Takut Perineum Robek Saat Lahiran? Ini yang Wajib Ibu Tahu dari Awal!
“Aku takut robek, Bid… Katanya robekan perineum itu sakit banget dan bisa sampai dijahit OBRAS.”
Kalimat ini sudah sering sekali kami dengar di kelas-kelas persiapan persalinan. Dan memang benar—ketakutan soal robekan perineum adalah keresahan umum banyak ibu menjelang persalinan.
Beberapa ibu bahkan datang ke kelas sambil menggenggam tangan suaminya erat-erat, lalu berbisik, “Bidan, aku tuh lebih takut dijahitnya daripada lahirannya.” Ada juga yang bilang, “Temanku kemarin katanya robek sampai anus, aku jadi makin parno.” Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Banyak cerita yang beredar—di grup WhatsApp, obrolan posyandu, bahkan dari tenaga kesehatan sendiri—yang kadang malah bikin cemas. Padahal, setiap ibu berhak mendapatkan informasi yang utuh dan jujur, bukan hanya cerita seram yang menyudutkan tubuhnya sendiri.
Dan lucunya, kadang ibu juga bingung sendiri karena tiap orang ngomong beda. Ada yang bilang semua pasti robek, ada yang malah disarankan langsung minta digunting biar “nggak repot” atau “biar jahitannya RAPI”. Tapi… siapa yang kasih tahu kalau ternyata tubuh perempuan itu dirancang cerdas, bisa melahirkan dengan lembut dan perlahan—kalau kita beri kesempatan? Nah, supaya ibu nggak cuma bergantung pada cerita-cerita horor yang nggak jelas dasarnya, yuk kita pelajari bareng-bareng apa itu perineum, kenapa bisa robek, dan gimana kita bisa bantu tubuh kita sendiri untuk melahirkan dengan utuh dan penuh kendali.
Karena saat kita tahu cara kerja tubuh sendiri, rasa takut bisa berubah jadi rasa percaya. Kita jadi bisa bilang, “Aku paham apa yang sedang terjadi di tubuhku, dan aku siap menjalaninya dengan tenang.” Maka, mari kita mulai dari yang paling dasar. Karena sering kali, justru hal-hal yang paling penting—seperti perineum—justru jarang dibahas dengan jelas. Padahal dari sinilah semuanya bermula.
dan sering kali, ibu-ibu hanya tahu bahwa “perineum bisa robek”, tanpa benar-benar paham apa itu perineum, kenapa bisa robek, dan apa yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk meminimalkan risikonya.
Yuk kita bahas dari dasar dulu, biar ibu bisa ambil keputusan dengan percaya diri.
Apa Itu Perineum?
Perineum adalah area jaringan lunak yang terletak di antara vagina dan anus. Wilayah ini mungkin jarang kita pikirkan dalam keseharian, tapi saat persalinan, perineum punya peran yang sangat penting—karena bayi akan melewati area ini saat lahir. Saat kepala bayi menekan keluar, perineum akan meregang maksimal untuk memberi jalan.

Secara anatomi, perineum terdiri dari kulit, jaringan ikat, serta beberapa lapis otot dasar panggul yang saling bekerja sama menjaga stabilitas organ dalam dan mendukung proses lahiran. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), perineum juga merupakan bagian dari sistem dasar panggul yang kompleks, yang terhubung dengan fungsi kandung kemih, rektum, serta vagina (ACOG Practice Bulletin No. 205, 2019).
Perineum yang lentur dan sehat mampu menyesuaikan diri saat bayi lahir, terutama bila proses persalinan berlangsung secara bertahap dan tidak dipaksakan. Tapi jika tekanan datang terlalu cepat atau jaringan tidak sempat beradaptasi, maka perineum bisa mengalami robekan—baik ringan maupun berat. Dalam literatur kebidanan, International Urogynecology Journal mencatat bahwa kecepatan kelahiran kepala bayi, posisi tubuh ibu, dan intervensi medis seperti episiotomi sangat memengaruhi risiko robekan (Stedenfeldt et al., 2012).
Sayangnya, banyak ibu belum mendapat edukasi memadai tentang hal ini. Bahkan menurut studi di BMC Pregnancy and Childbirth (2020), kurangnya pengetahuan ibu hamil tentang anatomi perineum dan risiko robekan membuat mereka lebih pasrah dan takut menghadapi persalinan. Padahal, saat seorang ibu paham struktur tubuhnya sendiri, ia bisa mengambil peran aktif untuk menjaga dan mempersiapkannya sejak kehamilan.
Apa Itu Robekan Perineum?
