
- Otot yang terus-menerus tegang walau tidak sadar
- Gerakan yang terbatas
- Napas yang dangkal
- Reaksi membeku atau defensif saat menghadapi situasi emosional
Dampaknya pada Ibu Hamil
Dalam konteks kehamilan dan persalinan, ini sangat relevan.
Jika seorang ibu menyimpan trauma atau luka emosional dari:
- Masa kecil yang penuh tekanan
- Hubungan yang belum tuntas dengan orang tua, suami, atau dirinya sendiri
- Pengalaman persalinan traumatis sebelumnya
- Ketakutan yang dalam terhadap proses melahirkan (tokophobia)
- Pengalaman seksual atau medikal yang menyakitkan
…maka tubuhnya bisa merespons dengan cara yang halus namun signifikan.
Misalnya:
- Otot dasar panggul terasa ‘tertutup’ atau tidak responsif
- Serviks tidak membuka walau kontraksi sudah kuat
- Bayi tidak bisa masuk ke panggul meskipun posisi janin dan ukuran panggul normal
- Proses persalinan ‘macet’ atau ‘berhenti’ di tengah jalan tanpa sebab medis yang jelas
Mode Freeze: Ketika Tubuh Memilih Diam Daripada Bergerak
Tubuh manusia, secara naluriah, memiliki tiga jenis respons terhadap stres:
- Fight (melawan)
- Flight (menghindar)
- Freeze (membeku)
Pada trauma yang kronis atau tidak terselesaikan, tubuh lebih sering masuk ke mode freeze—karena ia merasa tidak aman untuk bergerak.
Di dalam persalinan, mode freeze ini bisa memengaruhi sistem saraf otonom dan sistem hormonal ibu, sehingga:
- Oksitosin menurun
- Rahim kurang responsif
- Gerakan janin dalam rahim menjadi terbatas
Maka Jangan Heran…
Ketika seorang ibu akhirnya menangis setelah bertahun-tahun memendam luka,
atau berpelukan dengan orang yang dulu mengecewakannya,
atau memaafkan diri sendiri karena merasa gagal di persalinan sebelumnya,
maka tubuh pun ikut ‘melepas’.
Yang tadinya kontraksi terhenti—tiba-tiba aktif kembali.
Yang tadinya kepala bayi ‘ngambang’—mulai masuk panggul.
Yang tadinya rasa sakit menakutkan—berubah jadi gelombang yang bisa dihadapi.
Karena tubuh kita mendengarkan setiap emosi yang belum sempat terungkap.
Dan begitu ia merasa aman, ia akan membuka jalan.
Bagaimana Merawat Fascia Selama Kehamilan?
Setelah kita memahami bahwa fascia menyimpan ketegangan, trauma, dan emosi—maka menjadi jelas bahwa merawat fascia bukan hanya soal fisik, tapi juga soal emosi dan sistem saraf.
Kabar baiknya, fascia sangat responsif. Ia bisa berubah, melunak, dan menyesuaikan… asalkan kita memberikan ruang dan dukungan yang dibutuhkan.
Berikut adalah cara-cara yang bisa dilakukan ibu hamil untuk menjaga dan merawat kesehatan fascia, agar ia bisa berfungsi optimal selama kehamilan dan persalinan:
1. Gentle Movement (Gerakan Lembut)
Fascia menyukai gerakan yang halus, berirama, dan berulang.
Gerakan seperti prenatal gentle yoga, walking mindful, atau stretching simetris membantu fascia menjaga elastisitasnya.
Gerakan lembut mendorong cairan fascia (seperti hyaluronan) mengalir dengan lancar, menjaga kelenturan dan pelumasan jaringan.
Ini penting agar janin bisa bergerak dengan lebih leluasa di dalam rahim, terutama saat mencari posisi optimal menjelang lahiran.
Contoh:
- Cat-cow slow breathing
- Pelvic rock
- Side lunge flow
- Seated gentle twist
2. Hidrasi yang Cukup
Fascia terdiri dari komponen cairan (ekstraseluler matrix) yang memungkinkan jaringan bergeser dengan halus.
Saat ibu kurang minum, cairan di fascia bisa mengental, membuat gerak tubuh lebih ‘seret’ dan menambah kekakuan jaringan.