Bidan Kita

Home Blog

Bentuk Perut Anda dan Posisi Janin

Setiap kali ANC seringkali para klien bertanya tanya tentang bagaimana posisi janinnya saat bertemu dengan saya (saya belum memeriksanya), banyak sekali yang sambil duduk lalu mengelus perutnya yang membesar sambil berkata demikian

“Bu, perut saya kok kadang meleyok ke kanan kadang ke kiri, kira kira posisi bayi saya bagaimana ya?”

Atau

“perut saya kok besar ya bu, bagaimana ya posisi bayi saya?”

Nah sekarang Sekarang mari kita bahas lebih spesifik tentang posisi janin, bagaimana dapat mempengaruhi persalinan dan kelahiran, dan mengapa sangat relevan untuk wanita yang gemuk pada khususnya.

Anterior vs Posterior

Perut yang bentuknya bulat besar seperti bola basket biasanya berarti bahwa bayi anterior. Bagian belakang kepala bayi (“tengkuk”) ke arah depan ibu (yang mengapa posisi ini disebut Tengkuk Anterior atau OA), dan mata bayi kearah ibu bagian belakang.

Lihatlah gambar di bawah ini dan perhatikan bahwa perut ibu tampak besar dan bulat. Hal ini karena mengikuti lengkungan punggung bayi

anteriorphoto

Secara umum, oksiput anterior adalah posisi yang ideal untuk melahirkan. Selama kepala bayi berbaris dengan baik, tidak ada lengan / tangan di jalan, dan melipat dagu, kemungkinan bahwa kelahiran bayi anterior akan maju dengan lancar, terutama jika persalinan dan kontraksi mulai secara spontan.

Nah sedangkan jika bentuk perut ibu tidak rata, dan bergelombang di depan (terutama yang dengan melengkung- kedalam tepat di sekitar atau dekat pusar) sering berarti bahwa bayi posterior. Lihatlah gambar di bawah ini dan perhatikan bagaimana perut tidak begitu bulat dan memiliki “mengengkung kedalam” di bawah pusar.

posteriorphotoMalam posisi ini, bagian belakang kepala bayi (tengkuk) ada di bagian tubuh belakang ibu atau punggug ibu (jadi si bayi posisinya terlentangsehingga posisi ini disebut Occiput posterior atau OP.

Posisi ini biasanya  jauh lebih sulit untuk melahirkan karena diameter kepala bayi di OP lebih besar dan tidak lolos dengan mudah, dan karena tekanan pada leher rahim cenderung merata dan proses persalinan dapat berlangsung lebih lambat.

UPAYAKAN PERINEUM UTUH (Jalur Langit & Jalur Bumi)

Setiap perempuan yang bersiap menyambut kelahiran anaknya, mungkin pernah mendengar istilah “perineum robek” atau “dijahit setelah lahiran.” Tapi jarang yang benar-benar diajak duduk, hening sejenak, dan diberi ruang untuk memahami: apa itu perineum, bagaimana menjaganya, dan mengapa ia begitu sakral.

Di ruang bersalin, kita sering menyaksikan tubuh yang membuka, bayi yang lahir, dan luka yang terjadi. Tapi di balik semua itu, ada proses sunyi yang lebih dalam: peralihan seorang perempuan dari yang mengandung menjadi yang melahirkan. Dan di titik perineum-lah semua itu berpuncak.

Perineum bukan sekadar jaringan otot.
Ia adalah pintu gerbang—jalur langit dan bumi bertemu.

Sayangnya, perineum selama ini lebih sering dibicarakan sebagai masalah teknis—apakah robek atau tidak, dijahit atau tidak, sembuhnya lama atau cepat. Padahal, perineum adalah ruang tubuh yang penuh makna. Ia bisa dijaga. Ia bisa disiapkan. Ia bisa dilindungi—bukan hanya dengan tangan, tapi juga dengan kesadaran dan cinta.

Dalam pendekatan holistic-gentle birth, menjaga perineum tidak cukup hanya dengan teknik fisik seperti kompres hangat, minyak pijat, atau posisi bersalin. Ia juga perlu dijaga melalui penyadaran diri, kepercayaan pada tubuh, afirmasi, dan doa. Karena luka bukan hanya berasal dari tarikan dan tekanan, tapi juga dari ketakutan dan ketidaktahuan.

Maka dalam bagian ini, mari kita selami lebih dalam:
Bagaimana cara menjaga perineum secara menyeluruh—dari jalur langit berupa iman (doa puasa) dan afirmasi, hingga jalur bumi berupa edukasi, gerakan, dan pendampingan sadar.

Karena tubuh ini bukan benda mati. Ia hidup, ia mendengar, dan ia mengingat. Dan setiap ibu berhak melahirkan dengan tubuh yang dihormati, bukan ditakuti.
Setiap perineum berhak dibuka dengan lembut, bukan dilukai terburu-buru.

“Tubuh ini bukan sekadar wadah. Ia adalah saksi kelahiran manusia baru.”
“Dan perineum… adalah gerbang sakral tempat kehidupan lahir ke dunia.”

Dalam pendekatan holistik, perineum bukan hanya jaringan otot dan kulit. Tapi juga ruang spiritual, emosional, dan simbolik, tempat seorang perempuan melewati ambang antara mengandung dan melahirkan. Maka dari itu, menjaga perineum bukan hanya dengan kompres atau senam—tapi juga dengan iman, afirmasi, edukasi, dan penyadaran diri.

Nah kita bahas satu satu ya, terkait apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu supaya perineum tetap utuh dan kuat saat melahirkan.

  • Jalur Langit!

Kenapa saya bilang jalur langit? Ya karena kadang kala kita sudah mengupayakan segala sesuatunya mulai dari pengetahuan, yoga, nutrisi, perineum massage, dan macem macem tapi pas hari H ternyata tiba tiba karena satu dan lain hal entah karena providernya tidak pas atau karena proses persalinan sendiri ada masalah, akhirnya tetep saja kita musti mengalami robekan jalan lahir baik tidak sengaja maupun sengaja.

demikian juga sebaliknya, kadang kita sudah siapkan segalanya dan keberuntungan dan kebetulan kebetulan terjadi akhirnya kita berhasil ngalamin gentle birth dengan perineum utuh dan nyaman.

So jalur langit artinya adalah jalur dimana kita tetap berserah melalui  doa puasa dan affirmasi meminta perkenanan dan penyertaan Tuhan supaya di berkati selalu.

1. Doa dan Afirmasi untuk Perineum Utuh

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh intervensi medis, tak banyak ruang bagi ibu untuk hening sejenak dan mendengarkan tubuhnya sendiri. Perineum bukan hanya jaringan otot.
Ia adalah pintu gerbang antara dunia dalam dan dunia luar.
Menjaganya bukan hanya dengan teknik, tapi juga dengan penyerahan dan penyadaran diri.

Apa Itu Afirmasi?

Afirmasi adalah ungkapan positif yang diucapkan berulang untuk membangun kesadaran, keyakinan, dan kesiapan mental-emosional. Ia bukan sekadar “kata-kata penyemangat,” melainkan alat yang membantu ibu membentuk hubungan yang sehat dengan tubuh dan proses kelahiran.

Menurut studi Olza et al., 2014, afirmasi yang dibacakan dengan relaksasi mendalam mampu:

  • Meningkatkan oksitosin dan endorfin (hormon pelancar kontraksi & penenang nyeri),
  • Menurunkan kortisol (hormon stres),
  • Meningkatkan koneksi antara pikiran, tubuh, dan rahim.

Doa sebagai Jembatan Spiritual

Doa bukan sekadar permintaan kepada Tuhan, tetapi jembatan penghubung antara iman dan tubuh.
Dalam konteks gentle birth, doa menjadi momen hening di mana ibu kembali menyadari:

“Tubuhku bukan milikku semata. Ia diciptakan oleh Tuhan dengan sempurna. Ia tahu cara melahirkan.”

Doa menumbuhkan perasaan:

  • bahwa ibu tidak sendiri,
  • bahwa ada kekuatan ilahi yang menyertai,
  • bahwa kelahiran bukan sekadar proses biologis, tapi peristiwa spiritual.

Dalam Leclaire Method, tubuh ibu—termasuk rahim dan perineum—dipandang sebagai bagian dari sacred feminine design, ciptaan Allah yang cerdas dan terhubung dengan dimensi spiritual sejak bayi dalam kandungan.

Afirmasi untuk Perineum: Contoh dan Makna

Berikut contoh afirmasi yang dapat digunakan untuk menjaga perineum secara batiniah dan emosional:

Afirmasi Makna dan Dampak
“Aku membuka tubuhku dengan cinta dan percaya.” Menyampaikan kesiapan tubuh secara sadar
“Perineumku lentur, kuat, dan siap menjadi gerbang kehidupan.” Menumbuhkan kepercayaan pada kelenturan alami
“Tubuhku tahu caranya melahirkan. Tuhan merancangnya dengan bijaksana.” Menyambungkan iman dengan fisiologi
“Aku hadir penuh untuk kelahiran ini. Aku tidak takut, aku terhubung.” Mengalihkan fokus dari rasa takut ke koneksi

Penelitian menunjukkan bahwa dukungan emosional dan afirmasi positif berperan penting dalam menurunkan stres dan meningkatkan elastisitas jaringan.

Studi oleh Olza et al. (2014) menjelaskan bahwa afirmasi yang berulang dan relaksasi mendalam dapat meningkatkan produksi hormon oksitosin dan endorfin, yang membantu jaringan perineum lebih lentur dan responsif selama persalinan.

