Bidan Kita

Home Blog

Bentuk Perut Anda dan Posisi Janin

Setiap kali ANC seringkali para klien bertanya tanya tentang bagaimana posisi janinnya saat bertemu dengan saya (saya belum memeriksanya), banyak sekali yang sambil duduk lalu mengelus perutnya yang membesar sambil berkata demikian

“Bu, perut saya kok kadang meleyok ke kanan kadang ke kiri, kira kira posisi bayi saya bagaimana ya?”

Atau

“perut saya kok besar ya bu, bagaimana ya posisi bayi saya?”

Nah sekarang Sekarang mari kita bahas lebih spesifik tentang posisi janin, bagaimana dapat mempengaruhi persalinan dan kelahiran, dan mengapa sangat relevan untuk wanita yang gemuk pada khususnya.

Anterior vs Posterior

Perut yang bentuknya bulat besar seperti bola basket biasanya berarti bahwa bayi anterior. Bagian belakang kepala bayi (“tengkuk”) ke arah depan ibu (yang mengapa posisi ini disebut Tengkuk Anterior atau OA), dan mata bayi kearah ibu bagian belakang.

Lihatlah gambar di bawah ini dan perhatikan bahwa perut ibu tampak besar dan bulat. Hal ini karena mengikuti lengkungan punggung bayi

anteriorphoto

Secara umum, oksiput anterior adalah posisi yang ideal untuk melahirkan. Selama kepala bayi berbaris dengan baik, tidak ada lengan / tangan di jalan, dan melipat dagu, kemungkinan bahwa kelahiran bayi anterior akan maju dengan lancar, terutama jika persalinan dan kontraksi mulai secara spontan.

Nah sedangkan jika bentuk perut ibu tidak rata, dan bergelombang di depan (terutama yang dengan melengkung- kedalam tepat di sekitar atau dekat pusar) sering berarti bahwa bayi posterior. Lihatlah gambar di bawah ini dan perhatikan bagaimana perut tidak begitu bulat dan memiliki “mengengkung kedalam” di bawah pusar.

posteriorphotoMalam posisi ini, bagian belakang kepala bayi (tengkuk) ada di bagian tubuh belakang ibu atau punggug ibu (jadi si bayi posisinya terlentangsehingga posisi ini disebut Occiput posterior atau OP.

Posisi ini biasanya  jauh lebih sulit untuk melahirkan karena diameter kepala bayi di OP lebih besar dan tidak lolos dengan mudah, dan karena tekanan pada leher rahim cenderung merata dan proses persalinan dapat berlangsung lebih lambat.

Pemeriksaan DALAM/ Vagin* saat Melahirkan

Buat banyak ibu, terutama yang baru pertama kali hamil, momen datang ke UGD saat mulai kontraksi adalah momen yang penuh campur aduk. Deg-degan, grogi, sakit, takut, harap-harap cemas. Tapi ada satu hal penting yang sering luput disiapkan—secara mental maupun informasi—yaitu pemeriksaan dalam.

Biasanya, kejadiannya cepat banget:

Kamu datang dengan napas ngos-ngosan, masih berusaha tahan kontraksi yang mulai terasa makin intens. Belum sempat duduk tenang, ada bidan atau tenaga medis yang bilang,

“Bu, kita periksa dalam dulu ya. Silakan rebahan, buka celananya, kakinya dibuka lebar ya…”

Tanpa banyak penjelasan, kamu diminta berbaring telentang. Paha dibuka. Dan… tiba-tiba ada dua jari yang masuk ke vagina. Kadang dingin, panas, perih, kadang terasa ditekan, kadang nyut-nyutan. Banyak ibu mengaku kaget. Nggak siap. Ada yang merasa malu, ada juga yang merasa seperti tubuhnya “diterobos” tanpa izin.

Kalau kamu merasa nggak nyaman, itu valid.
Kalau kamu merasa kaget, itu wajar.
Kalau kamu merasa ada yang kurang pas, kamu nggak lebay.

Yang sering bikin syok adalah, ternyata pemeriksaan ini nggak cuma sekali.
Selama proses persalinan, kamu bisa diperiksa 4–5 kali, bahkan lebih. Tergantung dari kecepatan pembukaan, kebijakan fasilitas, atau siapa yang sedang jaga saat itu. Ada yang beda tangan setiap kali periksa. Ada yang terasa ringan, ada juga yang bikin ngilu sampai ke perut.

Dan sayangnya, masih banyak yang belum tahu bahwa sebenarnya kamu berhak tahu, bertanya, bahkan menolak jika belum siap.

Pemeriksaan dalam memang punya tujuan penting: untuk menilai pembukaan, posisi kepala janin, dan progres persalinan. Tapi bukan berarti bisa dilakukan tanpa komunikasi. Tanpa penjelasan. Tanpa empati.

Kamu berhak tahu:

  • Kenapa harus diperiksa?
  • Siapa yang akan memeriksa?
  • Apakah bisa ditunda sebentar sampai kamu siap?
  • Apakah bisa dilakukan dalam posisi yang lebih nyaman?
  • Apakah bisa dijelaskan dulu sebelum mulai?

Karena tubuhmu bukan objek.
Kelahiran bukan prosedur mekanik.
Dan kamu, sebagai ibu yang sedang melahirkan, layak diperlakukan dengan hormat dan kasih.

Apa Itu Pemeriksaan Dalam (VE atau VT)?

Pernah dengar istilah “diperiksa dalam” saat kontrol kehamilan atau saat sudah mulai kontraksi?
Dalam istilah medis, ini disebut VE (Vaginal Examination) atau VT (Vaginal Touché).

Melahirkan dan punya Wasir: Bisa Tetap Gentle dan Normal ALAMI

Banyak ibu datang ke ruang konsultasi dengan wajah cemas dan suara pelan, lalu bertanya,

“Bu Bidan… saya punya ambeien. Jadi nanti harus caesar, ya?”

Pertanyaan ini bukan hanya sering muncul, tapi juga sangat bisa dimengerti. Karena siapa pun pasti khawatir kalau harus melahirkan sambil menanggung rasa nyeri di area yang sudah sensitif sebelumnya.

Tapi jawabannya tegas dan menenangkan:
Punya wasir bukan berarti Anda tidak bisa melahirkan normal.

Bahkan, Anda tetap bisa menjalani proses persalinan yang nyaman, tenang, dan gentle—asalkan tahu cara mempersiapkan tubuh dan pikiran dengan baik, serta mendapat dukungan dari tim yang paham dan menghargai fisiologi persalinan.

Di artikel-artikel sebelumnya, kita sudah bahas tuntas tentang:

  • Apa itu wasir dan mengapa sering terjadi saat hamil

  • Mitos seputar wasir yang membuat ibu takut melahirkan normal

  • Derajat keparahan wasir dan cara mengenalinya

  • Langkah pencegahan serta perawatan ringan yang bisa dilakukan sendiri

Nah, di artikel kali ini kita akan lanjut membahas hal yang sering jadi kekhawatiran utama:

“Kalau wasirnya masih ada, gimana saat melahirkan nanti? Apakah akan makin parah? Apakah bisa tetap mengejan? Posisi melahirkannya gimana?”

Tenang, Bu. Semua akan kita bahas dengan bahasa yang ringan tapi tetap ilmiah, agar Anda makin yakin bahwa melahirkan dengan wasir pun bisa tetap gentle, aman, dan bermakna.

✨ 1. Gentle Birth Bukan Tentang Tanpa Rasa Sakit, Tapi Tentang Rasa Aman dan Disadari

Banyak orang salah paham. Mereka pikir gentle birth itu harus serba “mudah dan mulus”, tanpa nyeri, tanpa gangguan apa pun. Padahal, gentle birth bukan berarti bebas dari rasa sakit—tapi tentang bagaimana seorang ibu merasakan proses persalinannya dengan kesadaran penuh, tenang, dan merasa aman dalam setiap tahapannya.