Robekan perineum adalah kondisi di mana jaringan antara vagina dan anus mengalami sobekan saat proses melahirkan, terutama ketika kepala bayi menekan keluar. Ini bisa terjadi secara spontan—karena peregangan yang melebihi elastisitas jaringan—atau bisa juga karena intervensi medis seperti episiotomi (pengguntingan perineum oleh tenaga medis).

Dalam dunia kebidanan, robekan perineum diklasifikasikan menjadi empat derajat berdasarkan tingkat keparahannya:
- Derajat 1: hanya melibatkan kulit dan lapisan paling luar jaringan vagina atau perineum. Biasanya tidak memerlukan jahitan.
- Derajat 2: melibatkan otot perineum, tapi tidak sampai ke otot sfingter anus. Ini adalah jenis robekan yang paling sering dijumpai dan biasanya memerlukan penjahitan.
- Derajat 3: melibatkan otot sfingter anus, yang mengontrol buang air besar. Ini termasuk robekan sedang-berat dan perlu penanganan khusus.
- Derajat 4: robekan mencapai mukosa rektum (lapisan dalam saluran pencernaan). Ini adalah bentuk robekan paling berat dan jarang terjadi, tapi bisa berdampak besar pada kualitas hidup ibu bila tidak ditangani dengan benar.
Menurut Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG), sekitar 85% ibu mengalami suatu bentuk trauma perineum saat persalinan pervaginam, dan sekitar 60-70% di antaranya membutuhkan penjahitan (RCOG Greentop Guideline No. 29, 2015). Namun, bukan berarti semua robekan berbahaya atau tak bisa dicegah. Banyak robekan derajat ringan bisa sembuh dengan cepat, terutama bila ibu diberikan perawatan yang tepat dan proses lahir berlangsung secara alami.
Dalam studi oleh Smith et al. (2021) yang dimuat di Birth Issues in Perinatal Care, disebutkan bahwa waktu peregangan yang cukup, minim intervensi, serta posisi bersalin yang memaksimalkan kelenturan jaringan seperti posisi miring atau jongkok, dapat secara signifikan menurunkan risiko robekan berat. Bahkan, banyak laporan positif dari ibu yang melahirkan dalam posisi aktif dan tidak mengalami robekan sama sekali—terutama jika sudah melakukan persiapan seperti pijat perineum atau prenatal yoga.
Yang perlu kita ingat: robekan itu bukan aib atau kegagalan tubuh. Ia adalah respon alami terhadap tekanan saat melahirkan. Tapi dengan persiapan dan pendekatan yang tepat, kita bisa mengurangi risiko, dan yang paling penting—menjaga agar tubuh ibu tetap dihormati sepanjang proses persalinan.
Pertanyaan ini sering muncul di kelas-kelas persiapan persalinan:
“Apakah semua ibu pasti mengalami robekan perineum?”
“Kalau anak pertama, pasti robek ya?”
“Kalau nggak digunting, nanti malah robek lebih parah katanya…”
Mari kita bahas berdasarkan data dan fakta ilmiah, bukan asumsi atau mitos.
Prevalensi Robekan Perineum
Menurut laporan Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG, 2015):
- Sekitar 85% ibu yang melahirkan pervaginam mengalami trauma perineum, baik robekan spontan maupun episiotomi.
- Dari jumlah tersebut, 60-70% membutuhkan penjahitan, terutama robekan derajat 2 ke atas.
Studi di Norwegia (Stedenfeldt et al., 2012) mencatat bahwa:
- Robekan derajat 1 dan 2 terjadi pada 50–70% kelahiran pertama, dengan risiko lebih tinggi pada primipara (ibu yang melahirkan pertama kali).
- Robekan derajat 3 dan 4 lebih jarang, tapi tetap penting diwaspadai karena dampaknya jangka panjang terhadap kontinensia (kemampuan menahan BAB).
Dalam publikasi BMC Pregnancy and Childbirth (Aasheim et al., 2017) yang meninjau data lebih dari 1 juta persalinan di Skandinavia, disebutkan bahwa:
- Risiko robekan berat (derajat 3–4) terjadi pada sekitar 3–4% ibu bersalin, terutama bila disertai faktor risiko seperti bayi besar (>4000 gram), penggunaan vakum atau forceps, dan episiotomi rutin.
Tren Menurun di Negara yang Mendukung Persalinan Fisiologis
Menariknya, negara-negara yang menerapkan pendekatan persalinan aktif dan non-intervensif—misalnya Belanda, Swedia, dan beberapa rumah sakit bersalin di Inggris—menunjukkan angka robekan berat yang jauh lebih rendah, bahkan mendekati 0,5–1%. Hal ini berkat:
- Penggunaan posisi melahirkan yang sesuai biomekanik (miring, jongkok, berlutut)
- Minim intervensi medis tanpa indikasi
- Dukungan bidan yang melibatkan ibu dalam proses pengambilan keputusan
- Penggunaan warm compress dan teknik mengejan fisiologis
⚠️ Dan Bagaimana di Indonesia?
Sayangnya, data nasional belum terdokumentasi secara sistematis. Namun dari pengalaman praktik lapangan, robekan masih sangat sering terjadi, terutama karena:
- Episiotomi rutin masih dilakukan tanpa indikasi medis
- Ibu tidak diberi pilihan posisi melahirkan yang mendukung pelvis
- Kurangnya edukasi tentang pijat perineum dan persiapan prenatal
- Proses persalinan dipercepat demi efisiensi ruang bersalin
Jadi, Haruskah Takut?
Tidak harus. Karena risiko bukan takdir. Ketika kita paham faktor penyebabnya, kita bisa lebih siap menyikapinya. Banyak ibu yang berhasil melahirkan tanpa robekan, atau hanya mengalami robekan ringan yang cepat pulih—terutama bila mereka mempersiapkan tubuh dan mentalnya sejak kehamilan.
Dan kabar baiknya: semua hal ini bisa dipelajari dan dilatih.
Mulai dari prenatal gentle yoga, pijat perineum, teknik napas, hingga pemilihan posisi melahirkan.
⚠️ Faktor-Faktor yang Meningkatkan Risiko Robekan
Sering kali kita mendengar cerita seperti ini:
“Aku udah jaga makan, olahraga rutin, tapi tetap robek saat lahiran…”
“Kata orang rumah sakit, karena bayinya besar, jadi harus digunting biar nggak robek lebih parah…”
“Aku disuruh langsung mengejan padahal belum kerasa dorongan, terus tiba-tiba robek banyak…”
Cerita-cerita semacam ini bukan mitos. Tapi, apakah robekan perineum selalu disebabkan karena “bayinya kebesaran” atau “ibunya kurang latihan”? Ternyata jawabannya nggak sesederhana itu. Yuk kita lihat lebih dalam—apa saja yang sebenarnya bisa meningkatkan risiko robekan saat melahirkan.
Faktor Internal: dari Dalam Tubuh Ibu Sendiri
Ini adalah hal-hal yang tidak selalu bisa dikendalikan, tapi penting untuk dipahami:
- Posisi Janin yang Kurang Optimal
Misalnya posisi kepala bayi menunduk kurang sempurna (defleksi), miring (asynclitic), atau menghadap ke atas (posterior). Posisi ini bisa membuat tekanan tidak merata di perineum saat kepala turun.
→ Menurut Spinning Babies dan penelitian oleh Reitter et al. (2014), posisi janin sangat memengaruhi bentuk tekanan pada jalan lahir dan tingkat robekan. - Kurangnya Elastisitas Jaringan Perineum
Jaringan perineum yang kaku (karena faktor usia, hidrasi kurang, atau tidak pernah dilatih selama hamil) akan lebih rentan sobek.
→ Journal of Obstetrics and Gynaecology (2021) menyebutkan bahwa wanita yang melakukan pijat perineum menjelang persalinan memiliki kemungkinan lebih kecil mengalami robekan derajat sedang hingga berat. - Ukuran Bayi Besar (Makrosomia)
Bayi di atas 4000 gram memang memberi tekanan lebih besar. Tapi, ini bukan satu-satunya faktor, dan tidak otomatis berarti “harus robek”. Yang jauh lebih penting adalah posisi bayi dan waktu peregangan perineum.
Faktor Eksternal: dari Lingkungan & Tindakan Selama Persalinan
Nah, ini yang sering tidak disadari—bahwa banyak robekan justru terjadi bukan karena tubuh ibu, tapi karena tindakan yang terburu-buru atau intervensi yang tidak perlu.
- Episiotomi Rutin (Pengguntingan Perineum)
Meski dimaksudkan “untuk mencegah robekan parah”, faktanya: episiotomi justru bisa memicu robekan lebih dalam dan lebih sulit sembuh.
→ Cochrane Review 2017 menyimpulkan bahwa episiotomi selektif (hanya jika benar-benar diperlukan) jauh lebih aman dibandingkan episiotomi rutin.
→ WHO juga menyarankan untuk meninggalkan praktik episiotomi rutin. - Posisi Melahirkan yang Tidak Mendukung Panggul Terbuka
Posisi telentang dengan kaki diangkat memang “memudahkan observasi” untuk tenaga kesehatan, tapi justru mempersempit outlet panggul dan membuat perineum menerima tekanan langsung.
→ Dalam biomekanika panggul, posisi miring, jongkok, atau all-fours (merangkak) jauh lebih ramah perineum. - Mengejan yang Dipaksakan (Directed Pushing)
Saat ibu dipaksa mengejan padahal belum merasa dorongan dari tubuh, perineum belum siap menerima tekanan. Ini mirip seperti memaksa pintu terbuka padahal kuncinya belum dibuka.
→ Lamaze International dan penelitian oleh Low et al. (2013) menunjukkan bahwa spontaneous pushing (mengejan mengikuti naluri tubuh) jauh lebih aman bagi perineum. - Proses Melahirkan yang Dipercepat atau Dipaksakan
Tindakan seperti infus oksitosin tanpa indikasi, atau dorongan untuk “cepat selesai” karena antrean di rumah sakit, bisa membuat tubuh tidak punya waktu untuk membuka dengan perlahan.
→ Journal of Perinatal Education (Simkin & Bolding, 2004) menjelaskan bahwa perineum butuh waktu dan tekanan bertahap agar bisa meregang tanpa trauma.
Kombinasi Faktor Seringkali Jadi Pemicu
Yang menarik: robekan perineum jarang disebabkan oleh satu faktor saja. Biasanya, itu kombinasi dari beberapa hal:
- Posisi janin miring
- Bayi sedikit besar
- Ibu dipaksa mengejan
- Lalu… “Karena kepala belum keluar, langsung digunting, ya, Bu.”
Padahal, jika tubuh diberi waktu dan dukungan—perineum bisa meregang dengan cerdas dan alami. Seperti karet gelang yang lentur kalau dipanaskan pelan-pelan.
Jadi, bukan tubuh ibu yang “kurang sempurna”. Yang seringkali kurang justru pengetahuan dan dukungan di ruang bersalin. Kalau ibu diberi informasi yang cukup, posisi yang mendukung, waktu yang sabar, dan suasana yang tenang—perineum bisa dilindungi dengan indah.
Di bagian selanjutnya, kita akan bahas cara-cara alami dan ilmiah untuk mencegah robekan perineum secara holistik. Mulai dari yoga, teknik napas, hingga pijat dan nutrisi.
Jangan biarkan ketakutan soal robekan membuat ibu panik. Justru dengan tahu lebih awal, ibu bisa persiapkan perineum sejak hamil. Yang penting bukan cuma “jangan robek”, tapi bagaimana ibu dilibatkan dan dihormati dalam proses kelahiran itu sendiri.
Di artikel berikutnya, kita akan bahas cara-cara alami untuk mencegah robekan perineum—dari yoga, pijat perineum, posisi lahiran, sampai nutrisi!
Kalau ibu ingin belajar lebih dalam, bisa ikuti kelas Gentle Birth Series atau Prenatal Gentle Yoga bareng bidan Yesie dan Team @BidanKita
DAFTAR PUSTAKA & REFERENSI ILMIAH
- American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG).
ACOG Practice Bulletin No. 205: Vaginal Birth After Cesarean Delivery. Obstetrics & Gynecology. 2019. - Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG).
The Management of Third- and Fourth-Degree Perineal Tears. Green-top Guideline No. 29. 2015.
https://www.rcog.org.uk - Stedenfeldt, M., Oian, P., Gissler, M., Blix, E.
Risk factors for obstetric anal sphincter injury after a successful vaginal birth: A population-based study. International Urogynecology Journal, 2012, 23(11), 1531–1538.
https://doi.org/10.1007/s00192-012-1792-5 - Aasheim, V., Nilsen, A.B.V., Lukasse, M., Reinar, L.M.
Perineal techniques during the second stage of labour for reducing perineal trauma. BMC Pregnancy and Childbirth, 2017, 17(1):68.
https://doi.org/10.1186/s12884-017-1241-0 - Cochrane Pregnancy and Childbirth Group.
Episiotomy for vaginal birth. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2017.
https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD000081.pub3 - Lamaze International.
Evidence-Based Practices for Labor and Birth.
https://www.lamaze.org - Reitter, A., Daviss, B.-A., Bisits, A., Schollenberger, A., Dudenhausen, J.W., Zubke, W.
Does pregnancy and/or shifting positions create an asymmetric pelvis? Journal of Perinatal Medicine, 2014.
https://doi.org/10.1515/jpm-2013-0280 - Simkin, P., Bolding, A.
Update on nonpharmacologic approaches to relieve labor pain and prevent suffering. Journal of Midwifery & Women’s Health, 2004, 49(6):489–504.
https://doi.org/10.1016/j.jmwh.2004.07.007 - Low, L.K., Moffat, A., Brennan, R.E.
Silent trauma: The impact of obstetric fistula on women’s lives. Midwifery, 2013.
https://doi.org/10.1016/j.midw.2012.11.011 - The World Health Organization (WHO).
WHO Recommendations: Intrapartum Care for a Positive Childbirth Experience. Geneva: World Health Organization; 2018.
https://www.who.int/publications/i/item/9789241550215