Jika pada kehamilan yang pertama saya mengikuti hal-hal yang dilakukan orang lain, termasuk minum berbagai vitamin untuk ibu hamil dari dokter serta petunjuk keluarga dan orang sekeliling saya tentang makanan bergizi untuk bayi, kali ini saya dituntun untuk menjalani kehamilan dengan tetap sadar. Saya dituntut belajar mengamati ke dalam diri sendiri, mengasah kepekaan untuk membaca kebutuhan diri serta bayi saya.
Setapak demi setapak saya pun bisa berkaca kembali pada berbagai kesulitan yang pernah saya alami dalam kehamilan pertama. Meski lahir dengan normal, proses persalinan ketika itu sangat menyakitkan. Setelah persalinan, saya juga mengalami sindrom baby blues – tanpa sebab musabab, suasana hati saya sering sedih tak menentu.
Pada kehamilan yang sekarang saya lebih sadar. Artinya, saya memahami bahwa setiap tindakan saya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan saya dan bayi. Saya juga tak terbebani harus makan ini atau itu. Saya makan apa saja sesuai dengan yang saya rasa perlu.
Tetap tertib memeriksakan diri ke rumah sakit
Teori-teori yang saya dapat tentang gentle birth, juga saya temukan ketika saya mampir di  Yayasan Bumi Sehat di Nyuh Kuning, Ubud, Bali. Di rumah bersalin yang dikelola oleh para bidan ini, perempuan-perempuan mampu dengan merdeka mengelola persalinannya sendiri. Mereka tidak tidur terkapar di atas tempat tidur sambil menunggu aba-aba dokter untuk menggenjot laju perjalanan si bayi. Menghadapi saat persalinan, calon ibu di sana tetap tenang; mereka mengatur langkahnya sendiri untuk memberi keleluasaan kepada bayinya yang akan lahir.
Bidan yang berjaga-jaga di sana bersikap santai dan ramah. Mereka membebaskan para ibu untuk memilih sendiri cara persalinannya: mau melahirkan di tempat tidur atau dalam bak air. Mau bak air yang ditaburi bunga-bunga seperti di spa, juga boleh. Wah, persalinan yang sangat menyenangkan!
Dan ternyata, itu benar-benar saya alami sendiri. Persalinan yang minim trauma ini merupakan modal awal yang baik untuk proses gentle mothering selanjutnya. Kelahiran bayi, Joserizal (3,5 kg dengan panjang 49 cm) telah menuntun kami menjadi orangtua yang mengasuh anak secara lebih sadar. (N)
Penulis : Endang Ariani
Simak artikel lengkapnya di Nirmala 07/Tahun 12, edar 1 Juli 2011