Bahkan saat tubuh sedang tidak dalam kondisi “ideal”—seperti ketika sedang mengalami wasir—gentle birth tetap bisa terjadi. Karena yang membuat pengalaman bersalin jadi lembut dan bermakna bukanlah kesempurnaan fisik, melainkan rasa percaya pada tubuh sendiri, dukungan dari sekitar, dan informasi yang cukup untuk membuat keputusan.

Gentle birth adalah kombinasi dari:
  • Penerimaan penuh terhadap proses yang alami

  • Kesadaran tubuh dan pikiran akan apa yang sedang terjadi

  • Rasa aman dan didukung oleh tim yang tidak menghakimi

  • Ruang untuk bergerak, memilih posisi, dan mengikuti ritme tubuh

Semua ini bisa dimiliki oleh ibu dengan wasir sekalipun. Bahkan, dengan pendekatan gentle birth, ibu yang punya ambeien justru bisa merasa lebih dihargai dan lebih nyaman dibanding jika harus menghadapi proses persalinan yang kaku dan penuh intervensi.

Secara ilmiah, apa manfaat gentle birth dalam kasus wasir?

Studi dari Simkin & Hanson (2017) menyebutkan bahwa pengalaman persalinan yang penuh tekanan emosional dan kontrol eksternal dapat meningkatkan persepsi nyeri dan membuat tubuh ibu lebih tegang secara fisiologis. Ketegangan inilah yang memperberat rasa nyeri, termasuk di area yang sudah sensitif seperti anus atau perineum.

Sementara itu, pendekatan yang tenang, penuh kepercayaan, dan penuh dukungan terbukti:

  • Mengurangi stres dan ketegangan otot dasar panggul

  • Membantu proses pembukaan serviks lebih efisien

  • Menurunkan risiko robekan dan tekanan berlebih ke perineum dan anus

  • Memperbaiki pengalaman lahir secara keseluruhan, termasuk dalam hal pemulihan pascapersalinan

Jadi, apa yang bisa ibu lakukan sejak sekarang?
  1. Bangun koneksi dengan tubuh sendiri. Mulai dengan menyadari napas, gerakan, dan respons tubuh terhadap stres atau ketidaknyamanan.

  2. Cari tahu sebanyak mungkin tentang proses persalinan. Pengetahuan yang tepat mengurangi rasa takut. Misalnya: tahu bahwa mengejan bisa disesuaikan dengan kondisi wasir, atau posisi lahir bisa dipilih agar tidak terlalu menekan anus.

  3. Libatkan pasangan dan tim pendukung. Jangan hadapi proses ini sendirian. Suami, doula, dan bidan bisa dilatih untuk jadi bagian dari sistem support yang memudahkan proses lahir.

  4. Ikuti kelas dan edukasi yang sesuai dengan nilai dan kondisi ibu.

Di sinilah Bidan Kita hadir sebagai tempat belajar, bertanya, dan didampingi dengan penuh empati. Anda bisa:

  • Mengikuti kelas online maupun offline Gentle Birth dan Hypnobirthing yang sudah dipandu ratusan ibu sejak tahun 2006

  • Menonton video-video edukatif dan afirmatif di YouTube Bidan Kita

  • Membaca artikel-artikel lengkap tentang wasir dan persalinan di blog resmi Bidan Kita

  • Dan tentu saja, mengikuti Instagram @bidankita untuk inspirasi harian, cerita nyata, dan tips aplikatif

Karena gentle birth bukan milik ibu-ibu “kuat”.
Gentle birth adalah milik semua ibu yang bersedia mendengarkan tubuhnya, belajar dengan cinta, dan percaya bahwa tubuhnya tahu caranya melahirkan.

2. Strategi Mengejan yang Tepat: Tidak Harus “Kuat-Kuatan”

Banyak ibu membayangkan bahwa mengejan saat melahirkan itu seperti “ngeden habis-habisan”—muka tegang, napas ditahan, dan tubuh dipaksa mengeluarkan bayi sekuat tenaga.
Apalagi kalau punya wasir, pikiran seperti ini justru menambah rasa takut:

Langkah Pencegahan Wasir Saat Hamil – Bisa Kok Dicegah!

Setelah mengenal apa itu wasir, derajatnya, dan fakta bahwa ibu hamil tetap bisa melahirkan normal meski punya wasir—sekarang kita masuk ke bagian paling penting: bagaimana cara mencegah wasir sejak awal kehamilan?

Karena, seperti yang sudah kita bahas, meski wasir adalah kondisi umum dan bukan hal yang mematikan, rasa tidak nyamannya bisa mengganggu kualitas hidup ibu hamil secara signifikan. BAB jadi menderita, duduk tak nyaman, jalan pun terasa nyeri. Belum lagi beban mental kalau mendengar mitos seperti “kalau ada ambeien nanti gak bisa lahiran normal.”

Padahal, ada banyak hal sederhana yang bisa dilakukan sejak trimester awal untuk mengurangi risiko munculnya wasir. Dan berita baiknya: langkah-langkah ini juga bermanfaat untuk kesehatan kehamilan secara keseluruhan!

1. Perbaiki Pola Makan: Serat Adalah Kunci

Kalau bicara soal pencegahan wasir, kuncinya hanya satu: jangan sampai sembelit.
Mengejan saat BAB adalah pemicu utama munculnya wasir, karena tekanan yang berulang saat mengeluarkan feses bisa menyebabkan pembuluh darah di anus membengkak—terutama pada ibu hamil yang pembuluh darahnya sudah melebar secara alami karena pengaruh hormon progesteron.

Cara terbaik untuk mencegah sembelit adalah dengan memastikan asupan serat cukup setiap hari. Serat bekerja seperti “sapu lembut” di saluran cerna—membantu memperlancar gerak usus dan menjaga feses tetap lunak, sehingga tidak perlu mengejan keras saat BAB.

✅ Tips makan tinggi serat yang praktis untuk ibu hamil:

  • Konsumsi minimal 25–30 gram serat per hari. Ini bisa diperoleh dari kombinasi buah, sayur, biji-bijian, dan kacang-kacangan.

  • Pilih buah berserat tinggi dan ramah lambung seperti pepaya, apel (dengan kulitnya), pir, pisang ambon, dan alpukat.

  • Sayur berdaun hijau tua seperti bayam, kangkung, sawi hijau, brokoli, dan kacang panjang sangat disarankan karena juga kaya folat.

  • Karbohidrat kompleks seperti oatmeal, nasi merah, quinoa, jagung rebus, dan roti gandum utuh bisa menggantikan nasi putih yang rendah serat.

  • Bijian dan kacang-kacangan seperti chia seed, biji rami (flaxseed), almond, dan kacang merah bisa ditambahkan ke smoothies, salad, atau sup.

Sebuah studi oleh Lohsiriwat (2015) dalam World Journal of Gastroenterology menyebutkan bahwa peningkatan asupan serat harian terbukti mampu mengurangi gejala wasir hingga 50% dalam waktu empat minggu, terutama pada pasien yang mengalami perdarahan dan sulit BAB. Efeknya tidak hanya melunakkan feses, tapi juga menurunkan tekanan saat buang air besar.

Tips tambahan:
  • Pastikan asupan serat dikombinasikan dengan cairan yang cukup, minimal 8–10 gelas air putih per hari. Tanpa cairan, serat justru bisa memperburuk sembelit karena menyerap air dari usus.

  • Hindari makanan rendah serat dan “pengikat” seperti roti tawar putih, gorengan, makanan cepat saji, dan terlalu banyak produk olahan.

Dengan memperbaiki pola makan sejak awal kehamilan, bukan cuma wasir yang bisa dicegah—tapi juga keluhan umum lain seperti sembelit, kelelahan, naiknya gula darah, bahkan risiko preeklamsia.