Cara Praktis Melatih Doa dan Afirmasi

  1. Rutinitas Harian (3–5 menit)
  • Lakukan saat sebelum tidur atau setelah bangun pagi.
  • Duduk tenang, pejamkan mata, letakkan tangan di bawah perut dan satu tangan lagi di dada.
  • Ucapkan 1–2 afirmasi sambil menarik napas perlahan dan menghembuskan dengan lembut.
  1. Visualisasi Perineum
  • Bayangkan perineum sebagai kelopak bunga yang terbuka saat napas masuk.
  • Bayangkan tubuh ibu sebagai sungai yang mengalirkan kehidupan dengan damai.
  1. Dibacakan oleh Suami/Doula
  • Afirmasi akan lebih kuat bila didukung oleh pasangan atau pendamping, menciptakan resonansi kepercayaan bersama.
    Witt & Lothian, 2018 menyebutkan bahwa dukungan pasangan dalam afirmasi menurunkan kecemasan persalinan hingga 40%.
  1. Dipasangkan dengan Gerakan Yoga Ringan
  • Gerakan seperti Butterfly Pose, Child’s Pose, atau Squat Pose dapat disinkronkan dengan afirmasi, memperkuat keterhubungan tubuh dan kata.

Efek Jangka Panjang dari Praktik Afirmasi dan Doa

✔ Membantu ibu menghadapi persalinan dengan tenang
✔ Mengurangi persepsi nyeri dan trauma pascamelahirkan
✔ Meningkatkan rasa memiliki terhadap tubuh dan proses lahir
✔ Mempercepat pemulihan emosional, apapun hasil kelahirannya
✔ Memberi ruang spiritual untuk menyambut bayi dengan cinta, bukan cemas

Kesaksian dari Lapangan

“Waktu kontraksi makin kuat, aku mulai ulang-ulang afirmasi, dan tiba-tiba tubuhku rasanya membuka… kayak aku masuk ke ruang tenang.” – Ibu A, peserta hypnobirthing

“Suamiku bacakan afirmasi saat aku mulai takut. Aku nangis, tapi bukan karena takut—karena aku merasa didukung.” – Ibu H, kelas persiapan kelahiran Bidan Kita

  • Jalur Bumi!

Nah, supaya adil setelah kita bahas terkait dengan jalur langit berupa doa, puasa dan affirmasi visualisasi, jalur bumi atau aliyas jalur fisik. nah apa saja jalur fisik itu?:

2. Perineum sebagai Gerbang Sakral Kelahiran

Ketika seorang bayi lahir, tubuh ibu menjadi jalan pulang menuju dunia ini. Dan titik terakhir yang dilewati bayi sebelum napas pertamanya adalah perineum—area kecil yang terletak antara vagina dan anus. Namun sesungguhnya, perineum bukan hanya “tempat keluarnya bayi” secara teknis. Ia adalah gerbang kehidupan, tempat tubuh perempuan membuka ruang bagi jiwa baru untuk hadir di dunia.

“Perineum bukan hanya kulit dan otot. Ia adalah portal antara dunia rahim dan dunia nyata.”

Pandangan Tradisional: Perineum sebagai Portal Kehidupan

Ternyata, dalam banyak budaya kuno dan komunitas adat di dunia, perineum tidak pernah dianggap remeh. Ia dipandang sebagai titik transisi suci.

Beberapa contohnya:

  • Budaya Bali menyebut proses kelahiran sebagai “nunas nyawa” (meminta nyawa), di mana tubuh ibu, termasuk perineum, disucikan sebelum dan sesudah melahirkan.
  • Suku Maori (Selandia Baru) menganggap perineum dan jalan lahir sebagai wāhi tapu (ruang sakral) yang tidak boleh dilukai sembarangan.
  • Suku Navajo (Amerika Utara) melihat proses kelahiran sebagai journey of the soul yang harus dikelilingi oleh doa, nyanyian, dan rasa hormat terhadap tubuh ibu.

Di semua narasi ini, tubuh perempuan tidak pernah hanya “medis”. Ia adalah bagian dari spiritualitas alam semesta.

Pandangan Modern: Leclaire Method dan Spiritualitas Tubuh

Leclaire Method—sebuah pendekatan kelahiran sadar dari Prancis—menekankan bahwa tubuh ibu menyimpan memori emosional dan spiritual. Perineum dianggap sebagai titik “batas” antara dunia internal dan eksternal. Maka, saat perineum dibuka secara penuh dengan kesadaran, refleks alami tubuh juga lebih mudah teraktivasi.

Di antaranya:

  • Fetal Ejection Reflex: refleks alami tubuh yang mendorong bayi keluar dengan lembut tanpa intervensi kasar atau paksaan.
  • Hormon pelindung seperti beta-endorfin dan oksitosin mengalir deras bila ibu merasa aman, dipercaya, dan tubuhnya dihormati—bukan dikendalikan.

Sarah Buckley (2009) dalam bukunya Gentle Birth, Gentle Mothering menjelaskan bahwa saat tubuh ibu merasa aman dan perineum tidak dipaksa, tubuh akan melepaskan gelombang hormon yang serupa dengan orgasme spiritual—membantu kelahiran lebih lembut dan minim trauma.

Pendekatan Gentle Birth dan Hypnobirthing

Dalam praktik gentle birth dan hypnobirthing, perineum bukan sesuatu yang harus dikontrol atau dihindari robeknya dengan “menahan atau memegang”.
Justru sebaliknya, ia perlu dibiarkan bekerja, didengar, dan diberi ruang. Inilah esensi dari pendekatan hands-off atau “tidak terburu-buru.”

Menurut Reed, R. (2015) dalam artikelnya “Hands Off the Perineum”, intervensi berlebihan seperti menarik kepala bayi, menekan perineum, atau mengatur napas secara paksa justru mengganggu ritme alami tubuh dan meningkatkan risiko trauma robekan.

“Ketika kita terburu-buru membuka gerbang, ia bisa retak. Tapi ketika kita sabar, gerbang itu bisa membuka dengan sendirinya.”

Praktik Menjaga Kesakralan Perineum

Berikut adalah langkah-langkah aplikatif yang bisa dilakukan untuk menghormati dan menjaga perineum sebagai gerbang sakral:

  1. Berdoa dan Afirmasi Harian (ini jalur langit tadi)
  • Mengucapkan kalimat seperti:
    “Perineumku adalah pintu kehidupan. Aku menjaganya dengan cinta dan percaya.”
  1. Gerakan Prenatal Gentle Yoga (PGY)
  • Gerakan seperti Deep Squat, Butterfly Stretch, dan Supported Child’s Pose dapat melatih elastisitas dan kesadaran tubuh di area perineum.
  1. Posisi Melahirkan yang Memberi Ruang
  • Seperti posisi miring (lateral), jongkok dengan sandaran, atau hands-and-knees yang membuka panggul bawah secara alami tanpa tekanan berlebihan pada perineum.
  1. Kompres Hangat dan Hands-off
  • Memberi kompres hangat di area perineum saat kepala bayi mulai terlihat terbukti mengurangi risiko robekan(Dahlen et al., 2016)
  • Biarkan kepala bayi keluar perlahan, jangan ditarik.
  • Jangan paksa ibu untuk mengejan saat perineum sedang “crowning” (fase ring of fire).

Penutup: Tubuh yang Dihormati, Melahirkan dengan Lembut

Ketika kita mengubah cara pandang terhadap perineum—dari area “yang pasti robek” menjadi portal suci kehidupan, maka pendekatan kita terhadap persalinan juga ikut berubah.

Kita mulai memberi waktu, bukan memaksa.
Kita mulai mendengarkan, bukan mengatur.
Kita mulai memuliakan tubuh, bukan mencurigainya.

Karena setiap bayi layak dilahirkan melalui tubuh yang dipercaya,
dan setiap ibu layak membuka dirinya dalam suasana damai.

‍3. Edukasi untuk Ibu & Birth Partner: Hak Tubuh, Pilihan, dan Informed Consent dalam Menjaga Perineum

Banyak perempuan datang dengan keluhan:

“Saya nggak tahu apa-apa, tahu-tahu sudah digunting.”
“Dokternya bilang ‘biar cepat ya, Bu’, dan saya nggak sempat jawab.”
“Saya pikir itu normal, tapi ternyata saya trauma sampai sekarang.”

Ironisnya, banyak robekan perineum bukan terjadi karena tubuh ibu gagal, melainkan karena ia tidak diberi kesempatan untuk tahu dan memilih.
Padahal tubuh ibu memiliki hak penuh atas proses yang terjadi padanya—termasuk saat melahirkan.

Apa Itu Informed Consent?

Informed Consent adalah hak setiap pasien (termasuk ibu bersalin) untuk:

  • Mendapat penjelasan lengkap dan jujur mengenai prosedur,
  • Memahami risiko, manfaat, dan alternatifnya,
  • Memiliki waktu untuk bertanya dan mempertimbangkan,
  • Menyatakan persetujuan secara sadar dan tanpa tekanan.

Informed consent bukan sekadar “izin untuk tindakan medis”.
Ia adalah bentuk penghormatan terhadap tubuh, kesadaran, dan martabat manusia.

Panduan Holistik Pemulihan Setelah Robekan Perineum

​​“Bu, saya bantu dibuka jalannya ya…”
Belum sempat berpikir apa maksudnya, tiba-tiba… kressss!
Suara gunting memecah ruang bersalin. Sakit, nyut-nyutan, dan…mulut rasanya tercekat…tatapan matra kosong, sambil membatin dalam hati…“duh! di gunting ini!”

