Pemeriksaan Dalam (VT) di Usia 37 Minggu: HATI HATI TERJEBAK!
“Ibu, kita periksa dulu ya, lihat panggulnya muat atau tidak…” Kalimat ini terdengar biasa. Seolah-olah wajar. Padahal, dibalik kalimat ini ada praktik yang semakin sering dilakukan tanpa landasan ilmiah yang kuat: pemeriksaan dalam (VT) pada usia kehamilan 37 minggu ke atas. Tanpa tanda-tanda persalinan, tanpa indikasi medis jelas, hanya untuk sekadar “cek panggul”.
Banyak ibu hamil datang ke klinik atau rumah sakit dengan harapan mendapat dukungan, malah pulang dengan label: “panggul sempit”, “nggak bisa lahiran normal”, “bayinya nggak bisa turun”. Semua ini hanya berdasarkan dua jari yang dimasukkan ke vagina, tanpa bukti kuat, tanpa edukasi, dan kadang tanpa izin.
Ini bukan hanya soal kenyamanan. Ini soal martabat. Ini soal keputusan medis yang bisa berdampak panjang, termasuk meningkatnya angka operasi sesar karena ibu terlanjur takut, cemas, bahkan merasa tubuhnya gagal.
Pemeriksaan dalam pada kehamilan cukup bulan bukan standar yang direkomendasikan oleh WHO. Tapi di lapangan, praktik ini kerap dijadikan rutinitas — bahkan pada ibu yang sehat dan tanpa keluhan.
Artikel ini mengajak kita semua — baik praktisi maupun calon ibu — untuk mengkaji ulang: benarkah praktik ini membantu? Atau justru melanggengkan sistem yang membuat ibu semakin jauh dari tubuhnya sendiri?
Di banyak fasilitas kesehatan di Indonesia, masih sering dijumpai praktik pemeriksaan dalam (vaginal touche/VT) pada ibu hamil usia 37 minggu ke atas dengan alasan “untuk cek panggul” atau “menilai apakah bisa lahir normal.” Padahal, praktik ini bukan hanya tidak akurat, tapi juga tidak direkomendasikan oleh WHO, dan bisa menimbulkan dampak fisik maupun emosional bagi ibu.
Apa Itu Pemeriksaan Dalam (VT)?
Pemeriksaan dalam, atau vaginal touche (VT) atau disebut juga Vaginal Examination (VE), adalah prosedur medis di mana tenaga kesehatan memasukkan dua jari ke dalam vagina untuk menilai beberapa aspek penting menjelang atau selama persalinan. Tujuan dari pemeriksaan ini biasanya meliputi:
- Memeriksa kondisi serviks: apakah serviks sudah melunak, menipis (efasemen), atau mulai membuka (dilatasi)
- Menilai posisi kepala janin dalam panggul dan sejauh mana penurunannya
- Mengidentifikasi posisi janin: apakah berada dalam posisi normal (cephalic), posterior, sungsang, atau lainnya
- Memeriksa apakah selaput ketuban masih utuh atau sudah pecah
Namun, penting untuk dicatat bahwa pemeriksaan ini bukan prosedur rutin yang direkomendasikan di akhir kehamilan jika belum ada tanda-tanda persalinan. WHO dan berbagai organisasi profesi kebidanan di dunia menyarankan agar pemeriksaan dalam hanya dilakukan jika ada indikasi medis yang jelas, bukan sebagai skrining untuk menilai “kesiapan lahir” atau “cek panggul”.
VT bersifat invasif, bisa menyebabkan rasa sakit, ketidaknyamanan, bahkan trauma emosional jika dilakukan tanpa informed consent. Dalam kehamilan yang masih dalam fase antenatal (belum memasuki persalinan), VT sebaiknya tidak dijadikan praktik standar. Apalagi jika digunakan untuk menjustifikasi intervensi seperti induksi atau operasi sesar berdasarkan asumsi yang belum tentu akurat.
Sayangnya, di banyak tempat, VT justru dilakukan di luar konteks persalinan aktif, hanya untuk “cek panggul” atau “menentukan bisa lahir normal atau tidak”. Padahal secara medis, pemeriksaan ini tidak bisa secara akurat memprediksi hasil persalinan. Panggul adalah struktur yang dinamis, bisa berubah seiring gerakan, hormon, dan posisi ibu — bukan angka pasti yang bisa diukur dari dua jari.
Tapi yang lebih mengkhawatirkan bukan cuma soal medis, melainkan soal psikologis.
Dalam ilmu psikologi, ketika seseorang — dalam hal ini ibu hamil — mengalami prosedur yang tidak nyaman secara fisik, apalagi tanpa penjelasan atau persetujuan penuh, sistem sarafnya bisa langsung masuk ke mode siaga (fight, flight, freeze). Ibu jadi cemas, merasa tubuhnya gagal, dan… lebih mudah terpengaruh.
Contohnya:
Seorang ibu usia 37 minggu yang masih sehat, datang periksa rutin. Tanpa banyak penjelasan, ia diminta naik ke bed dan dilakukan VT. Lalu dokter berkata, “Panggulmu sempit. Bayimu nggak bisa lahir normal. Kalau sampai minggu depan belum masuk juga, harus SC.”
Dalam kondisi seperti itu — tanpa ruang berpikir, tanpa penjelasan alternatif, dan dalam keadaan tertekan — banyak ibu yang akhirnya menurut saja. Padahal, belum tentu tubuhnya tidak mampu. Tapi karena sudah “dijatuhi vonis”, percaya dirinya runtuh, dan ia mulai mempertanyakan tubuhnya sendiri.
Di sinilah bahaya VT yang dilakukan sembarangan: bukan cuma nyeri di tubuh, tapi juga menggores kepercayaan ibu terhadap tubuhnya sendiri. Bahkan kadang menjadi awal dari rantai intervensi yang sebenarnya tidak perlu.
⚠️ Mengapa VT di Usia 37 Minggu Tidak Diperlukan?
1. Tidak Bisa Menentukan Jenis Persalinan Secara Akurat
Mitos bahwa “panggul sempit” bisa didiagnosis hanya dari jari tangan adalah salah satu kekeliruan yang paling sering ditemukan di lapangan. WHO (2018) dengan jelas menyatakan bahwa pemeriksaan panggul secara manual tidak dapat memprediksi keberhasilan persalinan per vaginam secara akurat. Panggul bukanlah struktur statis. Ia dinamis, dipengaruhi oleh posisi tubuh, hormon seperti relaksin, serta gerakan aktif ibu (Simkin et al., 2017).
Ina May Gaskin, salah satu pelopor gentle birth dunia, menegaskan bahwa “kita tidak bisa menilai kapasitas panggul seorang perempuan hanya dengan posisi terlentang dan dua jari — tubuh bekerja berbeda saat melahirkan”. Begitu pula Michel Odent, yang menyatakan bahwa labelisasi dini bisa menghambat pelepasan oksitosin alami karena meningkatnya rasa takut dan stres.
2. Tidak Mempengaruhi Tindakan Medis
Banyak provider beralasan bahwa VT dilakukan untuk “mengetahui kondisi serviks atau panggul” agar bisa merencanakan tindakan. Namun dalam praktiknya, jika ibu belum menunjukkan tanda-tanda persalinan, hasil VT tersebut tidak akan mengubah manajemen atau protokol medis secara signifikan.
Dalam studi oleh WHO (2015) dan panduan NICE (National Institute for Health and Care Excellence, UK), disebutkan bahwa pemeriksaan serviks atau panggul sebaiknya dilakukan hanya jika ada indikasi, misalnya persalinan sudah aktif atau ada gejala khusus, bukan sebagai skrining rutin pada usia kehamilan tertentu.