Pola makan sehat bukan hanya untuk janin, tapi juga untuk kenyamanan dan martabat tubuh ibu sendiri. Dan semuanya bisa dimulai dari piring makan sehari-hari.

2. Jangan Lupa Cukupi Cairan

Kebiasaan makan tinggi serat memang sangat dianjurkan selama kehamilan, tapi tanpa disertai cairan yang cukup, serat justru bisa menjadi bumerang—karena akan menyerap air dari usus besar dan membuat feses semakin keras. Inilah sebabnya mengapa keseimbangan antara serat dan hidrasi sangat penting.

Saat tubuh kekurangan cairan, usus besar akan menarik air dari sisa makanan yang belum dicerna untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh. Hasilnya? Feses jadi kering, keras, dan sulit dikeluarkan. Ini memicu ibu mengejan lebih keras saat buang air besar, yang merupakan salah satu faktor paling kuat penyebab timbulnya wasir.

✅ Berapa Banyak Cairan yang Dibutuhkan Ibu Hamil?

Berdasarkan rekomendasi dari Institute of Medicine (IOM) dan American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), ibu hamil disarankan untuk mengonsumsi sekitar 2,3 liter (sekitar 10 gelas) cairan per hari, tergantung berat badan, aktivitas, dan suhu lingkungan.

Dalam jurnal Nutrition Reviews (2015), disebutkan bahwa kebutuhan cairan ibu hamil meningkat karena volume darah yang juga meningkat, cairan ketuban yang perlu dipertahankan, dan peningkatan kerja ginjal selama kehamilan.

✅ Sumber Cairan yang Baik:

  • Air putih tetap yang utama. Ini pilihan paling aman, mudah dicerna, tidak mengandung kalori tambahan, dan membantu metabolisme tubuh berjalan optimal.

  • Jus buah segar tanpa gula juga bisa jadi variasi, terutama dari buah tinggi serat seperti jeruk, apel, dan pir.
    Hindari jus kemasan karena tinggi gula tambahan dan rendah serat.

  • Susu hamil, infused water, atau teh herbal ringan (seperti teh chamomile atau daun raspberry, jika disetujui bidan) bisa membantu mencukupi kebutuhan cairan sekaligus memberi variasi rasa.

  • Makanan dengan kadar air tinggi seperti semangka, melon, timun, tomat, dan sup bening juga ikut menyumbang hidrasi tubuh.

❌ Minuman yang Perlu Dibatasi:

  • Kopi, teh hitam, dan soda berkafein tinggi sebaiknya dibatasi. Kafein bersifat diuretik ringan, yang bisa meningkatkan frekuensi buang air kecil dan menyebabkan kehilangan cairan.

  • Minuman manis kemasan (susu kental manis, bubble tea, minuman berenergi) tidak membantu hidrasi dengan baik dan malah meningkatkan risiko konstipasi karena kandungan gula dan lemaknya.

Studi dari Journal of Perinatal Medicine (2016) menyebutkan bahwa asupan kafein berlebihan pada ibu hamil tidak hanya meningkatkan risiko dehidrasi ringan, tetapi juga berkaitan dengan gangguan pola tidur dan peningkatan denyut jantung janin, jika melebihi batas 200 mg per hari.

Tips Praktis agar Ibu Hamil Cukup Minum:

  • Gunakan botol minum khusus ibu hamil dengan penanda jam agar minum lebih teratur

  • Set reminder di HP setiap 2 jam

  • Tambahkan potongan lemon, mint, atau buah-buahan ke dalam air untuk rasa segar tanpa tambahan gula

  • Sediakan air putih di dekat tempat tidur untuk diminum sebelum dan sesudah tidur

Minum cukup air bukan sekadar mencegah dehidrasi, tapi juga bagian penting dalam mencegah wasir secara fisiologis.Cairan membantu proses pencernaan, melancarkan BAB, menjaga sirkulasi darah tetap sehat, dan mendukung fungsi ginjal yang bekerja ekstra selama kehamilan.

Serat dan air adalah pasangan sejati—tidak bisa satu tanpa yang lain. Jadi, kalau ingin wasir tidak mampir di kehamilan ini, jangan lupa jaga asupan cairan setiap hari, ya.

‍♀️ 3. Bergerak Itu Penting!

Selama hamil, banyak ibu yang merasa lelah, ngantukan, atau sekadar ingin rebahan karena tubuh terasa berat. Itu wajar. Tapi bila terlalu sering diam, duduk terlalu lama, atau berbaring seharian tanpa aktivitas ringan, justru bisa menimbulkan masalah baru—termasuk wasir.

Kenapa?

Karena kurangnya gerakan menyebabkan aliran darah di area panggul menjadi lambat. Sirkulasi yang buruk di pembuluh balik (vena), terutama di bagian bawah tubuh, bisa menyebabkan darah terkumpul di sekitar anus dan rektum. Bila dibiarkan, tekanan ini akan membuat pembuluh darah membengkak, dan muncullah wasir.

Kenali Derajat Wasir dan Tanda-Tanda Bahaya

Wasir atau ambeien bukan cuma satu jenis. Gejalanya bisa berbeda-beda tergantung tingkat keparahannya. Ada yang hanya terasa sebagai rasa mengganjal atau sedikit tidak nyaman saat duduk, tapi ada juga yang sampai membuat ibu sulit berjalan, nyeri hebat saat buang air besar, atau bahkan mengganggu tidur.

Di dua artikel sebelumnya (artikel 1) & (artikel 2) kita sudah membahas bahwa wasir adalah kondisi umum yang terjadi saat kehamilan karena pengaruh hormon, tekanan rahim, dan aliran darah balik yang terhambat. Kita juga sudah meluruskan bahwa wasir—meski bikin khawatir—bukan alasan otomatis untuk melahirkan dengan operasi sesar. Bahkan dalam banyak kasus, ibu tetap bisa melahirkan normal dengan aman dan nyaman, asal tahu cara mengelolanya.

Nah, di artikel ketiga ini kita akan masuk lebih dalam: bagaimana sebenarnya tingkatan atau derajat keparahan wasir itu? Bagaimana cara mengenalinya sejak dini? Apa tanda-tanda yang bisa ditangani sendiri, dan kapan kita perlu waspada?

Kenapa ini penting? Karena semakin dini ibu mengenali derajat wasir yang dialaminya, semakin cepat pula langkah pencegahan dan penanganan bisa dilakukan. Ini bukan sekadar tentang mengurangi rasa sakit, tapi juga untuk mencegah komplikasi di masa akhir kehamilan dan saat masa nifas nanti.

Jadi, yuk lanjutkan membaca. Pelan-pelan kita bahas bersama, agar Anda bisa mengenali sinyal tubuh sendiri—tanpa takut berlebihan, tapi juga tanpa mengabaikan hal penting.

Apa Saja Derajat Wasir?

Wasir—khususnya jenis internal—secara klinis dibagi menjadi empat tingkatan berdasarkan derajat keparahan dan seberapa jauh jaringan wasir menonjol keluar dari anus. Klasifikasi ini pertama kali dikembangkan oleh Goligher pada tahun 1955 dan hingga kini masih menjadi acuan utama dalam panduan diagnosis dan penatalaksanaan hemoroid.

Penelitian oleh Rivadeneira et al. yang dimuat dalam Diseases of the Colon & Rectum (2017) menegaskan bahwa klasifikasi Goligher sangat berguna untuk menentukan pilihan terapi yang tepat, mulai dari terapi konservatif hingga tindakan operatif.

Mari kita bahas satu per satu:

✅ Derajat I – Masih di dalam, belum keluar

Wasir derajat I masih berada sepenuhnya di dalam rektum dan tidak menonjol ke luar anus, bahkan saat mengejan.
Gejala umum: perdarahan ringan saat BAB, biasanya berupa darah merah segar yang terlihat pada tisu atau permukaan tinja. Kadang disertai rasa tidak nyaman atau sensasi “ada yang ganjal” di dalam. Biasanya tidak menimbulkan rasa nyeri, karena lokasi wasir berada di area yang minim saraf nyeri (zona hemoroidalis atas).

Menurut studi oleh Lohsiriwat (2015), sekitar 40–50% kasus wasir pada ibu hamil termasuk dalam derajat I, dan sebagian besar bisa membaik dengan perbaikan gaya hidup saja.

Penanganan:

  • Pola makan tinggi serat (buah, sayur, whole grain)

  • Minum air putih minimal 2 liter per hari

  • Olahraga ringan seperti jalan kaki atau yoga

  • Hindari mengejan keras dan kebiasaan duduk terlalu lama di toilet

✅ Derajat II – Keluar saat BAB, tapi masuk sendiri

Pada derajat ini, wasir menonjol ke luar saat mengejan (misalnya saat BAB), tetapi bisa kembali masuk sendiri tanpa bantuan.
Gejala umum: perdarahan ringan, rasa gatal di anus, atau nyeri ringan setelah duduk terlalu lama. Ibu biasanya mulai merasa tidak nyaman secara fisik dan emosional karena benjolan sesekali terasa muncul.

Studi dari Cheetham et al. (Colorectal Disease, 2016) menyebutkan bahwa derajat II adalah jenis wasir paling sering ditemukan pada pasien rawat jalan, termasuk pada ibu hamil dan menyusui.

Penanganan:
Selain langkah-langkah pada derajat I, bisa ditambahkan:

  • Sitz bath: merendam bokong dalam air hangat selama 10–15 menit, 2–3 kali sehari

  • Salep topikal atau supositoria (berbasis witch hazel, hydrocortisone ringan, atau lidokain, dengan izin tenaga medis)

  • Kompres dingin untuk mengurangi bengkak dan rasa terbakar

✅ Derajat III – Keluar dan harus didorong masuk

Wasir keluar saat mengejan dan tidak bisa masuk kembali sendiri, tetapi masih bisa didorong masuk secara manual dengan jari.
Gejala: benjolan tampak jelas di luar anus, nyeri sedang hingga berat, perih saat BAB, bisa disertai lendir dan kadang sulit bersih setelah BAB.

Dalam penelitian oleh Rivadeneira et al. (2017), kasus wasir derajat III sering memerlukan terapi intervensi, meskipun penanganan konservatif masih dapat dicoba terlebih dahulu selama kehamilan.

Penanganan:

Benarkah Wasir Saat Hamil Harus Sesar?

“Dok, saya ada ambeien, berarti gak bisa lahiran normal ya?”

Kalimat ini cukup sering terdengar di ruang praktik. Wajar saja—wasir memang bikin tidak nyaman. Nyeri, gatal, sampai berdarah. Tapi, apakah benar kondisi ini berarti ibu tidak boleh melahirkan pervaginam dan harus langsung dijadwalkan operasi caesar?

Yuk, kita bedah mitos ini perlahan-lahan. Karena kenyataannya tidak sesederhana itu.

Wasir Itu Umum Terjadi Saat Hamil—Tapi Bukan Alasan Otomatis untuk Sesar

Pertama-tama, penting untuk ditekankan: wasir bukan kontraindikasi untuk persalinan normal. Artinya, ibu hamil dengan wasir tetap bisa menjalani proses persalinan spontan—asal kondisi lainnya mendukung.

Bahkan dalam panduan praktik dari American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) maupun WHO, tidak disebutkan bahwa wasir—baik internal maupun eksternal—menjadi alasan medis untuk tindakan seksio sesarea.

Justru, penelitian menunjukkan bahwa mayoritas ibu hamil dengan wasir berhasil melahirkan normal tanpa komplikasi yang berarti (Pitt, D. et al., BMJ Open, 2019). Wasir memang bisa memburuk saat proses mengejan, tapi dengan pendekatan yang tepat, hal ini bisa diminimalkan.

Mitos: “Kalau Ada Ambeien, Gak Bisa Ngejan”

Mitos ini muncul dari ketakutan bahwa mengejan saat persalinan bisa memperparah wasir. Memang benar, tekanan intra-abdomen saat mengejan dapat menyebabkan pembuluh darah di sekitar anus membengkak. Tapi bukan berarti tidak bisa mengatur strategi mengejan.

Yang dibutuhkan adalah:

  • Posisi melahirkan yang tepat (tidak selalu telentang)

  • Strategi mengejan yang efisien, tidak terburu-buru, dan mengikuti dorongan alami tubuh

  • Pendampingan yang suportif dari bidan atau doula

  • Manajemen nyeri yang efektif agar ibu tetap relaks dan tidak over-mengejan

Studi dari Abdool et al. (2020) mencatat bahwa pelatihan pernapasan dan teknik mengejan terkontrol secara signifikan menurunkan tekanan berlebih ke dasar panggul dan membantu menjaga kondisi wasir tetap stabil selama proses persalinan.

POOP BERDARAH?! ada apa ini?

“Hamil itu penuh berkah, tapi kenapa kok setiap mau BAB rasanya nyeri, gatal, bahkan kadang berdarah?”
Kalau Anda pernah mikir begitu, kamu nggak sendiri.

Banyak ibu hamil mengalami keluhan di area anus—entah rasa tidak nyaman saat duduk, gatal yang nggak kunjung hilang, atau nyeri luar biasa waktu buang air besar. Tapi karena letaknya “di bawah” dan agak sensitif buat dibahas, keluhan ini sering disimpan sendiri. Malu mau cerita. Takut dianggap remeh.

Padahal, kondisi seperti ini sangat umum terjadi saat hamil. Dan kabar baiknya, sebagian besar bukan sesuatu yang berbahaya. Bisa ditangani, bahkan dicegah, asalkan kita tahu penyebab dan cara mengelolanya.

Nah, di artikel ini kita akan bahas pelan-pelan tentang wasir atau ambeien pada ibu hamil—dari yang ringan sampai yang sering bikin khawatir. Supaya Anda bisa lebih tenang dan tahu harus gimana saat gejalanya muncul.

Wasir, atau dalam istilah medis disebut hemoroid, adalah kondisi saat bantalan pembuluh darah di sekitar anus membengkak atau meradang. Kondisi ini sebenarnya mirip seperti varises, tapi terjadi di daerah rektum dan anus. Saat hamil, tekanan dari rahim yang membesar dan perubahan hormon bisa membuat pembuluh darah di area ini melebar, lalu menyebabkan wasir.

Secara umum, wasir dibagi menjadi dua jenis:

  1. Wasir internal: terjadi di bagian dalam saluran anus, biasanya tidak terasa nyeri tapi bisa menimbulkan perdarahan—darah merah segar saat buang air besar.

  2. Wasir eksternal: muncul di bagian luar anus sebagai benjolan lunak atau keras. Kadang terasa gatal, nyeri, atau bahkan perih saat duduk dan BAB.

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal BMC Gastroenterology (2024), wasir dialami oleh sekitar 35% ibu hamil, dengan risiko meningkat seiring usia kehamilan. Studi tersebut juga menegaskan bahwa kehamilan adalah salah satu faktor risiko utama karena adanya peningkatan tekanan intra-abdomen, pelebaran pembuluh darah vena, dan kecenderungan konstipasi pada trimester kedua dan ketiga (Ghafari et al., 2024).

Fakta menarik lainnya, dalam sebuah tinjauan sistematis oleh Abramowitz et al. (The Lancet Gastroenterology & Hepatology, 2018), disebutkan bahwa hemoroid merupakan salah satu kondisi anorektal paling umum pada perempuan hamil dan pascapersalinan, tapi sayangnya sering kali diabaikan atau dianggap tabu untuk dibicarakan.

Padahal, memahami apa itu wasir, bagaimana bentuk dan gejalanya, serta apa yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasinya, sangat penting agar ibu hamil tidak merasa cemas berlebihan atau justru menunda pengobatan.

