Bidan Kita

Home Childbirth All About Childbirth KETUBAN PECAH DINI

KETUBAN PECAH DINI

0
KETUBAN PECAH DINI

Apa Itu Ketuban Pecah Dini (KPD)?

Dalam dunia medis, Ketuban Pecah Dini atau Prelabour Rupture of Membranes (PROM) merujuk pada kondisi di mana kantung ketuban pecah sebelum kontraksi persalinan dimulai. Artinya, pada saat itu serviks belum membuka aktif dan rahim belum mulai berkontraksi secara ritmik, seperti halnya dalam fase awal persalinan.

Secara teknis, kantung ketuban terdiri dari dua lapisan pelindung penting—amnion (lapisan dalam yang langsung menyelimuti janin) dan korion (lapisan luar yang bersebelahan dengan dinding rahim). Kantung ini berisi cairan amnion, yang berfungsi sebagai bantalan pelindung, pengatur suhu, serta penyedia ruang gerak bagi janin. Kantung ini juga melindungi bayi dari infeksi dan tekanan fisik dari luar.

Klasifikasi PROM:

PROM dibagi berdasarkan usia kehamilan saat terjadi:

  1. Term PROM: Ketuban pecah pada usia kehamilan ≥37 minggu dan belum ada kontraksi. Ini adalah bentuk PROM yang paling sering terjadi.
  2. Preterm PROM (PPROM): Ketuban pecah sebelum usia 37 minggu kehamilan, yang merupakan kondisi dengan risiko lebih tinggi bagi bayi karena lahir prematur.

Apakah Ketuban Pecah Berarti Persalinan Dimulai?

Banyak yang menyangka bahwa pecahnya ketuban adalah awal mutlak dari persalinan, padahal tidak selalu demikian.

Dalam sebagian besar kasus, kantung ketuban justru tetap utuh hingga proses persalinan memasuki fase aktif, bahkan hingga bayi hampir lahir. Namun, sekitar 10% ibu hamil mengalami ketuban pecah sebelum kontraksi dimulai—dan inilah yang disebut Ketuban Pecah Dini (PROM).

Paradigma Medis Konvensional: Antara Kewaspadaan dan Kekhawatiran

Dalam sistem pelayanan kebidanan modern, ketuban pecah dini (PROM) sering kali diperlakukan sebagai kondisi yang membutuhkan tindakan cepat dan tegas. Protokol medis umumnya menganggap pecahnya ketuban sebelum kontraksi sebagai tanda bahaya, dengan asumsi bahwa semakin lama ketuban dibiarkan terbuka, semakin tinggi risiko infeksi bagi ibu dan bayi. Karena itulah, begitu seorang ibu melaporkan ketuban pecah tanpa kontraksi, biasanya akan langsung disarankan untuk induksi persalinan, menggunakan prostaglandin atau oksitosin sintetis seperti pitocin/syntocinon, agar kontraksi segera dimulai. Tak jarang pula, antibiotik intravena diberikan secara rutin, meskipun tidak ada tanda klinis infeksi, sebagai bentuk “pencegahan”.

Namun sayangnya, pendekatan ini sering kali dilakukan secara otomatis, tanpa mempertimbangkan secara menyeluruh konteks klinis individual dari sang ibu. Apakah cairannya bening? Apakah janin aktif bergerak? Apakah suhu tubuh ibu stabil? Apakah ada pemeriksaan dalam sebelumnya? Semua ini jarang dijadikan landasan untuk mengambil keputusan secara personal.

Alih-alih menunggu respons alami tubuh—seperti kontraksi spontan yang bisa muncul dalam 12–72 jam—pendekatan medis cenderung ingin segera “mengambil alih” proses persalinan. Padahal, tidak semua kasus PROM membutuhkan intervensi cepat. Banyak penelitian menunjukkan bahwa expectant management (menunggu dengan observasi ketat)bisa menjadi pilihan yang aman dan fisiologis, selama tidak ada tanda infeksi atau gangguan pada janin.

Paradigma ini tentu muncul dari niat baik untuk menghindari komplikasi. Tapi di sisi lain, jika dijalankan tanpa fleksibilitas dan pemahaman akan proses fisiologis persalinan, pendekatan ini justru bisa memicu rantai intervensi yang tidak perlu—dimulai dari induksi, berlanjut ke penggunaan obat penguat kontraksi, anestesi, hingga kemungkinan berakhir pada operasi sesar. Semua itu berawal dari satu asumsi: bahwa tubuh ibu tidak bisa diandalkan, dan ketuban pecah harus segera “ditangani”.

