umum untuk melakukan induksi persalinan dini—bahkan sejak usia kehamilan baru 37 minggu.

Tapi… apakah betul induksi lebih aman dalam kasus bayi besar?

Apa Kata Penelitian?

Salah satu meta-analisis paling komprehensif—Cochrane Review (Boulvain et al., 2016)—membandingkan antara ibu yang diinduksi lebih awal karena dugaan bayi besar vs ibu yang menunggu secara alami (expectant management). Hasilnya?

  • Induksi sebelum 40 minggu memang sedikit menurunkan angka distosia bahu: dari 68/1000 menjadi 41/1000 kasus.
  • Tapi… meningkatkan risiko robekan perineum berat: dari 7/1000 menjadi 26/1000 kasus.
  • Dan penurunan berat bayi yang dicapai lewat induksi hanya 178 gram—setara berat 1 iPhone Max Pro—yang secara klinis tidak signifikan untuk mencegah bayi tersangkut atau lahir normal.

Selain itu, studi oleh Rosenstein et al. (2018) juga menunjukkan bahwa pada ibu hamil dengan dugaan bayi besar tanpa diabetes, tidak ada perbedaan berarti dalam hasil keselamatan ibu dan bayi antara kelompok yang diinduksi dan yang menunggu secara alami.

Justru, pada ibu hamil pertama (primigravida) dengan kondisi serviks yang belum matang, induksi malah bisa meningkatkan risiko:

  • Robekan anus tingkat lanjut (anal sphincter injury),
  • Perdarahan pascapersalinan (Postpartum Hemorrhage/PPH).

Lalu, Apa yang Sebaiknya Dilakukan?

Sebelum langsung menyetujui induksi karena bayi “dikira” besar, yuk evaluasi dulu:

Tanyakan pada tenaga kesehatan:

  1. Seberapa akurat perkiraan berat janin ini?
  2. Apakah ada indikasi medis lain?
  3. Apa manfaat dan risikonya jika saya menunggu?

Karena faktanya, perkiraan berat lewat USG bisa meleset ±15%, dan lebih dari 50% prediksi “bayi besar” terbukti tidak akurat saat lahir (Big Baby Trial, 2021).

Apakah Bayi Besar Selalu Menyebabkan Komplikasi?

Tidak juga.

Memang ada peningkatan risiko terkait (bukan otomatis disebabkan oleh) bayi besar, seperti:

  • Distosia bahu: 1% untuk bayi <3,9 kg, meningkat jadi 5–9% pada bayi 3,9–4,5 kg.
  • Robekan perineum berat: sekitar 0,6%.
  • PPH: sekitar 1,7%.

Tapi yang mengejutkan, berbagai studi (termasuk Cheng et al., 2008) menunjukkan bahwa:

Ibu yang diduga bayinya besar justru 3x lebih sering diinduksi atau disesar,

4x lebih berisiko mengalami robekan atau PPH,

Padahal, angka kejadian distosia bahunya tidak lebih tinggi dibanding ibu yang tidak dilabeli “bayi besar”.

Artinya? Banyak komplikasi terjadi bukan karena bayinya besar, tapi karena intervensi yang dilakukan akibat rasa takut nakes dan sistem.

Seperti yang disampaikan oleh Dr. Rachel Reed, bidan dan peneliti asal Australia, dalam blog-nya Reclaiming Childbirth Collective:

“The perception of a baby’s size influences outcomes more than the actual size of the baby.”

Kembalikan Kepercayaan pada Tubuh Ibu

Kita terlalu sering mengandalkan alat dan rasa takut, dan lupa bahwa tubuh perempuan dirancang untuk melahirkan—bahkan bayi 4 kg sekalipun.

Ina May Gaskin, dalam Spiritual Midwifery, berkata:

“If a woman doesn’t look like a model, it doesn’t mean she can’t birth like a goddess.”

Banyak ibu berhasil melahirkan bayi besar secara alami, tanpa robekan, tanpa drama, karena mereka:

  • Diberi waktu (tidak diburu induksi),
  • Diberi ruang gerak dan posisi bebas (tidak dipaksa terlentang),
  • Diberi dukungan dan kepercayaan.

jadis sebenernya, ini poin penting yang sering terlupakan:
Fokus kita seharusnya bukan pada seberapa besar bayinya, tapi seberapa siap tubuh dan mental kita untuk melahirkan.

Dan inilah saatnya kita mulai bicara bukan soal “apa yang harus ditakuti”, tapi apa yang bisa kita lakukan.

1. Perbaiki Pola Makan & Pantau Kadar Gula Darah

Jika kamu pernah diberi label “bayi besar”, penting untuk memastikan bukan karena diabetes gestasional yang tidak terkontrol. Caranya?

  • Lakukan diet rendah indeks glikemik (IG): hindari karbo sederhana, perbanyak protein, sayuran, dan lemak sehat.
  • Hindari camilan manis-manis berlebihan (bahkan yang “katanya” sehat).
  • Atur jadwal makan rutin, jangan tunggu lapar banget baru makan.
  • Rutin cek kadar gula darah jika kamu punya riwayat GDM.

Dr. Lily Nichols, ahli nutrisi prenatal, menyatakan dalam bukunya Real Food for Gestational Diabetes bahwa pengelolaan makanan yang tepat sangat membantu menurunkan risiko bayi besar karena GDM, tanpa perlu intervensi medis agresif.

2. Lakukan Prenatal Gentle Yoga secara Teratur

Prenatal Gentle Yoga bukan sekadar “olahraga ibu hamil”. Ini adalah pendekatan menyeluruh yang: