Bidan Kita

Home Childbirth All About Childbirth Induksi Persalinan: Panduan Langkah demi Langkah

Induksi Persalinan: Panduan Langkah demi Langkah

0
Induksi Persalinan: Panduan Langkah demi Langkah

Artikel ini lahir dari banyaknya percakapan dengan para ibu yang pernah menjalani induksi persalinan—dan merasa mereka tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi pada tubuh mereka. Bahkan, tidak sedikit yang menyadari bahwa mereka tidak tahu perbedaan antara persalinan induksi dan persalinan alami.

Padahal, keputusan untuk diinduksi bukan keputusan kecil. Ibu perlu diberi informasi yang lengkap, dan tenaga kesehatan punya tanggung jawab hukum untuk memastikan itu terjadi.

Artikel ini tidak akan mengulang pembahasan tentang risiko induksi, tapi akan membahas prosesnya secara runut dan masuk akal: Apa saja yang dilakukan dan mengapa.

Memilih: Mau Diinduksi atau Menunggu Kontraksi Alami?

Menjelang akhir kehamilan, apalagi kalau sudah masuk minggu ke-38 atau 39, banyak ibu mulai bertanya-tanya:

“Haruskah saya segera melahirkan lewat induksi? Atau tunggu saja sampai kontraksi datang sendiri?”

Ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Dan kadang, tekanan dari sekitar bisa bikin kita bingung. Tapi ada satu hal penting yang perlu diingat:

Keputusan soal induksi ada di tangan ibu.

Bukan ditentukan oleh protokol rumah sakit. Bukan karena usia kehamilan sudah “sekian minggu”. Dan bukan pula karena “dokternya nyuruh cepat lahiran aja, biar aman”.

Tenaga kesehatan punya peran penting, tapi bukan untuk menentukan arah tanpa dialog. Tugas mereka adalah:

✔️ Memberikan informasi yang jujur dan berdasarkan bukti ilmiah (bukan sekadar rutinitas atau SOP yang dihafal)
✔️ Menjelaskan apa saja risiko dan manfaat dari setiap pilihan—baik induksi maupun menunggu alami
✔️ Mendampingi dengan empati dan hormat—bukan mengintimidasi atau menakut-nakuti

Karena setiap ibu punya hak untuk tahu, untuk bertanya, dan untuk memutuskan—berdasarkan tubuhnya, bayinya, dan nilai-nilai hidupnya.

Hal-Hal yang Perlu Dipikirkan Sebelum Setuju Diinduksi

Sebelum memutuskan apakah akan menjalani induksi atau menunggu kontraksi alami, penting banget untuk duduk sejenak dan bertanya pada diri sendiri:

“Kenapa, sih, saya ditawari induksi?”

Pertanyaan ini tidak sesederhana kelihatannya.
Maka sebelum mengambil keputusan, penting untuk berhenti sejenak, tarik napas, dan refleksi. Karena keputusan ini menyangkut tubuh ibu, bayi yang akan dilahirkan, dan pengalaman kelahiran yang akan membekas selamanya.

Nah coba renungkan dan pertimbangkan lagi dengan beberapa pertanyaan ini:

1. Kenapa saya ditawari induksi?

Pertama-tama, cari tahu alasannya.
Bukan sekadar “dokternya bilang harus induksi katanya,” tapi benar-benar pahami apa yang mendasarinya.

  • Apakah karena ada komplikasi medis nyata? Misalnya:

    • Preeklamsia

    • Diabetes yang tidak terkendali

    • Pertumbuhan janin terhambat (IUGR)

  • Ataukah hanya karena HPL lewat 1–3 hari saja?

  • Atau justru karena faktor sistemik? Seperti:

    • Jadwal dokter yang padat

    • Ketakutan akan bayi besar (yang belum tentu benar)

    • Aturan rumah sakit

Catatan penting dari WHO (2018):

“Induksi persalinan hanya dianjurkan bila ada indikasi medis yang jelas.”
Lewat HPL beberapa hari saja, bukan alasan yang cukup untuk langsung induksi jika ibu dan bayi sehat.

2. Apakah ini komplikasi medis, atau hanya variasi normal kehamilan?

Tidak semua kondisi “di luar standar” itu berbahaya. Kadang, itu hanya variasi alamiah dari tubuh manusia.

  • Michel Odent, tokoh fisiologis kelahiran alami, percaya bahwa tubuh wanita punya “timing”-nya sendiri, dan terlalu cepat mencampuri bisa merusak sistem hormonal yang indah itu.

  • Dr. Sarah Buckley menyebut lewat HPL sebagai bagian dari spektrum normal, bukan kegagalan tubuh.

  • Muglu et al. (2019) menemukan bahwa meski risiko kematian janin sedikit meningkat setelah 41 minggu, angka absolutnya sangat kecil (0.8 per 1000 di usia 41 minggu, 0.88 per 1000 di usia 42 minggu), dan pemantauan yang baik bisa menjadi pilihan aman tanpa perlu langsung induksi.

3. Benarkah induksi otomatis menurunkan risiko?

Tidak selalu.
Faktanya, induksi bisa menimbulkan risiko baru, terutama jika dilakukan tanpa indikasi kuat.

  • Cheng et al. (2018):
    Induksi karena “dugaan bayi besar” tidak menurunkan risiko bahu tersangkut, malah meningkatkan kemungkinan operasi sesar dan intervensi lainnya.

  • Dahlen et al. (2021):
    Induksi pada kehamilan pertama meningkatkan risiko:

    • Penggunaan epidural

    • Vakum/forsep

    • Operasi sesar

    • Trauma perineum

    • Masalah menyusui dan bonding

    • Gangguan emosional setelah melahirkan

4. Apa saja risiko dari proses induksi itu sendiri?

Induksi bukan prosedur instan.
Ini proses panjang, bertahap, dan bisa sangat melelahkan. Tidak semua tubuh siap “dipaksa” untuk melahirkan.

Beberapa risiko yang perlu diketahui:

  • Kontraksi terlalu kuat (hiperstimulasi) → bisa menyebabkan gawat janin

  • Keletihan fisik dan mental ibu

  • Induksi gagal → operasi sesar

  • Trauma emosional dan rasa “gagal” pada ibu

  • Menurunnya kesempatan untuk skin-to-skin, bonding, dan menyusui dini

Ina May Gaskin mengingatkan bahwa tubuh yang merasa tertekan, cemas, dan tidak aman akan menahan proses kelahiran. Maka, penting bagi ibu untuk merasa dihargai, bukan didesak.

5. Apa alternatif selain induksi medis?

Kabar baiknya: Selalu ada pilihan lain.
Berikut ini beberapa opsi yang bisa ditanyakan dan didiskusikan bersama tim medis: