Jam 12 siang saya makan sambil tiduran. Kemudian dilakukan relaksasi hypnobirthing. Saya membujuk Yusuf supaya mau turun dan segera bertemu kita semua, saya puji dia anak pintar dan jenius, dia tahu apa yang harus dilakukan tanpa ada yang mengajari. Kontraksi saya terasa menguat saat saya berada dalam kondisi hypnosis itu, namun dengan otomatis saya bisa menyalurkannya lewat nafas panjang dan dalam, lalu dihembuskan keluar dengan panjang diiringi suara, kadang “aaaah” kadang “omm”, apapun yang saya rasa benar. Saya memilih untuk menikmati setiap kontraksi yang datang daripada harus melawannya. Mama yang sempat mampir untuk melihat kondisi saya jadi bingung, tiap kali kontraksi kok saya malah mendesah J. Bidan bilang cara itu bagus sekali untuk menyimpan energi dengan efisien dibandingkan kalau kita teriak-teriak, tangan mengepal dan nafas memburu. Saat kontraksi berakhir, saya bernafas seperti biasa, bisa mengobrol, mendengarkan para bidan saya bergosip ria, pokoknya terasa seperti di rumah…karena memang saya berada di rumah
Waktu terus berjalan, cek rutin Doppler terus dilakukan, Alhamdulillah detak jantung Yusuf selalu stabil dan kuat, arjuna ku sedang berjuang turun menuju dunia. Namun sepertinya ada sesuatu yang salah, baik saya maupun para bidan menyadarinya. Kontraksi saya ringan sekali, tidak sampai 30 detik durasinya. Sayapun yang mengalami itu merasa aneh, ini rasanya jauh sekali dengan melahirkan anak pertama dulu dengan induksi. Enak, enak sekali, tidak sakit, hanya mulas. Skala 5 dari rentang 1-10. Sedangkan nyeri induksi waktu dulu bisa mencapai 9,5 skalanya. Bidan saya mulai khawatir kontraksi ringan ini tidak cukup efektif membawa bayi saya turun lebih jauh. Saya juga mulai jadi ragu, beneran nggak sih ini sudah benar kontraksinya… Merekapun melakukan induksi alami lebih giat lagi dengan sentuhan-sentuhan dan tekanan di titik tertentu untuk merangsang keluarnya endorphin.
Jam 13.30 saya tidak bisa menahan kantuk, badan sudah mulai lelah terjaga dari dini hari tadi. Sambil duduk di bola bersalin sambil dielus-elus di sana sini oleh 3 orang membuat kepala saya kadang-kadang terjatuh karena ngantuk, persis seperti ketiduran di angkot. Saya minta tidur sebentar, dan bisa! Sambil sesekali kontraksi tetap datang sehingga saya terbangun lagi untuk menggenggam tangan bidan. Baru kali ini saya tahu bahwa kita bisa tertidur di tengah-tengah proses persalinan. Bu Lanny yang sudah selesai urusannya tiba kembali di rumah untuk mendampingi saya, sambil saya tidur itu beliau mengelus tangan saya sambil mensugestikan bahwa bayi akan tetap turun ke bawah, semakin tertidur pulas, tidur yang sehat, bayi terus menuju ke bawah. Lalu kontraksipun datang. Begitu seterusnya.
Entah ada berapa menit atau jam yang terlewatkan, yang saya kurang bisa mengingat ada kejadian apa saja waktu itu. Yang penting saya sungguh mengalami distorsi waktu secara otomatis. Bidan saya secara bergiliran juga beristirahat. Bidan Yesie malah menyempatkan diri untuk meditasi di ruang tamu. Intinya selama itu saya selalu menerima limpahan kasih sayang, diperlakukan layaknya permaisuri, segala bentuk usapan dan belaian dikeluarkan untuk memicu endorfin. Terngianglah kembali suara Michel Odent di kepala saya, lalu saya katakan dengan jelas “yang penting dalam persalinan adalah keluarnya endorfin hingga menekan adrenalin…”
Jam 15.00 saat semua sudah mulai merasa sedikit kepayahan, penuh ketidaktahuan kapan bayi ini lahir, tercetuslah ide dari ibu Lanny untuk melakukan posisi berjongkok sambil bersandar ke bola, lalu melakukan ayunan rutin ke atas dan ke bawah. Saat beliau mencontohkan posisi tersebut, hmm terasa seperti akrobat. Namun setelah saya coba, saya bisa melakukannya, dan enak sekali. Saat pinggang dan bokong mulai pegal saya istirahat sebentar di kursi dingklik untuk kemudian mulai lagi. Tidak disangka ternyata posisi dan gerakan tersebut menurunkan kepala bayi saya jauh lebih cepat dari yang dikira. Saat dilakukan cek dalam ternyata saya sudah bukaan 8 dan kepala sudah tersentuh saat dua ruas jari masuk. “Wow, ini adeknya pintar sekali” kata bidan Yesie. Langsunglah suami saya dikomando untuk segera memasukkan air panas ke dalam kolam yang sebagian sudah diisi air dingin itu. Semua sudah mulai sibuk, sibuk-sibuk bahagia. Bidan Yesie keluar mencari bunga-bungaan untuk dimasukkan ke dalam kolam. Perut saya yang merasakan kondisi bersemangat itu juga turut intens meningkatkan kekuatan perasan dan tekanannya, desahan sayapun semakin kuat hingga suamiku malah tertawa mendengarnya. Jadinya saya akan tetap mengeluarkan bayi di dalam air. Ketuban pecah dini bukan halangan untuk melakukan waterbirth, hanya saja memang tidak bisa masuk air semenjak bukaan 6 seperti kasus-kasus normal. Saya hanya boleh menumpang mengeluarkan bayi saat bukaan lengkap. Selama menunggu pembukaan, saya harus mengelola rasa nyeri kontraksi dengan cara lain di luar kolam. Lagipula nyeri yang saya rasakanpun tidak seberapa ternyata, sungguh. Hanya mulas-mulas seperti ingin buang air. Meski tidak bisa lama-lama di air; proses kelahiran Yusuf akan tetap gentle, bayi akan menyentuh air terlebih dahulu sebelum berkontak dengan udara, transisi yang sungguh lembut. Setelah kolam dan air siap, saya disuruh untuk buang air kecil terlebih dahulu. Buang air kecil sangat penting sebelum kala 2 kelahiran bayi. Kandung kemih yang kosong menghasilkan chakra dasar yang kuat untuk mengeluarkan bayi. Sayapun ke kamar mandi untuk berkemih, saya coba dengan posisi berdiri, namun tidak berhasil mengeluarkan apapun dari kandung kemih ini. Sayapun bertanya dari dalam “Mbaak, kok nggak bisa keluar?”. Bidan Yesie melongok ke dalam sambil menyuruh supaya sambil duduk di kloset. Saya coba, berhasil keluar sedikit. Lalu ketika saya bangit dari kloset, detik itupun datang…
KALA 2 PERSALINAN
Saat saya bangkit dari kloset, ada rasa nyeri hebat yang sebenar-benarnya. Inilah nyeri sesungguhnya. Nyeri karena dorongan sesuatu dengan kekuatan yang begitu besar. Tak kuasa saya mulai berteriak panik karena reflek. Sensasi campur aduk ini sungguh tidak bisa dijelaskan. Bidan Yesie serta merta datang memegang dan memeluk saya. Lagi-lagi, sama saja seperti kejadian saat saya melahirkan anak pertama, kata-kata tidak senonoh itu spontan terlontar dengan keras “Mbak Yesiieee!! FESESNYA MAU KELUAAAARR!!! FESESNYA MAU KELUAAAARRRRR!” Sambil saya menangis. Sekian mili detik saya kembali ke kejadian dua tahun lalu.
“DOKTEEEER SAYA MAU E”*G!!!!”
Lalu kembali ke saat ini dua tahun kemudian, dengan teriakan yang sama nyaringnya, terdengar jelas ke telinga semua orang di ruangan itu.
“MBAAAK Â FESESKU MAU KELUAAARRR!”
Melahirkan sungguh tak pernah terasa sopan buatku.
“Nggak apa-apa, biarin keluarkan aja”
Saya mohon maaf kepada segenap pembaca yang budiman, yang terjadi berikutnya seiring satu gelombang besar kala 2 persalinanku adalah : pluk, pluk, di lantai, lalu tetesan darah. Yakin isi colonku sudah bersih, aku berjalan pelan dipapah menuju kolam, kepala Yusuf sudah benar-benar di ujung. Saat panggul sudah terendam dalam air, cesss….rasanya seperti bokong kebakar yang disiram, legaaa sekali. Aku menggerung berulang-ulang seperti mamalia, dalam posisi setengah berjongkok, tangan menyandar ke dinding kolam, mengumpulkan energi untuk aksi berikutnya. Saya bingung sekali karena tubuh saya bekerja sendiri mendorong kepala bayi, tidak ada istilah mengejan apalagi di bawah instruksi. Tak berapa lama kemudian, gelombang pasang berikutnya tiba, dan saya tahu inilah saatnya, saya ikuti gelombang itu dengan raungan panjang dan nyaring “AAAAAAARRRRRRRGH!” seperti ingin menyampaikan kepada dunia bahwa inilah kelahiran anakku. Ada satu titik dimana segenap tubuh ini menyerah dalam otak reptil saya, saya hanya ingin bangkit dan mengaum seperti singa. Kedua bidan saya masih berada di depan saya sebelum akhirnya Mbak Ulya sang asisten yang menjaga di belakang saya berujar keras sambil menunjuk-nunjuk “ibu! Kepala! Kepala!”. Semua bidan beralih ke belakang tubuh saya, menangkap kepala, lalu mengecek posisi bayi, dan mengatakan dia perlu bantuan saya untuk mengejan sekali saja. Saya lakukan itu sekali dengan kuat dan beberapa saat sesudahnya saya dengar tangisan Yusuf dibelakang sana. Wah syahdu sekali, suamiku yang dari tadi selalu ada namun hanya berani mengamati, langsung memegang tangan saya dan mencium saya “Good job, bun”. Saya menangis bahagia. Maulana Yusuf Ghifari lahir pukul setengah empat sore, tepat 30 menit setelah kami semua nyaris resah dan putus asa. That”s exactly how the greatness of Allah SWT works.