
Saat saya bertanya perihal birth plan nya dia mengatakan bahwa mau melahirkan di RS di area Solo saja, karena merasa Klaten terlalu jauh. Akhirnya saya cob bimbing dan tenangkan melalui sms. Dalam hati saya hanya berharap semoga de Dyah dan suaminya bisa belajar dari pengalaman persalinannya nanti sehingga SADAR bahwa pemberdayaan diri untuk menjalani persalinan itu PENTING.
Sekitar jam 2 pagi, saya mendapatkan telp dari Klinik yang memberitahu bahwa de Dyah datang (ternyata mereka memutuskan untuk datang ke Bidan Kita). Pembukaan 5 cm, kontraksi sangat intens 3 menit sekali dengan durasi > 40 detik dan tiap kali kontraksi Dyah menangis, mengeluh, menjerit.
(sungguh sesuatu hal yang sangat jarang terjadi di Bidan Kita), pembukaan berjalan sangat lambat. Jam 5 pagi ketubannya pecah dan masih pembukaan 5 cm , untung Dyah mau di bujuk untuk jalan jalan dan duduk di atas birthing ball sehingga bisa membantu penurunan kepala janin.
Sekitar jam 11 pagi pembukaan sudah lengkap. Namun kontraksi menjadi sangat jarang dan tidak kuat. Berkali kali mengejan namun tidak ada penurunan kepala yang signifikan, saat saya melakukan pemeriksaan dalam, ternyata posisi kepala tidak optimal.
Presentasi ubun ubun besar dan posisinya melintang. Sebuah posisi yang bisa membuat prose’s persalinan menjadi lama dan lebih menyakitkan , karena diameter kepala menjadi lebih besar.
Prose’s yang sangat sangat panjang dan penuh jeritan terjadi saat itu hingga saya berada dalam posisi dilemma dan galau.
Hingga jam 14.00 WIB kepala bayi masih terjebak di dasar panggul. Karena kontraksi sangat jarang, memaksa saya untuk melakukan induksi menggunakan infus (sesuatu yang sangat jarang saya lakukan).
Saat utu saya berfikir saya harus merujuk Dyah ke RS, paling tidak di RS bisa di Vaccum. Namun sata telp ke RS untuk menanyakan posisi dokter SPOG yang jaga dan Vaccum tidak ada satupun RS yang mengangkat telp saya. (mungkin karena ini adalah hari minggu, hari dimana para dokter sebagian besar libur).
Mengapa saya harus telp terlebih dahulu, ya karena saya pernah mendapatkan pengalaman yang kurang menyenangkan ketika saya merujuk di RS langsung dan ternyata kien saya harus di operasi SC gara gara alat vaccum di RS tersebut rusak.
Sekitar jam 15.00 dalam kegalauan saya antara merujuk atau tetap berupaya, saya telp dr Nurhadi Rahman SpOG (panggilannya dr Adi) dan beliau sedang dalam perjalanan menuju jogja, perkiraan baru sampai sekitar 3 jam kemudian., saat itu beliau memberi saran begini : “apa mau di coba di surung mbak? (apa mau di coba di dorong / kristeler) “ saat itu saya menjawab….”aduh!! kristeler?! Ya kita coba lihat nanti ya dok.”.
Saat itu dr Adi menyarankan bahwa yang penting adalah detak jantung bayi tetap bagus dan stabil dan untung saja detak jantung janin tetap satabil sekitar 146-152 x/menit. Dan kondisi ketuban tetap jernih sekali (artinya tanda distress janin tidak ada).
Saat itu saya benar benar galau:
- kalau saya rujuk kok ya kebangetan, karena kepala bayi sudah terlihat sebesar oreo di balik vagina (paling jarak antara bibir vagina dan kepala hanya 2 ruas jari) ya kalau nanti pihak RS mau menvaccum, kalau tidak? Kalau langsung SC? Karena pernah saya merujuk klien di sebuah RS di dekat Bidan Kita dengan posisi yang sama namun bayinya distress hingga memaksa saya harus tetap merujuk, dan itu di hari minggu juga, ternyata sang dokter langsung memutuskan untuk SC bahkan intruksinya melalui telp (tanpa pemeriksaan dahulu). Dan saya tidak mau itu terjadi pada adek ipar saya.
