Bidan Kita

Home Childbirth All About Childbirth Gentle Birth is About Faith (Birth Story)

Gentle Birth is About Faith (Birth Story)

0
Gentle Birth is About Faith (Birth Story)

Awal Cerita

Menjelang subuh, rabu 4 mei 2016, saya merasa nyeri datang dan pergi di perut bawah. seperti nyeri haid tapi jauh lebih kuat. sudah hampir tiga minggu si mbak mudik jadi seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu saya beberes meja makan dan dapur, cuci piring, masukin pakaian kotor ke mesin cuci, nyapu, dan menyiapkan bekal naila sekolah.

Masih bisa saya lakukan sambil sesekali gerak dan goyang sana-sini saat nyeri datang.

jam 08:00 setelah naila berangkat sekolah, gelombang cinta dari rahim itu mulai rutin datang. saya tidak lepas dari apps kontraksi nyaman di hp yang sudah saya pasang sejak dua hari sebelumnya. setiap rasa itu muncul, saya berjalan mondar mandir, goyang-goyang, ataupun naik ke gym ball lalu memutar. saya lakukan pernafasan dalam ketika menjelang siang rasa itu semakin kuat.

Suami sengaja tidak ke mana-mana hari itu. di kamar sambil memijit, ngelap keringat, dan memantau saya. hospital bag sudah dia siapkan di mobil jikalau sewaktu-waktu harus ke rumah sakit. dia tampak santai dan tidak panik karena setiap kali bertanya ‘gimana, udah berasa sakit mi?’ saya jawab ‘biasa aja’ sambil masih ketawa-ketawa.


Jam 12.00 saya merasa ada flek-flek yang diikuti darah segar. kami memutuskan berangkat ke rumah sakit untuk mengecek pembukaan. saya diturunkan di pintu igd dan suami memarkir mobil. saya berjalan sendiri ke petugas dan di sana menunggu untuk dirujuk ke ruang bersalin. ‘mau pakai kursi roda atau jalan bu?’ ‘mau jalan sendiri aja’, kata saya. bergerak akan membuat rasa gelombang rahim tidak terlalu kuat.

Di ruang bersalin di lantai 3, saya dicek sana-sini. vt dan sudah pembukaan 1. ‘aaah lega, tinggal sembilan lagi,’ pikirku. saya perkirakan diperbolehkan pulang dulu.

Kemudian alat rekam jantung bayi dipasang di perut buncit saya. setiap kontraksi tiba, alat itu berbunyi lebih keras. berisik sekali. raut wajah bu bidan tidak terlihat gembira. ‘kita ulang lagi ya bu. setiap kontraksi denyut jantung janin selalu turun atau naik drastis di bawah 120 dan di atas 160’, katanya menjelaskan. ‘kalau kita ulang nanti hasilnya masih sama, ada kemungkinan harus caesar.’ saya terkejut sebentar.

Saya masih santai sambil sesekali melatih pernafasan setiap kali kontraksi datang. usai rekam jantung kedua, tiba-tiba masuk whatsap dari dr. adi: ‘bu harum, maaf ya. hasil ctg kurang menggembirakan walau sudah diulang’. adik tidak kuat dengan kontraksi sehingga gak bisa nunggu lebih lama lagi, yang berarti kontraksi lebih intens dan lebih kuat. akan sangat bahaya untuk adik.

Ditambah info dari bidan bahwa dr. adi merencanakan segera melakukan cito caesar karena emergency: fetal distress. sesaat saya ingat ilmu dari workshop bu yesie bahwa salahsatu alasan harus sc adalah fetal distress, selain plasenta previa dan pre eclampsia. deg! saat itu juga saya langsung switch otak ke plan b: operasi caesar.

Whatsapan dengan bu yesie sejak tadi diakhiri dengan ‘njenengan harus tetap rileks dan tenang ya mbak harum agar kondisi adik bayi tetap baik. karena kalo stress dan panik tidak akan membantu proses’.

Mama dan adik saya tiba di rs sebelum jam 3, waktu yang ditentukan untuk menjalani operasi. mereka datang sambil senyam-senyum tanpa khawatir sama sekali. ‘tenang aja..cuma sebentar kok,’ kata mama. segala macam prosedur saya ikuti. cek darah, hb, tensi, alergi, pasang infus, pasang kateter, ganti baju rs. saya ikuti semua sambil tetap tenang, dan mendengarkan musik relaksasi dari hape. asli…saya berasa nyantai banget! tanpa rasa khawatir sedikit pun.

