
“Bu, saya bantu dibuka jalannya ya…”
Belum sempat berpikir apa maksudnya, tiba-tiba… kressss!
Suara gunting memecah ruang bersalin. Sakit, nyut-nyutan, dan…mulut rasanya tercekat…tatapan matra kosong, sambil membatin dalam hati…“duh! di gunting ini!”
Banyak ibu melahirkan yang bisa menceritakan pengalaman semacam ini—dan lebih banyak lagi yang tidak sempat bercerita karena terlalu bingung, terlalu cepat, terlalu syok.
Di Indonesia, robekan perineum masih menjadi bagian “biasa” dari proses melahirkan. Bahkan terkadang dianggap sebagai sesuatu yang wajar, tidak perlu dibahas panjang, atau malah dianggap sebagai “harga yang harus dibayar” untuk menjadi seorang ibu.
Padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.
Saat Persalinan Terjadi Begitu Cepat…
Bagi banyak ibu, persalinan adalah proses yang datang dengan gelombang besar: rasa sakit, kontraksi, ketakutan, ekspektasi, harapan, dan terkadang intervensi medis yang tidak sepenuhnya dimengerti.
Bukan hal yang aneh kalau saat mengejan, tiba-tiba ada suara dari tenaga kesehatan:
“Bu, saya lebarin jalannya ya, biar cepat.”
“Nanti kalau enggak digunting, bisa robek sampai anus lho.”
“Ini bayi besar banget, bahaya kalau enggak dipotong.”
“Sudah pembukaan lengkap, kita bantu cepatkan aja ya…”
Ibu yang sedang setengah sadar antara nyeri dan dorongan mengejan itu, tentu tidak bisa langsung memahami. Dan sebelum ada ruang untuk bertanya, mencari tahu, atau menolak… gunting sudah bekerja.
Episiotomi Tanpa Persetujuan Masih Sering Terjadi
Dalam praktik kebidanan modern, episiotomi (pengguntingan perineum) seharusnya hanya dilakukan dengan indikasi medis jelas dan atas persetujuan ibu. Namun, sayangnya, di banyak tempat—baik rumah sakit maupun klinik kecil—episiotomi masih dilakukan secara rutin, tanpa informed consent.
Dan lebih menyedihkannya lagi: tidak sedikit ibu yang dijahit dalam kondisi tanpa bius.
“Katanya obat biusnya udah habis.”
“Katanya biusnya nggak usah, cuma sedikit robek kok.”
“Katanya kalau dibius malah bikin lama sembuhnya.”
“Atau cuma dijawab: sabar ya, ibu kuat kok.”
Padahal… rasa nyeri saat dijahit tanpa bius bisa jauh lebih menyakitkan dibanding rasa mengejan bayi keluar. Trauma itu menempel—bukan hanya di tubuh, tapi juga di memori emosional ibu.
Banyak yang kemudian menghindari pemeriksaan pasca bersalin, takut disentuh area intimnya, bahkan enggan berhubungan dengan pasangannya selama berbulan-bulan.
Robekannya Mungkin Sudah Jahit. Tapi Lukanya Belum Pulih.
Dan ironisnya, setelah semua itu, proses pemulihan luka perineum jarang sekali dibahas. Ibu langsung disuruh pulang, tanpa panduan jelas:
- Bagaimana merawat luka?
- Apa yang normal dan tidak?
- Kapan harus khawatir?
- Bolehkah duduk, jongkok, atau bahkan cebok biasa?
Tidak sedikit ibu yang baru tahu beberapa minggu kemudian bahwa robekannya menimbulkan keloid, nyeri berkepanjangan, atau sensasi “tertarik” yang tidak hilang.
Dan ketika kembali kontrol atau menyampaikan keluhan, kadang hanya dijawab:
“Oh itu biasa, Bu. Namanya juga habis melahirkan.”
atau malah dianggap lebay.