Jadi, kalau Anda merasakan gejala seperti nyeri saat BAB, ada benjolan di sekitar anus, atau bahkan perdarahan ringan, bisa jadi itu adalah wasir. Tidak perlu panik. Yang penting, tahu cara meresponsnya dengan tenang dan tepat.

Kenapa Wasir Sering Muncul Saat Hamil?

Wasir bukan kondisi aneh dalam kehamilan. Faktanya, cukup banyak ibu hamil yang baru pertama kali menyadari gejala wasir justru saat usia kehamilan memasuki trimester kedua atau ketiga. Kenapa bisa begitu?

Ada beberapa alasan biologis dan fisiologis yang membuat kehamilan jadi masa “subur” untuk munculnya wasir. Mari kita bahas satu per satu.

1. Perubahan Hormon yang Mempengaruhi Pembuluh Darah

Selama kehamilan, tubuh ibu memproduksi lebih banyak hormon progesteron. Hormon ini punya banyak manfaat, seperti membantu otot rahim rileks dan menjaga kehamilan tetap stabil. Tapi, efek sampingnya—yang jarang dibicarakan—adalah membuat pembuluh darah menjadi lebih longgar dan melebar.

Akibatnya, pembuluh darah di sekitar anus juga bisa melebar dan menampung lebih banyak darah daripada biasanya. Jika aliran balik darah ke jantung tidak lancar, maka darah bisa “mengendap”, dan terbentuklah benjolan atau pembengkakan yang kita kenal sebagai wasir.

2. Tekanan dari Rahim yang Membesar

Seiring pertumbuhan janin, rahim pun makin membesar. Di trimester akhir, rahim bisa memberikan tekanan cukup besar pada pembuluh darah balik di area panggul dan perut bawah—terutama vena cava inferior dan vena hemoroidalis.

Tekanan ini memperlambat aliran darah dari bagian bawah tubuh ke jantung. Akibatnya, aliran darah dari anus dan rektum jadi tersendat, lalu memicu pembengkakan pembuluh darah di sekitar anus, alias hemoroid.

Hal ini ditegaskan dalam kajian oleh Abramowitz et al. (2018) yang diterbitkan di The Lancet Gastroenterology & Hepatology, bahwa pertumbuhan janin yang menekan pembuluh darah besar merupakan salah satu pemicu utama hemoroid selama kehamilan.

3. Konstipasi dan Kebiasaan Mengejan

Keluhan perut kembung, susah BAB, atau buang air besar yang jarang selama hamil bukan hal asing. Ini disebabkan oleh:

PERINEUM MASSAGE, SOLUSI CERDAS CEGAH ROBEKAN PERINEUM saat MELAHIRKAN.

✨ “Aku Takut Dijahit, Bu Bid…”

“Aku siap lahiran, tapi jujur… aku paling takut bagian dijahitnya.”

Kalimat ini bukan hal asing bagi kami para bidan. Dalam kelas-kelas persiapan lahir, sesi konsultasi, bahkan dalam obrolan ringan di ruang periksa, banyak ibu—terutama yang pertama kali hamil—membuka kekhawatiran yang paling personal: bukan kontraksi, bukan mengejan, tapi robekan perineum.

Ketakutan ini sangat valid. Karena bagi banyak perempuan, pengalaman dijahit setelah melahirkan justru menjadi sumber trauma yang melekat lebih lama dari rasa sakit kontraksi. Beberapa merasa tidak diberi pilihan. Beberapa tidak sempat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan sebagian lagi—merasa bersalah karena mengira tubuhnya “tidak cukup kuat” untuk melahirkan tanpa robek.

Padahal, robekan perineum bukan soal kuat atau tidaknya seorang ibu. Tapi lebih kepada:

  • Apakah tubuhnya diberi kesempatan untuk membuka dengan alami?

  • Apakah dia diberi waktu dan dukungan untuk melahirkan sesuai ritmenya?

  • Dan… apakah perineumnya pernah disiapkan dengan lembut dan penuh cinta sebelum hari H?

Salah satu cara paling sederhana, murah, dan penuh manfaat yang bisa dilakukan adalah:
Perineum Massage.

Apa Itu Perineum Massage?

Perineum massage adalah teknik pemijatan lembut pada area antara vagina dan anus—bagian tubuh yang disebut perineum.

Teknik ini bertujuan untuk:

  • Melenturkan jaringan otot dan kulit perineum,

  • Meningkatkan sirkulasi darah,

  • Menyiapkan tubuh menghadapi fase crowning (saat kepala bayi muncul),

  • Meningkatkan kesadaran tubuh dan kepercayaan diri ibu.

Berikut ini bukti ilmiah yang mendukung tindakan ini: 
  1. Cochrane Review (Beckmann & Garrett, 2013)
    Perineum massage sejak trimester 3 (diatas 34 minggu):

    • Menurunkan risiko robekan derajat sedang-berat,

    • Menurunkan angka kebutuhan episiotomi pada primigravida,

    • Meningkatkan kenyamanan ibu terhadap tubuhnya sendiri.

  2. Aasheim et al., Cochrane (2017)
    Teknik manual seperti perineum massage dan kompres hangat saat persalinan terbukti:

    • Mengurangi trauma perineum,

    • Meningkatkan kontrol ibu saat mengejan.

  3. Albers (2005), J Midwifery Women’s Health
    Perineum massage secara rutin meningkatkan elastisitas dan ketahanan jaringan perineum,
    serta mempersiapkan ibu secara mental menghadapi sensasi burning ring of fire saat kepala bayi keluar.

  4. Labrecque et al. (1999)
    Ibu yang rutin melakukan perineum massage:

    • Lebih jarang mengalami robekan spontan,

    • Lebih sedikit trauma dan nyeri pasca persalinan,

    • Lebih siap secara emosional menghadapi proses lahir.

  5. Sripichyakan et al. (2023)
    Studi terbaru di Asia Tenggara menyatakan bahwa ibu yang mendapat edukasi dan praktik perineum massage:

    • Lebih sedikit mengalami luka perineum derajat 3–4,

    • Merasa lebih percaya diri dan tenang dalam menghadapi VT (vaginal toucher) dan fase melahirkan.

Manfaat Holistik Perineum Massage

Perineum massage bukan hanya latihan fisik menjelang lahiran. ini adalah bentuk perawatan tubuh yang menyeluruh—menyentuh aspek fisik, emosional, hingga spiritual. Dalam praktiknya, banyak ibu yang awalnya melakukannya karena takut dijahit, tapi kemudian merasa bahwa pijatan ini justru membuat mereka lebih sadar, tenang, dan terhubung dengan tubuh yang akan melahirkan.

Berikut manfaat perineum massage yang telah dibuktikan melalui penelitian dan pengalaman klinis:

UPAYAKAN PERINEUM UTUH (Jalur Langit & Jalur Bumi)

Setiap perempuan yang bersiap menyambut kelahiran anaknya, mungkin pernah mendengar istilah “perineum robek” atau “dijahit setelah lahiran.” Tapi jarang yang benar-benar diajak duduk, hening sejenak, dan diberi ruang untuk memahami: apa itu perineum, bagaimana menjaganya, dan mengapa ia begitu sakral.

Di ruang bersalin, kita sering menyaksikan tubuh yang membuka, bayi yang lahir, dan luka yang terjadi. Tapi di balik semua itu, ada proses sunyi yang lebih dalam: peralihan seorang perempuan dari yang mengandung menjadi yang melahirkan. Dan di titik perineum-lah semua itu berpuncak.

Perineum bukan sekadar jaringan otot.
Ia adalah pintu gerbang—jalur langit dan bumi bertemu.

Sayangnya, perineum selama ini lebih sering dibicarakan sebagai masalah teknis—apakah robek atau tidak, dijahit atau tidak, sembuhnya lama atau cepat. Padahal, perineum adalah ruang tubuh yang penuh makna. Ia bisa dijaga. Ia bisa disiapkan. Ia bisa dilindungi—bukan hanya dengan tangan, tapi juga dengan kesadaran dan cinta.

