Bidan Kita

Home Blog

Bentuk Perut Anda dan Posisi Janin

Setiap kali ANC seringkali para klien bertanya tanya tentang bagaimana posisi janinnya saat bertemu dengan saya (saya belum memeriksanya), banyak sekali yang sambil duduk lalu mengelus perutnya yang membesar sambil berkata demikian

“Bu, perut saya kok kadang meleyok ke kanan kadang ke kiri, kira kira posisi bayi saya bagaimana ya?”

Atau

“perut saya kok besar ya bu, bagaimana ya posisi bayi saya?”

Nah sekarang Sekarang mari kita bahas lebih spesifik tentang posisi janin, bagaimana dapat mempengaruhi persalinan dan kelahiran, dan mengapa sangat relevan untuk wanita yang gemuk pada khususnya.

Anterior vs Posterior

Perut yang bentuknya bulat besar seperti bola basket biasanya berarti bahwa bayi anterior. Bagian belakang kepala bayi (“tengkuk”) ke arah depan ibu (yang mengapa posisi ini disebut Tengkuk Anterior atau OA), dan mata bayi kearah ibu bagian belakang.

Lihatlah gambar di bawah ini dan perhatikan bahwa perut ibu tampak besar dan bulat. Hal ini karena mengikuti lengkungan punggung bayi

anteriorphoto

Secara umum, oksiput anterior adalah posisi yang ideal untuk melahirkan. Selama kepala bayi berbaris dengan baik, tidak ada lengan / tangan di jalan, dan melipat dagu, kemungkinan bahwa kelahiran bayi anterior akan maju dengan lancar, terutama jika persalinan dan kontraksi mulai secara spontan.

Nah sedangkan jika bentuk perut ibu tidak rata, dan bergelombang di depan (terutama yang dengan melengkung- kedalam tepat di sekitar atau dekat pusar) sering berarti bahwa bayi posterior. Lihatlah gambar di bawah ini dan perhatikan bagaimana perut tidak begitu bulat dan memiliki “mengengkung kedalam” di bawah pusar.

posteriorphotoMalam posisi ini, bagian belakang kepala bayi (tengkuk) ada di bagian tubuh belakang ibu atau punggug ibu (jadi si bayi posisinya terlentangsehingga posisi ini disebut Occiput posterior atau OP.

Posisi ini biasanya  jauh lebih sulit untuk melahirkan karena diameter kepala bayi di OP lebih besar dan tidak lolos dengan mudah, dan karena tekanan pada leher rahim cenderung merata dan proses persalinan dapat berlangsung lebih lambat.

“Katanya Bayiku Besar, Jadi Harus Sesar?” — Yuk, Berhenti Takut Duluan

“Waktu saya hamil 37 minggu, dokter bilang bayi saya sudah besar. saat niatnya mau periksa rutin, tiba tiba Disuruh induksi segera, katanya nanti bahunya bisa nyangkut. dibilangin begitu ya Saya panik, akhirnya SC. Tapi pas lahir… beratnya cuma 2.8 kg. Lho? Katanya besar?”

Cerita seperti ini sudah terlalu sering terdengar. Begitu hasil USG menunjukkan angka yang dianggap “besar”, ibu langsung disarankan untuk diinduksi atau bahkan langsung dijadwalkan operasi sesar. Alasan paling sering? Takut bayi terlalu besar dan nanti tidak bisa lahir normal.

Padahal… tahukah kamu bahwa USG sering kali tidak akurat dalam memperkirakan berat janin?

Dalam satu studi, lebih dari 50% hasil prediksi berat janin lewat USG meleset dari berat aslinya saat lahir. Bahkan, setengah dari bayi yang dikira lebih dari 4 kg, ternyata saat lahir tidak sebesar itu.

Tapi masalahnya bukan cuma akurasi alat. Begitu label “bayi besar” disematkan, semuanya ikut berubah:

  • Tenaga kesehatan jadi lebih cepat menyarankan intervensi.
  • Ibu jadi was-was, cemas, kehilangan rasa percaya diri.
  • Suami pun ikut bingung, karena semua terdengar darurat dan mendesak.
  • Akhirnya… keputusan dibuat dalam tekanan—dan justru bisa berisiko menambah komplikasi yang seharusnya bisa dihindari.

Faktanya, bayi besar itu normal dalam banyak kasus. Di negara seperti Inggris dan Australia, lebih dari 10% bayi lahir dengan berat 4 kg atau lebih. Kalau ibunya sehat, gizinya cukup, dan punya faktor genetik tertentu, maka wajar kalau bayinya juga tumbuh sehat dan besar.

Dan perlu diingat: bayi memang akan terus tumbuh hingga akhir kehamilan—karena plasenta tetap bekerja memberikan nutrisi. Jadi memang normal kalau bayi di usia kehamilan 42 minggu lebih besar dibanding saat 40 minggu. Bukan berarti harus buru-buru “dikeluarkan”.

Tapi ada satu hal yang memang perlu diperhatikan:
Diabetes gestasional yang tidak terkontrol.
Ini bisa menyebabkan bayi tumbuh lebih besar dari biasanya—namun dengan bentuk tubuh yang berbeda: bagian bahu dan dada lebih lebar dan berlemak. Dan inilah yang lebih rentan menyebabkan komplikasi saat lahir seperti distosia bahu. Masalahnya, banyak riset mencampur data bayi besar dari kehamilan dengan diabetes dan kehamilan normal, sehingga seringkali terjadi generalisasi yang menyesatkan.

Jadi, sebelum kita panik karena kata “bayi besar”, yuk pelajari lebih dalam:

  • Apakah benar bayinya besar?
  • Seberapa akurat alat yang digunakan?
  • Dan… apakah memang benar bayi besar = pasti sulit lahir?

Jawabannya bisa jadi mengejutkan—karena bukan bayinya yang bermasalah, tapi sistem dan rasa takut yang terlalu cepat menarik kesimpulan.

Bayi besar sering kali dianggap masalah. Bahkan, seringkali sebelum benar-benar tahu pasti, ibu sudah disarankan untuk induksi atau sesar lebih awal hanya karena “takut bayinya keburu kegedean”. Tapi… benarkah semua bayi besar itu berisiko? Atau justru sistem kita yang terlalu cepat takut?

Kenapa Bayi Bisa Besar? Normal Nggak Sih?

Jawabannya: normal banget.

Bayi yang besar—beratnya 4 kg atau lebih—bukanlah hal aneh, apalagi kalau sang ibu:

  • Sehat dan bergizi baik,
  • Memiliki genetik keluarga dengan postur besar,
  • Sudah pernah melahirkan sebelumnya (karena bayi berikutnya cenderung lebih besar dari bayi pertama),
  • Menjalani kehamilan tanpa komplikasi serius.

Ina May Gaskin, bidan legendaris dari AS, dalam bukunya Ina May’s Guide to Childbirth menyebutkan bahwa tubuh wanita yang sehat mampu melahirkan bayi besar secara alami asalkan diberi waktu, kepercayaan, dan kebebasan bergerak. Ia menyatakan bahwa ukuran bayi bukan penentu utama sukses atau tidaknya persalinan, tapi lebih kepada posisi janin dan kenyamanan ibu.

Selain itu, Dr. Sarah Buckley, dalam bukunya Gentle Birth, Gentle Mothering, juga mengingatkan bahwa “bayi besar” sering kali hanyalah asumsi berdasarkan rasa takut—bukan fakta medis yang pasti.

Dan ya, bayi akan terus tumbuh di akhir kehamilan. Bukan berarti harus buru-buru “dikeluarkan” saat usia 37 minggu hanya karena takut “keburu gede”. Plasenta tidak otomatis berhenti bekerja. Maka, wajar saja kalau bayi di usia 42 minggu lebih besar daripada usia 40 minggu—dan itu normal.

Kapan Bayi Besar Perlu Diwaspadai?

Satu kondisi yang perlu perhatian lebih adalah jika ibu mengalami diabetes gestasional yang tidak terkontrol. Kondisi ini bisa membuat bayi tumbuh sangat besar, namun dengan proporsi tubuh yang berbeda—bahu dan dada lebih lebar dan berlemak—yang meningkatkan risiko distosia bahu (bahu tersangkut saat lahir).

Sayangnya, banyak penelitian mencampur data antara bayi besar dari ibu dengan diabetes gestasional dan bayi besar dari kehamilan normal. Akibatnya, risiko komplikasi sering dilebih-lebihkan seolah semua bayi besar itu “berbahaya”.

American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dalam Practice Bulletin No. 173 (2016) menyebutkan bahwa kebanyakan kasus distosia bahu tidak dapat diprediksi secara akurat, bahkan pada bayi besar sekalipun.

Perkiraan Berat Janin: Seberapa Akurat Sih?

Ini poin penting yang jarang dibahas secara jujur:

  • Pemeriksaan fisik (meraba perut ibu) bisa melenceng lebih dari 50%.
  • USG? Bahkan hanya bisa memperkirakan berat bayi dengan akurasi ±15%.
  • Dalam sebuah studi di AS, 1 dari 3 wanita diberi tahu bahwa bayinya terlalu besar berdasarkan USG, padahal rata-rata bayi mereka lahir dengan berat 3,5 kg sajasama sekali bukan bayi besar!

Studi Big Baby Trial (2021) menunjukkan bahwa 60% dari diagnosis “bayi besar” lewat USG ternyata salah.Bayangkan, adakah tes medis lain dengan tingkat salah setinggi itu yang tetap dipakai untuk memutuskan intervensi?

Efek Psikologis Diagnosis “Bayi Besar”

Label ini bukan cuma soal angka. Label ini bisa mengubah seluruh pengalaman kehamilan dan kelahiran seorang ibu.

  • Ibu jadi takut tidak bisa lahir normal.
  • Suami jadi bingung dan ikut panik.
  • Dokter/bidan jadi cepat-cepat menyarankan induksi atau SC.
  • Dan akhirnya… intervensi medis dilakukan bukan karena keadaan darurat, tapi karena ketakutan.

Studi oleh Sadeh-Mestechkin et al. (2020) menyatakan bahwa persepsi terhadap ukuran bayi memiliki pengaruh lebih besar terhadap intervensi kelahiran dibanding ukuran sebenarnya.

Induksi Persalinan: Panduan Langkah demi Langkah

Artikel ini lahir dari banyaknya percakapan dengan para ibu yang pernah menjalani induksi persalinan—dan merasa mereka tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi pada tubuh mereka. Bahkan, tidak sedikit yang menyadari bahwa mereka tidak tahu perbedaan antara persalinan induksi dan persalinan alami.

Padahal, keputusan untuk diinduksi bukan keputusan kecil. Ibu perlu diberi informasi yang lengkap, dan tenaga kesehatan punya tanggung jawab hukum untuk memastikan itu terjadi.

Artikel ini tidak akan mengulang pembahasan tentang risiko induksi, tapi akan membahas prosesnya secara runut dan masuk akal: Apa saja yang dilakukan dan mengapa.

Memilih: Mau Diinduksi atau Menunggu Kontraksi Alami?

Menjelang akhir kehamilan, apalagi kalau sudah masuk minggu ke-38 atau 39, banyak ibu mulai bertanya-tanya:

“Haruskah saya segera melahirkan lewat induksi? Atau tunggu saja sampai kontraksi datang sendiri?”

Ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Dan kadang, tekanan dari sekitar bisa bikin kita bingung. Tapi ada satu hal penting yang perlu diingat:

Keputusan soal induksi ada di tangan ibu.

Bukan ditentukan oleh protokol rumah sakit. Bukan karena usia kehamilan sudah “sekian minggu”. Dan bukan pula karena “dokternya nyuruh cepat lahiran aja, biar aman”.

Tenaga kesehatan punya peran penting, tapi bukan untuk menentukan arah tanpa dialog. Tugas mereka adalah:

✔️ Memberikan informasi yang jujur dan berdasarkan bukti ilmiah (bukan sekadar rutinitas atau SOP yang dihafal)
✔️ Menjelaskan apa saja risiko dan manfaat dari setiap pilihan—baik induksi maupun menunggu alami
✔️ Mendampingi dengan empati dan hormat—bukan mengintimidasi atau menakut-nakuti

Karena setiap ibu punya hak untuk tahu, untuk bertanya, dan untuk memutuskan—berdasarkan tubuhnya, bayinya, dan nilai-nilai hidupnya.

Hal-Hal yang Perlu Dipikirkan Sebelum Setuju Diinduksi

Sebelum memutuskan apakah akan menjalani induksi atau menunggu kontraksi alami, penting banget untuk duduk sejenak dan bertanya pada diri sendiri:

“Kenapa, sih, saya ditawari induksi?”

Pertanyaan ini tidak sesederhana kelihatannya.
Maka sebelum mengambil keputusan, penting untuk berhenti sejenak, tarik napas, dan refleksi. Karena keputusan ini menyangkut tubuh ibu, bayi yang akan dilahirkan, dan pengalaman kelahiran yang akan membekas selamanya.

Nah coba renungkan dan pertimbangkan lagi dengan beberapa pertanyaan ini:

1. Kenapa saya ditawari induksi?

Pertama-tama, cari tahu alasannya.
Bukan sekadar “dokternya bilang harus induksi katanya,” tapi benar-benar pahami apa yang mendasarinya.

  • Apakah karena ada komplikasi medis nyata? Misalnya:

    • Preeklamsia

    • Diabetes yang tidak terkendali

    • Pertumbuhan janin terhambat (IUGR)

  • Ataukah hanya karena HPL lewat 1–3 hari saja?

  • Atau justru karena faktor sistemik? Seperti:

    • Jadwal dokter yang padat

    • Ketakutan akan bayi besar (yang belum tentu benar)

    • Aturan rumah sakit

Catatan penting dari WHO (2018):

“Induksi persalinan hanya dianjurkan bila ada indikasi medis yang jelas.”
Lewat HPL beberapa hari saja, bukan alasan yang cukup untuk langsung induksi jika ibu dan bayi sehat.

2. Apakah ini komplikasi medis, atau hanya variasi normal kehamilan?

Tidak semua kondisi “di luar standar” itu berbahaya. Kadang, itu hanya variasi alamiah dari tubuh manusia.

  • Michel Odent, tokoh fisiologis kelahiran alami, percaya bahwa tubuh wanita punya “timing”-nya sendiri, dan terlalu cepat mencampuri bisa merusak sistem hormonal yang indah itu.

  • Dr. Sarah Buckley menyebut lewat HPL sebagai bagian dari spektrum normal, bukan kegagalan tubuh.

  • Muglu et al. (2019) menemukan bahwa meski risiko kematian janin sedikit meningkat setelah 41 minggu, angka absolutnya sangat kecil (0.8 per 1000 di usia 41 minggu, 0.88 per 1000 di usia 42 minggu), dan pemantauan yang baik bisa menjadi pilihan aman tanpa perlu langsung induksi.

3. Benarkah induksi otomatis menurunkan risiko?

Tidak selalu.
Faktanya, induksi bisa menimbulkan risiko baru, terutama jika dilakukan tanpa indikasi kuat.

  • Cheng et al. (2018):
    Induksi karena “dugaan bayi besar” tidak menurunkan risiko bahu tersangkut, malah meningkatkan kemungkinan operasi sesar dan intervensi lainnya.

  • Dahlen et al. (2021):
    Induksi pada kehamilan pertama meningkatkan risiko:

    • Penggunaan epidural

    • Vakum/forsep

    • Operasi sesar

    • Trauma perineum

    • Masalah menyusui dan bonding

    • Gangguan emosional setelah melahirkan

4. Apa saja risiko dari proses induksi itu sendiri?

Induksi bukan prosedur instan.
Ini proses panjang, bertahap, dan bisa sangat melelahkan. Tidak semua tubuh siap “dipaksa” untuk melahirkan.

Beberapa risiko yang perlu diketahui:

  • Kontraksi terlalu kuat (hiperstimulasi) → bisa menyebabkan gawat janin

  • Keletihan fisik dan mental ibu

  • Induksi gagal → operasi sesar

  • Trauma emosional dan rasa “gagal” pada ibu

  • Menurunnya kesempatan untuk skin-to-skin, bonding, dan menyusui dini

Ina May Gaskin mengingatkan bahwa tubuh yang merasa tertekan, cemas, dan tidak aman akan menahan proses kelahiran. Maka, penting bagi ibu untuk merasa dihargai, bukan didesak.

5. Apa alternatif selain induksi medis?

Kabar baiknya: Selalu ada pilihan lain.
Berikut ini beberapa opsi yang bisa ditanyakan dan didiskusikan bersama tim medis:

Induksi Persalinan untuk Kehamilan Lewat Waktu: Apa yang Perlu Kamu Ketahui?

Di negara kita, apalagi di kota besar dengan layanan medis yang canggih, induksi persalinan sudah menjadi hal umum—bahkan dalam satu generasi, waktu rata-rata kehamilan pun ikut berubah. Misalnya, di Jakarta, mayoritas bayi lahir di usia kehamilan 39 minggu. Hanya sedikit yang benar-benar sampai 42 minggu atau lebih. Artinya, kehamilan yang “melewati waktu” sebenarnya sudah makin jarang, karena banyak ibu sudah diinduksi sebelum itu terjadi—bahkan sejak 39 minggu dengan alasan seperti usia ibu, dugaan diabetes, atau indeks massa tubuh (BMI) tinggi.

Apa Itu Kehamilan Lewat Waktu?

  • Kehamilan cukup bulan (term): 37–42 minggu
  • Lewat HPL (post-dates): lebih dari 40 minggu
  • Lewat waktu (post-term): 42 minggu ke atas

Jadi sebenarnya, kehamilan disebut prolonged (berkepanjangan/lewat waktu) bila sudah melewati 42 minggu. Tapi di praktiknya, induksi sudah sering ditawarkan bahkan sebelum itu—jadi jarang sekali ibu benar-benar mengalami kehamilan lewat waktu. apalagi jaman sekarang, ibu ibu yang umur kehamilannya baru 36 minggu yang niat awalnya mau periksa kehamilan rutin saja tiba tiba langsung di “speak-speak” di kasih wacara buat segera di lahirkan bahkan udah ada yang dikasih “surat cinta” sama dokternya. 

padahal Faktanya, lamanya kehamilan bisa sangat dipengaruhi faktor genetik dari ibu dan ayah, juga kondisi nutrisi ibu. Artinya, tidak semua kehamilan “normalnya” selesai di minggu ke-40.

Dan penting juga diingat: bayi adalah pihak yang memulai proses persalinan. Tubuhnya lah yang memberi sinyal bahwa sudah siap untuk lahir. Jadi kalau persalinan diinduksi terlalu cepat, proses adaptasi alami ini bisa terpotong.

“Semua Pilihan Punya Risiko, Tapi Kita Berhak Memilih Risiko yang Kita Pahami”

“Bu, kalau ditunggu-tunggu terus, nanti bayinya bisa kekurangan oksigen lho.”

“ini harus segera lahir lho, kalau ada apa apa saya gak mau tanggung jawab lho!toh ini juga sudah matang kok.”

Pernah dengar kalimat-kalimat seperti itu?

Kalau iya, kamu tidak sendiri. Banyak ibu hamil—terutama yang menjelang akhir kehamilan—akan “dihadapkan” pada pilihan-pilihan sulit. Tunggu persalinan alami atau setuju untuk induksi? Semuanya terdengar penuh risiko.

Dan memang benar, tidak ada keputusan yang sepenuhnya tanpa risiko. Tapi bedanya, risiko yang dipahami dan disadari lebih mudah dijalani, dibanding risiko yang datang dari ketidaktahuan.

Prinsip Dasarnya: Tidak Ada Opsi yang 100% Aman

Dalam ilmu kedokteran dan kebidanan, ini dikenal sebagai prinsip informed choice atau pilihan berdasarkan informasi yang cukup. Ini berarti:

  • Ibu harus tahu apa saja opsi yang ada.
  • Ibu harus tahu risiko dan manfaat dari setiap opsi.
  • Ibu juga berhak tahu bahwa “tidak melakukan apa-apa” pun tetap merupakan pilihan.

Berdasarkan teori bioetika, ini terkait dengan prinsip:

  1. Autonomy – Hak seseorang untuk mengambil keputusan tentang tubuhnya sendiri.
  2. Non-maleficence – Jangan membahayakan.
  3. Beneficence – Berbuat demi kebaikan pasien.
  4. Justice – Perlakuan adil dan setara terhadap pasien.
Apa Kata Penelitian?

Montgomery vs Lanarkshire Health Board (UK, 2015)
Kasus hukum ini menetapkan bahwa dokter berkewajiban memberi tahu pasien tentang semua risiko material yang relevan, bukan hanya risiko yang menurut dokter penting. Artinya: kalau menurut ibu suatu risiko penting untuk dipertimbangkan, dokter harus memberi tahu, bahkan jika risikonya kecil.

Cochrane Review (Middleton et al., 2020)
Studi ini menyebutkan bahwa induksi pada atau setelah 41 minggu bisa sedikit menurunkan risiko kematian perinatal. Tapi… selisihnya sangat kecil secara statistik, dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua wanita. Bahkan peneliti sendiri menyarankan agar keputusan tetap dibuat secara individual dan kontekstual.

Dahlen et al. (2021)
Penelitian di Australia ini menemukan bahwa ibu yang menjalani induksi (terutama anak pertama) lebih berisiko mengalami:

  • Intervensi bertingkat (epidural, vakum, SC)
  • Trauma perineum
  • Gangguan menyusui dan bonding
  • Masalah emosional pasca lahir

Jadi, risiko bukan hanya tentang bayi saja. Risiko pada tubuh dan jiwa ibu juga harus dihitung.

Kalau Gitu, Apa yang Harus Dilakukan?

✔️ Tanya semua opsi. Apa saja yang bisa dilakukan selain induksi? Adakah alternatif?

✔️ Tanya risiko & manfaat masing-masing. Baik menunggu maupun induksi punya risiko. Tapi manakah yang paling bisa kamu terima?

✔️ Tanya apa indikasinya. Apakah induksi ini dilakukan karena kondisi medis serius, atau hanya karena “sudah lewat HPL”?

✔️ Tanya tentang prosedur. Kalau setuju induksi, seperti apa tahapannya? Apa efek sampingnya?

Ibu Berhak Tahu. Ibu Berhak Memilih.

Keputusan soal melahirkan bukan cuma soal medis, tapi juga menyangkut hati, tubuh, dan kehidupan seorang ibu dan bayinya. Maka, pilihan itu harus dibuat bersama, bukan dipaksakan sepihak.

Pemeriksaan DALAM/ Vagin* saat Melahirkan

Buat banyak ibu, terutama yang baru pertama kali hamil, momen datang ke UGD saat mulai kontraksi adalah momen yang penuh campur aduk. Deg-degan, grogi, sakit, takut, harap-harap cemas. Tapi ada satu hal penting yang sering luput disiapkan—secara mental maupun informasi—yaitu pemeriksaan dalam.

Biasanya, kejadiannya cepat banget:

Kamu datang dengan napas ngos-ngosan, masih berusaha tahan kontraksi yang mulai terasa makin intens. Belum sempat duduk tenang, ada bidan atau tenaga medis yang bilang,

“Bu, kita periksa dalam dulu ya. Silakan rebahan, buka celananya, kakinya dibuka lebar ya…”

Tanpa banyak penjelasan, kamu diminta berbaring telentang. Paha dibuka. Dan… tiba-tiba ada dua jari yang masuk ke vagina. Kadang dingin, panas, perih, kadang terasa ditekan, kadang nyut-nyutan. Banyak ibu mengaku kaget. Nggak siap. Ada yang merasa malu, ada juga yang merasa seperti tubuhnya “diterobos” tanpa izin.

Kalau kamu merasa nggak nyaman, itu valid.
Kalau kamu merasa kaget, itu wajar.
Kalau kamu merasa ada yang kurang pas, kamu nggak lebay.

Yang sering bikin syok adalah, ternyata pemeriksaan ini nggak cuma sekali.
Selama proses persalinan, kamu bisa diperiksa 4–5 kali, bahkan lebih. Tergantung dari kecepatan pembukaan, kebijakan fasilitas, atau siapa yang sedang jaga saat itu. Ada yang beda tangan setiap kali periksa. Ada yang terasa ringan, ada juga yang bikin ngilu sampai ke perut.

Dan sayangnya, masih banyak yang belum tahu bahwa sebenarnya kamu berhak tahu, bertanya, bahkan menolak jika belum siap.

Pemeriksaan dalam memang punya tujuan penting: untuk menilai pembukaan, posisi kepala janin, dan progres persalinan. Tapi bukan berarti bisa dilakukan tanpa komunikasi. Tanpa penjelasan. Tanpa empati.

Kamu berhak tahu:

  • Kenapa harus diperiksa?
  • Siapa yang akan memeriksa?
  • Apakah bisa ditunda sebentar sampai kamu siap?
  • Apakah bisa dilakukan dalam posisi yang lebih nyaman?
  • Apakah bisa dijelaskan dulu sebelum mulai?

Karena tubuhmu bukan objek.
Kelahiran bukan prosedur mekanik.
Dan kamu, sebagai ibu yang sedang melahirkan, layak diperlakukan dengan hormat dan kasih.

Apa Itu Pemeriksaan Dalam (VE atau VT)?

Pernah dengar istilah “diperiksa dalam” saat kontrol kehamilan atau saat sudah mulai kontraksi?
Dalam istilah medis, ini disebut VE (Vaginal Examination) atau VT (Vaginal Touché).

Melahirkan dan punya Wasir: Bisa Tetap Gentle dan Normal ALAMI

Banyak ibu datang ke ruang konsultasi dengan wajah cemas dan suara pelan, lalu bertanya,

“Bu Bidan… saya punya ambeien. Jadi nanti harus caesar, ya?”

Pertanyaan ini bukan hanya sering muncul, tapi juga sangat bisa dimengerti. Karena siapa pun pasti khawatir kalau harus melahirkan sambil menanggung rasa nyeri di area yang sudah sensitif sebelumnya.

Tapi jawabannya tegas dan menenangkan:
Punya wasir bukan berarti Anda tidak bisa melahirkan normal.

Bahkan, Anda tetap bisa menjalani proses persalinan yang nyaman, tenang, dan gentle—asalkan tahu cara mempersiapkan tubuh dan pikiran dengan baik, serta mendapat dukungan dari tim yang paham dan menghargai fisiologi persalinan.

Di artikel-artikel sebelumnya, kita sudah bahas tuntas tentang:

  • Apa itu wasir dan mengapa sering terjadi saat hamil

  • Mitos seputar wasir yang membuat ibu takut melahirkan normal

  • Derajat keparahan wasir dan cara mengenalinya

  • Langkah pencegahan serta perawatan ringan yang bisa dilakukan sendiri

Nah, di artikel kali ini kita akan lanjut membahas hal yang sering jadi kekhawatiran utama:

“Kalau wasirnya masih ada, gimana saat melahirkan nanti? Apakah akan makin parah? Apakah bisa tetap mengejan? Posisi melahirkannya gimana?”

Tenang, Bu. Semua akan kita bahas dengan bahasa yang ringan tapi tetap ilmiah, agar Anda makin yakin bahwa melahirkan dengan wasir pun bisa tetap gentle, aman, dan bermakna.

✨ 1. Gentle Birth Bukan Tentang Tanpa Rasa Sakit, Tapi Tentang Rasa Aman dan Disadari

Banyak orang salah paham. Mereka pikir gentle birth itu harus serba “mudah dan mulus”, tanpa nyeri, tanpa gangguan apa pun. Padahal, gentle birth bukan berarti bebas dari rasa sakit—tapi tentang bagaimana seorang ibu merasakan proses persalinannya dengan kesadaran penuh, tenang, dan merasa aman dalam setiap tahapannya.

Bahkan saat tubuh sedang tidak dalam kondisi “ideal”—seperti ketika sedang mengalami wasir—gentle birth tetap bisa terjadi. Karena yang membuat pengalaman bersalin jadi lembut dan bermakna bukanlah kesempurnaan fisik, melainkan rasa percaya pada tubuh sendiri, dukungan dari sekitar, dan informasi yang cukup untuk membuat keputusan.

Gentle birth adalah kombinasi dari:
  • Penerimaan penuh terhadap proses yang alami

  • Kesadaran tubuh dan pikiran akan apa yang sedang terjadi

  • Rasa aman dan didukung oleh tim yang tidak menghakimi

  • Ruang untuk bergerak, memilih posisi, dan mengikuti ritme tubuh

Semua ini bisa dimiliki oleh ibu dengan wasir sekalipun. Bahkan, dengan pendekatan gentle birth, ibu yang punya ambeien justru bisa merasa lebih dihargai dan lebih nyaman dibanding jika harus menghadapi proses persalinan yang kaku dan penuh intervensi.

