Bidan Kita

Home Baby care Kisah GentleBirth , HomeBirth & Waterbirth Baby JALU

Kisah GentleBirth , HomeBirth & Waterbirth Baby JALU

0

Ting!!

Hamil dan melahirkan adalah hal yang jarang terbesit dalam pikiran saya sebagai wanita. Meskipun sudah tiga tahun menikah, tapi kami tidak benar-benar merencanakan kehamilan. Hingga akhirnya saya mendapati diri saya hamil. Baru saya sadari bahwa saya tidak tahu apapun tentang kehamilan dan persalinan. Sementara saya dan suami tinggal jauh dari orang tua. Akhirnya, seperti banyak pasangan muda lainnya, “mbah google” menjadi sahabat setia kami dalam setiap pertanyaan seputar kehamilan.

Masa awal kehamilan saya yang bebas hambatan-karena tidak mengalami mual,muntah,nyidam dll- adalah sebuah anugerah. Itu sebabnya suami sering lupa kalau saya sedang hamil..hehe.. Bahkan saya dan suami sempat traveling bareng temen-temen kantor ke Karimun Jawa saat usia kandungan saya 13 minggu. Kondisi hamil muda yang “tanpa kisah”membuat saya menjadi sangat fokus pada rencana persalinan sejak usia kandungan saya masih berumur belasan minggu. Awalnya saya dan suami belum memiliki gambaran tentang persalinan seperti apa yang ingin kami jalani, tetapi jika diminta berkhayal, saya sangat mendambakan proses persalinan seindah pengalaman waterbirth Oppie Andaresta, karena jujur, saya tipe orang yang takut sakit..hehe..

Meskipun sempat pesimis dengan dugaan tentang betapa mahalnya waterbirth di Indonesia dan minimnya nakes yang menguasai “ilmu air” tersebut, saya tetap berusaha bertanya pada “mbah google” andalan saya. Sampai akhirnya penelusuran saya tertaut pada artikel “kisah kelahiran Atisha Prajna Tiara” di website gentlebirthindonesia.com. Pada saat yang bersamaan di tab yang berbeda, saya mendapat alamat email bidan Yesie, seorang praktisi gentle birth, lewat sebuah komentar bubid di sebuah blog (saya lupa alamatnya).

Ting!! Seketika itu juga anggapan saya tentang waterbirth berubah. Selain waterbirth menjadi hal yang lebih “mungkin” untuk saya alami, saya juga menemukan esensi baru tentang konsep “melahirkan” yang bukan sekedar “di air”.

Perjodohan saya dengan konsep “Gentle birth” lewat penelusuran virtual ini layaknya bola salju. Terus menggelinding dan memperbesar niat dan pengetahuan saya akan proses persalinan yang lembut dan indah. Dan entah bagaimana, Tuhan seperti telah menjodohkan saya dan bayi saya dengan bubid Yesie yang tulisannya tentang gentle birth di websitenya hampir selalu jadi bacaan harian saya. Bahkan secara tidak sengaja, saya mendapat pinjaman buku “Siapa Bilang Melahirkan Itu Sakit” plus CD relaksasi yang ternyata karya bu Yesie.

Sejak itu, masa kehamilan saya dipenuhi oleh “virus” gentle birth. Apalagi sejak bergabung dengan grup GBUS, info seputar gentle birth menjadi hal yang sangat mudah didapat. Artikel, video, dan testimony seputar gentle birth menjadi bahan diskusi saya dan suami sehari-hari.

Love& Support

Sejak awal komunikasi saya dengan bubid Yesie via email, saya sudah membayangkan home-water birth. Mengingat tempat tinggal saya di Jogja tidak memungkinkan untuk jadi “venue”, maka pilihannya adalah numpang di rumah orangtua saya di Solo. Berarti ada satu hal lagi yang harus saya lakukan: menularkan “virus” yang sama ke orangtua saya. Hehe..

Awalnya saya kurang yakin jika orangtua saya mengijinkan, terutama ibu saya, karena gentle birth adalah sesuatu yang mudah dipahami tapi sulit dijelaskan. Saya berpikir harus ada persenjataan narasi dan visual yang harus dibawa. Berbekal film “Birth as we know it” hasil download-an suami, dan print artikel “Atisha” saya merayu orangtua. Tak disangka, orangtua saya langsung mengijinkan rumahnya “dijajah” untuk rencana persalinan saya. Bahkan almarhum bapak saya sempat membantu mencari info tentang bidan di sekitar rumah yang bisa menjadi back up plan andai saja bubid Yesie berhalangan datang pas hari h, padahal saat itu kondisi tubuh bapak  tidak sehat karena sakit yang dideritanya (Saya selalu trenyuh jika teringat hal ini, karena akhirnya almarhum tidak sempat ketemu cucunya. Bapak meninggal 20 hari sebelum Jalu lahir..).

Betapa beruntungnya saya. Niat gentlebirth dengan home –water birth menjadi sebuah rencana yang penuh dengan dukungan keluarga. Bahkan kadang saya merasa, suami saya kok malah jauh lebih yakin dari saya. Ketika saya seringkali bimbang dan khawatir atas suatu hal, suami selalu meyakinkan kembali bahwa semua akan baik-baik saja.

Preparation

Bagi seorang primigravida, termasuk saya,  rasa takut dan cemas akan kehamilan dan persalinannya selalu hinggap sepanjang waktu. Selain karena belum berpengalaman, kita juga dikelilingi oleh “petuah” dan larangan yang belum tentu benar. Ada yang menghadapinya dengan santai, mengesampingkan rasa cemas tersebut dan berpikir semua akan baik-baik saja. Tetap mengikuti kebiasaan-kebiasaan umum dan merencanakan persalinan setelah mendekati masa cuti hamil.

Tapi ternyata saya tidak bisa bersikap begitu. Seperti saya bilang tadi, saya tipe penakut, dan seorang penggila rencana. Saya tidak bisa bersikap tenang saat saya tidak tahu apa-apa. Dan saat tidak tahu apa-apa, saya tidak bisa berencana! Apalagi saat saya membaca sebuah contoh birth plan yang diunggah bubid Yesie dalam salah satu artikelnya, saya bertemu istilah-istilah baru yang belum pernah saya dengar: perineum, episiotomy, litotomi,  epidural…wahahaa..apa-apaan itu? Lantas saya bertekad: saya harus membuat birth plan! Dengan –lagi-lagi – bantuan “mbah google” dan”jeng wiki” saya cari tahu satu-satu arti setiap kata,lantas saya susun birth plan. Saya juga kerap menyaksikan proses waterbirth via youtube untuk membantu visualisasi.  Itu untuk olah otak. Untuk olah raga, saya rutin yoga dengan video yoga prenatal hasil download-an suami. Sementara CD relaksasi karya bubid Yesie menjadi sarana bagi saya untuk olah jiwa..huwaaahh…

Ternyata inilah yang sering didengungkan mbak Dyah P dan bubid Yesie tentang memberdayakan diri, yang bagi saya berarti mengelola rasa cemas menjadi pengetahuan dan mengoptimalkan tubuh dan jiwa agar mampu tenang selama persalinan. Olah otak- olah raga- olah jiwa..ayee!!

Tik tok tik tok…