Dalam pendekatan holistic-gentle birth, menjaga perineum tidak cukup hanya dengan teknik fisik seperti kompres hangat, minyak pijat, atau posisi bersalin. Ia juga perlu dijaga melalui penyadaran diri, kepercayaan pada tubuh, afirmasi, dan doa. Karena luka bukan hanya berasal dari tarikan dan tekanan, tapi juga dari ketakutan dan ketidaktahuan.

Maka dalam bagian ini, mari kita selami lebih dalam:
Bagaimana cara menjaga perineum secara menyeluruh—dari jalur langit berupa iman (doa puasa) dan afirmasi, hingga jalur bumi berupa edukasi, gerakan, dan pendampingan sadar.

Karena tubuh ini bukan benda mati. Ia hidup, ia mendengar, dan ia mengingat. Dan setiap ibu berhak melahirkan dengan tubuh yang dihormati, bukan ditakuti.
Setiap perineum berhak dibuka dengan lembut, bukan dilukai terburu-buru.

“Tubuh ini bukan sekadar wadah. Ia adalah saksi kelahiran manusia baru.”
“Dan perineum… adalah gerbang sakral tempat kehidupan lahir ke dunia.”

Dalam pendekatan holistik, perineum bukan hanya jaringan otot dan kulit. Tapi juga ruang spiritual, emosional, dan simbolik, tempat seorang perempuan melewati ambang antara mengandung dan melahirkan. Maka dari itu, menjaga perineum bukan hanya dengan kompres atau senam—tapi juga dengan iman, afirmasi, edukasi, dan penyadaran diri.

Nah kita bahas satu satu ya, terkait apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu supaya perineum tetap utuh dan kuat saat melahirkan.

  • Jalur Langit!

Kenapa saya bilang jalur langit? Ya karena kadang kala kita sudah mengupayakan segala sesuatunya mulai dari pengetahuan, yoga, nutrisi, perineum massage, dan macem macem tapi pas hari H ternyata tiba tiba karena satu dan lain hal entah karena providernya tidak pas atau karena proses persalinan sendiri ada masalah, akhirnya tetep saja kita musti mengalami robekan jalan lahir baik tidak sengaja maupun sengaja.

demikian juga sebaliknya, kadang kita sudah siapkan segalanya dan keberuntungan dan kebetulan kebetulan terjadi akhirnya kita berhasil ngalamin gentle birth dengan perineum utuh dan nyaman.

So jalur langit artinya adalah jalur dimana kita tetap berserah melalui  doa puasa dan affirmasi meminta perkenanan dan penyertaan Tuhan supaya di berkati selalu.

1. Doa dan Afirmasi untuk Perineum Utuh

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh intervensi medis, tak banyak ruang bagi ibu untuk hening sejenak dan mendengarkan tubuhnya sendiri. Perineum bukan hanya jaringan otot.
Ia adalah pintu gerbang antara dunia dalam dan dunia luar.
Menjaganya bukan hanya dengan teknik, tapi juga dengan penyerahan dan penyadaran diri.

Apa Itu Afirmasi?

Afirmasi adalah ungkapan positif yang diucapkan berulang untuk membangun kesadaran, keyakinan, dan kesiapan mental-emosional. Ia bukan sekadar “kata-kata penyemangat,” melainkan alat yang membantu ibu membentuk hubungan yang sehat dengan tubuh dan proses kelahiran.

Menurut studi Olza et al., 2014, afirmasi yang dibacakan dengan relaksasi mendalam mampu:

  • Meningkatkan oksitosin dan endorfin (hormon pelancar kontraksi & penenang nyeri),
  • Menurunkan kortisol (hormon stres),
  • Meningkatkan koneksi antara pikiran, tubuh, dan rahim.

Doa sebagai Jembatan Spiritual

Doa bukan sekadar permintaan kepada Tuhan, tetapi jembatan penghubung antara iman dan tubuh.
Dalam konteks gentle birth, doa menjadi momen hening di mana ibu kembali menyadari:

“Tubuhku bukan milikku semata. Ia diciptakan oleh Tuhan dengan sempurna. Ia tahu cara melahirkan.”

Doa menumbuhkan perasaan:

  • bahwa ibu tidak sendiri,
  • bahwa ada kekuatan ilahi yang menyertai,
  • bahwa kelahiran bukan sekadar proses biologis, tapi peristiwa spiritual.

Dalam Leclaire Method, tubuh ibu—termasuk rahim dan perineum—dipandang sebagai bagian dari sacred feminine design, ciptaan Allah yang cerdas dan terhubung dengan dimensi spiritual sejak bayi dalam kandungan.

Afirmasi untuk Perineum: Contoh dan Makna

Berikut contoh afirmasi yang dapat digunakan untuk menjaga perineum secara batiniah dan emosional:

Afirmasi Makna dan Dampak
“Aku membuka tubuhku dengan cinta dan percaya.” Menyampaikan kesiapan tubuh secara sadar
“Perineumku lentur, kuat, dan siap menjadi gerbang kehidupan.” Menumbuhkan kepercayaan pada kelenturan alami
“Tubuhku tahu caranya melahirkan. Tuhan merancangnya dengan bijaksana.” Menyambungkan iman dengan fisiologi
“Aku hadir penuh untuk kelahiran ini. Aku tidak takut, aku terhubung.” Mengalihkan fokus dari rasa takut ke koneksi

Penelitian menunjukkan bahwa dukungan emosional dan afirmasi positif berperan penting dalam menurunkan stres dan meningkatkan elastisitas jaringan.

Studi oleh Olza et al. (2014) menjelaskan bahwa afirmasi yang berulang dan relaksasi mendalam dapat meningkatkan produksi hormon oksitosin dan endorfin, yang membantu jaringan perineum lebih lentur dan responsif selama persalinan.

Cara Praktis Melatih Doa dan Afirmasi

  1. Rutinitas Harian (3–5 menit)
  • Lakukan saat sebelum tidur atau setelah bangun pagi.
  • Duduk tenang, pejamkan mata, letakkan tangan di bawah perut dan satu tangan lagi di dada.
  • Ucapkan 1–2 afirmasi sambil menarik napas perlahan dan menghembuskan dengan lembut.
  1. Visualisasi Perineum
  • Bayangkan perineum sebagai kelopak bunga yang terbuka saat napas masuk.
  • Bayangkan tubuh ibu sebagai sungai yang mengalirkan kehidupan dengan damai.
  1. Dibacakan oleh Suami/Doula
  • Afirmasi akan lebih kuat bila didukung oleh pasangan atau pendamping, menciptakan resonansi kepercayaan bersama.
    Witt & Lothian, 2018 menyebutkan bahwa dukungan pasangan dalam afirmasi menurunkan kecemasan persalinan hingga 40%.
  1. Dipasangkan dengan Gerakan Yoga Ringan
  • Gerakan seperti Butterfly Pose, Child’s Pose, atau Squat Pose dapat disinkronkan dengan afirmasi, memperkuat keterhubungan tubuh dan kata.

Efek Jangka Panjang dari Praktik Afirmasi dan Doa

✔ Membantu ibu menghadapi persalinan dengan tenang
✔ Mengurangi persepsi nyeri dan trauma pascamelahirkan
✔ Meningkatkan rasa memiliki terhadap tubuh dan proses lahir
✔ Mempercepat pemulihan emosional, apapun hasil kelahirannya
✔ Memberi ruang spiritual untuk menyambut bayi dengan cinta, bukan cemas

Kesaksian dari Lapangan

“Waktu kontraksi makin kuat, aku mulai ulang-ulang afirmasi, dan tiba-tiba tubuhku rasanya membuka… kayak aku masuk ke ruang tenang.” – Ibu A, peserta hypnobirthing

“Suamiku bacakan afirmasi saat aku mulai takut. Aku nangis, tapi bukan karena takut—karena aku merasa didukung.” – Ibu H, kelas persiapan kelahiran Bidan Kita

  • Jalur Bumi!

