Bidan Kita

Home Childbirth All About Childbirth Robekan Perineum, Jahitan, dan Proses yang Sering Terlupakan

Robekan Perineum, Jahitan, dan Proses yang Sering Terlupakan

0
Robekan Perineum, Jahitan, dan Proses yang Sering Terlupakan

Repair robekan perineum bukanlah tindakan asal menutup luka. Itu adalah tindakan rekonstruksi anatomi yang melibatkan lapisan demi lapisan:

  1. Epitel vagina dan kulit perineum,
  2. Jaringan otot perineum,
  3. Jika robekan berat—otot sfingter anus hingga mukosa rektum.

 

Teknik menjahit pun sangat memengaruhi hasil. Studi menemukan bahwa:

  • Teknik jahitan berkelanjutan (continuous, non-locking) menyebabkan nyeri yang lebih ringan, penyembuhan lebih cepat, dan risiko lebih kecil perlu pembukaan ulang (resuturing) dibanding teknik terputus-putus.
  • Jenis benang monofilamen sintetis lebih baik karena menimbulkan lebih sedikit iritasi dan risiko infeksi.
  • Dalam kasus episiotomi, penggunaan lem kulit (skin adhesive) bahkan mulai dipertimbangkan untuk luka ringan, karena lebih cepat, lebih nyaman, dan hasil kosmetiknya bagus.

Kenapa Ini Penting Dibicarakan?

Selama ini, banyak ibu tidak tahu bahwa proses repair perineum bisa, dan seharusnya dilakukan dengan penuh kesadaran, keahlian, dan empati.

  • Bahwa ibu berhak mendapatkan bius yang layak.
  • Bahwa ibu berhak tahu apa yang sedang dilakukan pada tubuhnya.
  • Bahwa tidak semua robekan harus dijahit asal-asalan—ada teknik, pertimbangan, dan rekomendasi ilmiah yang harus jadi pedoman.

Dengan memahami apa yang terjadi selama proses repair, kita bisa menghindari trauma berulang, mengedukasi tenaga kesehatan, dan yang paling penting—memulihkan martabat tubuh ibu yang sedang membuka jalan kehidupan.

Risiko Jika Repair Dilakukan Tidak Tepat

Data dari jurnal yang sama menunjukkan bahwa:

  • Risiko infeksi luka bisa mencapai 24%,
  • Jahitan bisa terbuka kembali (dehisensi),
  • Trauma seksual jangka panjang,
  • Risiko inkontinensia feses atau kentut akibat OASIS yang tidak dikenali.

Dan yang paling krusial—kesalahan repair meningkatkan kemungkinan ibu mengalami komplikasi pada kehamilan berikutnya, termasuk kebutuhan operasi atau nyeri kronis yang tidak kunjung selesai.

Sebagian besar sebenernya ibu tidak masalah mengalami luka. Yang menyakitkan adalah saat tidak diberi tahu, tidak diberi pilihan, dan tidak diberi kesempatan untuk bicara.
Proses repair perineum bukan hanya tindakan teknis. Ia adalah proses memulihkan tubuh, harga diri, dan pengalaman kelahiran itu sendiri.

Maka, edukasi seperti ini penting agar:

  • Ibu tahu haknya.
  • Tenaga kesehatan memperbaiki praktiknya.
  • Dan peristiwa kelahiran menjadi pengalaman yang dihormati, bukan ditakuti.

Daftar Pustaka

  1. Schmidt, C. M., & Fenner, D. E. (2024). Repair of Episiotomy and Obstetrical Perineal Lacerations. American Journal of Obstetrics and Gynecology (AJOG), Elsevier.
    → Artikel utama yang menjadi dasar klinis dan teknis artikel ini.
  2. WHO. (2018). WHO recommendations: Intrapartum care for a positive childbirth experience. World Health Organization.
    https://www.who.int/publications/i/item/9789241550215
  3. Carroli, G., & Mignini, L. (2009). Episiotomy for vaginal birth. Cochrane Database of Systematic Reviews, Issue 1.
    → https://doi.org/10.1002/14651858.CD000081.pub2
    → Mengulas manfaat dan risiko episiotomi, serta menekankan perlunya indikasi dan informed consent.
  4. Kettle, C., Tohill, S., Johanson, R., & Ismail, K. M. K. (2012). Perineal care. BMJ Clinical Evidence, 2012:1401.
    → Menjelaskan berbagai pendekatan perawatan dan repair pascarobekan.
  5. Alperin, M., & Kivnick, S. (2016). Obstetric Anal Sphincter Injuries: Current Trends in Prevention and Management. Current Women’s Health Reviews, 12(2), 125–130.
    → Fokus pada robekan OASIS dan pentingnya repair berlapis dan terlatih.
  6. Steen, M., Cooper, K., & Marchant, P. (2002). The impact of childbirth-related perineal trauma on women’s health and well-being: a narrative review. Midwifery, 18(3), 225–236.
    → Menyoroti dampak psikologis dan fisik jangka panjang akibat trauma perineum.
  7. Johanson, R., & Kettle, C. (2007). Repair of episiotomy and second degree tears. In C. Johanson (Ed.), A Practical Guide to Perineal Repair (pp. 45–58). RCOG Press.
    → Referensi praktis teknik dan material benang yang direkomendasikan.
  8. Sartore, A., et al. (2004). Postpartum pelvic floor dysfunction. Obstetrics & Gynecology, 104(1), 134–141.
    → Menjelaskan risiko inkontinensia pasca-robekan dan pentingnya penanganan tepat.