- Kalau saya rujuk, apa kata keluarga, lha wong melahirkan di tempat kakak sendiri yang notabenenya pasiennya dari seluruh Indonesia, kok udah pembukaan lengkap malah tidak berhasil? …ini adalah Ego yang muncul saat itu di benak saya.
- Kalau saya tidak merujuk, nanti kalau bayinya asfiksia dan ada sesuatu yang buruk terjadi bagaimana? Apa kata keluarga juga ….inilah Ego lain yang muncul di benak saya. (namun untung detak jantung janin tetap stabil terus)
- Kalau saya melakukan aksi dorong mendorong (kristeler) bagaimana dengan trauma bathin di ibu dan bayi? Dan kebetulan saya anti kristeler. Tapi kalau tidak di dorong, si ibu tidak bisa mengejan dengan baik.
Berbagai pikiran, kekawatiran dan kecemasan berkecamuk di otak dan hati saya. Hingga akhirnya saya putuskan untuk tetap mempersiapkan rujukan tapi ke JIH, menunggu dr Adi datang sambil pantau DJJ tiap 30 menit, sambil terus berusaha untuk mencoba melahrkan.
Dan saya akhirnya harus berdamai dengan hati dan pikiran saya :
- berdamai dengan rasa kesal dalam hati kepada adek ipar saya dan istrinya yang tidak mau memberdayakan diri
- berdamai dengan rasa khawatir akan “image” dalam keluarga
- meminta maaf kepada janin karena saya sempat kesal pada ibunya.
Dan ternyata setelah saya berusaha berdamai, tanda kemajuan yang positif muncul….saat mengejan walaupun akhirnya saya memutuskan untuk mengintruksikan ke bidan saya agar melakukan kristeler , akhirnya kepala bayi sedikit demi sedikin bergerak mendekati bibir vagina.
Lama sekali……
Dan saat itu saya lihat bibir vaginanya sangat kaku (lagi lagi karena selama hamil Dyah tidak mau yoga, perineum massage, epino atau treatmet treatment yang di gunakan agar perineum lebih elastis) dalam keraguan dan kegalauan lagi antara melakukan episiotomy atau tidak. Karena:
- kalau tidak dilakukan episiotomy, maka akan butuh waktu yang lebih lama lagi agar di bayi lahir.
- Kalau di lakukan episotomy …..saya adalah salah satu bidan yang anti episiotomy, selama Bidan Kita ada, saya baru TERPAKSA melakukan episiotomy 2 kali , 1 klien saya, 2 kepada Dyah (jika saya jadi memutuskan untuk episiotomy). Dan ketika saya harus menggunting vagina wanita lain, rasa sakitnya sampai di hati ini.
- Kalau saya melakukan episiotomy…betapa tragisnya. Masak iya semua intervensi saya lakukan dan kepada adek ipar saya sendiri.
Saat itu benar benar saya sudah tidak bisa senyum lagi. Jika boleh menghilang rasanya saya mau menghilang saja. Hahahah……
Rasa kesal dan menyalahkan adek saya semakin besar.
- coba kalau dulu saat hamil dia mau menuruti saran saya, bisa jadi tidak akan terjadi hal seperti ini, karena klien klien saya yang lain tidak ada yang seperti ini.
Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terlanjur terjadi. Dan harus saya hadapi.
Dan akhirnya atas ijin dyah dan keluarga saya dengan sangat TERPAKSA melakukan episiotomy, dan sejenak kemudian bayi itu akhirnya lahir juga di jam 18.31 WIB, dalam kondisi sehat sekali dan menangis keras sekali.
Puji Tuhan…..