Memasuki lobi ruang operasi dengan kondisi sudah digeledek di atas tempat tidur, saya lihat dr. adi berlari tergopoh-gopoh untuk menemui saya dan suami. kami mengobrol sebentar dan beliau menjelaskan grafik hasil ctg. beliau juga mengijinkan suami saya nanti masuk menemani. ah legaaa…

Di ruang operasi, saya tidak merasa takut sama sekali. apalagi dr ratih, spesialis anestesi menyambut saya dengan ramah ‘halo bu…saya dr ratih yang akan melakukan anestesi’ dan beliau menjelaskan prosedurnya serta efek yang akan saya rasakan setelah itu. suntikan di tulang belakang tidak terasa sakit sama sekali. perawat (atau asisten dokternya ya?) di sebelah kanan merangkul dan menggenggam tangan saya dengan nyaman saat anestesi dilakukan. tak lama kedua kaki saya tak bisa digerakkan.

‘kita mulai ya bu..’ kata dokter adi di sebelah kiri bawah saya. ‘naaaah ini dia obat paling manjurnya datang…’ kata dr ratih bercanda saat suami saya dengan pakaian steril lengkap duduk di sebelah kanan saya. sepanjang operasi, sesekali saya mengobrol dengan para nakes yang berada di ruang itu, sambil tangan saya digenggam dan dahi dielus-elus oleh suami. saya tidak merasa asing berada di ruang itu.

Sesaat sebelum ada rasa tidak nyaman sedikit di perut, dr adi dan dr ratih bergantian mengatakan kepada saya ‘tenang ya bu, setelah ini akan terasa agak tidak nyaman sedikit’ dan tak lama kemudian….’oeeeeeeek!!!’ tangis bayi mungil itu terdengar dan wajah gembilnya terlihat diarahkan ke saya. ‘ketuban bagus, plasenta bagus, tidak ada lilitan’ kata dr adi memberi laporan pandangan mata. ‘selamat ya pak..bu. lahirnya jam 15:45’

Tak lama kemudian adik didekatkan ke saya. tapi karena kasusnya emergency, fetal distress…maka dr adi menjelaskan bahwa dokter anaknya tidak mengijinkan saya melakukan imd saat itu karena harus segera di-oksigen dan diobservasi. suami saya keluar untuk mengikuti adik ke kamar bayi, dan mengadzani Abizhar Naeem Nugroho.

Tinggallah saya di situ menanti jahitan selesai dilakukan. saya mulai menggigil kedinginan. sangat dingin. dr ratih menjelaskan bahwa itu salahsatu efek anestesi. beliau genggam tangan saya sambil berkata ‘yuk alihkan rasa dinginnya ke hal lain yang enak-enak, hangat-hangat’ saya pun pejamkan mata, nafas panjang buang nafas panjang, dan alihkan rasa dingin itu. berhasil!

Selesai penjahitan, dr adi pamit. saya ucapkan terima kasih. kembali ke kamar setelah beberapa saat di recovery room…alhamdulillah tidak ada rasa pusing, mual, dan rasa tak nyaman lainnya. keluarga terdekat sudah berkumpul semua: suami, naila, mama, mama mertua, kedua adik saya dan keponakan. hari-hari berikutnya mereka bergantian menemani saya.

Paginya, saya sudah bisa miring kiri kanan untuk menyusui Izhar. dan dua hari setelah operasi saya sudah bisa duduk dan belajar jalan.

Saya bersyukur, persiapan fisik dan mental yang saya lakukan selama ini membuahkan hasil. gentle birth is not about vaginal vs caesarian birth. it’s about preparation. it’s about mindfulness, self consciousness.

~~~

Seperti pernah dikatakan oleh pak dokter obgyn, persiapan melahirkan itu seperti persiapan mengikuti marathon. perlu kesiapan mental, melatih fisik, mindset positif, dan memahami seluk beluk tubuh. oya, dan yang tak kalah penting, memilih tenaga dan fasilitas kesehatan yang baik, serta menentukan pendamping melahirkan yang tepat.

Untuk saya, analogi ini jelas sangat signifikan. saya lalu membayangkan bagaimana persiapan saya dua tahun lalu ketika akan mengikuti lomba lari half marathon sepanjang 21 km dan mendaki gunung rinjani setinggi 3726 mdpl.

Tidak hanya latihan fisik, tapi mental saya digembleng untuk mampu mengikis segala pikiran negatif yang nantinya akan muncul dan menggerogoti usaha menuju ke puncak rinjani atau garis finish half marathon itu. saya beruntung menemukan coach yang sangat paham kebutuhan saya, yang menggembleng fisik dan mental sesuai porsinya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here