Secara ilmiah, apa manfaat gentle birth dalam kasus wasir?

Studi dari Simkin & Hanson (2017) menyebutkan bahwa pengalaman persalinan yang penuh tekanan emosional dan kontrol eksternal dapat meningkatkan persepsi nyeri dan membuat tubuh ibu lebih tegang secara fisiologis. Ketegangan inilah yang memperberat rasa nyeri, termasuk di area yang sudah sensitif seperti anus atau perineum.

Sementara itu, pendekatan yang tenang, penuh kepercayaan, dan penuh dukungan terbukti:

  • Mengurangi stres dan ketegangan otot dasar panggul

  • Membantu proses pembukaan serviks lebih efisien

  • Menurunkan risiko robekan dan tekanan berlebih ke perineum dan anus

  • Memperbaiki pengalaman lahir secara keseluruhan, termasuk dalam hal pemulihan pascapersalinan

Jadi, apa yang bisa ibu lakukan sejak sekarang?
  1. Bangun koneksi dengan tubuh sendiri. Mulai dengan menyadari napas, gerakan, dan respons tubuh terhadap stres atau ketidaknyamanan.

  2. Cari tahu sebanyak mungkin tentang proses persalinan. Pengetahuan yang tepat mengurangi rasa takut. Misalnya: tahu bahwa mengejan bisa disesuaikan dengan kondisi wasir, atau posisi lahir bisa dipilih agar tidak terlalu menekan anus.

  3. Libatkan pasangan dan tim pendukung. Jangan hadapi proses ini sendirian. Suami, doula, dan bidan bisa dilatih untuk jadi bagian dari sistem support yang memudahkan proses lahir.

  4. Ikuti kelas dan edukasi yang sesuai dengan nilai dan kondisi ibu.

Di sinilah Bidan Kita hadir sebagai tempat belajar, bertanya, dan didampingi dengan penuh empati. Anda bisa:

  • Mengikuti kelas online maupun offline Gentle Birth dan Hypnobirthing yang sudah dipandu ratusan ibu sejak tahun 2006

  • Menonton video-video edukatif dan afirmatif di YouTube Bidan Kita

  • Membaca artikel-artikel lengkap tentang wasir dan persalinan di blog resmi Bidan Kita

  • Dan tentu saja, mengikuti Instagram @bidankita untuk inspirasi harian, cerita nyata, dan tips aplikatif

Karena gentle birth bukan milik ibu-ibu “kuat”.
Gentle birth adalah milik semua ibu yang bersedia mendengarkan tubuhnya, belajar dengan cinta, dan percaya bahwa tubuhnya tahu caranya melahirkan.

2. Strategi Mengejan yang Tepat: Tidak Harus “Kuat-Kuatan”

Banyak ibu membayangkan bahwa mengejan saat melahirkan itu seperti “ngeden habis-habisan”—muka tegang, napas ditahan, dan tubuh dipaksa mengeluarkan bayi sekuat tenaga.
Apalagi kalau punya wasir, pikiran seperti ini justru menambah rasa takut:

Langkah Pencegahan Wasir Saat Hamil – Bisa Kok Dicegah!

Setelah mengenal apa itu wasir, derajatnya, dan fakta bahwa ibu hamil tetap bisa melahirkan normal meski punya wasir—sekarang kita masuk ke bagian paling penting: bagaimana cara mencegah wasir sejak awal kehamilan?

Karena, seperti yang sudah kita bahas, meski wasir adalah kondisi umum dan bukan hal yang mematikan, rasa tidak nyamannya bisa mengganggu kualitas hidup ibu hamil secara signifikan. BAB jadi menderita, duduk tak nyaman, jalan pun terasa nyeri. Belum lagi beban mental kalau mendengar mitos seperti “kalau ada ambeien nanti gak bisa lahiran normal.”

Padahal, ada banyak hal sederhana yang bisa dilakukan sejak trimester awal untuk mengurangi risiko munculnya wasir. Dan berita baiknya: langkah-langkah ini juga bermanfaat untuk kesehatan kehamilan secara keseluruhan!

1. Perbaiki Pola Makan: Serat Adalah Kunci

Kalau bicara soal pencegahan wasir, kuncinya hanya satu: jangan sampai sembelit.
Mengejan saat BAB adalah pemicu utama munculnya wasir, karena tekanan yang berulang saat mengeluarkan feses bisa menyebabkan pembuluh darah di anus membengkak—terutama pada ibu hamil yang pembuluh darahnya sudah melebar secara alami karena pengaruh hormon progesteron.

Cara terbaik untuk mencegah sembelit adalah dengan memastikan asupan serat cukup setiap hari. Serat bekerja seperti “sapu lembut” di saluran cerna—membantu memperlancar gerak usus dan menjaga feses tetap lunak, sehingga tidak perlu mengejan keras saat BAB.

✅ Tips makan tinggi serat yang praktis untuk ibu hamil:

  • Konsumsi minimal 25–30 gram serat per hari. Ini bisa diperoleh dari kombinasi buah, sayur, biji-bijian, dan kacang-kacangan.

  • Pilih buah berserat tinggi dan ramah lambung seperti pepaya, apel (dengan kulitnya), pir, pisang ambon, dan alpukat.

  • Sayur berdaun hijau tua seperti bayam, kangkung, sawi hijau, brokoli, dan kacang panjang sangat disarankan karena juga kaya folat.

  • Karbohidrat kompleks seperti oatmeal, nasi merah, quinoa, jagung rebus, dan roti gandum utuh bisa menggantikan nasi putih yang rendah serat.

  • Bijian dan kacang-kacangan seperti chia seed, biji rami (flaxseed), almond, dan kacang merah bisa ditambahkan ke smoothies, salad, atau sup.

Sebuah studi oleh Lohsiriwat (2015) dalam World Journal of Gastroenterology menyebutkan bahwa peningkatan asupan serat harian terbukti mampu mengurangi gejala wasir hingga 50% dalam waktu empat minggu, terutama pada pasien yang mengalami perdarahan dan sulit BAB. Efeknya tidak hanya melunakkan feses, tapi juga menurunkan tekanan saat buang air besar.

Tips tambahan:
  • Pastikan asupan serat dikombinasikan dengan cairan yang cukup, minimal 8–10 gelas air putih per hari. Tanpa cairan, serat justru bisa memperburuk sembelit karena menyerap air dari usus.

  • Hindari makanan rendah serat dan “pengikat” seperti roti tawar putih, gorengan, makanan cepat saji, dan terlalu banyak produk olahan.

Dengan memperbaiki pola makan sejak awal kehamilan, bukan cuma wasir yang bisa dicegah—tapi juga keluhan umum lain seperti sembelit, kelelahan, naiknya gula darah, bahkan risiko preeklamsia.

Pola makan sehat bukan hanya untuk janin, tapi juga untuk kenyamanan dan martabat tubuh ibu sendiri. Dan semuanya bisa dimulai dari piring makan sehari-hari.

2. Jangan Lupa Cukupi Cairan

Kebiasaan makan tinggi serat memang sangat dianjurkan selama kehamilan, tapi tanpa disertai cairan yang cukup, serat justru bisa menjadi bumerang—karena akan menyerap air dari usus besar dan membuat feses semakin keras. Inilah sebabnya mengapa keseimbangan antara serat dan hidrasi sangat penting.