Nah, supaya adil setelah kita bahas terkait dengan jalur langit berupa doa, puasa dan affirmasi visualisasi, jalur bumi atau aliyas jalur fisik. nah apa saja jalur fisik itu?:

2. Perineum sebagai Gerbang Sakral Kelahiran

Ketika seorang bayi lahir, tubuh ibu menjadi jalan pulang menuju dunia ini. Dan titik terakhir yang dilewati bayi sebelum napas pertamanya adalah perineum—area kecil yang terletak antara vagina dan anus. Namun sesungguhnya, perineum bukan hanya “tempat keluarnya bayi” secara teknis. Ia adalah gerbang kehidupan, tempat tubuh perempuan membuka ruang bagi jiwa baru untuk hadir di dunia.

“Perineum bukan hanya kulit dan otot. Ia adalah portal antara dunia rahim dan dunia nyata.”

Pandangan Tradisional: Perineum sebagai Portal Kehidupan

Ternyata, dalam banyak budaya kuno dan komunitas adat di dunia, perineum tidak pernah dianggap remeh. Ia dipandang sebagai titik transisi suci.

Beberapa contohnya:

  • Budaya Bali menyebut proses kelahiran sebagai “nunas nyawa” (meminta nyawa), di mana tubuh ibu, termasuk perineum, disucikan sebelum dan sesudah melahirkan.
  • Suku Maori (Selandia Baru) menganggap perineum dan jalan lahir sebagai wāhi tapu (ruang sakral) yang tidak boleh dilukai sembarangan.
  • Suku Navajo (Amerika Utara) melihat proses kelahiran sebagai journey of the soul yang harus dikelilingi oleh doa, nyanyian, dan rasa hormat terhadap tubuh ibu.

Di semua narasi ini, tubuh perempuan tidak pernah hanya “medis”. Ia adalah bagian dari spiritualitas alam semesta.

Pandangan Modern: Leclaire Method dan Spiritualitas Tubuh

Leclaire Method—sebuah pendekatan kelahiran sadar dari Prancis—menekankan bahwa tubuh ibu menyimpan memori emosional dan spiritual. Perineum dianggap sebagai titik “batas” antara dunia internal dan eksternal. Maka, saat perineum dibuka secara penuh dengan kesadaran, refleks alami tubuh juga lebih mudah teraktivasi.

Di antaranya:

  • Fetal Ejection Reflex: refleks alami tubuh yang mendorong bayi keluar dengan lembut tanpa intervensi kasar atau paksaan.
  • Hormon pelindung seperti beta-endorfin dan oksitosin mengalir deras bila ibu merasa aman, dipercaya, dan tubuhnya dihormati—bukan dikendalikan.

Sarah Buckley (2009) dalam bukunya Gentle Birth, Gentle Mothering menjelaskan bahwa saat tubuh ibu merasa aman dan perineum tidak dipaksa, tubuh akan melepaskan gelombang hormon yang serupa dengan orgasme spiritual—membantu kelahiran lebih lembut dan minim trauma.

Pendekatan Gentle Birth dan Hypnobirthing

Dalam praktik gentle birth dan hypnobirthing, perineum bukan sesuatu yang harus dikontrol atau dihindari robeknya dengan “menahan atau memegang”.
Justru sebaliknya, ia perlu dibiarkan bekerja, didengar, dan diberi ruang. Inilah esensi dari pendekatan hands-off atau “tidak terburu-buru.”

Menurut Reed, R. (2015) dalam artikelnya “Hands Off the Perineum”, intervensi berlebihan seperti menarik kepala bayi, menekan perineum, atau mengatur napas secara paksa justru mengganggu ritme alami tubuh dan meningkatkan risiko trauma robekan.

“Ketika kita terburu-buru membuka gerbang, ia bisa retak. Tapi ketika kita sabar, gerbang itu bisa membuka dengan sendirinya.”

Praktik Menjaga Kesakralan Perineum

Berikut adalah langkah-langkah aplikatif yang bisa dilakukan untuk menghormati dan menjaga perineum sebagai gerbang sakral:

  1. Berdoa dan Afirmasi Harian (ini jalur langit tadi)
  • Mengucapkan kalimat seperti:
    “Perineumku adalah pintu kehidupan. Aku menjaganya dengan cinta dan percaya.”
  1. Gerakan Prenatal Gentle Yoga (PGY)
  • Gerakan seperti Deep Squat, Butterfly Stretch, dan Supported Child’s Pose dapat melatih elastisitas dan kesadaran tubuh di area perineum.
  1. Posisi Melahirkan yang Memberi Ruang
  • Seperti posisi miring (lateral), jongkok dengan sandaran, atau hands-and-knees yang membuka panggul bawah secara alami tanpa tekanan berlebihan pada perineum.
  1. Kompres Hangat dan Hands-off
  • Memberi kompres hangat di area perineum saat kepala bayi mulai terlihat terbukti mengurangi risiko robekan(Dahlen et al., 2016)
  • Biarkan kepala bayi keluar perlahan, jangan ditarik.
  • Jangan paksa ibu untuk mengejan saat perineum sedang “crowning” (fase ring of fire).

Penutup: Tubuh yang Dihormati, Melahirkan dengan Lembut

Ketika kita mengubah cara pandang terhadap perineum—dari area “yang pasti robek” menjadi portal suci kehidupan, maka pendekatan kita terhadap persalinan juga ikut berubah.

Kita mulai memberi waktu, bukan memaksa.
Kita mulai mendengarkan, bukan mengatur.
Kita mulai memuliakan tubuh, bukan mencurigainya.

Karena setiap bayi layak dilahirkan melalui tubuh yang dipercaya,
dan setiap ibu layak membuka dirinya dalam suasana damai.

‍3. Edukasi untuk Ibu & Birth Partner: Hak Tubuh, Pilihan, dan Informed Consent dalam Menjaga Perineum

Banyak perempuan datang dengan keluhan:

“Saya nggak tahu apa-apa, tahu-tahu sudah digunting.”
“Dokternya bilang ‘biar cepat ya, Bu’, dan saya nggak sempat jawab.”
“Saya pikir itu normal, tapi ternyata saya trauma sampai sekarang.”

Ironisnya, banyak robekan perineum bukan terjadi karena tubuh ibu gagal, melainkan karena ia tidak diberi kesempatan untuk tahu dan memilih.
Padahal tubuh ibu memiliki hak penuh atas proses yang terjadi padanya—termasuk saat melahirkan.

Apa Itu Informed Consent?

Informed Consent adalah hak setiap pasien (termasuk ibu bersalin) untuk:

  • Mendapat penjelasan lengkap dan jujur mengenai prosedur,
  • Memahami risiko, manfaat, dan alternatifnya,
  • Memiliki waktu untuk bertanya dan mempertimbangkan,
  • Menyatakan persetujuan secara sadar dan tanpa tekanan.

Informed consent bukan sekadar “izin untuk tindakan medis”.
Ia adalah bentuk penghormatan terhadap tubuh, kesadaran, dan martabat manusia.

Panduan Holistik Pemulihan Setelah Robekan Perineum

​​“Bu, saya bantu dibuka jalannya ya…”
Belum sempat berpikir apa maksudnya, tiba-tiba… kressss!
Suara gunting memecah ruang bersalin. Sakit, nyut-nyutan, dan…mulut rasanya tercekat…tatapan matra kosong, sambil membatin dalam hati…“duh! di gunting ini!”

Banyak ibu melahirkan yang bisa menceritakan pengalaman semacam ini—dan lebih banyak lagi yang tidak sempat bercerita karena terlalu bingung, terlalu cepat, terlalu syok.

