
Tiga tahun yang lalu ketika saya mengikuti sebuah pelatihan di Singapore bersama Elena Tonetti V, seorang bidan, penggiat Gentle Birth dan pengasuh http://www.birthintobeing.com/ saya semakin mulai belajar dan belajar lagi tentang Birth Trauma. Ya…setelah sekian lama belajar dan menolong persalinan, baru saat itulah mata saya benar-benar “terbuka” dan ternyata banyak sekali hal dan tindakan yang harus saya rubah saat menolong persalinan dan menyambut seorang bayi suci tuk lahir ke dunia ini.
Seringkali orang bahkan para tenaga kesehatan berfikir bahwa bayi baru lahir itu harus menangis dengan sangat dan sangat keras. Atau jika bayi tersebut menangis dengan keras, berarti bayi tersebut sehat. Padahal bukan begitu kenyataannya. Dan setelah mengikuti pelatihan tersebut saya bertekat untuk semakin semangat belajar an menerapkan sebuah pertolongan persalinan yang alami, ramah jiwa dan minim trauma (Gentle Birth)
Pengalaman Lahir
Bayangkan Anda adalah janin. Bayangkan Anda sedang mengambang dengan nyaman di rahim yang lembut dan hangat, ruang gelap, cairan dari rahim ibumu, melayang masuk dan keluar dari tidur, dikelilingi oleh suara teredam, bising usus, suara nafas dan detak jantung.
Kemudian bayangkan Anda merasa shock dan tiba-tiba terbangun, mendorong dan meremas ke dunia luar yang keras, dingin, dan berisik, di tengah jerit kesakitan ibumu, detak jantung yang berderap seperti pacuan kuda, dan penuh dengan adrenalin.
Apalagi jika persalinan berlangsung lama dan luar biasa panjang, menyakitkan, dipaksa atau situasi kehidupan yang mengancam, seperti dicekik oleh tali pusat, dan Anda memiliki peristiwa traumatis utama.
Dan coba bayangkan, di atas semua itu, penderitaan ini akan semakin dirasakan pada bayi baru lahir yang serta merta langsung dipisahkan dengan ibunya karena prosedur dan tindakan darurat. tempat dunia yang sangat kejam, tanpa cinta, tidak terduga dan menakutkan akan tampak pada bayi baru lahir tertekan.
Semua itu adalah pengalaman dan sensasi yang akan terekam di bawah sadar sang bayi. pada bayi baru lahir, pikiran bawah sadar murni, dikombinasikan dengan dorongan emosi kehidupan atau kematian, sehingga tidak memiliki kemampuan kognitif untuk dapat memilah pengalaman dan memahami dunia dengan cara yang logis dan sadar. Pikiran adalah seperti lembaran kosong yang dicetak oleh pengalaman pertama. Dan jejak ini menjadi “blue print” yang kehidupan anak dan pengalaman masa depan yang membentuknya.
Efek Psikologis Jangka Panjang
Anak-anak yang memiliki trauma kelahiran lebih cenderung untuk cemas atau agresif. Tentu saja genetika dan faktor lainnya juga berpengaruh, tapi, jika yang lain adalah sama, anak yang mengalami trauma saat lahir akan lebih rentan terhadap masalah psikologis.
Pemisahan dari ibu pada saat kelahiran, serta respon ibu yang mengalami stres pasca-trauma, dapat mempengaruhi ikatan awal antara ibu dan anak, yang merupakan faktor utama dalam perkembangan psikologis anak. Lahir itu sendiri bisa menjadi pengalaman yang sangat menyakitkan, membingungkan, dan menakutkan bagi bayi. Beberapa jenin proses persalinan yang dapat menimbyulkan jejak trauma pada bayi antara lain kelahiran traumatik pada proses persalinan dengan operasi sesar, forsep, vaccum, mengalami persalinan lama, dan kekurangan oksigen. Setelah lahir, ini dapat menakutkan dan membingungkan bagi bayi yang baru lahir dimana dia mengalami perasaan dingin yang tiba-tiba, mata yang sangat silau akibat terangnya lampu, penanganan yang kasar, suara keras, atau pemisahan dari ibu (Janov, 1983). Intervensi medis seperti pemantauan janin elektronik, heelsticks, tetes mata, dan khitanan juga menyedihkan untuk bayi. Sayangnya, trauma lahir tampaknya cukup umum. Dr William Emerson menemukan bahwa lima puluh lima persen dari sampel dua ratus anak-anak menunjukkan tanda-tanda sedang sampai trauma lahir berat (Emerson, 1987).
Trauma kelahiran memiliki potensi untuk menyebabkan masalah seumur hidup. Sekarang diketahui bahwa ada korelasi antara komplikasi perinatal dan kerentanan kemudian untuk masalah emosional dan perilaku, termasuk skizofrenia, kejahatan kekerasan, dan perilaku bunuh diri (Batchelor et al, 1991;. Mednick, 1971; Roedding, 1991).
Telah ditemukan bahwa bayi yang ibunya telah mengalami kelahiran yang sulit cenderung menangis lebih lama dari bayi yang ibunya melahirkan lebih menyenangkan. Dalam satu survei, ibu-ibu yang bayinya menangis yang paling secara bermakna lebih mungkin memiliki kandungan atau intervensi telah membuatnya merasa tak berdaya saat kelahiran (Kitzinger, 1989). Studi lain menunjukkan bahwa bayi yang memiliki masalah pada saat lahir lebih mungkin untuk bangun di malam hari sering menangis selama empat belas bulan pertama (Bernal, 1973).