Ketika Persalinan Macet Tanpa Sebab: Mungkinkah Tubuh Menyimpan Cerita yang Belum Selesai?
“Padahal semua udah dilakuin, Bu…”
Begitu kalimat pembuka yang sering keluar dari mulut ibu hamil saat persalinannya tiba-tiba berhenti.
✅ Sudah yoga rutin
✅ Sudah ikut kelas napas dan hypnobirthing
✅ Sudah oiling dan mindful movement
✅ Sudah dicek, kondisi janin baik, air ketuban cukup, panggul luas
✅ Tapi… kepala bayi belum juga masuk panggul, atau kontraksi aktif malah macet total
Tak jarang, proses persalinan itu baru kembali “mengalir” setelah si ibu menangis di pelukan suaminya, atau berdamai dengan luka lama setelah ngobrol dengan ibunya atau mertuanya.
Aneh? Tidak juga. Justru sangat masuk akal—jika kita paham peran fascia dan emosi dalam tubuh perempuan yang sedang bersiap melahirkan.

Fascia: Jaringan Tubuh yang Mendengar, Mengingat, dan Merespons
Fascia adalah jaringan ikat tiga dimensi yang membungkus setiap otot, organ, tulang, hingga saraf di dalam tubuh. Ia bukan hanya “pembungkus”, tapi sistem komunikasi internal tubuh yang sangat cerdas.
Fakta menarik:
Fascia mengandung lebih dari 250 juta serabut saraf sensorik—jauh lebih banyak dibanding gabungan saraf di kulit dan mata manusia (Schleip et al., 2012).
Fascia adalah organ sensorik terbesar yang:
- Menghubungkan seluruh struktur tubuh
- Mendeteksi tekanan, nyeri, gerak, dan postur
- Menyimpan ingatan tubuh (somatic memory)
Bayangkan fascia seperti jaring laba-laba basah dan cerdas.
Kalau satu titik ditarik, seluruh jaringan akan menyesuaikan.

Trauma Emosional Tidak Hilang—Tubuh Menyimpannya
Dalam buku The Body Keeps the Score, Dr. Bessel van der Kolk menjelaskan bahwa trauma, luka batin, dan emosi yang tidak terselesaikan tidak hilang begitu saja. Tubuh—terutama jaringan ikat seperti fascia—menyimpannya dalam bentuk ketegangan, kontraksi halus, dan reaksi defensif.
Ketika ibu menyimpan:
- Luka emosional dari masa kecil
- Konflik dengan keluarga atau pasangan
- Rasa takut akan melahirkan (fear of birth, tokophobia)
- Trauma persalinan sebelumnya
maka tubuhnya bisa masuk dalam mode freeze atau tension—meskipun secara medis semuanya tampak “baik-baik saja”.
Dan tension ini bisa membuat bayi sulit menemukan posisi optimal, atau membuat proses pembukaan serviks melambat bahkan berhenti.
Trauma Emosional Tidak Hilang Begitu Saja—Tubuh Menyimpannya dalam Diam
Banyak orang berpikir bahwa emosi adalah urusan pikiran.
Bahwa ketika kita selesai menangis atau berusaha “move on”, maka tubuh pun ikut selesai.
Namun kenyataannya, tubuh memiliki memori sendiri, dan emosi yang tidak terselesaikan tidak lenyap begitu saja.
Ia tidak menguap ke udara. Ia menetap. Diam-diam disimpan oleh tubuh dalam bentuk ketegangan, kontraksi otot, atau bahkan rasa kebas.
Dan bagian tubuh yang paling banyak “menyimpan” itu adalah jaringan ikat, atau fascia.
Apa Kata Ilmu Pengetahuan?
Dalam buku yang sangat berpengaruh The Body Keeps the Score, psikiater dan peneliti trauma Dr. Bessel van der Kolk menjelaskan bahwa:
“Tubuh menyimpan semua pengalaman kita, bahkan yang tidak kita ingat secara sadar. Trauma tidak hanya terjadi di otak—ia tertanam di jaringan tubuh.”
Fascia—jaringan ikat yang menyelimuti seluruh struktur tubuh kita, dari otot hingga organ dalam—adalah salah satu tempat penyimpanan utama dari “memori tubuh” ini.
Berbagai studi neuroscience, termasuk penelitian somatik dan sensorimotor psychotherapy, menunjukkan bahwa trauma bisa tersimpan dalam bentuk:
- Otot yang terus-menerus tegang walau tidak sadar
- Gerakan yang terbatas
- Napas yang dangkal
- Reaksi membeku atau defensif saat menghadapi situasi emosional
Dampaknya pada Ibu Hamil
Dalam konteks kehamilan dan persalinan, ini sangat relevan.
