
Melahirkan adalah peristiwa besar—bukan hanya karena bayi lahir ke dunia, tapi karena tubuh ibu juga mengalami perubahan luar biasa. Salah satu yang paling sering terjadi, namun jarang dibicarakan secara terbuka dan jujur, adalah robekan perineum.
Menurut data penelitian medis terbaru, hingga 80-90% perempuan mengalami robekan perineum setelah melahirkan secara vaginal, baik ringan (derajat 1 dan 2) maupun berat (derajat 3 dan 4). Beberapa robek secara alami karena tekanan saat kepala bayi keluar. Tapi sebagian lainnya… terjadi karena episiotomi—pengguntingan perineum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Masalahnya, episiotomi masih sering dilakukan tanpa penjelasan atau persetujuan ibu. Yang lebih menyedihkan lagi, prosedur penjahitan kadang dilakukan tanpa bius yang memadai, dengan alasan “cepat selesai saja”, atau “cuma sakit sedikit kok Bu, tahan ya.” Praktik semacam ini—yang mungkin dianggap biasa di banyak tempat—justru menjadi sumber utama trauma fisik dan emosional jangka panjang bagi ibu.
“Nggak sempat mikir Bu, tahu-tahu udah digunting dan dijahit.”
“Pas dijahit perineumnya, aku nangis. Nggak dibius, disuruh tahan aja.”
“Robekannya kecil, tapi kenapa sakitnya nggak kelar-kelar ya?”
Cerita-cerita seperti ini bukan kasus langka. Di ruang bersalin, banyak ibu yang mengalami perineum robek—baik secara alami maupun karena episiotomi (digunting oleh tenaga kesehatan). Namun, yang sering kali tidak diketahui oleh ibu maupun keluarganya adalah bagaimana proses perbaikan luka itu dilakukan. Apakah sudah benar? Apakah ada anestesi? Apakah teknis jahitnya sesuai panduan medis terbaru?
Yang Terjadi di Lapangan: Terlalu Cepat, Terlalu Diam
Praktik episiotomi yang dilakukan tanpa informed consent masih sering terjadi. Banyak tenaga kesehatan tidak memberikan penjelasan memadai, atau menggunakan bahasa kiasan/bahasa samar:
“Bu, saya bantu dibuka jalannya ya…”
“Biar cepat, kita gunting sedikit.”
“Kalau nggak digunting, nanti robeknya bisa lebih parah lho.”
Ibu, yang sedang dalam proses mengejan dan dilanda rasa sakit serta tekanan luar biasa, tidak sempat berpikir kritis. Dan begitu terdengar suara gunting, semuanya sudah terjadi. Bahkan setelah itu, proses penjahitan dilakukan dalam kondisi nyeri—karena bius tidak cukup atau bahkan tidak diberikan sama sekali.
Ini bukan hanya menyakitkan secara fisik, tapi bisa meninggalkan trauma jangka panjang, termasuk:
- nyeri kronis di perineum,
- kesulitan duduk atau berjalan,
- ketakutan berhubungan intim,
- hingga gangguan psikologis seperti anxiety dan depresi postpartum.
Apa yang Ditemukan dalam Literatur Medis?
Dalam jurnal American Journal of Obstetrics and Gynecology (2024), Schmidt dan Fenner menjelaskan bahwa:
- Robekan perineum berdampak jangka pendek dan panjang, termasuk nyeri menetap, kesulitan berhubungan intim (dyspareunia), gangguan fungsi dasar panggul, dan bahkan depresi postpartum.
- Risiko komplikasi luka pasca-jahitan, seperti infeksi dan dehisensi (jahitan terbuka kembali), bisa mencapai 24%.
- Banyak ibu mengalami keluhan sisa seperti nyeri saat duduk, benjolan, keloid, bahkan inkontinensia (tidak bisa menahan kentut atau buang air besar).
- Kunci keberhasilan pemulihan bukan hanya pada luka itu sendiri, tapi pada:
✅ teknik jahitan,
✅ jenis benang yang digunakan,
✅ kesiapan anestesi yang cukup, dan
✅ keterampilan tenaga kesehatan dalam melakukan repair.
Yang menarik, jurnal ini juga menyarankan bahwa jika tenaga kesehatan tidak yakin atau belum berpengalaman, sebaiknya menunda perbaikan luka selama 8–12 jam sampai ada provider yang lebih kompeten. Karena kesalahan repair justru memperburuk hasil jangka panjang, termasuk rasa sakit yang bertahan hingga 9 bulan atau lebih.