Saat tubuh kekurangan cairan, usus besar akan menarik air dari sisa makanan yang belum dicerna untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh. Hasilnya? Feses jadi kering, keras, dan sulit dikeluarkan. Ini memicu ibu mengejan lebih keras saat buang air besar, yang merupakan salah satu faktor paling kuat penyebab timbulnya wasir.

✅ Berapa Banyak Cairan yang Dibutuhkan Ibu Hamil?

Berdasarkan rekomendasi dari Institute of Medicine (IOM) dan American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), ibu hamil disarankan untuk mengonsumsi sekitar 2,3 liter (sekitar 10 gelas) cairan per hari, tergantung berat badan, aktivitas, dan suhu lingkungan.

Dalam jurnal Nutrition Reviews (2015), disebutkan bahwa kebutuhan cairan ibu hamil meningkat karena volume darah yang juga meningkat, cairan ketuban yang perlu dipertahankan, dan peningkatan kerja ginjal selama kehamilan.

✅ Sumber Cairan yang Baik:

  • Air putih tetap yang utama. Ini pilihan paling aman, mudah dicerna, tidak mengandung kalori tambahan, dan membantu metabolisme tubuh berjalan optimal.

  • Jus buah segar tanpa gula juga bisa jadi variasi, terutama dari buah tinggi serat seperti jeruk, apel, dan pir.
    Hindari jus kemasan karena tinggi gula tambahan dan rendah serat.

  • Susu hamil, infused water, atau teh herbal ringan (seperti teh chamomile atau daun raspberry, jika disetujui bidan) bisa membantu mencukupi kebutuhan cairan sekaligus memberi variasi rasa.

  • Makanan dengan kadar air tinggi seperti semangka, melon, timun, tomat, dan sup bening juga ikut menyumbang hidrasi tubuh.

❌ Minuman yang Perlu Dibatasi:

  • Kopi, teh hitam, dan soda berkafein tinggi sebaiknya dibatasi. Kafein bersifat diuretik ringan, yang bisa meningkatkan frekuensi buang air kecil dan menyebabkan kehilangan cairan.

  • Minuman manis kemasan (susu kental manis, bubble tea, minuman berenergi) tidak membantu hidrasi dengan baik dan malah meningkatkan risiko konstipasi karena kandungan gula dan lemaknya.

Studi dari Journal of Perinatal Medicine (2016) menyebutkan bahwa asupan kafein berlebihan pada ibu hamil tidak hanya meningkatkan risiko dehidrasi ringan, tetapi juga berkaitan dengan gangguan pola tidur dan peningkatan denyut jantung janin, jika melebihi batas 200 mg per hari.

Tips Praktis agar Ibu Hamil Cukup Minum:

  • Gunakan botol minum khusus ibu hamil dengan penanda jam agar minum lebih teratur

  • Set reminder di HP setiap 2 jam

  • Tambahkan potongan lemon, mint, atau buah-buahan ke dalam air untuk rasa segar tanpa tambahan gula

  • Sediakan air putih di dekat tempat tidur untuk diminum sebelum dan sesudah tidur

Minum cukup air bukan sekadar mencegah dehidrasi, tapi juga bagian penting dalam mencegah wasir secara fisiologis.Cairan membantu proses pencernaan, melancarkan BAB, menjaga sirkulasi darah tetap sehat, dan mendukung fungsi ginjal yang bekerja ekstra selama kehamilan.

Serat dan air adalah pasangan sejati—tidak bisa satu tanpa yang lain. Jadi, kalau ingin wasir tidak mampir di kehamilan ini, jangan lupa jaga asupan cairan setiap hari, ya.

‍♀️ 3. Bergerak Itu Penting!

Selama hamil, banyak ibu yang merasa lelah, ngantukan, atau sekadar ingin rebahan karena tubuh terasa berat. Itu wajar. Tapi bila terlalu sering diam, duduk terlalu lama, atau berbaring seharian tanpa aktivitas ringan, justru bisa menimbulkan masalah baru—termasuk wasir.

Kenapa?

Karena kurangnya gerakan menyebabkan aliran darah di area panggul menjadi lambat. Sirkulasi yang buruk di pembuluh balik (vena), terutama di bagian bawah tubuh, bisa menyebabkan darah terkumpul di sekitar anus dan rektum. Bila dibiarkan, tekanan ini akan membuat pembuluh darah membengkak, dan muncullah wasir.

Kenali Derajat Wasir dan Tanda-Tanda Bahaya

Wasir atau ambeien bukan cuma satu jenis. Gejalanya bisa berbeda-beda tergantung tingkat keparahannya. Ada yang hanya terasa sebagai rasa mengganjal atau sedikit tidak nyaman saat duduk, tapi ada juga yang sampai membuat ibu sulit berjalan, nyeri hebat saat buang air besar, atau bahkan mengganggu tidur.

Di dua artikel sebelumnya (artikel 1) & (artikel 2) kita sudah membahas bahwa wasir adalah kondisi umum yang terjadi saat kehamilan karena pengaruh hormon, tekanan rahim, dan aliran darah balik yang terhambat. Kita juga sudah meluruskan bahwa wasir—meski bikin khawatir—bukan alasan otomatis untuk melahirkan dengan operasi sesar. Bahkan dalam banyak kasus, ibu tetap bisa melahirkan normal dengan aman dan nyaman, asal tahu cara mengelolanya.

Nah, di artikel ketiga ini kita akan masuk lebih dalam: bagaimana sebenarnya tingkatan atau derajat keparahan wasir itu? Bagaimana cara mengenalinya sejak dini? Apa tanda-tanda yang bisa ditangani sendiri, dan kapan kita perlu waspada?

Kenapa ini penting? Karena semakin dini ibu mengenali derajat wasir yang dialaminya, semakin cepat pula langkah pencegahan dan penanganan bisa dilakukan. Ini bukan sekadar tentang mengurangi rasa sakit, tapi juga untuk mencegah komplikasi di masa akhir kehamilan dan saat masa nifas nanti.

Jadi, yuk lanjutkan membaca. Pelan-pelan kita bahas bersama, agar Anda bisa mengenali sinyal tubuh sendiri—tanpa takut berlebihan, tapi juga tanpa mengabaikan hal penting.

Apa Saja Derajat Wasir?

Wasir—khususnya jenis internal—secara klinis dibagi menjadi empat tingkatan berdasarkan derajat keparahan dan seberapa jauh jaringan wasir menonjol keluar dari anus. Klasifikasi ini pertama kali dikembangkan oleh Goligher pada tahun 1955 dan hingga kini masih menjadi acuan utama dalam panduan diagnosis dan penatalaksanaan hemoroid.

Penelitian oleh Rivadeneira et al. yang dimuat dalam Diseases of the Colon & Rectum (2017) menegaskan bahwa klasifikasi Goligher sangat berguna untuk menentukan pilihan terapi yang tepat, mulai dari terapi konservatif hingga tindakan operatif.

Mari kita bahas satu per satu:

✅ Derajat I – Masih di dalam, belum keluar

Wasir derajat I masih berada sepenuhnya di dalam rektum dan tidak menonjol ke luar anus, bahkan saat mengejan.
Gejala umum: perdarahan ringan saat BAB, biasanya berupa darah merah segar yang terlihat pada tisu atau permukaan tinja. Kadang disertai rasa tidak nyaman atau sensasi “ada yang ganjal” di dalam. Biasanya tidak menimbulkan rasa nyeri, karena lokasi wasir berada di area yang minim saraf nyeri (zona hemoroidalis atas).