Banyak ibu melahirkan yang bisa menceritakan pengalaman semacam ini—dan lebih banyak lagi yang tidak sempat bercerita karena terlalu bingung, terlalu cepat, terlalu syok.

Di Indonesia, robekan perineum masih menjadi bagian “biasa” dari proses melahirkan. Bahkan terkadang dianggap sebagai sesuatu yang wajar, tidak perlu dibahas panjang, atau malah dianggap sebagai “harga yang harus dibayar” untuk menjadi seorang ibu.

Padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.

Saat Persalinan Terjadi Begitu Cepat…

Bagi banyak ibu, persalinan adalah proses yang datang dengan gelombang besar: rasa sakit, kontraksi, ketakutan, ekspektasi, harapan, dan terkadang intervensi medis yang tidak sepenuhnya dimengerti.
Bukan hal yang aneh kalau saat mengejan, tiba-tiba ada suara dari tenaga kesehatan:

“Bu, saya lebarin jalannya ya, biar cepat.”
“Nanti kalau enggak digunting, bisa robek sampai anus lho.”
“Ini bayi besar banget, bahaya kalau enggak dipotong.”
“Sudah pembukaan lengkap, kita bantu cepatkan aja ya…”

Ibu yang sedang setengah sadar antara nyeri dan dorongan mengejan itu, tentu tidak bisa langsung memahami. Dan sebelum ada ruang untuk bertanya, mencari tahu, atau menolak… gunting sudah bekerja.

Episiotomi Tanpa Persetujuan Masih Sering Terjadi

Dalam praktik kebidanan modern, episiotomi (pengguntingan perineum) seharusnya hanya dilakukan dengan indikasi medis jelas dan atas persetujuan ibu. Namun, sayangnya, di banyak tempat—baik rumah sakit maupun klinik kecil—episiotomi masih dilakukan secara rutin, tanpa informed consent.

Dan lebih menyedihkannya lagi: tidak sedikit ibu yang dijahit dalam kondisi tanpa bius.

“Katanya obat biusnya udah habis.”
“Katanya biusnya nggak usah, cuma sedikit robek kok.”
“Katanya kalau dibius malah bikin lama sembuhnya.”
“Atau cuma dijawab: sabar ya, ibu kuat kok.”

Padahal… rasa nyeri saat dijahit tanpa bius bisa jauh lebih menyakitkan dibanding rasa mengejan bayi keluar. Trauma itu menempel—bukan hanya di tubuh, tapi juga di memori emosional ibu.
Banyak yang kemudian menghindari pemeriksaan pasca bersalin, takut disentuh area intimnya, bahkan enggan berhubungan dengan pasangannya selama berbulan-bulan.

Robekannya Mungkin Sudah Jahit. Tapi Lukanya Belum Pulih.

Dan ironisnya, setelah semua itu, proses pemulihan luka perineum jarang sekali dibahas. Ibu langsung disuruh pulang, tanpa panduan jelas:

  • Bagaimana merawat luka?
  • Apa yang normal dan tidak?
  • Kapan harus khawatir?
  • Bolehkah duduk, jongkok, atau bahkan cebok biasa?

Tidak sedikit ibu yang baru tahu beberapa minggu kemudian bahwa robekannya menimbulkan keloid, nyeri berkepanjangan, atau sensasi “tertarik” yang tidak hilang.
Dan ketika kembali kontrol atau menyampaikan keluhan, kadang hanya dijawab:

“Oh itu biasa, Bu. Namanya juga habis melahirkan.”
atau malah dianggap lebay.

Robekan Perineum, Jahitan, dan Proses yang Sering Terlupakan

Melahirkan adalah peristiwa besar—bukan hanya karena bayi lahir ke dunia, tapi karena tubuh ibu juga mengalami perubahan luar biasa. Salah satu yang paling sering terjadi, namun jarang dibicarakan secara terbuka dan jujur, adalah robekan perineum.

Menurut data penelitian medis terbaru, hingga 80-90% perempuan mengalami robekan perineum setelah melahirkan secara vaginal, baik ringan (derajat 1 dan 2) maupun berat (derajat 3 dan 4). Beberapa robek secara alami karena tekanan saat kepala bayi keluar. Tapi sebagian lainnya… terjadi karena episiotomi—pengguntingan perineum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Masalahnya, episiotomi masih sering dilakukan tanpa penjelasan atau persetujuan ibu. Yang lebih menyedihkan lagi, prosedur penjahitan kadang dilakukan tanpa bius yang memadai, dengan alasan “cepat selesai saja”, atau “cuma sakit sedikit kok Bu, tahan ya.” Praktik semacam ini—yang mungkin dianggap biasa di banyak tempat—justru menjadi sumber utama trauma fisik dan emosional jangka panjang bagi ibu.

“Nggak sempat mikir Bu, tahu-tahu udah digunting dan dijahit.”
“Pas dijahit perineumnya, aku nangis. Nggak dibius, disuruh tahan aja.”
“Robekannya kecil, tapi kenapa sakitnya nggak kelar-kelar ya?”

Cerita-cerita seperti ini bukan kasus langka. Di ruang bersalin, banyak ibu yang mengalami perineum robek—baik secara alami maupun karena episiotomi (digunting oleh tenaga kesehatan). Namun, yang sering kali tidak diketahui oleh ibu maupun keluarganya adalah bagaimana proses perbaikan luka itu dilakukan. Apakah sudah benar? Apakah ada anestesi? Apakah teknis jahitnya sesuai panduan medis terbaru?

Yang Terjadi di Lapangan: Terlalu Cepat, Terlalu Diam

Praktik episiotomi yang dilakukan tanpa informed consent masih sering terjadi. Banyak tenaga kesehatan tidak memberikan penjelasan memadai, atau menggunakan bahasa kiasan/bahasa samar:

“Bu, saya bantu dibuka jalannya ya…”
“Biar cepat, kita gunting sedikit.”
“Kalau nggak digunting, nanti robeknya bisa lebih parah lho.”

Ibu, yang sedang dalam proses mengejan dan dilanda rasa sakit serta tekanan luar biasa, tidak sempat berpikir kritis. Dan begitu terdengar suara gunting, semuanya sudah terjadi. Bahkan setelah itu, proses penjahitan dilakukan dalam kondisi nyeri—karena bius tidak cukup atau bahkan tidak diberikan sama sekali.

Ini bukan hanya menyakitkan secara fisik, tapi bisa meninggalkan trauma jangka panjang, termasuk:

  • nyeri kronis di perineum,
  • kesulitan duduk atau berjalan,
  • ketakutan berhubungan intim,
  • hingga gangguan psikologis seperti anxiety dan depresi postpartum.

Apa yang Ditemukan dalam Literatur Medis?

Dalam jurnal American Journal of Obstetrics and Gynecology (2024), Schmidt dan Fenner menjelaskan bahwa:

  • Robekan perineum berdampak jangka pendek dan panjang, termasuk nyeri menetap, kesulitan berhubungan intim (dyspareunia), gangguan fungsi dasar panggul, dan bahkan depresi postpartum.
  • Risiko komplikasi luka pasca-jahitan, seperti infeksi dan dehisensi (jahitan terbuka kembali), bisa mencapai 24%.
  • Banyak ibu mengalami keluhan sisa seperti nyeri saat duduk, benjolan, keloid, bahkan inkontinensia (tidak bisa menahan kentut atau buang air besar).
  • Kunci keberhasilan pemulihan bukan hanya pada luka itu sendiri, tapi pada:
    ✅ teknik jahitan,
    ✅ jenis benang yang digunakan,
    ✅ kesiapan anestesi yang cukup, dan
    ✅ keterampilan tenaga kesehatan dalam melakukan repair.

Yang menarik, jurnal ini juga menyarankan bahwa jika tenaga kesehatan tidak yakin atau belum berpengalaman, sebaiknya menunda perbaikan luka selama 8–12 jam sampai ada provider yang lebih kompeten. Karena kesalahan repair justru memperburuk hasil jangka panjang, termasuk rasa sakit yang bertahan hingga 9 bulan atau lebih.

CEGAH Robekan Perineum Secara Holistik

Setelah membaca artikel sebelumnya tentang apa itu perineum, jenis robekan, dan berbagai faktor risiko yang bisa meningkatkannya, banyak ibu mulai berkata,

“Ternyata bisa saja melahirkan pervaginam tanpa ada robekan… tapi banyak hal yang harus dipersiapkan sejak awal.

Dan memang benar. Tubuh perempuan itu bukan rapuh—tapi butuh dipahami dan didukung. Ketika kita tahu apa saja yang bisa menjadi penyebab robekan, maka langkah selanjutnya adalah bertanya: “Apa yang bisa aku lakukan untuk menjaganya tetap utuh?”

Nah, di sinilah pentingnya pembahasan kali ini. Karena pencegahan robekan tidak cukup hanya berharap ‘tidak digunting’. Ia perlu pendekatan menyeluruh: dari dalam (kesiapan tubuh dan jaringan), dari luar (lingkungan dan posisi bersalin), hingga ke dalam jiwa—bagaimana ibu mempersiapkan diri secara sadar, lembut, dan penuh kepercayaan.

Artikel ini akan membahas langkah-langkah alami dan ilmiah untuk membantu ibu:

  1. menjaga perineum tetap lentur,
  2. mengurangi risiko intervensi medis,
  3. serta memfasilitasi kelahiran yang lebih lembut dan minim trauma.

*Kalau Anda belum baca artikel sebelumnya, yuk cek dulu bagian awalnya di:
“Takut Perineum Robek Saat Lahiran? Ini yang Wajib Ibu Tahu dari Awal” — karena di sana kita kupas dasar-dasarnya secara mendalam.

Dan sekarang… kita akan mulai perjalanan baru:
Menjaga Perineum Sejak Hamil – dengan Cara yang Alami, Fisiologis, dan Penuh Kesadaran.

Sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan, untuk mempersiapkan diri supaya menjaga perineum tetap utuh. dan berikut ini penjelasannya silahkan di baca dengan teliti ya:

‍1. Prenatal Gentle Yoga & Biomekanika: Melatih Kelenturan Perineum Sejak Hamil

Kalau kita ingin melahirkan dengan lembut, kita perlu mulai dari tubuh yang lentur—terutama bagian panggul dan perineum atau otot dasar panggul. Dan ini bukan tentang jadi fleksibel seperti penari balet, ya. Tapi tentang melatih tubuh agar punya ruang, stabilitas, dan sirkulasi yang baik sejak kehamilan. Di sinilah prenatal yoga, khususnya yang berbasis biomekanika seperti Prenatal Gentle Yoga (PGY), memainkan peran penting.

Prenatal yoga membantu ibu mengurangi ketegangan otot panggul, membuka ruang bagi janin untuk berada di posisi optimal, serta melatih jaringan perineum agar lebih siap meregang saat proses lahiran. Beberapa pose seperti Bound Angle Pose (Baddha Konasana), Goddess Pose (Utkata Konasana), atau Hip Circling on Birth Ball, terbukti dapat meningkatkan aliran darah ke area perineum dan dasar panggul.

Penelitian oleh Field (2011) dalam Journal of Perinatal Education menunjukkan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan prenatal yoga memiliki risiko robekan lebih rendah, melaporkan lebih sedikit nyeri perineum, dan lebih siap secara emosional menghadapi proses lahir. Selain itu, studi sistematis oleh Curtis et al. (2012) mencatat bahwa praktik yoga pada trimester ketiga berkontribusi terhadap improved perineal flexibility dan pelvic floor awareness yang lebih tinggi saat melahirkan.

Di Prenatal Gentle Yoga, kita juga belajar tentang prinsip ruang dan gravitasi (SPACE): bagaimana menciptakan ruang di dalam tubuh (khususnya panggul), mengaktifkan kelenturan jaringan di area pelvic floor / pintu dasar panggul melalui napas, dan menyadari postur yang selama ini membuat perineum terlalu tegang atau tertarik sepihak.

“Tubuh yang kita ajak bekerja sama sejak awal, akan bekerja sama juga saat proses lahir.”

Maka, melatih tubuh bukan hanya soal olahraga. Tapi soal hadir, menyatu, dan mempercayai tubuh kita sendiri. Latihan ini bukan cuma untuk bayi bisa lahir dengan lancar—tapi juga untuk menjaga perineum tetap utuh dan dihormati.

Anda bisa mengikuti kelas ONLINE Prenatal gentle yoga bersama bidan kita karena gerakan yang di lakukan dan di ajarkan akan berfokus pada area panggul dan pelvic floor yang akan mempersiapkan area tersebut supaya kuat namun elastis.

2. Pijat Perineum: Sentuhan Lembut untuk Persiapan Besar

Kata siapa pijat cuma buat relaksasi? Dalam konteks persalinan, pijat perineum bisa jadi “senjata rahasia” untuk mempersiapkan jaringan tubuh agar lebih lentur dan siap menerima regangan saat bayi lahir. Teknik ini sederhana, bisa dilakukan sendiri di rumah, tapi dampaknya sangat besar—asal dilakukan dengan benar dan konsisten.

Apa Itu Pijat Perineum?

Pijat perineum adalah teknik memijat jaringan antara vagina dan anus menggunakan ibu jari dan minyak alami, untuk:

  • Melatih elastisitas jaringan,
  • Mengurangi sensitivitas rasa nyeri,
  • dan mengenalkan sensasi peregangan sebelum persalinan terjadi.

Biasanya mulai dilakukan pada usia kehamilan 34 minggu, sekitar 3–4 kali seminggu, selama 5–10 menit. untuk pelumasnya sebaiknya cari pelumas yang BERBASIS AIR dan TIDAK MENGANDUNG ZAT yang bisa MENGIRITASI. hindari menggunakan MINYAK, apalagi BABY OIL. untuk memudahkan, Anda bisa menggukana lubrikan yang biasanya di jual di market place. 

Apa Kata Penelitian?

Menurut Beckmann & Garrett (Cochrane Review, 2006), pijat perineum menurunkan risiko robekan derajat sedang hingga berat dan mengurangi kebutuhan episiotomi, terutama pada ibu yang akan melahirkan pertama kali. Studi ini juga mencatat bahwa ibu yang melakukan pijat perineum lebih kecil kemungkinannya mengalami nyeri perineum berkepanjangan setelah melahirkan.

Penelitian lain oleh Labrecque et al. (1999) dalam Canadian Medical Association Journal menemukan bahwa pijat perineum secara signifikan mengurangi trauma perineum dan meningkatkan persepsi kontrol saat melahirkan, terutama pada ibu primipara.

Takut Perineum Robek Saat Lahiran? Ini yang Wajib Ibu Tahu dari Awal!

“Aku takut robek, Bid… Katanya robekan perineum itu sakit banget dan bisa sampai dijahit OBRAS.”

Kalimat ini sudah sering sekali kami dengar di kelas-kelas persiapan persalinan. Dan memang benar—ketakutan soal robekan perineum adalah keresahan umum banyak ibu menjelang persalinan

Beberapa ibu bahkan datang ke kelas sambil menggenggam tangan suaminya erat-erat, lalu berbisik, “Bidan, aku tuh lebih takut dijahitnya daripada lahirannya.” Ada juga yang bilang, “Temanku kemarin katanya robek sampai anus, aku jadi makin parno.” Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Banyak cerita yang beredar—di grup WhatsApp, obrolan posyandu, bahkan dari tenaga kesehatan sendiri—yang kadang malah bikin cemas. Padahal, setiap ibu berhak mendapatkan informasi yang utuh dan jujur, bukan hanya cerita seram yang menyudutkan tubuhnya sendiri.

Dan lucunya, kadang ibu juga bingung sendiri karena tiap orang ngomong beda. Ada yang bilang semua pasti robek, ada yang malah disarankan langsung minta digunting biar “nggak repot” atau “biar jahitannya RAPI”. Tapi… siapa yang kasih tahu kalau ternyata tubuh perempuan itu dirancang cerdas, bisa melahirkan dengan lembut dan perlahan—kalau kita beri kesempatan? Nah, supaya ibu nggak cuma bergantung pada cerita-cerita horor yang nggak jelas dasarnya, yuk kita pelajari bareng-bareng apa itu perineum, kenapa bisa robek, dan gimana kita bisa bantu tubuh kita sendiri untuk melahirkan dengan utuh dan penuh kendali.

Karena saat kita tahu cara kerja tubuh sendiri, rasa takut bisa berubah jadi rasa percaya. Kita jadi bisa bilang, “Aku paham apa yang sedang terjadi di tubuhku, dan aku siap menjalaninya dengan tenang.” Maka, mari kita mulai dari yang paling dasar. Karena sering kali, justru hal-hal yang paling penting—seperti perineum—justru jarang dibahas dengan jelas. Padahal dari sinilah semuanya bermula.

dan sering kali, ibu-ibu hanya tahu bahwa “perineum bisa robek”, tanpa benar-benar paham apa itu perineum, kenapa bisa robek, dan apa yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk meminimalkan risikonya.

Yuk kita bahas dari dasar dulu, biar ibu bisa ambil keputusan dengan percaya diri.

Apa Itu Perineum?

Perineum adalah area jaringan lunak yang terletak di antara vagina dan anus. Wilayah ini mungkin jarang kita pikirkan dalam keseharian, tapi saat persalinan, perineum punya peran yang sangat penting—karena bayi akan melewati area ini saat lahir. Saat kepala bayi menekan keluar, perineum akan meregang maksimal untuk memberi jalan.

Secara anatomi, perineum terdiri dari kulit, jaringan ikat, serta beberapa lapis otot dasar panggul yang saling bekerja sama menjaga stabilitas organ dalam dan mendukung proses lahiran. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), perineum juga merupakan bagian dari sistem dasar panggul yang kompleks, yang terhubung dengan fungsi kandung kemih, rektum, serta vagina (ACOG Practice Bulletin No. 205, 2019).

Perineum yang lentur dan sehat mampu menyesuaikan diri saat bayi lahir, terutama bila proses persalinan berlangsung secara bertahap dan tidak dipaksakan. Tapi jika tekanan datang terlalu cepat atau jaringan tidak sempat beradaptasi, maka perineum bisa mengalami robekan—baik ringan maupun berat. Dalam literatur kebidanan, International Urogynecology Journal mencatat bahwa kecepatan kelahiran kepala bayi, posisi tubuh ibu, dan intervensi medis seperti episiotomi sangat memengaruhi risiko robekan (Stedenfeldt et al., 2012).

Sayangnya, banyak ibu belum mendapat edukasi memadai tentang hal ini. Bahkan menurut studi di BMC Pregnancy and Childbirth (2020), kurangnya pengetahuan ibu hamil tentang anatomi perineum dan risiko robekan membuat mereka lebih pasrah dan takut menghadapi persalinan. Padahal, saat seorang ibu paham struktur tubuhnya sendiri, ia bisa mengambil peran aktif untuk menjaga dan mempersiapkannya sejak kehamilan.

