“Kasih susu formula aja, deh… biar anaknya lebih aktif!”
Mendengar kalimat ini, saya teringat pernah menulis tentang hubungan alergi dengan gangguan perilaku. Ternyata, “aktif” itu nggak selalu baik lho, MomS…
AWAS, ALERGI BISA MENGUBAH PERILAKU!
Seperti organ tubuh lainya, otak juga bisa menjadi sasaran alergi. Kalau sudah begitu, emosi dan perilaku penderitanya pun bisa ikut terganggu.
Kasus alergi belakangan ini dilaporkan semakin meningkat setiap tahunnya. Prof. DR Dr. Heru Sundaru, SpPD-KAI, Kepala Divisi Alergi FKUI/RSCM Jakarta, mengatakan bahwa pada tahun 2005 jumlah penduduk dunia yang mengalami alergi sebanyak 22%. Data itu dikemukakan oleh badan kesehatan dunia World Allergy Organization (WAO). Dari jumlah tersebut, alergi di negara maju mencapai 40%. Sedangkan beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan angka yang belum pasti namun selalu meningkat setiap tahunnya.
Menurut Dr Widodo Judarwanto, SpA, dari Children Allergy Center RS Bunda Jakarta, setiap benda yang masuk ke dalam tubuh, baik itu berupa makanan, minuman, debu, obat, hingga bahan kimia akan dianggap sebagai benda asing oleh tubuh. Sistem kekebalan pun bereaksi, bertindak sebagai petugas keamanan yang akan mengidentifikasi setiap benda asing yang masuk.
Jika yang masuk adalah benda yang dianggap aman, maka tidak akan terjadi sesuatu. Namun jika yang masuk dianggap berbahaya bagi tubuh, maka sistem kekebalan tubuh akan bereaksi dengan menolaknya. Reaksi tubuh ini jika berlebihan disebut alergi. Sedangkan seseorang disebut menderita alergi ketika sistem kekebalan tubuhnya bereaksi berlebihan karena mengkonsumsi makanan tertentu.
Namun ada juga reaksi yang tidak melibatkan kekebalan tubuh yang disebut intoleransi makanan (food intolerance). Reaksi ini disebabkan oleh zat yang terkandung di dalam makanan langsung mempengaruhi fungsi otak. Misalnya saja, bahan tambahan seperti pengawet, penyedap rasa dan pewarna. Bisa juga disebabkan oleh kontaminasi racun seperti yang dikeluarkan oleh bakteri Salmonella, atau histamin pada kasus alergi ikan. Zat farmakologi yang terkandung dalam makanan itu sendiri, seperti tiramin pada keju, dan kafein pada kopi juga bisa langsung mempengaruhi fungsi otak. “Mengenai alergi dan intoleransi ini sering terjadi salah kaprah. Seharusnya semua ini disebut reaksi simpang kanan, namun secara umum orang menyebut keduanya alergi. Padahal sebelum menjalani tes alergi yang muncul baru bisa didiagnosa sensitif atau hipersensitif terhadap makanan tertentu,” begitu penjelasan Dr Widodo.
Selain itu ada perkembangan baru yang agak mencengangkan. Beberapa ahli baik di dalam maupun di luar negeri berpendapat, bahwa kini alergi ternyata tidak hanya berupa gatal-gatal, asma, pilek, atau diare yang biasa kita kenal selama ini. Belakangan, alergi makanan diduga bisa menimbulkan gangguan perilaku pada penderitanya. Mari kita tengok tiga kasus alergi berikut ini.
Bu Rahma: “Satu jam setelah makam kroket keju, Mutia mulai rewel”
Mutia adalah anak perempuan berusia 5 tahun. Tanpa sebab yang jelas, ia mudah sekali mengamuk. Teman-temannya di sekolah sering menjulukinya anak nakal. Menurut gurunya, ini disebabkan karena Mutia sulit berkonsentrasi dan cepat bosan, karena ia sering mengganggu teman-temannya.
Bu Rahma, ibu Mutia, pun membawanya ke psikolog. Namun psikolog justru menganjurkan Mutia dibawa ke dokter ahli alergi. Karena dicurigai alergi, dokter menyarankan agar Mutia dites dengan menghindari makanan seperti keju, susu sapi, telur, ikan laut, dan tepung-tepungan selama beberapa waktu.
“Tidak ada perubahan perilaku yang aneh saat Mutia makan telur, ikan laut atau susu. Namun, perubahan perilaku sangat signifikan ditunjukkan sekitar satu jam setelah Mutia menyantap kroket keju (cemilan sehari-hari kegemarannya!), Mutia mulai rewel, tidak bisa diam, dan mengamuk saat keinginannya tidak dipenuhi. Perilaku itu kembali terulang setiap saya memberinya makanan yang mengandung keju,” begitu tutur Bu Rahma.
