
Dalam dunia kebidanan, robekan perineum diklasifikasikan menjadi empat derajat berdasarkan tingkat keparahannya:
- Derajat 1: hanya melibatkan kulit dan lapisan paling luar jaringan vagina atau perineum. Biasanya tidak memerlukan jahitan.
- Derajat 2: melibatkan otot perineum, tapi tidak sampai ke otot sfingter anus. Ini adalah jenis robekan yang paling sering dijumpai dan biasanya memerlukan penjahitan.
- Derajat 3: melibatkan otot sfingter anus, yang mengontrol buang air besar. Ini termasuk robekan sedang-berat dan perlu penanganan khusus.
- Derajat 4: robekan mencapai mukosa rektum (lapisan dalam saluran pencernaan). Ini adalah bentuk robekan paling berat dan jarang terjadi, tapi bisa berdampak besar pada kualitas hidup ibu bila tidak ditangani dengan benar.
Menurut Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG), sekitar 85% ibu mengalami suatu bentuk trauma perineum saat persalinan pervaginam, dan sekitar 60-70% di antaranya membutuhkan penjahitan (RCOG Greentop Guideline No. 29, 2015). Namun, bukan berarti semua robekan berbahaya atau tak bisa dicegah. Banyak robekan derajat ringan bisa sembuh dengan cepat, terutama bila ibu diberikan perawatan yang tepat dan proses lahir berlangsung secara alami.
Dalam studi oleh Smith et al. (2021) yang dimuat di Birth Issues in Perinatal Care, disebutkan bahwa waktu peregangan yang cukup, minim intervensi, serta posisi bersalin yang memaksimalkan kelenturan jaringan seperti posisi miring atau jongkok, dapat secara signifikan menurunkan risiko robekan berat. Bahkan, banyak laporan positif dari ibu yang melahirkan dalam posisi aktif dan tidak mengalami robekan sama sekali—terutama jika sudah melakukan persiapan seperti pijat perineum atau prenatal yoga.
Yang perlu kita ingat: robekan itu bukan aib atau kegagalan tubuh. Ia adalah respon alami terhadap tekanan saat melahirkan. Tapi dengan persiapan dan pendekatan yang tepat, kita bisa mengurangi risiko, dan yang paling penting—menjaga agar tubuh ibu tetap dihormati sepanjang proses persalinan.
Pertanyaan ini sering muncul di kelas-kelas persiapan persalinan:
“Apakah semua ibu pasti mengalami robekan perineum?”
“Kalau anak pertama, pasti robek ya?”
“Kalau nggak digunting, nanti malah robek lebih parah katanya…”
Mari kita bahas berdasarkan data dan fakta ilmiah, bukan asumsi atau mitos.
Prevalensi Robekan Perineum
Menurut laporan Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG, 2015):
- Sekitar 85% ibu yang melahirkan pervaginam mengalami trauma perineum, baik robekan spontan maupun episiotomi.
- Dari jumlah tersebut, 60-70% membutuhkan penjahitan, terutama robekan derajat 2 ke atas.
Studi di Norwegia (Stedenfeldt et al., 2012) mencatat bahwa:
- Robekan derajat 1 dan 2 terjadi pada 50–70% kelahiran pertama, dengan risiko lebih tinggi pada primipara (ibu yang melahirkan pertama kali).
- Robekan derajat 3 dan 4 lebih jarang, tapi tetap penting diwaspadai karena dampaknya jangka panjang terhadap kontinensia (kemampuan menahan BAB).
Dalam publikasi BMC Pregnancy and Childbirth (Aasheim et al., 2017) yang meninjau data lebih dari 1 juta persalinan di Skandinavia, disebutkan bahwa:
- Risiko robekan berat (derajat 3–4) terjadi pada sekitar 3–4% ibu bersalin, terutama bila disertai faktor risiko seperti bayi besar (>4000 gram), penggunaan vakum atau forceps, dan episiotomi rutin.
Tren Menurun di Negara yang Mendukung Persalinan Fisiologis
Menariknya, negara-negara yang menerapkan pendekatan persalinan aktif dan non-intervensif—misalnya Belanda, Swedia, dan beberapa rumah sakit bersalin di Inggris—menunjukkan angka robekan berat yang jauh lebih rendah, bahkan mendekati 0,5–1%. Hal ini berkat:
- Penggunaan posisi melahirkan yang sesuai biomekanik (miring, jongkok, berlutut)
- Minim intervensi medis tanpa indikasi
- Dukungan bidan yang melibatkan ibu dalam proses pengambilan keputusan
- Penggunaan warm compress dan teknik mengejan fisiologis
⚠️ Dan Bagaimana di Indonesia?
Sayangnya, data nasional belum terdokumentasi secara sistematis. Namun dari pengalaman praktik lapangan, robekan masih sangat sering terjadi, terutama karena:
- Episiotomi rutin masih dilakukan tanpa indikasi medis
- Ibu tidak diberi pilihan posisi melahirkan yang mendukung pelvis
- Kurangnya edukasi tentang pijat perineum dan persiapan prenatal
- Proses persalinan dipercepat demi efisiensi ruang bersalin
Jadi, Haruskah Takut?
Tidak harus. Karena risiko bukan takdir. Ketika kita paham faktor penyebabnya, kita bisa lebih siap menyikapinya. Banyak ibu yang berhasil melahirkan tanpa robekan, atau hanya mengalami robekan ringan yang cepat pulih—terutama bila mereka mempersiapkan tubuh dan mentalnya sejak kehamilan.
Dan kabar baiknya: semua hal ini bisa dipelajari dan dilatih.
Mulai dari prenatal gentle yoga, pijat perineum, teknik napas, hingga pemilihan posisi melahirkan.
⚠️ Faktor-Faktor yang Meningkatkan Risiko Robekan