Sudah saatnya kita melihat bahwa kewaspadaan tidak harus berarti kekhawatiran berlebihan. Kita perlu mengedepankan penilaian individual, komunikasi terbuka, dan kepercayaan terhadap proses alami tubuh—agar ibu bisa menjalani persalinan dengan tenang, terinformasi, dan tetap dalam kendali dirinya sendiri.

Jadi. Dalam paradigma medis modern, PROM sering dianggap sebagai tanda bahaya atau keadaan darurat, terutama karena adanya kekhawatiran akan infeksi pada janin atau ibu. Oleh karena itu, protokol rumah sakit pada umumnya akan menyarankan:

  • Induksi persalinan segera, biasanya menggunakan prostaglandin atau oksitosin sintetis (pitocin/syntocinon).
  • Pemberian antibiotik intravena selama proses persalinan sebagai langkah pencegahan infeksi.

Namun, pendekatan ini kerap dilakukan secara otomatis, tanpa mempertimbangkan konteks klinis individu atau menunggu sinyal alami dari tubuh ibu.

Perspektif Fisiologis: Variasi Normal atau Risiko?

Sementara paradigma medis konvensional memandang ketuban pecah dini (PROM) sebagai situasi yang harus segera ditangani, praktisi dan peneliti fisiologis melihatnya dari sudut yang berbeda—lebih tenang, lebih menghormati kebijaksanaan tubuh perempuan. Nama-nama seperti Rachel Reed, Ina May Gaskin, Michel Odent, dan Penny Simkintelah lama mengajukan pendekatan yang lebih membumi dan berbasis pengalaman nyata di lapangan.

Bagi mereka, PROM tidak selalu berarti ada yang salah. Justru, dalam banyak kasus, ketuban yang pecah sebelum kontraksi bisa menjadi bagian dari alur alami dan sangat individual dalam proses menuju kelahiran. Tubuh perempuan tidak bekerja berdasarkan stopwatch atau protokol ketat, melainkan pada sinkronisasi hormonal dan kesiapan emosional-fisik yang unik bagi setiap kehamilan.

Rachel Reed, seorang bidan dan akademisi yang dikenal karena keberaniannya menantang standar kebidanan kaku, menyatakan dengan tegas:

“Prelabour rupture of membranes is a variation of normal.”

Artinya, ketuban pecah sebelum kontraksi bisa saja merupakan bagian dari variasi normal, bukan sinyal bahwa tubuh “gagal” atau bahwa persalinan “macet”. Dalam perspektif ini, ketuban yang pecah lebih awal bisa menjadi bagian dari ritme tubuh yang sedang menyusun urutan hormonal—misalnya pelepasan prostaglandin dan oksitosin—untuk memulai gelombang persalinan secara bertahap.

Michel Odent bahkan mengaitkan momen-momen menjelang persalinan (termasuk PROM) dengan ketenangan lingkungan, perasaan aman, dan kehadiran dukungan penuh kasih, bukan tekanan medis. Ia percaya bahwa oksitosin hanya bisa bekerja saat ibu merasa aman dan tidak diintervensi secara agresif.

Dengan pendekatan ini, proses kelahiran tidak dilihat sebagai “masalah” yang harus segera diperbaiki, tetapi sebagai kejadian biologis yang perlu dihormati dan difasilitasi dengan lembut. Bukan berarti semua kasus PROM bisa ditunggu—tetap perlu observasi ketat—namun, keputusan untuk intervensi sebaiknya tidak diambil tergesa-gesa tanpa melihat konteks utuh ibu dan bayinya.

Pendekatan fisiologis ini mengingatkan kita bahwa tidak semua proses kelahiran berjalan seragam, dan kadang—yang dibutuhkan bukan tindakan medis, tapi waktu, ruang, dan kepercayaan penuh pada tubuh perempuan.

Kapan PROM Membutuhkan Penanganan Khusus?

Tidak semua kasus ketuban pecah dini (PROM) berarti darurat. Ini adalah hal penting yang perlu dipahami, terutama oleh ibu hamil yang ingin menjalani persalinan fisiologis atau VBAC. Faktanya, dalam banyak kasus, ketuban bisa pecah sebelum kontraksi dimulai, namun tubuh tetap memulai persalinan secara alami dalam waktu 12–72 jam kemudian.

