Saat kehamilan memasuki usia 29 minggu, aku juga mengikuti pelatihan menjadi doula di Ubud, Bali, selama 12 hari. Di tempat Ibu Robin ini aku semakin meresapi cara persalinan gentle birth dan mulai menyadari arti penting doula, pendamping persalinan. Doula membuatku belajar memahami proses persalinan dan penangannya serta pentingnya pendampingan pada saat kehamilan sebagai support untuk sekedar berbagi mengatasi rasa takut, was-was, mitos, dan tekanan negatif dari luar.
Myasthenia Gravis
Pada usia kehamilan 32 minggu, ketika semuanya mulai tampak baik-baik saja, muncul masalah baru. Myasthenia Gravis, penyakit lemah otot dan syaraf, kembali datang setelah pernah sembuh pada 2009 lalu. Untungnya, Myasthenia Garvis yang kualami masih di level paling awal.
Saat myasthenia muncul, pandangan menjadi ganda lalu mata akan “menutup” seperti boneka garfield. Efek lainnya, kondisi fisik mudah drop hingga untuk naik tangga saja rasanya begitu sulit. Namun Dokter Hariyasa kembali memberikan suport bahwa kelemahan otot ini bukan halangan untuk melahirkan normal. Aku menarik nafas lega.
Hanya setelah persalinan nanti, oleh dokter Neurolog, aku disarankan untuk MRI. Ini untuk mengetahui apakah penyakit itu muncul karena dipicu kehamilan atau memang muncul kembali.
Menjelang Persalinan
HPL ku sebenarnya 20 Mei 2012. Namun hingga dua hari pasca HPL belum ada tanda-tanda kontraksi. Hasil pemeriksaan VT: mulut rahim mulai lunak dan sudah ada pembukaan satu. Namun air ketuban sudah berkurang. Dokter saat itu menawarkan induksi. Namun aku menolak. Sebisa mungkin aku ingin melahirkan secara normal.
Empat hari pasca HPL, USG kembali dilakukan. Dari situ terlihat air ketuban semakin berkurang. Ini cukup membingungkan karena selama dua hari sebelumnya, aku terus rehidrasi 5 liter per hari, apalagi ketubanku tidak pecah dini. Dokter lagi-lagi menyuruh induksi. Namun aku masih bersikeras ingin mengalami persalinan alami.
Dokter saat itu mengatakan berkurangnya air ketuban yang bisa mengakibatkan penekanan pada tali pusat ke janin. Sementara janinku sudah ada satu lilitan tali pusat di leher. Tekadku mulai goyah, tapi aku mengatakan “Baiklah aku akan datang besok untuk induksi.” Namun ucapan itu tidak kulakukan.
Kembali aku mencari dokter alternatif. Jika dihitung-hitung aku sudah “belanja” enam dokter SPOG selama kehamilan ini. Tak perlu fanatik dengan satu dokter, tapi terus mencari mana dokter yang “sreg di hati”. Â Aku juga menyiapkan mental jika harus dilakukan operasi Caesar, karena yang kupelajari mengenai gentle birth adalah bagaimana kita memberdayakan diri untuk memberikan kado terbaik kepada Aaliyah. Aku percaya kehamilan akan berjalan baik jika didukung suport sistem yang baik.
Pemeriksaan dokter lain menunjukkan air ketubanku dinyatakan bagus dan normal. Harapan melahirkan di rumah kembali memanggil- manggil. Beruntung aku sempat ngobrol dengan Bidan Rini pada saat Kopdar Gentle Birth Untuk Semua (GBUS). Mungkin ini rejeki juga pas bidan Rini di Jakarta, sehingga bisa berkunjung ke rumah.
Pada 25 Mei (HPL+5), bidan Rini datang ke rumah. Beliau langsung menyarankan melakukan persiapan kamar sekaligus mensterilisasi kolam yang akan digunakan untuk persalinan. Bidan Rini juga sempat melakukan VT. Hasilnya tetap sama: masih pembukaan satu dan mulut serviks sudah lunak.
Dua hari kemudian (HPL+7), Bidan Rini datang lagi. Saat itu masih dalam tahap kontraksi palsu. Belum ada kontraksi intens dan belum ada perubahan pembukaan. Bidan Rini pulang ke Bandung. Namun beliau temannya, yaitu Bidan Lisa.