Menurut studi oleh Lohsiriwat (2015), sekitar 40–50% kasus wasir pada ibu hamil termasuk dalam derajat I, dan sebagian besar bisa membaik dengan perbaikan gaya hidup saja.

Penanganan:

  • Pola makan tinggi serat (buah, sayur, whole grain)

  • Minum air putih minimal 2 liter per hari

  • Olahraga ringan seperti jalan kaki atau yoga

  • Hindari mengejan keras dan kebiasaan duduk terlalu lama di toilet

✅ Derajat II – Keluar saat BAB, tapi masuk sendiri

Pada derajat ini, wasir menonjol ke luar saat mengejan (misalnya saat BAB), tetapi bisa kembali masuk sendiri tanpa bantuan.
Gejala umum: perdarahan ringan, rasa gatal di anus, atau nyeri ringan setelah duduk terlalu lama. Ibu biasanya mulai merasa tidak nyaman secara fisik dan emosional karena benjolan sesekali terasa muncul.

Studi dari Cheetham et al. (Colorectal Disease, 2016) menyebutkan bahwa derajat II adalah jenis wasir paling sering ditemukan pada pasien rawat jalan, termasuk pada ibu hamil dan menyusui.

Penanganan:
Selain langkah-langkah pada derajat I, bisa ditambahkan:

  • Sitz bath: merendam bokong dalam air hangat selama 10–15 menit, 2–3 kali sehari

  • Salep topikal atau supositoria (berbasis witch hazel, hydrocortisone ringan, atau lidokain, dengan izin tenaga medis)

  • Kompres dingin untuk mengurangi bengkak dan rasa terbakar

✅ Derajat III – Keluar dan harus didorong masuk

Wasir keluar saat mengejan dan tidak bisa masuk kembali sendiri, tetapi masih bisa didorong masuk secara manual dengan jari.
Gejala: benjolan tampak jelas di luar anus, nyeri sedang hingga berat, perih saat BAB, bisa disertai lendir dan kadang sulit bersih setelah BAB.

Dalam penelitian oleh Rivadeneira et al. (2017), kasus wasir derajat III sering memerlukan terapi intervensi, meskipun penanganan konservatif masih dapat dicoba terlebih dahulu selama kehamilan.

Penanganan:

Benarkah Wasir Saat Hamil Harus Sesar?

“Dok, saya ada ambeien, berarti gak bisa lahiran normal ya?”

Kalimat ini cukup sering terdengar di ruang praktik. Wajar saja—wasir memang bikin tidak nyaman. Nyeri, gatal, sampai berdarah. Tapi, apakah benar kondisi ini berarti ibu tidak boleh melahirkan pervaginam dan harus langsung dijadwalkan operasi caesar?

Yuk, kita bedah mitos ini perlahan-lahan. Karena kenyataannya tidak sesederhana itu.

Wasir Itu Umum Terjadi Saat Hamil—Tapi Bukan Alasan Otomatis untuk Sesar

Pertama-tama, penting untuk ditekankan: wasir bukan kontraindikasi untuk persalinan normal. Artinya, ibu hamil dengan wasir tetap bisa menjalani proses persalinan spontan—asal kondisi lainnya mendukung.

Bahkan dalam panduan praktik dari American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) maupun WHO, tidak disebutkan bahwa wasir—baik internal maupun eksternal—menjadi alasan medis untuk tindakan seksio sesarea.

Justru, penelitian menunjukkan bahwa mayoritas ibu hamil dengan wasir berhasil melahirkan normal tanpa komplikasi yang berarti (Pitt, D. et al., BMJ Open, 2019). Wasir memang bisa memburuk saat proses mengejan, tapi dengan pendekatan yang tepat, hal ini bisa diminimalkan.

Mitos: “Kalau Ada Ambeien, Gak Bisa Ngejan”

Mitos ini muncul dari ketakutan bahwa mengejan saat persalinan bisa memperparah wasir. Memang benar, tekanan intra-abdomen saat mengejan dapat menyebabkan pembuluh darah di sekitar anus membengkak. Tapi bukan berarti tidak bisa mengatur strategi mengejan.

Yang dibutuhkan adalah:

  • Posisi melahirkan yang tepat (tidak selalu telentang)

  • Strategi mengejan yang efisien, tidak terburu-buru, dan mengikuti dorongan alami tubuh

  • Pendampingan yang suportif dari bidan atau doula

  • Manajemen nyeri yang efektif agar ibu tetap relaks dan tidak over-mengejan

Studi dari Abdool et al. (2020) mencatat bahwa pelatihan pernapasan dan teknik mengejan terkontrol secara signifikan menurunkan tekanan berlebih ke dasar panggul dan membantu menjaga kondisi wasir tetap stabil selama proses persalinan.

POOP BERDARAH?! ada apa ini?

“Hamil itu penuh berkah, tapi kenapa kok setiap mau BAB rasanya nyeri, gatal, bahkan kadang berdarah?”
Kalau Anda pernah mikir begitu, kamu nggak sendiri.

Banyak ibu hamil mengalami keluhan di area anus—entah rasa tidak nyaman saat duduk, gatal yang nggak kunjung hilang, atau nyeri luar biasa waktu buang air besar. Tapi karena letaknya “di bawah” dan agak sensitif buat dibahas, keluhan ini sering disimpan sendiri. Malu mau cerita. Takut dianggap remeh.

Padahal, kondisi seperti ini sangat umum terjadi saat hamil. Dan kabar baiknya, sebagian besar bukan sesuatu yang berbahaya. Bisa ditangani, bahkan dicegah, asalkan kita tahu penyebab dan cara mengelolanya.

Nah, di artikel ini kita akan bahas pelan-pelan tentang wasir atau ambeien pada ibu hamil—dari yang ringan sampai yang sering bikin khawatir. Supaya Anda bisa lebih tenang dan tahu harus gimana saat gejalanya muncul.

Wasir, atau dalam istilah medis disebut hemoroid, adalah kondisi saat bantalan pembuluh darah di sekitar anus membengkak atau meradang. Kondisi ini sebenarnya mirip seperti varises, tapi terjadi di daerah rektum dan anus. Saat hamil, tekanan dari rahim yang membesar dan perubahan hormon bisa membuat pembuluh darah di area ini melebar, lalu menyebabkan wasir.

Secara umum, wasir dibagi menjadi dua jenis:

  1. Wasir internal: terjadi di bagian dalam saluran anus, biasanya tidak terasa nyeri tapi bisa menimbulkan perdarahan—darah merah segar saat buang air besar.

  2. Wasir eksternal: muncul di bagian luar anus sebagai benjolan lunak atau keras. Kadang terasa gatal, nyeri, atau bahkan perih saat duduk dan BAB.

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal BMC Gastroenterology (2024), wasir dialami oleh sekitar 35% ibu hamil, dengan risiko meningkat seiring usia kehamilan. Studi tersebut juga menegaskan bahwa kehamilan adalah salah satu faktor risiko utama karena adanya peningkatan tekanan intra-abdomen, pelebaran pembuluh darah vena, dan kecenderungan konstipasi pada trimester kedua dan ketiga (Ghafari et al., 2024).