Menurut Andang Gunawan, ND, ahli terapi nutrisi, seseorang memang bisa alergi terhadap keju. Zat di dalam keju yang dapat memicua alergi adalah tiramin, yang diperoleh dari hasil fermentasi. Jika hasil tes menyatakan Mutia alergi keju, sebaiknya memang ia menghindari konsumsi keju.
Pramandita” “Sejak membawa bekal, sakit kepala saya tidak pernah kambuh”
Mulanya, Pramandita mengira bahwa sakit kepala yang sering dideritanya setiap habis makan siang adalah akibat terlalu lelah bekerja di depan komputer. Namun sejak membaca artikel bahwa ada bahan makanan tertentu yang bsia menyebabkan penyakit kepala, Pramandita mulai curiga bahwa sakit yang dideritanya itu disebabkan monosodiumglutamat (MSG) yang terdapat pada makanan di kantin langganannya.
“Kecurigaan mulai terbukti ketika saya membawa bekal dari rumah selama seminggu. Bekal makan siang tersebut saya masak tanpa menggunakan MSG, atau bahan tambahan lain. Saat itulah sakit kepala sebelah tak pernah kambuh,” tutur Pramundita (27 tahun).
Menurut Dr Widodo, dugaan pertama Pramandita sensitif atau intoleran terhadap MSG. Zat yang terkandung dalam MSG mempengaruhi tubuh Pramandita sehingga ia sakit kepala. Pada orang yang tidak sensitif, konsumsi MSG dalam jumlah yang tidak berlebihan seringkali tidak menimbulkan masalah.
Sally: Kecanduan aspartam tanpa disadari membuatnya depresi
(Diambil dari buku Feeding The Brain, How Foods Affect Children Karya C. Keith Conners, PhD)
Karena terobsesi pada tubuh langsing, Sally memilih soda diet yang rendah kalori. Dalam waktu singkat, soda diet menjadi minumannya sehari-hari. “Di rumah, saya menghabiskan 10 sampai 15 kaleng soda diet dalam sehari. Saya juga menyimpan satu botol minuman soda diet ukuran besar di dalam loker sekolah sebagai bekal,” ujar Sally.
Seiring dengan kedekatannya pada minuman tersebut, Sally merasa kehilangan rasa percaya diri. Ia juga tidak lagi bersemangat ke sekolah atau sekedar bertemu teman-teman. Pelan-pelan, Sally berubah menjadi pribadi yang sangat sensitif, mudah tersinggung, dan selalu gelisah tanpa sebab.
Namun pada akhirnya sebuah berita tentang efek samping aspartam yang bisa menyebabkan depresi membuat Sally bertanya-tanya. „Bukankah soda diet yang saya konsumsi mengandung aspartam sebagai pemanisnya? Jangan-jangan saya juga depresi karena aspartam,” begitu dugaannya.
Menurut C. Keith Conners, PhD, peneliti masalah psikologi klinis dari Duke University Medical School, Amerika, aspartam terdiri dari dua asam amino, yaitu asam aspartat dan fenilalanin. Aspartam dinilai berbahaya jika soda itu dikonsumsi berlebihan, karena fenilalanin yang terkandung di dalamnya juga akan masuk ke tubuh secara berlebihan. Nilai konsumsi aspartam yang diizinkan oleh Food and Drug Association (FDA) adalah 4 mg per kg berat badan setiap harinya.
Padahal Sally mengkonsumsi minuman tersebut sampai 15 kaleng sehari. Seandainya dalam satu kaleng soda mengandung 5 mg, dalam sehari jumlah aspartam yang dikonsumsi Sally sduah 75 mg. Artinya jumlah aspartam yang dikonsumsi Sally sudah berlebihan. Karena Sally juga mengkonsumsinya setiap hari, maka kelebihan kadar fenilalanin di dalam aspartam akan terakumulasi di dalam otak. Menurut Andang, kecanduan soda diet juga membuat asupan nutrisi yang masuk ke tubuhnya tidak bervariasi. Keadaan ini membuat otaknya tidak memperoleh makanan yang cukup untuk mengelola informasi. Dua sebab itulah yang turut berperan menimbulkan gangguan pada fungsi otak Sally sehingga berperan menyebabkannya depresi.
Alergi tergantung target sasaran
Memang belum banyak yang tahu bahwa makanan bisa mempengaruhi fungsi otak, bahkan menimbulkan gangguan perilaku. Kasus alergi makanan yang mengganggu fungsi otak – disebut Brain Allergy – pun masih menjadi kontroversi.