Meskipun hanya berdiri di atas rumah kontrakan dan bermodalkan fasilitas seadanya, Bumi Sehat mampu memberi harapan baru bagi masyarakat miskin. Sebab, kegiatan di kliniknya tersebut bukan sekadar mengobati penyakit dan menangani persalinan, melainkan juga memberdayakan masyarakat untuk lebih sehat.
Â
Mulai dari mengajak penduduk sekitar menanam sayuran di pekarangan untuk meningkatkan status gizi keluarga, hingga membina kesehatan para lanjut usia. Tiga kali dalam seminggu, sekitar 80 lansia dari berbagai daerah datang ke kliniknya untuk berolahraga bersama, dan belajar teknik-teknik pengobatan alami.
Â
Selain itu, Robin juga melakukan regenerasi dengan memberikan beasiswa kepada 10 remaja yang berminat menekuni ilmu kebidanan. Mereka boleh mengambil sekolah bidan di mana saja, asalkan, setelah lulus, bersedia mengabdikan diri di daerah masing-masing.
Â
Â
Untuk menghidupi kegiatannya itu, Robin mengaku tidak berjalan sendiri. “Saya ini tukang minta-minta”, candanya. Ia aktif mengajukan proposal sumbangan dana ke berbagai negara. Meskipun begitu, Robin tak mau sembarangan. Ia menolak sumbangan jika berasal dari perusahaan pertambangan yang merusak lingkungan. “Berapa pun nilainya, saya tidak akan terima”, tegasnya. Sikap yang sama juga ia berikan pada produsen susu formula.
Â
Ketegasannya itu, ia akui, tak jarang membuatnya terengah-engah mengongkosi operasional klinik. Sebab, jika ada uang, harus dibagi dua dengan klinik yang ada di Aceh. Untuk itu, Robin memberlakukan “aturan” baru: pasien dipersilakan memberi donasi seikhlasnya. Dana yang terkumpul pun dimanfaatkan dengan metode subsidi silang.
Â
Dengan pendekatan semacam itu, rupanya para pasien justru jadi punya semacam “ikatan moral”. “Meski melahirkannya sudah bertahun-tahun yang lalu, kalau ada rejeki, mereka masih menyumbang ke sini. Banyak pula yang tidak memberi dalam bentuk uang, namun selalu mampir saat pohon mangganya berbuah. Semua orang tergerak untuk berbagi dengan caranya sendiri-sendiri”, tutur Robin.
Â
Dianggap aneh
Â
Belum banyak yang tahu, bahwa dalam perjalanannya, Robin pernah diremehkan, dicibir, bahkan kliniknya diancam akan ditutup. Sebab, sebagai seorang pendatang yang berprofesi sebagai bidan, caranya dalam menangani persalinan dianggap “menyalahi aturan”.
Â
Bayangkan saja. Jika pada umumnya ibu yang bersalin harus melahirkan dengan posisi berbaring di atas tempat tidur, ia justru membebaskan semua pasiennya untuk memilih posisi yang mereka sukai. Mulai dari jongkok di lantai, berdiri sambil memeluk suami, hingga berendam dalam kolam berisi air hangat bertabur bunga.
Â
Menurutnya, langkah itu dilakukan bukan tanpa alasan. “Manusia sama seperti makhluk mamalia lainnya. Jika posisi melahirkan sesuai dengan hukum gravitasi, ibu tak perlu mengejan untuk mendorong bayi”, jelasnya.
Â
Setelah lahir, tali pusat bayi juga tidak langsung dijepit dan digunting. Ia menunda pemotongannya selama minimal satu jam, kemudian “memotong” tali pusat tersebut menggunakan lilin (burning cord). Bahkan, jika orangtuanya bersedia, plasenta yang menjadi sumber kehidupan bayi selama 9 bulan itu tetap dibiarkan menemani sang bayi, hingga akhirnya mengering dan terlepas sendiri.
Â
Robin mengatakan, penundaan pemotongan tali pusar bertujuan memaksimalkan aliran oksigen dan sel nutrisi, serta menghindari trauma pada bayi akibat transisi kehidupan yang terlalu drastis. Sedangkan pemotongan tali pusar dengan cara dibakar menggunakan lilin, memiliki beberapa manfaat. Dari segi filosofi, gunting adalah lambang kekerasan. Ia tidak ingin memperkenalkan kekerasan di awal-awal kehidupan bayi.
Â
Sementara dari segi medis, metode burning cord mampu menekan risiko infeksi. “Dengan dibakar, seluruh jaringan yang ada di tali pusar akan terkunci sempurna. Tidak ada luka terbuka, sehingga tetap aman meskipun lingkungan tempat ibu melahirkan tergolong kurang higienis”, tutur Robin, yang juga mempraktikkan metode ini saat menangani persalinan darurat di Aceh dan Yogyakarta.
Â
Kembali ke alam
Â
Dibesarkan di negara maju yang berteknologi serba canggih, justru membuat Robin yakin bahwa kesuksesan persalinan tidak terletak pada kecanggihan alat teknologi. “Adik saya meninggal saat melahirkan. Padahal, sudah berada di rumah sakit yang mahal, dengan fasilitas lengkap dan canggih. Dokter tidak memiliki waktu untuk memperhatikan adik saya”, kenangnya.
Â
Â