Jika seorang ibu menyimpan trauma atau luka emosional dari:
- Masa kecil yang penuh tekanan
- Hubungan yang belum tuntas dengan orang tua, suami, atau dirinya sendiri
- Pengalaman persalinan traumatis sebelumnya
- Ketakutan yang dalam terhadap proses melahirkan (tokophobia)
- Pengalaman seksual atau medikal yang menyakitkan
…maka tubuhnya bisa merespons dengan cara yang halus namun signifikan.
Misalnya:
- Otot dasar panggul terasa ‘tertutup’ atau tidak responsif
- Serviks tidak membuka walau kontraksi sudah kuat
- Bayi tidak bisa masuk ke panggul meskipun posisi janin dan ukuran panggul normal
- Proses persalinan ‘macet’ atau ‘berhenti’ di tengah jalan tanpa sebab medis yang jelas
Mode Freeze: Ketika Tubuh Memilih Diam Daripada Bergerak
Tubuh manusia, secara naluriah, memiliki tiga jenis respons terhadap stres:
- Fight (melawan)
- Flight (menghindar)
- Freeze (membeku)
Pada trauma yang kronis atau tidak terselesaikan, tubuh lebih sering masuk ke mode freeze—karena ia merasa tidak aman untuk bergerak.
Di dalam persalinan, mode freeze ini bisa memengaruhi sistem saraf otonom dan sistem hormonal ibu, sehingga:
- Oksitosin menurun
- Rahim kurang responsif
- Gerakan janin dalam rahim menjadi terbatas
Maka Jangan Heran…
Ketika seorang ibu akhirnya menangis setelah bertahun-tahun memendam luka,
atau berpelukan dengan orang yang dulu mengecewakannya,
atau memaafkan diri sendiri karena merasa gagal di persalinan sebelumnya,
maka tubuh pun ikut ‘melepas’.
Yang tadinya kontraksi terhenti—tiba-tiba aktif kembali.
Yang tadinya kepala bayi ‘ngambang’—mulai masuk panggul.
Yang tadinya rasa sakit menakutkan—berubah jadi gelombang yang bisa dihadapi.
Karena tubuh kita mendengarkan setiap emosi yang belum sempat terungkap.
Dan begitu ia merasa aman, ia akan membuka jalan.
Bagaimana Merawat Fascia Selama Kehamilan?
Setelah kita memahami bahwa fascia menyimpan ketegangan, trauma, dan emosi—maka menjadi jelas bahwa merawat fascia bukan hanya soal fisik, tapi juga soal emosi dan sistem saraf.
Kabar baiknya, fascia sangat responsif. Ia bisa berubah, melunak, dan menyesuaikan… asalkan kita memberikan ruang dan dukungan yang dibutuhkan.
Berikut adalah cara-cara yang bisa dilakukan ibu hamil untuk menjaga dan merawat kesehatan fascia, agar ia bisa berfungsi optimal selama kehamilan dan persalinan:
1. Gentle Movement (Gerakan Lembut)
Fascia menyukai gerakan yang halus, berirama, dan berulang.
Gerakan seperti prenatal gentle yoga, walking mindful, atau stretching simetris membantu fascia menjaga elastisitasnya.
Gerakan lembut mendorong cairan fascia (seperti hyaluronan) mengalir dengan lancar, menjaga kelenturan dan pelumasan jaringan.
Ini penting agar janin bisa bergerak dengan lebih leluasa di dalam rahim, terutama saat mencari posisi optimal menjelang lahiran.
Contoh:
- Cat-cow slow breathing
- Pelvic rock
- Side lunge flow
- Seated gentle twist
2. Hidrasi yang Cukup
Fascia terdiri dari komponen cairan (ekstraseluler matrix) yang memungkinkan jaringan bergeser dengan halus.
Saat ibu kurang minum, cairan di fascia bisa mengental, membuat gerak tubuh lebih ‘seret’ dan menambah kekakuan jaringan.
Minum air putih cukup setiap hari bukan hanya untuk ginjal dan ketuban—tapi juga agar fascia tetap lentur dan tidak “kering” secara mikroskopis.
Tips:
- Minum air hangat pelan-pelan setelah bangun tidur
- Hindari minuman diuretik berlebihan seperti kopi manis atau teh pekat
- Tambahkan elektrolit alami seperti air kelapa atau garam himalaya jika banyak berkeringat
3. Bodywork: Sentuhan yang Menyembuhkan
Fascia sangat responsif terhadap sentuhan dan tekanan lembut.
Inilah mengapa teknik seperti:
- Myofascial release
- Rebozo technique
- Pijat kehamilan oleh terapis terlatih
- Craniosacral therapy (CST)
bisa sangat membantu meredakan ketegangan dan membuka ruang baru dalam tubuh.
Bodywork bisa menjadi “jalan pintas” untuk mengakses bagian tubuh yang menyimpan memori trauma atau ketegangan yang tidak disadari.
4. Tenangkan Sistem Saraf
Karena fascia terhubung langsung dengan sistem saraf pusat, maka kondisi mental dan emosi ibu akan sangat memengaruhi kualitas fascia.