Namun ternyata tidak hanya sampai disini….di saat sang bayi menangis keras didada ibunya, justru ibunya tiba tiba pucat dan hendak pingsan, mungkin karena dia terlalu lelah. Semua keluarga heboh dan berusaha membuat Dyah tetap sadar dan tidak pingsan. Sungguh peristiwa yang paling heboh dan gaduh di sepanjang sejarah Bidan Kita.
Bukan itu saja, ternyata plasentanya lengket lagi! Dan memaksa saya untuk melakukan manual plasenta, sampai sekitar 15 menit tangan saya sampai siku masuk ke rahim nya untuk berusaha melepaskan plasenta yang sangat sangat lengket. Peluhku bercucuran membasahi semua kaos yang saya kenakan. Pikiran negatif berkecamuk di kepala. Sungguh detik detik yang sangat menegangkan dan sangat traumatis.
Terharu saya bu.
Bidan Yesie yth,
Saya Frisca asli Klaten tp skr tinggal di Makassar sebagai karyawan swasta.
Saya menikah akhir Nov 2014, terlambat haid bulan Februari lalu, terakhir haid 11 jan 2015, haid yg biasanya selalu tepat waktu tiap bulannya antara tgl 10-11, alhamdulillah sy test pack positif, segera sy periksa di dr Fatmawati Madya SpOG per tanggal 16 Feb, sampai sana di USG diberitahu kalau janinnya (belum bs dikatakan janin) masih berukuran (GS) 7,91 mm kira2 baru 2-3 minggu usianya. Saya berencana pulang ke Klaten untuk melahirkan di klinik bidan kita dengan persalinan yang nyaman & menyenangkan. Yang mau saya tanyakan, apa yang bisa saya lakukan sekarang ini, mungkin bidan yesie ada rekomendasi bidan/dr SpOG yang mendukung hypnobrithing, dan tempat yoga khusus ibu hamil yang ada di Makassar serta pada usia berapa minggu waktu yg tepat saya mengajukan cuti melahirkan untuk aman fligth ke Klaten. Terimakasih atas infonya. Sangat ditunggu jawabannya 🙂
Regards, Frisca
terima kasih atas posting2nya bu bidan, semoga bisa membantu saya melahirkan anak kedua saya nanti dengan gentle dan minim trauma… benar2 menginspirasi saya dan menyadarkan saya bahwa menjadi seorang ibu bukan hanya urusan ketika bayi sudah lahir tetapi persiapan kita meyambut kedatangannya, secara batin, emosi, dan jasmani.
Hmmm inspired, terimakasih sharingnya. Saya juga bidan seperti mba yesie, saya ingin pasien saya memberdayakan diri dan merasakan tidak mudah mengajak untuk melakukan ini,tetep semangat dan menginspirasi ya. love u budhe.
Bu Yessie, saya selalu senang baca artikel-artikel di bidankita. Saya setuju banget sama artikel satu ini, kalau gak ada kesadaran mau kita udah ngoceh kaya apa pun, orang tersebut ga akan mau peduli. Hal yang sama terjadi dengan saya juga. Sejak kelahiran anak pertama saya, dan saya telah membuktikan sendiri bagaimana ajaibnya hypnobirthing dan gentle birth, jadi saya selalu ingin setiap perempuan hamil bisa merasakan hal yang sama, kenikmatan dalam proses persalinan. Tapi ya itu, balik lagi pada kesadaran individu yaa.. yang tidak mau tahu, yang tidak peduli dan tidak sadar kadang rasanya bikin kesel hatiii.. hehe
tetap semangat bu yesie untuk ngebantu para ibu di luar sana! semoga dengan adanya website seperti bidankita ini makin banyak ibu-ibu yang sadar untuk memilik proses persalinan yang indah dan minim trauma.
wow… pengalaman yang begitu mengesankan.. saya juga seorang bidan di purwakarta-jawa barat. akhir-akhir ini sy sering baca artikel bu yessie.. semakin membuka hati dan fikiran saya… banyak PR dalam kehidupan saya khususnya dalam menangani ibu hamil dan bersalin yang harus saya perbaiki.. Terimakasih bu yessie…
semoga kita menjadi lebih baik lagi dalam melayani sesama