3. Berisiko Mengganggu Kenyamanan dan Kepercayaan Diri Ibu
VT adalah prosedur yang sifatnya invasif. Banyak ibu menggambarkan pengalaman ini sebagai tidak nyaman, menyakitkan, bahkan traumatis jika dilakukan tanpa informed consent yang benar. Dalam penelitian oleh Lothian (2006) dan Birthrights UK (2017), ditemukan bahwa pemeriksaan dalam yang dilakukan secara tidak sensitif dapat merusak kepercayaan diri ibu terhadap kemampuan tubuhnya, bahkan menimbulkan distrust pada provider.
Ibu yang mendapat label “panggul sempit” sebelum proses persalinan dimulai sering kali mengalami kecemasan berlebih, overthinking, dan merasa bahwa tubuhnya tidak mampu. Ini adalah bentuk intervensi psikologis yang bisa mengganggu kerja hormon alami dalam persalinan.
4. Bisa Memicu Intervensi Tidak Perlu
Salah satu efek paling merugikan dari VT yang dilakukan tanpa indikasi jelas adalah efek domino menuju intervensi yang sebetulnya tidak perlu dan tidak darurat. Banyak kasus menunjukkan bahwa labelisasi dini seperti “panggul sempit” atau “bayi belum masuk panggul” akhirnya diikuti oleh tawaran induksi, pemecahan ketuban, bahkan operasi sesar — tanpa landasan klinis yang kuat.
Rachel Reed, dalam blog dan bukunya Reclaiming Childbirth as a Rite of Passage, menyebut praktik ini sebagai bagian dari medicalised birth yang tidak menghormati ritme fisiologis tubuh perempuan. Ia menegaskan pentingnya “trusting birth” sebagai pendekatan yang lebih sehat dan manusiawi.
Praktik ini harus ditinjau ulang oleh seluruh penyedia layanan kesehatan, dengan mengutamakan prinsip edukasi, informed consent, dan penghormatan terhadap fisiologi tubuh perempuan
Apa Kata WHO dan Rekomendasi Global?
WHO melalui dokumen resmi “WHO Recommendations: Intrapartum Care for a Positive Childbirth Experience” yang dirilis pada tahun 2018 memberikan arahan yang sangat jelas mengenai praktik pemeriksaan dalam atau vaginal touche (VT). Dokumen ini bukan hanya hasil kajian satu negara, tetapi merupakan kompilasi dari penelitian global dan praktik berbasis bukti terbaik yang berlaku secara internasional.
Berikut penjelasan detail berdasarkan rekomendasi WHO:
1. Dilakukan Hanya Bila Diperlukan Secara Klinis
WHO menegaskan bahwa pemeriksaan dalam bukan bagian dari pemeriksaan rutin yang dilakukan pada setiap ibu hamil, terutama menjelang HPL tanpa adanya tanda-tanda persalinan. Pemeriksaan ini hanya boleh dilakukan saat ada indikasi klinis yang jelas, seperti untuk mengevaluasi progres persalinan yang sedang berlangsung, bukan untuk spekulasi atau ramalan.
Contoh indikasi yang valid:
- Menilai pembukaan serviks saat persalinan aktif
- Menilai presentasi janin saat persalinan dengan keluhan spesifik
- Menentukan keputusan klinis yang memang akan mengubah tindakan medis
2. Wajib Disertai Informed Consent
Setiap tindakan medis, termasuk VT, wajib dilakukan dengan informed consent, yaitu persetujuan yang diberikan ibu setelah mendapatkan penjelasan yang cukup tentang:
- Tujuan pemeriksaan
- Prosedur yang akan dilakukan
- Potensi ketidaknyamanan atau risiko
- Alternatif lain yang mungkin tersedia
WHO menekankan pentingnya menjaga hak otonomi tubuh ibu, termasuk hak untuk menolak prosedur medis tanpa indikasi yang kuat. Pelaksanaan VT tanpa penjelasan atau pemaksaan secara verbal/non-verbal merupakan bentuk pelanggaran etik.