Saat ibu merasa aman, rileks, dan diterima—jaringan tubuh pun ikut ‘melunak’.
Tapi saat ibu cemas, takut, atau merasa sendirian, tubuhnya bisa mengeras secara halus dan refleks.
Praktik yang bisa membantu:
- Pernapasan Nadhi sodhana
- Relaksasi hypnobirthing
- Afirmasi harian
- Meditasi syukur atau doa dengan kesadaran tubuh
5. Menyelesaikan Emosi yang Tertahan
Inilah bagian yang sering terlewat.
Kadang-kadang, yang membuat tubuh terasa ‘tertutup’ bukan otot, tapi emosi yang belum terselesaikan.
Fascia menyimpan banyak kisah—baik luka, harapan, maupun kenangan.
Saat ibu menyimpan perasaan seperti:
- Marah terpendam
- Ketakutan yang tak terucap
- Luka dari relasi yang belum selesai
maka tubuh bisa ikut “menahan”, bahkan jika ibu tampak tenang di permukaan.
Maka salah satu cara paling powerful merawat fascia adalah dengan membebaskan isi hati.
Caranya bisa lewat:
- Menulis jurnal harian
- Konseling atau curhat dengan orang terpercaya
- Berdoa dan mengampuni diri sendiri
- Menangis dan merasakan tanpa menghakimi
Ketika fascia sehat, lentur, dan mendukung:
- Bayi akan lebih mudah berputar dan mencari posisi optimal (rotasi janin)
- Kepala bayi lebih mudah masuk ke pintu atas panggul (engagement)
- Tubuh ibu merespons kontraksi dengan lebih efisien dan nyaman
- Proses pembukaan serviks berjalan alami, tidak melawan
- Persalinan menjadi lebih selaras, lembut, dan terasa “mengalir”
Karena sejatinya, fascia bukan hanya jaringan. Ia adalah saksi bisu dari seluruh perjalanan tubuh dan hidup kita.
Dan ia akan merespons… saat kita siap berdamai.
Jadi jika persalinan tampak ‘tertahan’ atau posisi janin belum optimal—
jangan hanya bertanya:
“Apa yang harus aku lakukan?”
Tapi juga bertanyalah:
“Apa yang tubuhku coba ceritakan?”
Karena mungkin…
yang kamu butuhkan bukan teknik baru—
tapi pelukan pada luka yang lama.
DAFTAR REFERENSI ILMIAH
-
van der Kolk, Bessel.
The Body Keeps the Score: Brain, Mind, and Body in the Healing of Trauma.
Penguin Books, 2014.
Buku seminal yang membahas bagaimana trauma disimpan dalam tubuh, termasuk jaringan otot dan fascia. -
Schleip, Robert et al.
Fascia: The Tensional Network of the Human Body – The Science and Clinical Applications in Manual and Movement Therapy.
Elsevier, 2012.
Menjelaskan peran fascia sebagai organ sensorik dan jaringan responsif terhadap tekanan, gerakan, dan emosi. -
Myers, Thomas W.
Anatomy Trains: Myofascial Meridians for Manual and Movement Therapists.
Churchill Livingstone, 2020 (4th ed.).
Mengenalkan konsep konektivitas fascia dan dampaknya terhadap postur dan pola gerak. -
Uvnäs-Moberg, Kerstin.
The Oxytocin Factor: Tapping the Hormone of Calm, Love, and Healing.
Da Capo Lifelong Books, 2003.
Menjelaskan hubungan antara relaksasi, sentuhan, oksitosin, dan persalinan fisiologis. -
Ogden, Pat, and Janina Fisher.
Sensorimotor Psychotherapy: Interventions for Trauma and Attachment.
W. W. Norton & Company, 2015.
Pendekatan klinis yang menunjukkan bagaimana tubuh menyimpan trauma dan cara membebaskannya melalui gerakan dan kesadaran tubuh. -
Bordoni, Bruno, and Emiliano Zanier.
“Anatomic connections of the diaphragm: influence of respiration on the body system.”
Journal of Multidisciplinary Healthcare, 2013, Vol. 6: 281–291.
Menjelaskan bagaimana pernapasan dan gerakan tubuh memengaruhi sistem fascia dan fungsi tubuh secara menyeluruh. -
Scaer, Robert C.
The Body Bears the Burden: Trauma, Dissociation, and Disease.
Routledge, 2007.
Buku ini menguraikan hubungan langsung antara trauma psikologis dan penyakit atau gangguan fisik melalui jalur saraf dan jaringan tubuh. -
Gottfried, Sara.
The Hormone Cure: Reclaim Balance, Sleep, Sex Drive and Vitality Naturally with the Gottfried Protocol.
Scribner, 2013.
Referensi tambahan tentang bagaimana stres kronis dan emosi memengaruhi sistem hormonal termasuk oksitosin dalam kehamilan dan persalinan.