Namun demikian, ada kondisi-kondisi tertentu di mana PROM membutuhkan perhatian dan penanganan medis lebih lanjut. Artinya, bukan sekadar menunggu kontraksi, tapi juga melakukan observasi cermat atau bahkan intervensi yang sesuai. Berikut adalah tanda-tanda penting yang tidak boleh diabaikan:

⚠️ 1. Tanda-Tanda Infeksi

Infeksi adalah risiko utama dari PROM, terutama bila ketuban sudah pecah cukup lama atau terjadi pemeriksaan vagina (VT) berulang. Beberapa tanda yang perlu diwaspadai:

  • Demam ibu (≥38°C)

  • Cairan ketuban berbau menyengat, amis tajam, atau berbeda dari biasanya

  • Cairan berubah warna menjadi hijau gelap atau coklat (kemungkinan mekonium)

  • Denyut jantung janin meningkat (>160 bpm) tanpa kontraksi yang adekuat

  • Ibu merasa menggigil, mual, atau tidak enak badan secara umum

Jika salah satu dari ini muncul, segera ke fasilitas kesehatan. Infeksi seperti chorioamnionitis bisa berkembang cepat dan berbahaya jika tidak ditangani.

2. Gerakan Janin Menurun atau Tidak Terasa

Setelah ketuban pecah, sangat penting untuk memantau aktivitas janin secara rutin. Normalnya, janin bergerak minimal 10 kali dalam 2 jam saat ibu dalam keadaan tenang. Jika ibu:

  • Merasa janin bergerak lebih pelan dari biasanya

  • Tidak merasakan gerakan sama sekali dalam waktu lama

  • Hanya merasakan “denyut kecil” tapi tidak ada pergerakan aktif

Maka ini bisa menjadi tanda bahwa janin mengalami stres atau kekurangan oksigen. Segera lakukan pemeriksaan CTG atau USG untuk memastikan kesejahteraan janin.

3. Oligohidramnion Berat (Ketuban Sangat Sedikit)

Saat cairan ketuban terus keluar tetapi tidak digantikan oleh tubuh, bisa terjadi oligohidramnion—yaitu kondisi di mana jumlah air ketuban terlalu sedikit. Dampaknya:

  • Janin bisa kesulitan bergerak

  • Tali pusat bisa tertekan (umbilical cord compression)

  • Proses persalinan berisiko stagnan atau penuh intervensi

Kondisi ini biasanya diketahui lewat pemeriksaan USG. Jika jumlah ketuban sangat sedikit (AFI <5), dan janin belum menunjukkan tanda-tanda persalinan spontan, intervensi bisa dipertimbangkan.

4. Riwayat Komplikasi Kehamilan atau Kondisi Medis Tertentu

Pada ibu dengan riwayat atau kondisi berikut, PROM memerlukan pendekatan yang lebih hati-hati:

  • Kehamilan kembar

  • Preeklamsia

  • Riwayat SC dengan insersi plasenta rendah

  • Plasenta previa, diabetes, hipertensi kronik

  • Riwayat bayi lahir prematur, pertumbuhan janin terhambat (IUGR)

Pada kelompok ini, meskipun belum ada tanda infeksi atau kontraksi, penantian harus lebih terstruktur, sering kali disertai observasi ketat di fasilitas medis.

Jika Tidak Ada Tanda Risiko di Atas?

✅ Jika:

  • Cairan ketuban bening, tidak bau

  • Ibu sehat, tidak demam

  • Gerakan janin aktif

  • Tidak ada VT sejak ketuban pecah

  • Posisi janin sudah engaged

  • Dan kehamilan sudah mencapai ≥37 minggu

…maka menunggu kontraksi alami adalah pilihan yang aman dan fisiologis. Penantian ini harus disertai pemantauan mandiri yang baik, seperti:

  • Cek suhu tubuh setiap 4–6 jam

  • Hitung gerakan janin minimal 3x sehari

  • Ganti pembalut tiap 2 jam dan amati warna/tekstur cairan

  • Tetap tenang, tidur cukup, dan hindari VT atau kontak vagina

Studi dari Hannah et al. dan WHO 2018 menyatakan bahwa dalam kasus PROM cukup bulan tanpa komplikasi, 95% ibu akan masuk persalinan dalam 24–72 jam secara alami.

