
WHO Intrapartum Care Guidelines (2018):
“Episiotomi tidak boleh dilakukan secara rutin dan harus didasarkan pada indikasi klinis yang jelas, dengan informed consent yang utuh.”
“Keputusan intervensi medis harus mempertimbangkan nilai, preferensi, dan otonomi perempuan.”
Praktik yang Sering Terjadi di Lapangan
Sayangnya, banyak fasilitas kesehatan masih menjalankan:
- Episiotomi rutin tanpa indikasi medis,
- Prosedur “memotong perineum” tanpa penjelasan,
- Memberi tahu saat tindakan sudah dimulai, bukan sebelum,
- Menekan ibu dengan kata-kata seperti:
“Kalau nggak digunting, bisa sobek sampai anus loh, Bu.”
“Kalau tidak cepat, bayinya bisa kenapa-napa.”
Praktik semacam ini sering disebut sebagai bentuk Kekerasan Dalam Ruang Persalinan (KDRP) dan termasuk pelanggaran hak tubuh ibu.
Apa yang Harus Diketahui oleh Ibu & Pasangannya?
-
-
Membuka perlahan mengikuti kepala bayi,
-
Menghindari robekan, bahkan tanpa dijahit.
- Apa Itu Perineum dan Fungsinya?
Perineum adalah:
-
Area jaringan lunak yang terletak antara vagina dan anus.
-
Terdiri dari kulit, otot, jaringan ikat, dan pembuluh darah.
-
Salah satu bagian dari dasar panggul yang membantu menopang organ-organ reproduksi.
Fungsi utama perineum:
-
Menjaga stabilitas dan kontinuitas dasar panggul.
-
Meregang secara alami saat proses kelahiran untuk memungkinkan bayi keluar.
-
Setelah lahir, berperan dalam pemulihan fungsi seksual, kontrol urin dan feses, serta pemulihan emosional tubuh ibu.
Fakta penting:
-
Perineum memiliki kemampuan elastisitas alami, apalagi bila dipersiapkan sejak kehamilan dengan:
-
Posisi melahirkan yang tepat,
-
Kompres hangat saat crowning,
-
Latihan pernapasan dan relaksasi,
-
Perineum massage dan gerakan prenatal gentle yoga.
-
Jika ibu diberi waktu, ruang, dan rasa percaya, perineum bisa
2. Apa Itu Episiotomi dan Kapan Diperlukan?
Episiotomi adalah:
-
Tindakan medis berupa sayatan (pemotongan) pada perineum,
-
Bertujuan untuk memperbesar jalan lahir agar bayi lebih cepat keluar.
Jenis sayatan episiotomi:
-
Midline (lurus ke bawah): lebih mudah sembuh, tapi lebih berisiko robekan lanjut.
-
Mediolateral (menyamping): lebih aman terhadap robekan lanjut, tapi lebih nyeri pasca-lahir.
Episiotomi tidak selalu diperlukan.
WHO dan Cochrane Review menyatakan bahwa:
-
Episiotomi rutin tidak dianjurkan.
-
Harus dilakukan hanya jika ada indikasi medis yang jelas dan dengan informed consent.
Indikasi medis episiotomi (menurut WHO):
-
Gawat janin (detak jantung bayi menurun tajam dan perlu dilahirkan segera).
-
Distosia bahu atau bayi besar dan kepala tidak turun-turun.
-
Persalinan dengan alat bantu (forceps atau vakum) dalam kondisi tertentu.
Risiko episiotomi bila dilakukan tanpa indikasi:
-
Nyeri lebih lama dan hebat pasca lahiran,
-
Robekan lanjutan (hingga anus/derajat 3–4),
-
Infeksi luka atau keloid,
-
Masalah hubungan seksual,
-
Trauma psikologis.
Cochrane Review (2017):
Episiotomi selektif (hanya bila perlu) menghasilkan angka komplikasi dan trauma perineum yang lebih rendahdibandingkan episiotomi rutin.
- Hak Ibu: Menolak Tindakan yang Tidak Dijelaskan
Ibu punya hak untuk:
Bertanya
-
Setiap ibu berhak meminta penjelasan yang lengkap sebelum tindakan dilakukan.
-
Ibu boleh bertanya:
“Apa tujuan tindakan ini?”
“Apa saja manfaat dan risikonya?”
“Adakah alternatif lain yang lebih lembut?”
Menunda Keputusan
-
Ibu boleh meminta waktu untuk berpikir, terutama jika masih ragu atau belum paham.
-
Ibu bisa berkata:
“Boleh saya diskusi dulu dengan suami?”
“Saya minta beberapa menit untuk mempertimbangkan.”
Meminta Second Opinion
-
Jika ibu merasa tidak yakin, berhak minta pendapat dari bidan/dokter lain.
-
Ini bukan bentuk tidak sopan, tapi bagian dari hak atas pelayanan yang adil dan transparan.
Menolak Prosedur yang Tidak Jelas
-
Ibu boleh menolak tindakan medis apa pun yang:
-
Tidak dijelaskan secara jujur dan rinci,
-
Dilakukan terburu-buru tanpa persetujuan sadar,
-
Tidak sesuai dengan nilai/keyakinan ibu,
-
Terasa mengancam secara fisik atau emosional.
-
Catatan Penting:
Menolak prosedur ≠ Menolak keselamatan.
Penolakan adalah bentuk dari:
-
Kewaspadaan ibu terhadap tubuhnya,
-
Hak atas informasi, otonomi, dan rasa aman,
-
Upaya menjaga proses kelahiran tetap manusiawi dan penuh hormat.
Contoh Kalimat Praktis:
-
“Saya ingin tahu dulu manfaat dan risikonya.”
-
“Saya tidak nyaman jika itu dilakukan sekarang.”
-
“Saya butuh waktu sebentar untuk membuat keputusan.”
-
“Saya tidak menyetujui tindakan ini saat ini.”
Tubuh ibu bukan objek yang boleh diatur seenaknya.
Tubuh ibu adalah subjek utama dalam kelahiran, yang harus dihormati, didengarkan, dan dilibatkan penuh dalam setiap keputusan.
4. Peran Pasangan / Birth Partner
-
Proses persalinan bukan hanya urusan fisik ibu—tetapi juga tentang keputusan, emosi, dan perlindungan hak. Di tengah tekanan waktu dan sistem medis yang sering terburu-buru, seorang birth partner yang sadar dan teredukasi bisa menjadi pelindung utama bagi ibu.
Penelitian oleh Hodnett et al. (2013) menemukan bahwa kehadiran pendamping yang terlatih:
-
Menurunkan angka intervensi medis tidak perlu (termasuk episiotomi),
-
Meningkatkan rasa puas dan pengalaman positif kelahiran,
-
Membantu proses lahir berlangsung lebih alami dan penuh kepercayaan.
-
Tugas Penting Birth Partner:
- Mengerti Hak Istri
-
Suami/pasangan harus memahami hak dasar perempuan saat bersalin:
-
Hak untuk diberi penjelasan,
-
Hak untuk menolak tindakan,
-
Hak untuk mengambil waktu sebelum menyetujui prosedur,
-
Hak untuk bersalin dalam posisi nyaman.
-
Contoh praktik: Saat tenaga medis bilang “Kita potong saja ya,” suami bisa bertanya:
“Mohon dijelaskan dulu, apa indikasinya, dan apakah ada alternatif?”
2. Menjadi Penerjemah Informasi
-
Dalam kondisi kontraksi hebat, ibu mungkin sulit berpikir jernih.
-
Pasangan dapat menjadi jembatan:
-
Menerjemahkan istilah medis,
-
Memastikan ibu memahami konsekuensinya,
-
Bertanya kembali jika informasi belum lengkap.
-
“Tunggu sebentar ya, kami mau tahu dulu risikonya. Boleh dijelaskan dengan lebih detail?”
3. Mendukung Keputusan Istri
-
Pasangan sebaiknya tidak panik atau menyerahkan semuanya ke tenaga medis.
-
Ingat: keputusan akhir tetap di tangan ibu—pasangan ada untuk mendukung, bukan mengarahkan.
✅ “Saya percaya padamu. Kalau kamu belum yakin, kita bisa minta waktu dulu.”
4. Menjadi Penopang Emosi
Kehadiran yang tenang, penuh kasih, dan suportif sangat menenangkan ibu.
-
Sentuhan lembut, afirmasi positif, pelukan, atau bahkan diam yang penuh perhatian adalah bentuk dukungan yang sangat berarti.
Apa yang Bisa Dipelajari oleh Suami/Birth Partner?
-
Edukasi dasar tentang proses persalinan & intervensi medis (melalui kelas napas atau hypnobirthing),
-
Teknik pernapasan bersama,
-
Posisi aktif untuk membantu istri bergerak saat kontraksi,
-
Cara bicara yang memberdayakan, bukan mendesak atau melemahkan.
Simkin et al. (2017) juga mencatat bahwa pasangan yang terlibat aktif sejak kehamilan cenderung lebih percaya diri dan siap menghadapi dinamika persalinan.