Selama memasuki masa HPL aku terus melakukan pelvic rock dengan birthing ball, berkomunikasi dengan janin, induksi alami, pijat endhorphine, moxa, akupuntur, NTS (Neuro Tendo Stimulation), makan duren, nanas, dan jeruk. Namun kontraksi sesungguhnya tak kunjung datang. Bahkan kami sempat memutuskan jika sampai HPL+12 masih belum ada kontraksi, aku pun ikhlas menjalani induksi.
Pada 29 Mei (HPL+9), Bidan Lisa memutuskan pulang ke Bandung karena kontraksi masih belum intens. Aku masih sempat mengantar Bidan Lisa ke travel. Saat itu pukul 07.00 WIB. Saat itulah, sesudah membeli makanan, perlahan mulai merasakan kontraksi hebat, meski intensitasnya tak beraturan. Jam 09.00 WIB, kontraksinya terasa cepat sekali, badan rasanya capeek banget. Perut terasa seperti di remas dari dalam, dengkul lunglai, begitu pun paha dan kaki. Seperti nyeri haid dengan kekuatan berlipat kali lebih besar.
Saat itu juga aku mengabari Bidan Rini bahwa kontraksi mulai intens. Bidan Rini akan menyusul ke Jakarta, begitu Bidan Lisa sampai di Bandung. Selama menunggu Bidan Rini, aku berada di kasur, persis anak kucing yang mencari puting susu ibunya.
Pukul 13.00 wib Bidan Rini dan Bidan Lisa tiba di rumah. Kontraksi saat itu sudah teratur. Aku bahkan sempat tidur. Setelah dicek, ternyata baru pembukaan tiga. Sempat shock juga mendengarnya. “Whaat??? Baru pembukaan tiga? Waah, kalau pembukaan ke dua ke tiga saja lama dan seperti ini rasanya, gimana nanti ya?” Namun berkat kerja cekatan Mbak Rini dan Mbak, aku tetap merasa nyaman. Keduanya melakukan pijitan, moxa, dan rebozo. Tidak menghilangkan rasa nyeri, tapi lumayan tereduksi dengan treatment itu.
Bu Lanny yang kebetulan tinggal tak jauh dari rumah juga mampir memberikan dukungan. Dukungan beliau berdampak dahsyat sekali. Beliau sempat mengajakku bercanda diantara masa true labor, mempraktekkan pelatihan doula di Bali, dan mengajak berdansa bersama.
Akhirnya, tepat pukul 19.00 wib, pembukaan 7. Di situ mulai “seriosa” nggak jelas setiap gelombang cinta datang. Jarak antar gelombang cinta juga semakin dekat. Pada pukul 21.00 akhirnya bukaan lengkap (10). Aku pun masuk ke kolam.
Saat masuk ke kolam rasanya lega sekali. “Mak nyeess”. Terasa nikmat sekali berada di kolam persalinan sendiri. Di kolam itu aku membutuhkan waktu cukup lama di Kala II itu. Kontraksi juga semakin berkurang. Meski bukaan sudah lengkap, namun tetap membutuhkan waktu cukup lama. Ketika mulai kontraksi, aku membantu dengan mengejan. Bahkan ketika kepala Aaliyah sudah mulai keluar dan aku bisa menyentuh ubun-ubunnya yang masih terbalut ketuban, aku masih membutuhkan perjuangan cukup panjang. Rasanya lelah sekali. Aku bersender ke suami yang memeluk dari belakang. Awalnya aku jongkok di kolam, lalu berubah posisi berbaring dengan tangan yang menopang paha, dengan perut yang dinaikkan.
Di tengah-tengah proses itu, aku kadang beristirahat untuk menyimpan tenaga. Pada saat Aaliyah mulai mencari jalan lahirnya, aku pun membantu dengan mengejan. Akupun menaikkan pantat agar Aaaliyah mudah ditangkap. Jika orang lain mungkin butuh 1-3 kali mengejan ketika kepala janin sudah keluar, aku butuh lebih dari 10 kali. Mungkin karena penyakit lemah otot ku sehingga proses ini berlansung lama.