Artinya PROM tidak otomatis berarti intervensi. Tapi juga bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Intinya adalah: dengarkan tubuh Anda, perhatikan tanda-tanda yang muncul, dan ambil keputusan dengan informasi yang lengkap. Tubuh Anda bijak, tapi tetap perlu didampingi oleh sistem yang juga bijak dan suportif.

PANDANGAN RACHEL REED: VARIASI NORMAL, BUKAN KEDARURATAN

Rachel Reed, seorang bidan dan akademisi dengan pendekatan fisiologis, menyatakan bahwa:

“Prelabour rupture of membranes is a variation of normal.”

Maknanya: Pecah ketuban sebelum kontraksi bukan secara otomatis berarti ada masalah. Ini bisa menjadi bagian dari variasi fisiologis alami tubuh ibu saat bersiap melahirkan. Yang harus diperhatikan adalah konteks: kondisi ibu, janin, dan respons tubuh setelah ketuban pecah.

Namun, di banyak sistem medis modern, ketuban pecah tanpa kontraksi langsung dianggap sebagai kondisi yang harus “diintervensi”—biasanya dengan induksi.

Respons Medis Umum:

Respons rumah sakit saat ini umumnya:

  • Melakukan induksi persalinan segera dengan prostaglandin dan/atau oksitosin sintetis (Syntocinon/Pitocin).
  • Kata “augmentasi” (augmenting labour) sering digunakan alih-alih “induksi” untuk membuatnya terdengar lebih ringan.
  • Ibu yang memilih menunggu akan diperingatkan tentang risiko infeksi dan dianjurkan untuk menggunakan antibiotik IV selama persalinan.

Sejarah Perubahan Protokol Rumah Sakit:

Menurut Rachel, saat ia pertama kali praktik di UK (2001), jika ibu mengalami PROM dan kondisi lainnya baik, petugas akan berkata:

“Kalau belum mulai kontraksi dalam 3 hari, telepon kami kembali.”

Namun sekarang:

  • Protokolnya berubah dari 72 jam → 48 → 24 → 18 → 12 → langsung 0 jam (induksi segera).
  • Perubahan ini bukan didasarkan pada bukti ilmiah terbaru, melainkan lebih karena standar institusional yang berubah tanpa dasar kuat.

Jenis-Jenis Pecah Ketuban:

  1. Forewater Leak (Air Ketuban Depan)
    • Pecahnya membran di antara kepala bayi dan serviks.
    • Terjadi semburan besar, lalu kepala bayi turun dan menyumbat serviks, tapi cairan tetap menetes.
    • Dapat terjadi semburan ulang jika kepala bayi bergerak.
  2. Hindwater Leak (Air Ketuban Belakang)
    • Lubang ada di belakang kepala bayi, menyebabkan tetesan lambat dan terus-menerus.
    • Bagian depan kantung (forewaters) masih utuh, tetap berfungsi normal.
  3. Kebocoran Chorion/Amnion
    • Bukan PROM sebenarnya.
    • Cairan yang keluar berasal dari antara lapisan chorion dan amnion (sekitar 200 ml).
    • Kebocoran berhenti dengan sendirinya karena cairan ini tidak diregenerasi, tidak membahayakan janin.

Amnion masih utuh, jadi tidak perlu diperlakukan seperti PROM.

MENGAPA INDUKSI SERING DIREKOMENDASIKAN?

Paradigma Medis:

  • Kekhawatiran utama: risiko infeksi seperti chorioamnionitis.
  • Asumsi umum: semakin lama ketuban pecah, semakin tinggi risiko infeksi, terutama setelah >18 jam.
  • Oleh karena itu, banyak protokol medis merekomendasikan induksi dalam 12–24 jam pasca PROM.

Namun…

Rachel Reed dan juga para tokoh fisiologis seperti Penny Simkin, Ina May Gaskin, dan Michel Odent justru mengkritisi pendekatan ini, karena:

  • Banyak intervensi dilakukan tanpa tanda infeksi nyata.
  • Risiko infeksi justru meningkat akibat intervensi medis seperti pemeriksaan vagina berulang (VT), bukan karena waktu semata.