Apa Itu Robekan Perineum?

Robekan perineum adalah kondisi di mana jaringan antara vagina dan anus mengalami sobekan saat proses melahirkan, terutama ketika kepala bayi menekan keluar. Ini bisa terjadi secara spontan—karena peregangan yang melebihi elastisitas jaringan—atau bisa juga karena intervensi medis seperti episiotomi (pengguntingan perineum oleh tenaga medis).

PRE EKLAMSIA, Bisakah Melahirkan Normal Alami dan VBAC?

Pertanyaan ini seringkali muncul dan bahkan di group komunitas bidan kita pun muncul. Bahkan untuk ibu ibu yang pengen VBAC, Pertanyaan seperti….

“bu bidan, saya ada gejala pre eklamsia, bisakah saya tetap melahirkan normal alami?”

atau….

“Bu Bidan, saya dulu preeklamsia. Kalau hamil lagi, masih bisa nggak lahiran normal?”
“Saya pengen VBAC, tapi takut kambuh lagi preeklamsianya. Gimana ya?”

Kekhawatiran seperti ini sangat valid. 

mari kita bahas supaya lebih clear ya?

Apa Itu Preeklamsia?

Preeklamsia adalah komplikasi kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah tinggi (≥140/90 mmHg) disertai tanda kerusakan organ, terutama protein dalam urin (proteinuria). Biasanya muncul setelah usia kehamilan 20 minggu.

Jika tidak ditangani dengan tepat, preeklamsia bisa berkembang menjadi eklampsia (kejang) yang berbahaya bagi ibu dan bayi.

Penyebab dan Faktor Risiko

Penyebab pasti preeklamsia belum diketahui, tapi diduga berhubungan dengan gangguan perkembangan pembuluh darah di plasenta, yang menyebabkan tekanan darah meningkat dan peradangan sistemik.

Beberapa penelitian mengungkapkan bagaimana pre eklamsia terjadi aliyas bagaimana patofisiologinya yaitu:

a. Plasentasi Abnormal

  • Pada kehamilan sehat, sel trofoblas dari janin menyusup ke dalam pembuluh darah ibu di rahim, menciptakan sirkulasi uteroplasenta yang kuat.

  • Pada preeklampsia, proses ini terhambat, sehingga aliran darah ke plasenta menjadi terbatas (hipoperfusi), dan mengakibatkan stres oksidatif.

b. Disfungsi Endotel

  • Endotel adalah lapisan pembuluh darah. Pada preeklampsia, terjadi kerusakan dan peradangan endotel akibat pelepasan zat toksik dari plasenta (seperti sFlt-1 dan endoglin).

  • Hal ini menyebabkan hipertensi, kebocoran kapiler, dan gangguan pembekuan.

c. Ketidakseimbangan Imunologis

  • Ketidakseimbangan antara sistem imun ibu dan janin menyebabkan reaksi inflamasi yang abnormal. Ini juga memperburuk stres oksidatif dan merusak sel.

d. Disfungsi Mitokondria dan Stres Oksidatif

  • Sel-sel plasenta mengalami kerusakan mitokondria, menghasilkan ROS (radikal bebas), memperburuk kerusakan jaringan, dan memicu peradangan sistemik.

Faktor risiko utama:

  • Kehamilan pertama (nullipara)
  • Usia ibu <20 atau >35 tahun
  • Riwayat preeklamsia sebelumnya
  • Tekanan darah tinggi kronis
  • Diabetes, gangguan ginjal, atau autoimun (Lupus, APLS)
  • Kehamilan ganda (kembar, triplet)
  • Obesitas atau peningkatan berat badan berlebihan

Tanda dan Gejala Preeklamsia

Pengen sukses VBAC? BACA INI DULU!

Melahirkan bukan sekadar proses fisik mengeluarkan bayi dari rahim.
Bagi banyak ibu, terutama yang pernah menjalani operasi sesar, melahirkan adalah cerita tentang luka, harapan, dan keinginan untuk pulih secara utuh—bukan hanya dari bekas jahitan, tapi juga dari trauma dan kehilangan kendali yang pernah dirasakan.

Di antara bisikan keluarga yang bilang,
“Nggak usah ambil risiko, SC aja lagi…”
dan rasa dalam hati yang berkata,
“Tapi aku ingin mencoba… bisa nggak sih melahirkan normal?”
di situlah lahir keraguan, rasa takut, dan sekaligus semangat yang pelan-pelan tumbuh.

VBAC (Vaginal Birth After Cesarean) bukan sekadar istilah medis.
Ia adalah simbol dari kepercayaan kembali pada tubuh sendiri.
Ia adalah proses penyembuhan batin dan kebangkitan keyakinan sebagai seorang ibu.

Tulisan ini hadir bukan untuk memaksakan pilihan,
tapi untuk membuka wawasan—bahwa Anda punya pilihan.
Bahwa VBAC itu mungkin.
Bahwa VBAC bisa menjadi proses lahir yang aman, indah, dan bermakna—jika dipersiapkan dengan benar.

Tak bisa di pungkiri, angka operasi SESAR di negeri ini makin hari makin merebak. makin hari makin banyak. tapi penyebabnya macam macam, ku tulis berdasarkan rangking ya?:
1. gara gara ibu hamilnya takut, lalu kurang pengetahuan, tidak percaya diri, gampang di hasut dan akhirnya kepincut untuk SC

2. gara gara kalau SC pake BPJS GRATIS. dan SIMPLE, bisa dipilih tanggalnya (rahim udah kayak mesin pokoknya) ini karena bisa jadi tingkat ekonomi dimana si ibu tidak siap secara financial, atau memang mental gratisan. jadi pokoknya yang penting gratis!

3. gara gara terjebak dalam SISTEM, dimana biasanya terjadi karena CASCADE INTERVENTION, aliyas intervensi yang terjadi gara gara melakukan intervensi sebelumnya.

4. TERAKHIR memang karena ada indikasi medis untuk harus operasi sesar.

nah nomor 1 sampai 3 adalah yang paling sering terjadi. itulah kenapa sebaiknya Anda membaca dulu tentang apa itu operasi sesar, indikasi hingga efek sampingnya disini

Tapi… Apa Itu VBAC Sebenarnya?

VBAC adalah singkatan dari Vaginal Birth After Cesarean, yaitu proses melahirkan secara normal (pervaginam) setelah sebelumnya pernah menjalani operasi sesar (SC).

Artinya, ibu yang dulu pernah melahirkan lewat jalan operasi, tetap punya kemungkinan dan hak untuk melahirkan normal di kehamilan berikutnya—asalkan memenuhi syarat klinis dan mendapat dukungan yang tepat.

Mitos yang Masih Sering Beredar:

“Sekali SC, selamanya harus SC.”

Kalimat ini masih sangat sering diucapkan oleh tenaga kesehatan, keluarga, bahkan dipercaya oleh ibu itu sendiri.
Padahal, pernyataan ini tidak didukung bukti ilmiah, dan WHO serta ACOG (American College of Obstetricians and Gynecologists) telah lama menyatakan:

“VBAC adalah pilihan yang aman dan direkomendasikan bagi sebagian besar perempuan dengan satu SC sebelumnya dengan sayatan transversal bawah.”

Apa Bedanya VBAC dan SC Ulang?

Fakta Ilmiah tentang Keberhasilan VBAC:

  • Tingkat keberhasilan VBAC:
    Sekitar 70–80% ibu yang mencoba VBAC berhasil melahirkan normal dengan aman.
  • Risiko ruptur uterus (robekan rahim):
    Hanya sekitar 0,5–0,9% pada ibu dengan 1 bekas SC dan sayatan melintang bawah.
  • Risiko komplikasi VBAC vs SC ulangan:
    Dalam banyak kasus, SC berulang justru punya risiko lebih tinggi, terutama dalam jangka panjang (seperti adhesi, plasenta previa/akreta, dan gangguan fertilitas).
  • WHO (2024):
    “SC berulang tanpa indikasi dapat menyebabkan peningkatan morbiditas jangka panjang. VBAC harus ditawarkan sebagai alternatif yang aman jika tidak ada kontraindikasi.”
  • ACOG Practice Bulletin No. 205 (2019):
    “Trial of labor after cesarean (TOLAC) is a safe and appropriate option for most women with a prior cesarean delivery.”

Kondisi Lapangan di Indonesia:

VBAC secara ilmiah diakui aman, efektif, dan menyehatkan — tapi mengapa justru sulit sekali diwujudkan di Indonesia?

Mari kita bedah faktornya satu per satu:

1. Model Bisnis Rumah Sakit dan Pembayaran BPJS:

  • Operasi sesar = lebih mahal = lebih “menguntungkan” dari sisi sistem.
    SC memberi pemasukan besar untuk rumah sakit dan provider, terutama di RS swasta.
    Jadwalnya bisa diatur, waktunya bisa diprediksi, dan tidak perlu menunggu berjam-jam di ruang bersalin.
  • BPJS menanggung biaya SC dan persalinan pervaginam dengan tarif standar.
    Tapi SC memberikan “jaminan waktu” dan efisiensi staf, jadi tetap lebih diminati oleh RS walau dibayar lebih murah.
  • Kenyataannya: SC sering dijadwalkan “tanpa indikasi” karena lebih praktis secara logistik dan operasional.
    Bahkan ada RS yang “membatasi” jumlah ibu bersalin normal karena dianggap menyita waktu ruang bersalin terlalu lama.