Di Indonesia, robekan perineum masih menjadi bagian “biasa” dari proses melahirkan. Bahkan terkadang dianggap sebagai sesuatu yang wajar, tidak perlu dibahas panjang, atau malah dianggap sebagai “harga yang harus dibayar” untuk menjadi seorang ibu.

Padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.

Saat Persalinan Terjadi Begitu Cepat…

Bagi banyak ibu, persalinan adalah proses yang datang dengan gelombang besar: rasa sakit, kontraksi, ketakutan, ekspektasi, harapan, dan terkadang intervensi medis yang tidak sepenuhnya dimengerti.
Bukan hal yang aneh kalau saat mengejan, tiba-tiba ada suara dari tenaga kesehatan:

“Bu, saya lebarin jalannya ya, biar cepat.”
“Nanti kalau enggak digunting, bisa robek sampai anus lho.”
“Ini bayi besar banget, bahaya kalau enggak dipotong.”
“Sudah pembukaan lengkap, kita bantu cepatkan aja ya…”

Ibu yang sedang setengah sadar antara nyeri dan dorongan mengejan itu, tentu tidak bisa langsung memahami. Dan sebelum ada ruang untuk bertanya, mencari tahu, atau menolak… gunting sudah bekerja.

Episiotomi Tanpa Persetujuan Masih Sering Terjadi

Dalam praktik kebidanan modern, episiotomi (pengguntingan perineum) seharusnya hanya dilakukan dengan indikasi medis jelas dan atas persetujuan ibu. Namun, sayangnya, di banyak tempat—baik rumah sakit maupun klinik kecil—episiotomi masih dilakukan secara rutin, tanpa informed consent.

Dan lebih menyedihkannya lagi: tidak sedikit ibu yang dijahit dalam kondisi tanpa bius.

“Katanya obat biusnya udah habis.”
“Katanya biusnya nggak usah, cuma sedikit robek kok.”
“Katanya kalau dibius malah bikin lama sembuhnya.”
“Atau cuma dijawab: sabar ya, ibu kuat kok.”

Padahal… rasa nyeri saat dijahit tanpa bius bisa jauh lebih menyakitkan dibanding rasa mengejan bayi keluar. Trauma itu menempel—bukan hanya di tubuh, tapi juga di memori emosional ibu.
Banyak yang kemudian menghindari pemeriksaan pasca bersalin, takut disentuh area intimnya, bahkan enggan berhubungan dengan pasangannya selama berbulan-bulan.

Robekannya Mungkin Sudah Jahit. Tapi Lukanya Belum Pulih.

Dan ironisnya, setelah semua itu, proses pemulihan luka perineum jarang sekali dibahas. Ibu langsung disuruh pulang, tanpa panduan jelas:

  • Bagaimana merawat luka?
  • Apa yang normal dan tidak?
  • Kapan harus khawatir?
  • Bolehkah duduk, jongkok, atau bahkan cebok biasa?

Tidak sedikit ibu yang baru tahu beberapa minggu kemudian bahwa robekannya menimbulkan keloid, nyeri berkepanjangan, atau sensasi “tertarik” yang tidak hilang.
Dan ketika kembali kontrol atau menyampaikan keluhan, kadang hanya dijawab:

“Oh itu biasa, Bu. Namanya juga habis melahirkan.”
atau malah dianggap lebay.

Robekan Perineum, Jahitan, dan Proses yang Sering Terlupakan

Melahirkan adalah peristiwa besar—bukan hanya karena bayi lahir ke dunia, tapi karena tubuh ibu juga mengalami perubahan luar biasa. Salah satu yang paling sering terjadi, namun jarang dibicarakan secara terbuka dan jujur, adalah robekan perineum.

Menurut data penelitian medis terbaru, hingga 80-90% perempuan mengalami robekan perineum setelah melahirkan secara vaginal, baik ringan (derajat 1 dan 2) maupun berat (derajat 3 dan 4). Beberapa robek secara alami karena tekanan saat kepala bayi keluar. Tapi sebagian lainnya… terjadi karena episiotomi—pengguntingan perineum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Masalahnya, episiotomi masih sering dilakukan tanpa penjelasan atau persetujuan ibu. Yang lebih menyedihkan lagi, prosedur penjahitan kadang dilakukan tanpa bius yang memadai, dengan alasan “cepat selesai saja”, atau “cuma sakit sedikit kok Bu, tahan ya.” Praktik semacam ini—yang mungkin dianggap biasa di banyak tempat—justru menjadi sumber utama trauma fisik dan emosional jangka panjang bagi ibu.

“Nggak sempat mikir Bu, tahu-tahu udah digunting dan dijahit.”
“Pas dijahit perineumnya, aku nangis. Nggak dibius, disuruh tahan aja.”
“Robekannya kecil, tapi kenapa sakitnya nggak kelar-kelar ya?”

Cerita-cerita seperti ini bukan kasus langka. Di ruang bersalin, banyak ibu yang mengalami perineum robek—baik secara alami maupun karena episiotomi (digunting oleh tenaga kesehatan). Namun, yang sering kali tidak diketahui oleh ibu maupun keluarganya adalah bagaimana proses perbaikan luka itu dilakukan. Apakah sudah benar? Apakah ada anestesi? Apakah teknis jahitnya sesuai panduan medis terbaru?

Yang Terjadi di Lapangan: Terlalu Cepat, Terlalu Diam

Praktik episiotomi yang dilakukan tanpa informed consent masih sering terjadi. Banyak tenaga kesehatan tidak memberikan penjelasan memadai, atau menggunakan bahasa kiasan/bahasa samar:

“Bu, saya bantu dibuka jalannya ya…”
“Biar cepat, kita gunting sedikit.”
“Kalau nggak digunting, nanti robeknya bisa lebih parah lho.”

Ibu, yang sedang dalam proses mengejan dan dilanda rasa sakit serta tekanan luar biasa, tidak sempat berpikir kritis. Dan begitu terdengar suara gunting, semuanya sudah terjadi. Bahkan setelah itu, proses penjahitan dilakukan dalam kondisi nyeri—karena bius tidak cukup atau bahkan tidak diberikan sama sekali.

Ini bukan hanya menyakitkan secara fisik, tapi bisa meninggalkan trauma jangka panjang, termasuk:

  • nyeri kronis di perineum,
  • kesulitan duduk atau berjalan,
  • ketakutan berhubungan intim,
  • hingga gangguan psikologis seperti anxiety dan depresi postpartum.

Apa yang Ditemukan dalam Literatur Medis?

Dalam jurnal American Journal of Obstetrics and Gynecology (2024), Schmidt dan Fenner menjelaskan bahwa:

  • Robekan perineum berdampak jangka pendek dan panjang, termasuk nyeri menetap, kesulitan berhubungan intim (dyspareunia), gangguan fungsi dasar panggul, dan bahkan depresi postpartum.
  • Risiko komplikasi luka pasca-jahitan, seperti infeksi dan dehisensi (jahitan terbuka kembali), bisa mencapai 24%.
  • Banyak ibu mengalami keluhan sisa seperti nyeri saat duduk, benjolan, keloid, bahkan inkontinensia (tidak bisa menahan kentut atau buang air besar).
  • Kunci keberhasilan pemulihan bukan hanya pada luka itu sendiri, tapi pada:
    ✅ teknik jahitan,
    ✅ jenis benang yang digunakan,
    ✅ kesiapan anestesi yang cukup, dan
    ✅ keterampilan tenaga kesehatan dalam melakukan repair.

Yang menarik, jurnal ini juga menyarankan bahwa jika tenaga kesehatan tidak yakin atau belum berpengalaman, sebaiknya menunda perbaikan luka selama 8–12 jam sampai ada provider yang lebih kompeten. Karena kesalahan repair justru memperburuk hasil jangka panjang, termasuk rasa sakit yang bertahan hingga 9 bulan atau lebih.