“Pemeriksaan dalam (vaginal exam) berulang lebih meningkatkan risiko infeksi dibandingkan lamanya ketuban pecah.” – Rachel Reed

PANDANGAN WHO: MENDUKUNG EXPECTANT MANAGEMENT

WHO (2020) memberikan rekomendasi:

“For women with term PROM without signs of infection, induction of labour is not necessarily required immediately, and expectant management is an option.”

WHO menekankan pendekatan berbasis informed choice dan expectant management (menunggu dan memantau). Ini mencerminkan perubahan paradigma ke arah yang lebih hormat pada proses tubuh ibu dan pengambilan keputusan bersama.

PERSPEKTIF TOKOH NATURAL CHILDBIRTH:

Ina May Gaskin (The Farm Midwifery):

  • Banyak kasus ketuban pecah di The Farm yang tidak segera diinduksi, dan ibu melahirkan dengan tenang dalam 24–72 jam.
  • Faktor utama keberhasilan: lingkungan yang aman, minim stres, tidak ada intervensi berlebihan, serta dukungan psikologis dan spiritual.
  • Ia menekankan bahwa tubuh perempuan tidak bodoh atau rusak—kadang tubuh hanya butuh waktu, ruang, dan kepercayaan.

‍♂️ Michel Odent:

  • Menekankan peran oksitosin alami dan rasa aman. Jika ketuban pecah lalu ibu cemas, takut, atau mendapat tekanan dari sistem medis, produksi oksitosin menurun, sehingga kontraksi tak kunjung muncul.
  • Ia percaya bahwa kepercayaan penuh pada tubuh perempuan adalah dasar utama dari kelahiran fisiologis.

Terlalu cepat mengintervensi dapat merusak ritme alami persalinan.

APA KATA PENELITIAN?

Sebuah studi oleh Hannah et al. (1996) menunjukkan bahwa induksi dini pada PROM tidak signifikan mengurangi angka infeksi, dibanding dengan menunggu (expectant management), asalkan tidak dilakukan pemeriksaan dalam berulang.

Sekitar 95% ibu dengan ketuban pecah akan mulai mengalami kontraksi dalam waktu 72 jam, tanpa intervensi apa pun (di lingkungan yang mendukung dan tanpa stres).

KRITIK TERHADAP SISTEM KONVENSIONAL

Paradigma intervensi aktif atas nama “keselamatan” seringkali berakar dari asumsi ketidakmampuan tubuh perempuan.

Padahal:

  • Waktu bukan satu-satunya indikator risiko.
  • Intervensi justru menciptakan rantai intervensi: Ketuban pecah → Induksi → Kontraksi palsu → CTG bermasalah → Epidural → Kemungkinan SC.

Penny Simkin menyebut ini sebagai “cascade of intervention”, di mana satu intervensi menciptakan kebutuhan akan intervensi lainnya.

✅ MAKA APA YANG HARUS DILAKUKAN SAAT PROM?

Jika tidak ada tanda infeksi:

  • Pantau suhu tubuh ibu
  • Perhatikan warna, bau, dan jumlah cairan
  • Pantau gerakan janin
  • Jaga area vagina tetap bersih, hindari hubungan seksual & berendam
  • Kurangi atau hindari pemeriksaan vagina
  • Berikan afirmasi positif dan rasa tenang

Jika dalam 24–72 jam belum muncul kontraksi:

  • Lihat kondisi keseluruhan (tidak hanya waktu)
  • Evaluasi bersama: apakah induksi memang dibutuhkan atau tidak?

Hasil Induksi vs Menunggu (Expectant Management)

Untuk Bayi:

  • Risiko infeksi neonatal setelah PROM: 1%, dibanding 0.5% tanpa PROM.
  • Artinya: 99% bayi tidak mengalami infeksi setelah PROM.
  • Tapi… Apakah induksi menurunkan risiko infeksi?

Cochrane Review:

  • Menunjukkan bahwa induksi “mungkin” menurunkan infeksi, tapi…
  • Hanya 3 studi dalam review ini yang memiliki risiko bias rendah.
  • Mayoritas bukti dianggap kualitas rendah.
  • Bukti paling kuat justru menyatakan tidak ada perbedaan angka kematian bayi antara induksi dan menunggu.

Sepsis:

  • Peningkatan sepsis neonatal <2%.
  • Ketika hanya kasus “pasti” yang dihitung, perbedaannya tidak signifikan.
  • Banyak “dugaan sepsis” muncul dari reaksi berlebihan provider, bukan infeksi nyata.

Misalnya, epidural bisa menaikkan suhu tubuh → dicurigai infeksi → antibiotik.

Untuk Ibu:

  • Risiko infeksi uterus naik 1% jika menunggu.
  • Tapi, infeksi uterus bisa diobati jika dikenali dini.
  • Lingkungan rumah sakit sebenarnya lebih berisiko infeksi karena intervensi dan paparan bakteri asing.
  • Tidak ada perbedaan angka SC secara umum, tapi untuk ibu hamil pertama, induksi meningkatkan risiko SC (sayangnya tidak dipisahkan dalam data Cochrane).

Persepsi Ibu:

  • Hanya 1 studi menanyakan pendapat ibu.
  • Ibu yang diinduksi cenderung menyatakan “tidak ada keluhan”.
  • Tapi, tidak bisa membandingkan antara persalinan alami dan induksi jika ibu tidak mengalami keduanya.
  • Keyakinan bahwa induksi melindungi bayi bisa mengaburkan pengalaman sebenarnya.

Antibiotik: Just in Case?

  • Cochrane Review menyatakan:
    “Tidak cukup bukti bahwa antibiotik bermanfaat atau aman jika diberikan rutin setelah PROM tanpa infeksi.”
  • Efek samping jangka pendek: oral thrush, puting sakit, gangguan menyusui.
  • Efek jangka panjang: disbiosis usus, gangguan imunitas, resistensi antibiotik.
  • Banyak bayi diberi antibiotik padahal tidak ada gejala.

Kalau Memilih Menunggu:

  • 79% ibu akan masuk persalinan dalam 12 jam.
  • 95% akan melahirkan spontan dalam 24 jam.

Tips Saat Menunggu:

  1. Pikiran positif – anggap ini waktu menyiapkan diri dan rumah.
  2. Hindari apapun ke dalam vagina – tidak ada hubungan seksual atau VT kecuali sangat perlu.
  3. Mandi boleh – asalkan tidak ada tambahan zat dalam air.
  4. Amati perubahan – gerak janin, suhu tubuh, bau/warna cairan ketuban.
  5. Percaya prosesnya – tubuh tahu caranya melahirkan.
  6. Inisiasi dini & skin to skin – membantu kolonisasi bakteri sehat dari ibu ke bayi.
  7. Waspadai infeksi pasca lahir – demam, denyut nadi cepat, lemas, napas bayi berat, warna pucat.

Kesimpulan Kritis:

  • Bukti ilmiah mengenai induksi pada PROM lemah.
  • Antibiotik rutin tidak didukung bukti kuat.
  • Risiko infeksi sangat kecil, dan lebih sering berasal dari intervensi.
  • Ibu berhak mendapat informasi menyeluruh, bukan tekanan ketakutan.
  • Menunggu bukan tindakan ceroboh — itu pilihan berbasis kepercayaan pada tubuh.

‍♀️ DARI PERSPEKTIF GENTLE BIRTH:

PROM adalah undangan untuk sabar dan percaya. Bukan perlombaan dengan waktu. Yang dibutuhkan:

  • Lingkungan yang aman dan nyaman
  • Tim support yang tidak menakut-nakuti
  • Kesempatan bagi tubuh untuk memulai ritmenya sendiri

KESIMPULAN KRITIS

✅ PROM bukan kegawatdaruratan otomatis
✅ “Waktu” bukan satu-satunya faktor risiko infeksi
Lingkungan & intervensi invasif justru memperbesar risiko
Tubuh ibu bisa dipercaya jika diberi waktu dan dukungan
✅ Setiap ibu berhak atas informasi lengkap, bukan tekanan atau ketakutan

REFERENSI & RUJUKAN ILMIAH:

  • Reed, R. (2021). Prelabour Rupture of Membranes. RachelReed.website
  • WHO. (2020). Recommendations: Intrapartum care for a positive childbirth experience.
  • Hannah ME, et al. (1996). Management of Term Prelabour Rupture of the Membranes. NEJM.
  • Gaskin, I. M. (2003). Ina May’s Guide to Childbirth.
  • Odent, M. (2013). Birth and Breastfeeding.
  • Simkin, P., & Ancheta, R. (2011). The Labor Progress Handbook.