3. Tidak Boleh Dilakukan Secara Berulang Tanpa Alasan
Rekomendasi WHO juga menyebut bahwa VT tidak boleh dilakukan terlalu sering atau oleh banyak orang(misalnya, bergantian oleh beberapa petugas sebagai bagian dari pembelajaran). Hal ini menimbulkan risiko infeksi, ketidaknyamanan, trauma psikis, dan dapat merusak kepercayaan ibu terhadap penyedia layanan.
Studi oleh WHO (2018) juga menyimpulkan bahwa VT yang dilakukan secara berlebihan tidak memberikan manfaat tambahan dalam meningkatkan outcome persalinan, justru meningkatkan risiko intervensi yang tidak perlu.
Praktik di Negara Lain
Negara-negara dengan pendekatan fisiologis terhadap kelahiran, seperti Belanda, Swedia, dan Inggris, sudah meninggalkan praktik VT berulang sebagai pemeriksaan rutin menjelang HPL. Mereka lebih mengutamakan pendekatan observasional, komunikasi efektif, serta gerakan dan posisi tubuh ibu sebagai indikator progres.
Di Inggris, NICE Guidelines juga merekomendasikan untuk tidak melakukan pemeriksaan dalam secara rutin pada ibu tanpa tanda persalinan, dan menekankan pentingnya menjaga kenyamanan dan informed decision.
✅ Apa yang Sebaiknya Dilakukan?
Daripada fokus pada prosedur invasif yang belum tentu perlu, pendekatan yang lebih bijak dan fisiologis sebaiknya diprioritaskan, yaitu:
- Fokus pada edukasi posisi janin dan biomekanika panggul. Ibu perlu diberi informasi tentang bagaimana posisi janin mempengaruhi proses lahir, dan bagaimana tubuhnya bisa mendukung hal ini melalui gerakan aktif, postur tegak, dan latihan seperti prenatal yoga.
- Gunakan pendekatan non-invasif. Teknik seperti palpasi Leopold, observasi postur dan keluhan ibu, serta komunikasi terbuka jauh lebih menghormati tubuh ibu. Cara ini juga lebih akurat dalam menggambarkan kesiapan tubuh dibanding “periksa jari”.
- Dukung kesiapan mental dan emosional ibu. Ketakutan dan keraguan pada tubuh bisa menjadi hambatan utama dalam proses persalinan. Oleh karena itu, membangun kepercayaan diri dan ketenangan ibu justru jauh lebih berdampak daripada hasil pemeriksaan serviks.
- Bangun kepercayaan pada tubuh ibu. Tubuh perempuan dirancang untuk melahirkan. Ia tidak perlu diuji sebelum waktunya, tapi didampingi, dihargai, dan dipercaya.
Jadi sekali lagi nih…Pemeriksaan dalam pada usia kehamilan 37 minggu tanpa indikasi jelas bukan hanya tidak bermanfaat — tapi bisa menjadi praktik yang meresahkan dan berpotensi merugikan.
Sudah saatnya kita meninjau ulang praktik-praktik lama yang tidak berbasis bukti dan mulai menggantinya dengan pendekatan yang lebih:
- Fisiologis
- Empatik
- Hormonal dan emosional-friendly
- Dan tentunya, berbasis bukti ilmiah dan bukan asumsi turun-temurun.
Yang dibutuhkan ibu menjelang lahir bukan vonis atau labelisasi — tapi dukungan, rasa hormat, dan edukasi.
- World Health Organization. WHO recommendations: intrapartum care for a positive childbirth experience. Geneva: WHO; 2018.
- NICE Guidelines. Intrapartum care for healthy women and babies. National Institute for Health and Care Excellence, UK; 2017.
- Birthrights UK. Dignity in Childbirth Survey. 2017.
- Simkin, P., et al. The Labor Progress Handbook. 3rd ed. Wiley-Blackwell; 2017.
- Gaskin, I. Ina May’s Guide to Childbirth. Bantam Books; 2003.
- Reed, R. Reclaiming Childbirth as a Rite of Passage. Pinter & Martin; 2021.
- Odent, M. Birth and Breastfeeding: Rediscovering the Needs of Women During Pregnancy and Childbirth. Clairview Books; 2009.