
VT bersifat invasif, bisa menyebabkan rasa sakit, ketidaknyamanan, bahkan trauma emosional jika dilakukan tanpa informed consent. Dalam kehamilan yang masih dalam fase antenatal (belum memasuki persalinan), VT sebaiknya tidak dijadikan praktik standar. Apalagi jika digunakan untuk menjustifikasi intervensi seperti induksi atau operasi sesar berdasarkan asumsi yang belum tentu akurat.
Sayangnya, di banyak tempat, VT justru dilakukan di luar konteks persalinan aktif, hanya untuk “cek panggul” atau “menentukan bisa lahir normal atau tidak”. Padahal secara medis, pemeriksaan ini tidak bisa secara akurat memprediksi hasil persalinan. Panggul adalah struktur yang dinamis, bisa berubah seiring gerakan, hormon, dan posisi ibu — bukan angka pasti yang bisa diukur dari dua jari.
Tapi yang lebih mengkhawatirkan bukan cuma soal medis, melainkan soal psikologis.
Dalam ilmu psikologi, ketika seseorang — dalam hal ini ibu hamil — mengalami prosedur yang tidak nyaman secara fisik, apalagi tanpa penjelasan atau persetujuan penuh, sistem sarafnya bisa langsung masuk ke mode siaga (fight, flight, freeze). Ibu jadi cemas, merasa tubuhnya gagal, dan… lebih mudah terpengaruh.
Contohnya:
Seorang ibu usia 37 minggu yang masih sehat, datang periksa rutin. Tanpa banyak penjelasan, ia diminta naik ke bed dan dilakukan VT. Lalu dokter berkata, “Panggulmu sempit. Bayimu nggak bisa lahir normal. Kalau sampai minggu depan belum masuk juga, harus SC.”
Dalam kondisi seperti itu — tanpa ruang berpikir, tanpa penjelasan alternatif, dan dalam keadaan tertekan — banyak ibu yang akhirnya menurut saja. Padahal, belum tentu tubuhnya tidak mampu. Tapi karena sudah “dijatuhi vonis”, percaya dirinya runtuh, dan ia mulai mempertanyakan tubuhnya sendiri.
Di sinilah bahaya VT yang dilakukan sembarangan: bukan cuma nyeri di tubuh, tapi juga menggores kepercayaan ibu terhadap tubuhnya sendiri. Bahkan kadang menjadi awal dari rantai intervensi yang sebenarnya tidak perlu.
⚠️ Mengapa VT di Usia 37 Minggu Tidak Diperlukan?
1. Tidak Bisa Menentukan Jenis Persalinan Secara Akurat
Mitos bahwa “panggul sempit” bisa didiagnosis hanya dari jari tangan adalah salah satu kekeliruan yang paling sering ditemukan di lapangan. WHO (2018) dengan jelas menyatakan bahwa pemeriksaan panggul secara manual tidak dapat memprediksi keberhasilan persalinan per vaginam secara akurat. Panggul bukanlah struktur statis. Ia dinamis, dipengaruhi oleh posisi tubuh, hormon seperti relaksin, serta gerakan aktif ibu (Simkin et al., 2017).
Ina May Gaskin, salah satu pelopor gentle birth dunia, menegaskan bahwa “kita tidak bisa menilai kapasitas panggul seorang perempuan hanya dengan posisi terlentang dan dua jari — tubuh bekerja berbeda saat melahirkan”. Begitu pula Michel Odent, yang menyatakan bahwa labelisasi dini bisa menghambat pelepasan oksitosin alami karena meningkatnya rasa takut dan stres.
2. Tidak Mempengaruhi Tindakan Medis
Banyak provider beralasan bahwa VT dilakukan untuk “mengetahui kondisi serviks atau panggul” agar bisa merencanakan tindakan. Namun dalam praktiknya, jika ibu belum menunjukkan tanda-tanda persalinan, hasil VT tersebut tidak akan mengubah manajemen atau protokol medis secara signifikan.
Dalam studi oleh WHO (2015) dan panduan NICE (National Institute for Health and Care Excellence, UK), disebutkan bahwa pemeriksaan serviks atau panggul sebaiknya dilakukan hanya jika ada indikasi, misalnya persalinan sudah aktif atau ada gejala khusus, bukan sebagai skrining rutin pada usia kehamilan tertentu.
3. Berisiko Mengganggu Kenyamanan dan Kepercayaan Diri Ibu
VT adalah prosedur yang sifatnya invasif. Banyak ibu menggambarkan pengalaman ini sebagai tidak nyaman, menyakitkan, bahkan traumatis jika dilakukan tanpa informed consent yang benar. Dalam penelitian oleh Lothian (2006) dan Birthrights UK (2017), ditemukan bahwa pemeriksaan dalam yang dilakukan secara tidak sensitif dapat merusak kepercayaan diri ibu terhadap kemampuan tubuhnya, bahkan menimbulkan distrust pada provider.
Ibu yang mendapat label “panggul sempit” sebelum proses persalinan dimulai sering kali mengalami kecemasan berlebih, overthinking, dan merasa bahwa tubuhnya tidak mampu. Ini adalah bentuk intervensi psikologis yang bisa mengganggu kerja hormon alami dalam persalinan.
4. Bisa Memicu Intervensi Tidak Perlu
Salah satu efek paling merugikan dari VT yang dilakukan tanpa indikasi jelas adalah efek domino menuju intervensi yang sebetulnya tidak perlu dan tidak darurat. Banyak kasus menunjukkan bahwa labelisasi dini seperti “panggul sempit” atau “bayi belum masuk panggul” akhirnya diikuti oleh tawaran induksi, pemecahan ketuban, bahkan operasi sesar — tanpa landasan klinis yang kuat.
Rachel Reed, dalam blog dan bukunya Reclaiming Childbirth as a Rite of Passage, menyebut praktik ini sebagai bagian dari medicalised birth yang tidak menghormati ritme fisiologis tubuh perempuan. Ia menegaskan pentingnya “trusting birth” sebagai pendekatan yang lebih sehat dan manusiawi.
Praktik ini harus ditinjau ulang oleh seluruh penyedia layanan kesehatan, dengan mengutamakan prinsip edukasi, informed consent, dan penghormatan terhadap fisiologi tubuh perempuan
Apa Kata WHO dan Rekomendasi Global?
WHO melalui dokumen resmi “WHO Recommendations: Intrapartum Care for a Positive Childbirth Experience” yang dirilis pada tahun 2018 memberikan arahan yang sangat jelas mengenai praktik pemeriksaan dalam atau vaginal touche (VT). Dokumen ini bukan hanya hasil kajian satu negara, tetapi merupakan kompilasi dari penelitian global dan praktik berbasis bukti terbaik yang berlaku secara internasional.