Prinsip Utama untuk Birth Partner:
✅ Hadir sepenuh hati
✅ Dengarkan dan percaya pada istri
✅ Bertanya bila perlu
✅ Berani melindungi hak ibu tanpa konfrontatif
✅ Jaga ketenangan dan emosi
❤️ Jika Sudah Terjadi: Trauma, Penyesalan, dan Pemulihan
Tak semua ibu mendapatkan hak informed consent saat bersalin. Lalu bagaimana jika robekan terjadi, atau prosedur dilakukan tanpa penjelasan?
Langkah Pemulihan:
- Validasi perasaan: Tak apa kalau ibu marah, kecewa, atau sedih.
- Cari informasi ulang: Apa yang sebenarnya terjadi saat itu?
- Bicara dengan tenaga kesehatan terpercaya: Bisa dengan bidan yang paham gentle birth.
- Tulis pengalaman dalam jurnal kelahiran: Membantu merangkai ulang makna & pengampunan.
- Ikut kelas pemulihan emosional pascapersalinan: Seperti hypnobirthing healing atau sharing circle dengan doula.
Langkah Preventif: Bangun Edukasi Sejak Hamil
- Agar ibu bisa bersalin dengan sadar dan dihormati, edukasi harus dimulai sejak awal kehamilan.
Bukan hanya untuk ibu, tapi juga untuk suami dan keluarga. - Beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Ikuti kelas edukatif seperti Hypnobirthing & Prenatal Gentle Yoga,
- Susun birth plan yang mencantumkan hak dan preferensi ibu (termasuk no routine episiotomy),
- Latihan simulasi posisi lahir yang meminimalkan tekanan perineum,
- Diskusi terbuka dengan provider sejak trimester 3.
- Ringkasan Praktis: Hak-Hak Ibu yang Harus Diketahui
Hak Ibu Saat Melahirkan | Penjelasan Singkat |
Hak atas informasi | Penjelasan jujur, lengkap, tidak menakut-nakuti |
Hak atas persetujuan sadar | Tindakan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan |
Hak untuk menolak | Ibu berhak menolak prosedur bila tidak sesuai kenyamanan atau keyakinan |
Hak atas pendamping | Ibu berhak didampingi orang terpercaya selama persalinan |
Hak atas perlakuan hormat | Tidak boleh ada tekanan verbal, ejekan, atau pemaksaan |
Tubuh Ibu = Tubuh yang Punya Hak
Kelahiran bukan ajang uji cepat atau pamer kuasa medis.
Kelahiran adalah peristiwa sakral di mana tubuh ibu bekerja sekuat-kuatnya membuka jalan kehidupan. Dan untuk itu, tubuh ini layak dihormati.
Karena tubuh yang dihormati, akan membuka lebih mudah.
Dan ibu yang sadar haknya, akan melahirkan dengan lebih percaya.
5. Birth Plan Ramah Perineum
Mengapa Birth Plan Itu Penting?
Bagi sebagian orang, birth plan (rencana persalinan) dianggap sebagai formalitas—sekadar kertas yang jarang dibaca tenaga kesehatan. Tapi bagi ibu yang sadar tubuhnya dan ingin menjaga perineum tetap utuh, birth plan adalah alat komunikasi sakral.
Birth plan bukan sekadar daftar permintaan.
Ia adalah deklarasi hak, nilai, dan penghormatan terhadap proses kelahiran.
Birth plan ramah perineum bukan tentang “minta tidak robek”, tapi tentang memberi ruang bagi tubuh untuk bekerja tanpa tergesa, serta memastikan keputusan medis dilakukan dengan informed consent dan hormat.
Tujuan dari Birth Plan Ramah Perineum
- Menghindari episiotomi atau intervensi tanpa indikasi jelas.
- Memberi tubuh kesempatan membuka secara alami.
- Mengatur posisi dan lingkungan bersalin yang mendukung perineum utuh.
- Memastikan ibu, suami, dan tim medis berada pada frekuensi yang sama.
️Komponen Birth Plan Ramah Perineum
Berikut adalah poin-poin yang perlu ditulis dan didiskusikan sejak trimester 3 dengan provider:
1. Posisi Melahirkan yang Ramah Perineum
- Saya ingin melahirkan dengan posisi yang membuka panggul secara alami (jongkok, merangkak, miring).
- Saya tidak ingin diposisikan telentang kecuali ada alasan medis.
Referensi: Posisi aktif seperti squatting atau side-lying terbukti menurunkan tekanan langsung pada perineum dan mengurangi risiko robekan derajat 3–4 (Gupta et al., 2017).