2. Mentalitas Provider: ‘Gak Mau Repot, Takut, dan Tak Terlatih’

  • Banyak dokter dan tenaga kesehatan yang tidak dilatih menolong persalinan VBAC, apalagi jika ada riwayat SC.
  • Ketakutan akan risiko medicolegal (dituntut jika gagal) membuat mereka main aman: “Ya udah SC aja ya, Bu.”
  • Budaya otoriter medis masih kental: keputusan sepihak, tanpa diskusi atau edukasi berarti.
  • Bahkan ada provider yang bilang langsung, “Kalau VBAC, silakan cari dokter lain ya. Saya nggak mau ambil risiko.”

3. Mental Klien: Penyakit 2M — Males & Mager

  • Banyak ibu yang mengaku ingin VBAC, tapi:
    • Tidak mau cari informasi sendiri
    • Tidak hadir kelas edukasi
    • Tidak menyusun birth plan
    • Tidak mau olahraga rutin
    • Tidak mau diskusi serius dengan pasangan

➡️ Mereka ingin VBAC, tapi maunya “instan” dan tidak repot.
Padahal VBAC itu bukan kebetulan—ia hasil dari persiapan yang sadar, aktif, dan konsisten.

4. Budaya “Nggampangin” dan “Tar Sok Tar Sok”

  • “Nanti deh ikut kelasnya kalo sempat.”
  • “Udah deket HPL aja baru cari tahu.”
  • “Lahiran kan tinggal ngejan doang, ngapain repot-repot banget.”
  • “Kalau udah kontraksi aja deh baru mikir mau SC apa normal.”

➡️ VBAC tidak bisa dijalani dengan mental seperti ini.
Karena tubuh dan rahim bukan robot. Persalinan bukan lomba cepat-cepat lahir.
Dan VBAC butuh kerja sama antara tubuh, pikiran, dukungan, dan waktu.

OPERASI SESAR; INDIKASI & EFEK SAMPING yang ANDA HARUS TAHU!

Menurut WHO (2025), Operasi Sesar merupakan Operasi Perut Besar yang Paling Sering Dilakukan di Dunia dan Angka persalinan dengan operasi sesar terus meningkat:

  • Tahun 1990: 6% ibu melahirkan lewat SC
  • Tahun 2018: 21%
  • Diperkirakan tahun 2030: mencapai 30%

Artinya: sekitar 38 juta perempuan akan melahirkan dengan operasi sesar pada tahun 2030, dan 88% dari operasi itu akan terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (seperti Indonesia).

⚠️ Risiko Operasi Sesar Tidak Sebatas Hari Ini

Meski sering dianggap “aman” dan “praktis”, operasi sesar adalah prosedur kompleks yang mencakup:

  • Tindakan pra operasi (misalnya anestesi, pemasangan infus, dll)
  • Tindakan selama operasi (sayatan, pengeluaran bayi, penjahitan)
  • Perawatan pasca operasi (pemulihan luka, risiko infeksi, dll)

Sama seperti bedah besar lainnya, SC membawa risiko jangka pendek dan panjang—
yang dapat memengaruhi kesehatan ibu, bayi, bahkan kehamilan-kehamilan berikutnya.

Risiko ini semakin tinggi pada ibu yang tidak punya akses ke perawatan kebidanan menyeluruh atau mendapat intervensi medis yang tidak sesuai standar.

Operasi sesar atau sectio caesarea (SC) sering dianggap sebagai “jalan pintas” untuk melahirkan. Praktis, bisa dijadwalkan, dan terasa aman. Tak jarang, ibu hamil yang belum mendapat edukasi menyeluruh langsung diarahkan ke SC hanya karena alasan yang tidak berbasis bukti—misalnya karena usia, postur tubuh, atau perkiraan berat janin.

Padahal, meskipun menyelamatkan nyawa dalam kondisi darurat, operasi sesar tetaplah sebuah prosedur bedah besaryang membawa sejumlah risiko jangka pendek dan panjang. Risikonya bukan hanya bagi ibu, tapi juga bagi bayi, dan bahkan keluarga secara keseluruhan.

  1. Risiko Fisik bagi Ibu

Sebagai prosedur bedah besar, operasi sesar melibatkan sayatan di dinding perut dan rahim. Ini membuka potensi komplikasi medis, antara lain:

⚠️ Risiko Jangka Pendek (Pasca Operasi)

  • Infeksi luka operasi (endometritis, infeksi kulit atau jaringan dalam)
  • Pendarahan pasca SC (kadang butuh transfusi)
  • Nyeri pasca operasi yang berkepanjangan
  • Gangguan mobilitas awal (ibu lebih lama pulih, sulit menyusui dini)
  • Risiko anestesi (reaksi alergi, hipotensi, gangguan pernapasan)

⚠️ Risiko Jangka Panjang

  • Adhesi (perlengketan organ) yang bisa menyebabkan nyeri panggul kronis, gangguan pencernaan, hingga masalah kesuburan
  • Plasenta akreta, increta, perkreta pada kehamilan selanjutnya (plasenta menempel terlalu dalam di dinding rahim)
  • Robekan rahim (uterine rupture) di kehamilan selanjutnya
  • Komplikasi pada operasi ulangan, seperti cedera kandung kemih atau usus
  • Kematian maternal lebih tinggi pada SC dibanding persalinan normal (WHO, 2015)
  1. Risiko Psikologis bagi Ibu
  • Rasa kehilangan kendali saat melahirkan, apalagi jika SC dilakukan tanpa informed consent yang baik
  • Baby blues atau depresi pasca persalinan lebih tinggi pada ibu SC (terutama jika SC dilakukan mendadak/darurat)
  • Gangguan bonding karena tertundanya IMD atau pisah ruang dengan bayi
  • Trauma lahir (birth trauma) yang dapat membekas bertahun-tahun dan memengaruhi kepercayaan diri di kehamilan selanjutnya

“Banyak ibu merasa tubuhnya rusak atau gagal karena tidak bisa melahirkan ‘normal’ bahkan banyak ibu yang berfikir bahwa dia belum seutuhnya menjadi ibu karena belum melahirkan normal alami — padahal tubuhnya tidak gagal. Sistemlah yang sering tidak memberi ruang.”

  1. Risiko Bagi Janin/Bayi
  • Gangguan transisi pernapasan (karena tidak mengalami tekanan alami dari jalan lahir)
  • Risiko TTN (Transient Tachypnea of the Newborn) – napas cepat karena cairan paru belum keluar sempurna
  • Gangguan IMD dan menyusui dini karena pisah ruang atau efek obat
  • Risiko prematur iatrogenik – bayi dilahirkan terlalu cepat karena salah hitung usia kehamilan
  • Cedera saat operasi (misal: sayatan pada kulit bayi secara tidak sengaja – meskipun jarang)
  1. Dampak Ekonomis bagi Keluarga: Tak Hanya Soal Uang, Tapi Waktu dan Tenaga

Banyak yang mengira bahwa karena operasi sesar bisa ditanggung BPJS, maka tidak ada beban ekonomi. Tapi sesungguhnya, biaya langsung hanyalah satu sisi dari cerita besar yang jarang dibahas:

Biaya Langsung (Langsung Terkait Prosedur Medis)

  • Memang benar, BPJS menanggung biaya operasi sesar, namun:
    • Tidak semua fasilitas atau dokter favorit ibu menerima BPJS.
    • Jika terjadi komplikasi (seperti pendarahan atau infeksi), biaya tambahan bisa tetap muncul.
  • Tambahan kebutuhan medis seperti:
    • Obat pereda nyeri lanjutan di rumah
    • Vitamin pemulihan luka
    • Salep atau perban khusus
    • Perawatan NICU jika bayi lahir prematur atau mengalami gangguan pernapasan (TTN)

➡️ Dalam beberapa kasus, keluarga tetap harus mengeluarkan dana pribadi untuk menutupi kebutuhan non-medis yang tidak ditanggung BPJS, seperti doula, konseling psikologis, atau pendamping laktasi.

Biaya Tidak Langsung (Sumber kerepotan utama pasca operasi)

Waktu Pemulihan Ibu Lebih Lama

  • Setelah SC, ibu tidak bisa langsung bangun dan bergerak bebas seperti pada persalinan pervaginam.
  • Aktivitas dasar seperti menyusui, gendong bayi, atau sekadar ke kamar mandi bisa terasa sangat menyakitkan.
  • Pemulihan penuh butuh waktu berminggu-minggu hingga bulanan.

Suami atau Pendamping Harus Cuti Lebih Lama

  • Karena ibu terbatas secara fisik, maka beban domestik, mengurus bayi, dan perawatan luka sering jatuh ke suami, orang tua, atau asisten rumah tangga—yang semuanya berdampak ekonomi.
  • Jika suami bekerja harian atau tanpa cuti dibayar, ini berarti pendapatan keluarga bisa turun.

Beban Emosional & Biaya Psikologis

  • Banyak ibu mengalami trauma pasca operasi, terutama jika SC dilakukan mendadak atau tanpa edukasi.
  • Ini bisa berdampak pada kualitas bonding, semangat menyusui, hingga kepercayaan diri ibu.
  • Biaya terapi atau konseling, jika diperlukan, tentu tidak ringan—dan belum tentu ditanggung BPJS.

Contoh Kasus Nyata yang Terjadi:

“Saya SC gratis pakai BPJS, tapi pulangnya malah bingung. Harus beli salep luka, vitamin, bayar orang jaga bayi karena saya nggak bisa banyak gerak, suami juga jadi cuti seminggu nggak digaji.”
— Testimoni seorang ibu dua anak di Klaten.

Operasi sesar memang bisa menyelamatkan jiwa—saat memang dibutuhkan.
Namun jika dilakukan tanpa indikasi medis yang tepat, maka yang terjadi adalah:

  • Biaya terselubung yang tak tampak di tagihan rumah sakit,
  • Beban kerja berlipat bagi keluarga,
  • Penurunan kualitas pemulihan ibu,
  • Dan trauma emosional yang memengaruhi perjalanan menjadi ibu secara utuh.

➡️ Edukasi adalah kunci utama agar ibu bisa membuat keputusan yang sadar, bukan sekadar pasrah.

saya coba jelaskan dengan lebih detail disertai dengan alurpikir supaya Anda bisa memahami dengan lebih jelas ya, karena banyak yang mengira bahwa sesar adalah solusi “aman, praktis dan cepat” untuk melahirkan.
Tapi jarang yang diajak berpikir: setelah operasi itu, apa yang terjadi pada ibu, bayi, keluarga, bahkan masa depan emosional dan psikologis mereka?

Karena yang terjadi bukan hanya lahirnya bayi dari perut—tetapi juga lahirnya:

  • Luka fisik yang harus dipulihkan
  • Luka emosi yang belum tentu disadari
  • Tantangan dalam merawat bayi di masa awal
  • Keseimbangan hormon yang terganggu
  • Dan proses menjadi ibu yang terputus dan penuh PR
  1. Dampak FISIK: Luka yang Tak Terlihat Mata
  • Operasi sesar adalah bedah besar di rongga perut dan rahim — bukan prosedur ringan.
  • Setelah SC, ibu harus menghadapi:
    • Nyeri di perut bawah dan luka bekas jahitan
    • Sulit bergerak, duduk, atau berdiri sendiri
    • Tantangan menyusui dini (karena terbatasnya mobilitas)
    • Gangguan tidur akibat nyeri dan posisi menyusui yang tidak nyaman

➡️ Akibatnya: Pemulihan tubuh menjadi lebih lama, sehingga ibu lebih cepat lelah, lebih mudah stres, dan tidak bisa sepenuhnya hadir secara utuh di hari-hari awal kehidupan bayi.

  1. Dampak PSIKOLOGIS: Luka yang Sering Diabaikan
  • Banyak ibu SC merasa “gagal” menjadi ibu karena tidak bisa melahirkan “normal”.
  • Perasaan kehilangan kendali saat lahir → membuat ibu merasa pasrah dan tak berdaya.
  • Efek trauma dari pengalaman medis yang cepat, invasif, dan tanpa edukasi.
  • IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sering tertunda atau tidak dilakukan → bonding emosional terganggu.

➡️ Akibatnya:

  • Ibu cenderung cemas berlebihan terhadap bayi.
  • Rentan mengalami baby blues atau postpartum depression.
  • Merasa asing dengan bayinya sendiri.
  • Menolak tubuhnya karena luka dan rasa sakit yang bertahan lama.
  1. Dampak terhadap HUBUNGAN dan PARENTING
  • Proses bonding yang tertunda berisiko memengaruhi:
    • Keterikatan emosional ibu-anak
    • Sensitivitas ibu terhadap kebutuhan bayi (termasuk sinyal lapar, lelah, butuh dipeluk)
  • Ibu yang kelelahan atau belum pulih emosinya → lebih mudah frustrasi saat bayi menangis terus
  • Peran ayah sering bingung: apakah harus jadi caregiver penuh, atau mundur?

➡️ Akibatnya: Kualitas hubungan suami-istri dan hubungan orang tua-anak bisa ikut terganggu.

  1. Dampak terhadap TUMBUH KEMBANG BAYI dan Kesehatan Mental Ibu
  • Hormon oksitosin dan endorfin yang mendukung regulasi emosi dan sistem imun bayi keluar optimal saat proses lahir alami → pada SC, ini bisa terhambat.
  • Bayi yang tidak mengalami tekanan jalan lahir cenderung:
    • Memiliki masalah pernapasan awal (TTN)
    • Lebih mudah kolik
    • Sulit menyusu
  • Ibu yang trauma dan belum pulih → berdampak pada kualitas interaksi sehari-hari dengan bayi
    → Padahal, interaksi awal adalah fondasi perkembangan emosional dan sosial bayi.

➡️ Efek jangka panjangnya: Gangguan regulasi emosi, pola tidur tidak stabil, bahkan kecenderungan masalah atensi dan perilaku di usia sekolah (riset: Birth-related PTSD in mothers & child behavior outcomes, Ayers et al.)

  1. Dampak JANGKA PANJANG bagi KEHAMILAN dan KEHIDUPAN SELANJUTNYA
  • SC meningkatkan risiko kehamilan berikutnya, seperti:
    • Plasenta akreta (plasenta menempel terlalu dalam)
    • Robekan rahim
    • SC ulang yang makin rumit
  • Beban ekonomi bertambah:
    • Pemulihan panjang = butuh cuti atau bantuan pihak ketiga
    • Biaya terapi luka dan psikologis
    • Biaya perawatan bayi jika ada komplikasi

➡️ Ini bukan hanya memengaruhi satu momen kelahiran, tapi bisa mengubah arah seluruh perjalanan hidup ibu dan keluarganya.

Operasi Sesar Bukan Akhir, Tapi Awal dari Banyak Proses Pemulihan

SC bukanlah pilihan yang salah—jika memang dibutuhkan.
Tapi saat dilakukan tanpa pertimbangan matang dan tanpa pendampingan pasca lahir,
maka ia menjadi pintu dari berbagai luka fisik, psikis, dan relasional yang butuh disadari dan dipulihkan.

Pemeriksaan Dalam (VT) di Usia 37 Minggu: HATI HATI TERJEBAK!

“Ibu, kita periksa dulu ya, lihat panggulnya muat atau tidak…” Kalimat ini terdengar biasa. Seolah-olah wajar. Padahal, dibalik kalimat ini ada praktik yang semakin sering dilakukan tanpa landasan ilmiah yang kuat: pemeriksaan dalam (VT) pada usia kehamilan 37 minggu ke atas. Tanpa tanda-tanda persalinan, tanpa indikasi medis jelas, hanya untuk sekadar “cek panggul”.

Banyak ibu hamil datang ke klinik atau rumah sakit dengan harapan mendapat dukungan, malah pulang dengan label: “panggul sempit”, “nggak bisa lahiran normal”, “bayinya nggak bisa turun”. Semua ini hanya berdasarkan dua jari yang dimasukkan ke vagina, tanpa bukti kuat, tanpa edukasi, dan kadang tanpa izin.

Ini bukan hanya soal kenyamanan. Ini soal martabat. Ini soal keputusan medis yang bisa berdampak panjang, termasuk meningkatnya angka operasi sesar karena ibu terlanjur takut, cemas, bahkan merasa tubuhnya gagal.

Pemeriksaan dalam pada kehamilan cukup bulan bukan standar yang direkomendasikan oleh WHO. Tapi di lapangan, praktik ini kerap dijadikan rutinitas — bahkan pada ibu yang sehat dan tanpa keluhan.

Artikel ini mengajak kita semua — baik praktisi maupun calon ibu — untuk mengkaji ulang: benarkah praktik ini membantu? Atau justru melanggengkan sistem yang membuat ibu semakin jauh dari tubuhnya sendiri?

Di banyak fasilitas kesehatan di Indonesia, masih sering dijumpai praktik pemeriksaan dalam (vaginal touche/VT) pada ibu hamil usia 37 minggu ke atas dengan alasan “untuk cek panggul” atau “menilai apakah bisa lahir normal.” Padahal, praktik ini bukan hanya tidak akurat, tapi juga tidak direkomendasikan oleh WHO, dan bisa menimbulkan dampak fisik maupun emosional bagi ibu.

Apa Itu Pemeriksaan Dalam (VT)?

Pemeriksaan dalam, atau vaginal touche (VT) atau disebut juga Vaginal Examination (VE), adalah prosedur medis di mana tenaga kesehatan memasukkan dua jari ke dalam vagina untuk menilai beberapa aspek penting menjelang atau selama persalinan. Tujuan dari pemeriksaan ini biasanya meliputi:

  • Memeriksa kondisi serviks: apakah serviks sudah melunak, menipis (efasemen), atau mulai membuka (dilatasi)
  • Menilai posisi kepala janin dalam panggul dan sejauh mana penurunannya
  • Mengidentifikasi posisi janin: apakah berada dalam posisi normal (cephalic), posterior, sungsang, atau lainnya
  • Memeriksa apakah selaput ketuban masih utuh atau sudah pecah

Namun, penting untuk dicatat bahwa pemeriksaan ini bukan prosedur rutin yang direkomendasikan di akhir kehamilan jika belum ada tanda-tanda persalinan. WHO dan berbagai organisasi profesi kebidanan di dunia menyarankan agar pemeriksaan dalam hanya dilakukan jika ada indikasi medis yang jelas, bukan sebagai skrining untuk menilai “kesiapan lahir” atau “cek panggul”.

Panggul Sempit? Atau “Sistem” yang Membuatmu Ragu pada Tubuhmu Sendiri?

“Bu, kepala bayinya belum masuk panggul ya. kayaknya ini gak isa bersalin normal lho bu.”
“Panggulnya sempit. Nanti bayinya bisa nyangkut pas ngelahirin bahu.”
“Kalau sampai besok belum masuk, kita SC aja ya, daripada nanti bahaya.”

Kalimat-kalimat seperti ini mungkin sudah terlalu sering terdengar di ruang praktik atau rumah sakit. Kadang datang dari dokter, kadang dari bidan, bahkan kadang dari orang tua atau mertua yang dulu juga melahirkan dengan operasi sesar dan merasa itu adalah satu-satunya cara yang “aman”.

Kalau kamu merasa pernah mengalami atau mendengar kalimat seperti itu, kamu bukan satu-satunya.
Saya mendengar cerita seperti ini setiap minggu. Dan yang lebih menyedihkan adalah, label “panggul sempit” seringkali diberikan bahkan sebelum tubuh ibu diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya.

Dampak Label Panggul Sempit: Lebih dari Sekadar Diagnosa

Ketika seorang ibu mendengar bahwa “panggulnya sempit”, efeknya tidak hanya secara klinis.
Efek psikologisnya jauh lebih dalam:

  • Hilangnya kepercayaan diri
  • Rasa takut menghadapi persalinan
  • Keyakinan bahwa tubuhnya “rusak” atau “kurang sempurna”
  • Pasrah pada tindakan medis meski sebenarnya belum tentu diperlukab

Dan semua ini terjadi bahkan sebelum kontraksi pertama dimulai.

Apa Itu Panggul Sempit? Apakah Bisa Diketahui Sebelum Melahirkan?

Mari kita luruskan…..

Panggul sempit sejati (true cephalopelvic disproportion/CPD) adalah kondisi yang sangat jarang. WHO mencatat bahwa angka kejadian true CPD kurang dari 3% dari semua persalinan.Sumber lain seperti ACOG (American College of Obstetricians and Gynecologists) menyebutkan bahwa diagnosis CPD tidak boleh ditegakkan sebelum ibu diberi kesempatan untuk melahirkan dalam kondisi optimal (dengan posisi aktif, tanpa induksi dini, dan posisi janin yang tepat).

Jadi, VE (Vaginal Examination/pemeriksaan dalam) tidak bisa memutuskan apakah panggul sempit atau tidak.

Faktanya, tidak ada cara klinis yang akurat untuk mengukur “kecocokan” panggul dan kepala bayi sebelum proses persalinan benar-benar berlangsung. Bahkan pemeriksaan dengan tangan (VE) hanya memberikan gambaran kasar, bukan kepastian.

Yang Sering Disebut “Panggul Sempit”, Bisa Jadi Sebenarnya…

1. Janin Belum Masuk Panggul Karena Posisi Belum Optimal

Posisi janin sangat mempengaruhi cara ia berinteraksi dengan pintu atas panggul (inlet). Posisi yang paling ideal untuk masuk panggul adalah LOA (Left Occiput Anterior), yaitu saat punggung janin berada di sisi kiri depan perut ibu dan dagunya menempel ke dada (fleksi maksimal).

Namun, janin bisa berada dalam posisi posterior (menghadap ke depan ibu) atau asinklitik (kepala miring ke kanan atau kiri), yang menyebabkan sumbu kepala tidak sejajar dengan bentuk panggul ibu, sehingga sulit turun.

Contoh Kasus :
Bayi dalam posisi posterior biasanya menyebabkan ibu mengalami nyeri pinggang parah saat kontraksi dan proses persalinan menjadi lebih lama dan tidak efektif.

Teori & Riset Pendukung:
  • Jean Sutton dan Pauline Scott (1996) dalam Understanding and Teaching Optimal Foetal Positioningmenjelaskan bahwa posisi janin sangat memengaruhi proses masuk panggul dan kemajuan persalinan.

  • Gail Tully (Spinning Babies) menyebut bahwa rotasi janin menjadi kunci bagi proses persalinan yang lancar. Jika rotasi tidak terjadi, maka kepala akan “terkunci” dan tidak bisa masuk.

✅ Solusi:

Gerakan yang membantu rotasi janin ke posisi optimal (anterior):

  • Forward-Leaning Inversion – membantu melepaskan ketegangan ligamentum uterosakral dan memberi ruang bayi untuk memutar.

  • Hands & Knees Position – mengurangi tekanan pada tulang belakang ibu dan membuka outlet panggul.

  • Lunges & Side Lunges – membuka sisi panggul untuk bayi yang miring atau asinklitik.

  • Prenatal Yoga dengan prinsip biomekanik SPACE – mendorong gerakan harmonis antara panggul, rahim, dan posisi janin.

2. Ketegangan Ligamen atau Otot yang Menghambat

Panggul bukan hanya struktur tulang, tapi juga rumah bagi berbagai jaringan lunak: ligamen, otot, dan fascia. Jika terjadi ketegangan atau ketidakseimbangan, maka ruang dalam panggul bisa menjadi sempit atau “terpuntir” (twisted pelvis), membuat bayi sulit masuk walau panggul secara ukuran sebenarnya cukup.

Beberapa penyebab umum ketegangan:

  • Psoas muscle yang terlalu tegang (karena terlalu banyak duduk)

  • Ketegangan ligamentum bulat atau sakrouterina

  • Fascia abdomen dan panggul yang tidak fleksibel

  • Otot dasar panggul terlalu kencang (hypertonic pelvic floor)

Contoh Kasus:
Ibu merasa janin “nyangkut” di atas panggul, sudah lewat HPL, tapi belum juga turun. Padahal berat bayi normal dan tidak ada kelainan.

Teori & Riset Pendukung:
  • Gail Tully menekankan pentingnya teknik “Balance, Space, and Movement” agar bayi bisa turun dengan optimal.

  • Blandine Calais-Germain dalam The Female Pelvis menjelaskan bahwa otot dan jaringan lunak bisa “mengubah bentuk panggul dari dalam”.

✅ Solusi:

Latihan dan terapi untuk melepaskan ketegangan dan mengembalikan keseimbangan:

  • Side-Lying Release – meregangkan ligamentum dan membuka ruang pada satu sisi panggul.

  • Psoas Release – dengan postur berbaring bersandar lutut atau menggantungkan kaki bisa melepaskan ketegangan otot psoas.

  • Fascia Unwinding & Stretching – teknik pelepasan jaringan fasia secara lembut melalui yoga atau terapi somatik.

3. Ibu Terlalu Pasif Menjelang Persalinan

Gaya hidup modern membuat banyak ibu hamil menghabiskan waktu duduk lama (di kantor, menyetir, atau bersandar di sofa), yang menyebabkan:

  • Tekanan ke sakrum meningkat

  • Gravitasi tidak maksimal untuk membantu posisi janin

  • Ligamen dan otot menjadi tidak lentur

  • Panggul lebih kaku, sehingga bayi tidak dapat “engage” ke inlet

Contoh Kasus:
Ibu yang sangat aktif selama trimester kedua tapi menjadi lebih pasif di trimester akhir karena takut “bayinya turun terlalu cepat”, padahal gerakan aktif justru dibutuhkan untuk membantu bayi masuk panggul dengan efisien.

Teori & Riset Pendukung:
  • WHO (2018): Mendorong ibu untuk aktif bergerak selama kehamilan dan persalinan karena berkontribusi pada outcome yang lebih baik dan waktu persalinan yang lebih singkat.

  • Lamaze International: Menyebut bahwa gerak aktif adalah salah satu dari Six Healthy Birth Practices.

✅ Solusi:

Gerakan ringan yang dilakukan sehari-hari sangat membantu:

  • Jalan kaki rutin setiap pagi dan sore

  • Naik turun tangga pelan-pelan

  • Posisi merangkak (hands & knees) saat menonton TV

  • Duduk di gym ball, bukan di sofa empuk yang menyandarkan panggul ke belakang

➡️ Kuncinya: Gunakan gravitasi, buka ruang, dan beri bayi waktu serta ruang untuk bergerak.

Apa yang sering dianggap “panggul sempit” bisa jadi hanyalah kombinasi dari posisi janin yang belum optimal, ketegangan jaringan lunak, dan kurangnya aktivitas ibu menjelang persalinan.

Dan kabar baiknya? SEMUA ITU BISA DIUPAYAKAN.

“Panggulmu cukup. Tubuhmu bijak. Bayimu tahu jalannya pulang.”

Apa Kata Para Ahli tentang Panggul, Janin, dan Proses Persalinan Fisiologis?
1. Dr. Sarah Buckley (2009):

Dalam bukunya “Gentle Birth, Gentle Mothering”

Sarah Buckley, seorang dokter dan ibu dari empat anak yang lahir di rumah tanpa intervensi medis, menekankan bahwa:

“Tubuh perempuan dirancang dengan kemampuan menakjubkan untuk melahirkan secara alami.”

Menurutnya, banyak intervensi medis, termasuk diagnosa CPD (Cephalopelvic Disproportion = ketidaksesuaian antara kepala bayi dan panggul ibu), sering kali diberikan terlalu cepat dan tanpa landasan fisiologis yang kuat.

Maknanya dalam Praktik:
  • CPD seharusnya bukan diagnosa awal, tetapi hanya bisa disimpulkan setelah upaya maksimal untuk melahirkan secara alami dilakukan—termasuk rotasi janin, perubahan posisi, dan waktu yang cukup.

  • Banyak kasus CPD “semu” yang sebenarnya hanya akibat posisi janin yang belum optimal, atau karena tubuh ibu belum diberi ruang dan waktu untuk bekerja.

Kalau kamu pernah diberi tahu “bayinya tidak bisa lahir normal karena kepalanya terlalu besar”, tanyakan ulang:
Apakah sudah diberi waktu? Apakah ibu sudah bisa bergerak aktif? Apakah posisi janin sudah dibantu rotasi