Fakta menarik lainnya, dalam sebuah tinjauan sistematis oleh Abramowitz et al. (The Lancet Gastroenterology & Hepatology, 2018), disebutkan bahwa hemoroid merupakan salah satu kondisi anorektal paling umum pada perempuan hamil dan pascapersalinan, tapi sayangnya sering kali diabaikan atau dianggap tabu untuk dibicarakan.

Padahal, memahami apa itu wasir, bagaimana bentuk dan gejalanya, serta apa yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasinya, sangat penting agar ibu hamil tidak merasa cemas berlebihan atau justru menunda pengobatan.

Jadi, kalau Anda merasakan gejala seperti nyeri saat BAB, ada benjolan di sekitar anus, atau bahkan perdarahan ringan, bisa jadi itu adalah wasir. Tidak perlu panik. Yang penting, tahu cara meresponsnya dengan tenang dan tepat.

Kenapa Wasir Sering Muncul Saat Hamil?

Wasir bukan kondisi aneh dalam kehamilan. Faktanya, cukup banyak ibu hamil yang baru pertama kali menyadari gejala wasir justru saat usia kehamilan memasuki trimester kedua atau ketiga. Kenapa bisa begitu?

Ada beberapa alasan biologis dan fisiologis yang membuat kehamilan jadi masa “subur” untuk munculnya wasir. Mari kita bahas satu per satu.

1. Perubahan Hormon yang Mempengaruhi Pembuluh Darah

Selama kehamilan, tubuh ibu memproduksi lebih banyak hormon progesteron. Hormon ini punya banyak manfaat, seperti membantu otot rahim rileks dan menjaga kehamilan tetap stabil. Tapi, efek sampingnya—yang jarang dibicarakan—adalah membuat pembuluh darah menjadi lebih longgar dan melebar.

Akibatnya, pembuluh darah di sekitar anus juga bisa melebar dan menampung lebih banyak darah daripada biasanya. Jika aliran balik darah ke jantung tidak lancar, maka darah bisa “mengendap”, dan terbentuklah benjolan atau pembengkakan yang kita kenal sebagai wasir.

2. Tekanan dari Rahim yang Membesar

Seiring pertumbuhan janin, rahim pun makin membesar. Di trimester akhir, rahim bisa memberikan tekanan cukup besar pada pembuluh darah balik di area panggul dan perut bawah—terutama vena cava inferior dan vena hemoroidalis.

Tekanan ini memperlambat aliran darah dari bagian bawah tubuh ke jantung. Akibatnya, aliran darah dari anus dan rektum jadi tersendat, lalu memicu pembengkakan pembuluh darah di sekitar anus, alias hemoroid.

Hal ini ditegaskan dalam kajian oleh Abramowitz et al. (2018) yang diterbitkan di The Lancet Gastroenterology & Hepatology, bahwa pertumbuhan janin yang menekan pembuluh darah besar merupakan salah satu pemicu utama hemoroid selama kehamilan.

3. Konstipasi dan Kebiasaan Mengejan

Keluhan perut kembung, susah BAB, atau buang air besar yang jarang selama hamil bukan hal asing. Ini disebabkan oleh:

PERINEUM MASSAGE, SOLUSI CERDAS CEGAH ROBEKAN PERINEUM saat MELAHIRKAN.

✨ “Aku Takut Dijahit, Bu Bid…”

“Aku siap lahiran, tapi jujur… aku paling takut bagian dijahitnya.”

Kalimat ini bukan hal asing bagi kami para bidan. Dalam kelas-kelas persiapan lahir, sesi konsultasi, bahkan dalam obrolan ringan di ruang periksa, banyak ibu—terutama yang pertama kali hamil—membuka kekhawatiran yang paling personal: bukan kontraksi, bukan mengejan, tapi robekan perineum.

Ketakutan ini sangat valid. Karena bagi banyak perempuan, pengalaman dijahit setelah melahirkan justru menjadi sumber trauma yang melekat lebih lama dari rasa sakit kontraksi. Beberapa merasa tidak diberi pilihan. Beberapa tidak sempat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan sebagian lagi—merasa bersalah karena mengira tubuhnya “tidak cukup kuat” untuk melahirkan tanpa robek.

Padahal, robekan perineum bukan soal kuat atau tidaknya seorang ibu. Tapi lebih kepada:

  • Apakah tubuhnya diberi kesempatan untuk membuka dengan alami?

  • Apakah dia diberi waktu dan dukungan untuk melahirkan sesuai ritmenya?

  • Dan… apakah perineumnya pernah disiapkan dengan lembut dan penuh cinta sebelum hari H?

Salah satu cara paling sederhana, murah, dan penuh manfaat yang bisa dilakukan adalah:
Perineum Massage.

Apa Itu Perineum Massage?

Perineum massage adalah teknik pemijatan lembut pada area antara vagina dan anus—bagian tubuh yang disebut perineum.

Teknik ini bertujuan untuk:

  • Melenturkan jaringan otot dan kulit perineum,

  • Meningkatkan sirkulasi darah,

  • Menyiapkan tubuh menghadapi fase crowning (saat kepala bayi muncul),

  • Meningkatkan kesadaran tubuh dan kepercayaan diri ibu.

Berikut ini bukti ilmiah yang mendukung tindakan ini: 
  1. Cochrane Review (Beckmann & Garrett, 2013)
    Perineum massage sejak trimester 3 (diatas 34 minggu):

    • Menurunkan risiko robekan derajat sedang-berat,

    • Menurunkan angka kebutuhan episiotomi pada primigravida,

    • Meningkatkan kenyamanan ibu terhadap tubuhnya sendiri.

  2. Aasheim et al., Cochrane (2017)
    Teknik manual seperti perineum massage dan kompres hangat saat persalinan terbukti:

    • Mengurangi trauma perineum,

    • Meningkatkan kontrol ibu saat mengejan.

  3. Albers (2005), J Midwifery Women’s Health
    Perineum massage secara rutin meningkatkan elastisitas dan ketahanan jaringan perineum,
    serta mempersiapkan ibu secara mental menghadapi sensasi burning ring of fire saat kepala bayi keluar.

  4. Labrecque et al. (1999)
    Ibu yang rutin melakukan perineum massage:

    • Lebih jarang mengalami robekan spontan,

    • Lebih sedikit trauma dan nyeri pasca persalinan,

    • Lebih siap secara emosional menghadapi proses lahir.

  5. Sripichyakan et al. (2023)
    Studi terbaru di Asia Tenggara menyatakan bahwa ibu yang mendapat edukasi dan praktik perineum massage:

    • Lebih sedikit mengalami luka perineum derajat 3–4,

    • Merasa lebih percaya diri dan tenang dalam menghadapi VT (vaginal toucher) dan fase melahirkan.

Manfaat Holistik Perineum Massage

Perineum massage bukan hanya latihan fisik menjelang lahiran. ini adalah bentuk perawatan tubuh yang menyeluruh—menyentuh aspek fisik, emosional, hingga spiritual. Dalam praktiknya, banyak ibu yang awalnya melakukannya karena takut dijahit, tapi kemudian merasa bahwa pijatan ini justru membuat mereka lebih sadar, tenang, dan terhubung dengan tubuh yang akan melahirkan.

Berikut manfaat perineum massage yang telah dibuktikan melalui penelitian dan pengalaman klinis: