Bidan Kita

Home Blog Page 2

Kenali Derajat Wasir dan Tanda-Tanda Bahaya

Wasir atau ambeien bukan cuma satu jenis. Gejalanya bisa berbeda-beda tergantung tingkat keparahannya. Ada yang hanya terasa sebagai rasa mengganjal atau sedikit tidak nyaman saat duduk, tapi ada juga yang sampai membuat ibu sulit berjalan, nyeri hebat saat buang air besar, atau bahkan mengganggu tidur.

Di dua artikel sebelumnya (artikel 1) & (artikel 2) kita sudah membahas bahwa wasir adalah kondisi umum yang terjadi saat kehamilan karena pengaruh hormon, tekanan rahim, dan aliran darah balik yang terhambat. Kita juga sudah meluruskan bahwa wasir—meski bikin khawatir—bukan alasan otomatis untuk melahirkan dengan operasi sesar. Bahkan dalam banyak kasus, ibu tetap bisa melahirkan normal dengan aman dan nyaman, asal tahu cara mengelolanya.

Nah, di artikel ketiga ini kita akan masuk lebih dalam: bagaimana sebenarnya tingkatan atau derajat keparahan wasir itu? Bagaimana cara mengenalinya sejak dini? Apa tanda-tanda yang bisa ditangani sendiri, dan kapan kita perlu waspada?

Kenapa ini penting? Karena semakin dini ibu mengenali derajat wasir yang dialaminya, semakin cepat pula langkah pencegahan dan penanganan bisa dilakukan. Ini bukan sekadar tentang mengurangi rasa sakit, tapi juga untuk mencegah komplikasi di masa akhir kehamilan dan saat masa nifas nanti.

Jadi, yuk lanjutkan membaca. Pelan-pelan kita bahas bersama, agar Anda bisa mengenali sinyal tubuh sendiri—tanpa takut berlebihan, tapi juga tanpa mengabaikan hal penting.

Apa Saja Derajat Wasir?

Wasir—khususnya jenis internal—secara klinis dibagi menjadi empat tingkatan berdasarkan derajat keparahan dan seberapa jauh jaringan wasir menonjol keluar dari anus. Klasifikasi ini pertama kali dikembangkan oleh Goligher pada tahun 1955 dan hingga kini masih menjadi acuan utama dalam panduan diagnosis dan penatalaksanaan hemoroid.

Penelitian oleh Rivadeneira et al. yang dimuat dalam Diseases of the Colon & Rectum (2017) menegaskan bahwa klasifikasi Goligher sangat berguna untuk menentukan pilihan terapi yang tepat, mulai dari terapi konservatif hingga tindakan operatif.

Mari kita bahas satu per satu:

✅ Derajat I – Masih di dalam, belum keluar

Wasir derajat I masih berada sepenuhnya di dalam rektum dan tidak menonjol ke luar anus, bahkan saat mengejan.
Gejala umum: perdarahan ringan saat BAB, biasanya berupa darah merah segar yang terlihat pada tisu atau permukaan tinja. Kadang disertai rasa tidak nyaman atau sensasi “ada yang ganjal” di dalam. Biasanya tidak menimbulkan rasa nyeri, karena lokasi wasir berada di area yang minim saraf nyeri (zona hemoroidalis atas).

Menurut studi oleh Lohsiriwat (2015), sekitar 40–50% kasus wasir pada ibu hamil termasuk dalam derajat I, dan sebagian besar bisa membaik dengan perbaikan gaya hidup saja.

Penanganan:

  • Pola makan tinggi serat (buah, sayur, whole grain)

  • Minum air putih minimal 2 liter per hari

  • Olahraga ringan seperti jalan kaki atau yoga

  • Hindari mengejan keras dan kebiasaan duduk terlalu lama di toilet

✅ Derajat II – Keluar saat BAB, tapi masuk sendiri

Pada derajat ini, wasir menonjol ke luar saat mengejan (misalnya saat BAB), tetapi bisa kembali masuk sendiri tanpa bantuan.
Gejala umum: perdarahan ringan, rasa gatal di anus, atau nyeri ringan setelah duduk terlalu lama. Ibu biasanya mulai merasa tidak nyaman secara fisik dan emosional karena benjolan sesekali terasa muncul.

Studi dari Cheetham et al. (Colorectal Disease, 2016) menyebutkan bahwa derajat II adalah jenis wasir paling sering ditemukan pada pasien rawat jalan, termasuk pada ibu hamil dan menyusui.

Penanganan:
Selain langkah-langkah pada derajat I, bisa ditambahkan:

  • Sitz bath: merendam bokong dalam air hangat selama 10–15 menit, 2–3 kali sehari

  • Salep topikal atau supositoria (berbasis witch hazel, hydrocortisone ringan, atau lidokain, dengan izin tenaga medis)

  • Kompres dingin untuk mengurangi bengkak dan rasa terbakar

✅ Derajat III – Keluar dan harus didorong masuk

Wasir keluar saat mengejan dan tidak bisa masuk kembali sendiri, tetapi masih bisa didorong masuk secara manual dengan jari.
Gejala: benjolan tampak jelas di luar anus, nyeri sedang hingga berat, perih saat BAB, bisa disertai lendir dan kadang sulit bersih setelah BAB.

Dalam penelitian oleh Rivadeneira et al. (2017), kasus wasir derajat III sering memerlukan terapi intervensi, meskipun penanganan konservatif masih dapat dicoba terlebih dahulu selama kehamilan.

Penanganan:

Benarkah Wasir Saat Hamil Harus Sesar?

“Dok, saya ada ambeien, berarti gak bisa lahiran normal ya?”

Kalimat ini cukup sering terdengar di ruang praktik. Wajar saja—wasir memang bikin tidak nyaman. Nyeri, gatal, sampai berdarah. Tapi, apakah benar kondisi ini berarti ibu tidak boleh melahirkan pervaginam dan harus langsung dijadwalkan operasi caesar?

Yuk, kita bedah mitos ini perlahan-lahan. Karena kenyataannya tidak sesederhana itu.

Wasir Itu Umum Terjadi Saat Hamil—Tapi Bukan Alasan Otomatis untuk Sesar

Pertama-tama, penting untuk ditekankan: wasir bukan kontraindikasi untuk persalinan normal. Artinya, ibu hamil dengan wasir tetap bisa menjalani proses persalinan spontan—asal kondisi lainnya mendukung.

Bahkan dalam panduan praktik dari American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) maupun WHO, tidak disebutkan bahwa wasir—baik internal maupun eksternal—menjadi alasan medis untuk tindakan seksio sesarea.

Justru, penelitian menunjukkan bahwa mayoritas ibu hamil dengan wasir berhasil melahirkan normal tanpa komplikasi yang berarti (Pitt, D. et al., BMJ Open, 2019). Wasir memang bisa memburuk saat proses mengejan, tapi dengan pendekatan yang tepat, hal ini bisa diminimalkan.

Mitos: “Kalau Ada Ambeien, Gak Bisa Ngejan”

Mitos ini muncul dari ketakutan bahwa mengejan saat persalinan bisa memperparah wasir. Memang benar, tekanan intra-abdomen saat mengejan dapat menyebabkan pembuluh darah di sekitar anus membengkak. Tapi bukan berarti tidak bisa mengatur strategi mengejan.

Yang dibutuhkan adalah:

  • Posisi melahirkan yang tepat (tidak selalu telentang)

  • Strategi mengejan yang efisien, tidak terburu-buru, dan mengikuti dorongan alami tubuh

  • Pendampingan yang suportif dari bidan atau doula

  • Manajemen nyeri yang efektif agar ibu tetap relaks dan tidak over-mengejan

Studi dari Abdool et al. (2020) mencatat bahwa pelatihan pernapasan dan teknik mengejan terkontrol secara signifikan menurunkan tekanan berlebih ke dasar panggul dan membantu menjaga kondisi wasir tetap stabil selama proses persalinan.

POOP BERDARAH?! ada apa ini?

“Hamil itu penuh berkah, tapi kenapa kok setiap mau BAB rasanya nyeri, gatal, bahkan kadang berdarah?”
Kalau Anda pernah mikir begitu, kamu nggak sendiri.

Banyak ibu hamil mengalami keluhan di area anus—entah rasa tidak nyaman saat duduk, gatal yang nggak kunjung hilang, atau nyeri luar biasa waktu buang air besar. Tapi karena letaknya “di bawah” dan agak sensitif buat dibahas, keluhan ini sering disimpan sendiri. Malu mau cerita. Takut dianggap remeh.

Padahal, kondisi seperti ini sangat umum terjadi saat hamil. Dan kabar baiknya, sebagian besar bukan sesuatu yang berbahaya. Bisa ditangani, bahkan dicegah, asalkan kita tahu penyebab dan cara mengelolanya.

Nah, di artikel ini kita akan bahas pelan-pelan tentang wasir atau ambeien pada ibu hamil—dari yang ringan sampai yang sering bikin khawatir. Supaya Anda bisa lebih tenang dan tahu harus gimana saat gejalanya muncul.

Wasir, atau dalam istilah medis disebut hemoroid, adalah kondisi saat bantalan pembuluh darah di sekitar anus membengkak atau meradang. Kondisi ini sebenarnya mirip seperti varises, tapi terjadi di daerah rektum dan anus. Saat hamil, tekanan dari rahim yang membesar dan perubahan hormon bisa membuat pembuluh darah di area ini melebar, lalu menyebabkan wasir.

Secara umum, wasir dibagi menjadi dua jenis:

  1. Wasir internal: terjadi di bagian dalam saluran anus, biasanya tidak terasa nyeri tapi bisa menimbulkan perdarahan—darah merah segar saat buang air besar.

  2. Wasir eksternal: muncul di bagian luar anus sebagai benjolan lunak atau keras. Kadang terasa gatal, nyeri, atau bahkan perih saat duduk dan BAB.

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal BMC Gastroenterology (2024), wasir dialami oleh sekitar 35% ibu hamil, dengan risiko meningkat seiring usia kehamilan. Studi tersebut juga menegaskan bahwa kehamilan adalah salah satu faktor risiko utama karena adanya peningkatan tekanan intra-abdomen, pelebaran pembuluh darah vena, dan kecenderungan konstipasi pada trimester kedua dan ketiga (Ghafari et al., 2024).

Fakta menarik lainnya, dalam sebuah tinjauan sistematis oleh Abramowitz et al. (The Lancet Gastroenterology & Hepatology, 2018), disebutkan bahwa hemoroid merupakan salah satu kondisi anorektal paling umum pada perempuan hamil dan pascapersalinan, tapi sayangnya sering kali diabaikan atau dianggap tabu untuk dibicarakan.

Padahal, memahami apa itu wasir, bagaimana bentuk dan gejalanya, serta apa yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasinya, sangat penting agar ibu hamil tidak merasa cemas berlebihan atau justru menunda pengobatan.

Jadi, kalau Anda merasakan gejala seperti nyeri saat BAB, ada benjolan di sekitar anus, atau bahkan perdarahan ringan, bisa jadi itu adalah wasir. Tidak perlu panik. Yang penting, tahu cara meresponsnya dengan tenang dan tepat.

Kenapa Wasir Sering Muncul Saat Hamil?

Wasir bukan kondisi aneh dalam kehamilan. Faktanya, cukup banyak ibu hamil yang baru pertama kali menyadari gejala wasir justru saat usia kehamilan memasuki trimester kedua atau ketiga. Kenapa bisa begitu?

Ada beberapa alasan biologis dan fisiologis yang membuat kehamilan jadi masa “subur” untuk munculnya wasir. Mari kita bahas satu per satu.

1. Perubahan Hormon yang Mempengaruhi Pembuluh Darah

Selama kehamilan, tubuh ibu memproduksi lebih banyak hormon progesteron. Hormon ini punya banyak manfaat, seperti membantu otot rahim rileks dan menjaga kehamilan tetap stabil. Tapi, efek sampingnya—yang jarang dibicarakan—adalah membuat pembuluh darah menjadi lebih longgar dan melebar.

Akibatnya, pembuluh darah di sekitar anus juga bisa melebar dan menampung lebih banyak darah daripada biasanya. Jika aliran balik darah ke jantung tidak lancar, maka darah bisa “mengendap”, dan terbentuklah benjolan atau pembengkakan yang kita kenal sebagai wasir.

2. Tekanan dari Rahim yang Membesar

Seiring pertumbuhan janin, rahim pun makin membesar. Di trimester akhir, rahim bisa memberikan tekanan cukup besar pada pembuluh darah balik di area panggul dan perut bawah—terutama vena cava inferior dan vena hemoroidalis.

Tekanan ini memperlambat aliran darah dari bagian bawah tubuh ke jantung. Akibatnya, aliran darah dari anus dan rektum jadi tersendat, lalu memicu pembengkakan pembuluh darah di sekitar anus, alias hemoroid.

Hal ini ditegaskan dalam kajian oleh Abramowitz et al. (2018) yang diterbitkan di The Lancet Gastroenterology & Hepatology, bahwa pertumbuhan janin yang menekan pembuluh darah besar merupakan salah satu pemicu utama hemoroid selama kehamilan.

3. Konstipasi dan Kebiasaan Mengejan

Keluhan perut kembung, susah BAB, atau buang air besar yang jarang selama hamil bukan hal asing. Ini disebabkan oleh:

PERINEUM MASSAGE, SOLUSI CERDAS CEGAH ROBEKAN PERINEUM saat MELAHIRKAN.

✨ “Aku Takut Dijahit, Bu Bid…”

“Aku siap lahiran, tapi jujur… aku paling takut bagian dijahitnya.”

Kalimat ini bukan hal asing bagi kami para bidan. Dalam kelas-kelas persiapan lahir, sesi konsultasi, bahkan dalam obrolan ringan di ruang periksa, banyak ibu—terutama yang pertama kali hamil—membuka kekhawatiran yang paling personal: bukan kontraksi, bukan mengejan, tapi robekan perineum.

Ketakutan ini sangat valid. Karena bagi banyak perempuan, pengalaman dijahit setelah melahirkan justru menjadi sumber trauma yang melekat lebih lama dari rasa sakit kontraksi. Beberapa merasa tidak diberi pilihan. Beberapa tidak sempat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan sebagian lagi—merasa bersalah karena mengira tubuhnya “tidak cukup kuat” untuk melahirkan tanpa robek.

Padahal, robekan perineum bukan soal kuat atau tidaknya seorang ibu. Tapi lebih kepada:

  • Apakah tubuhnya diberi kesempatan untuk membuka dengan alami?

  • Apakah dia diberi waktu dan dukungan untuk melahirkan sesuai ritmenya?

  • Dan… apakah perineumnya pernah disiapkan dengan lembut dan penuh cinta sebelum hari H?

Salah satu cara paling sederhana, murah, dan penuh manfaat yang bisa dilakukan adalah:
Perineum Massage.

Apa Itu Perineum Massage?

Perineum massage adalah teknik pemijatan lembut pada area antara vagina dan anus—bagian tubuh yang disebut perineum.

Teknik ini bertujuan untuk:

  • Melenturkan jaringan otot dan kulit perineum,

  • Meningkatkan sirkulasi darah,

  • Menyiapkan tubuh menghadapi fase crowning (saat kepala bayi muncul),

  • Meningkatkan kesadaran tubuh dan kepercayaan diri ibu.

Berikut ini bukti ilmiah yang mendukung tindakan ini: 
  1. Cochrane Review (Beckmann & Garrett, 2013)
    Perineum massage sejak trimester 3 (diatas 34 minggu):

    • Menurunkan risiko robekan derajat sedang-berat,

    • Menurunkan angka kebutuhan episiotomi pada primigravida,

    • Meningkatkan kenyamanan ibu terhadap tubuhnya sendiri.

  2. Aasheim et al., Cochrane (2017)
    Teknik manual seperti perineum massage dan kompres hangat saat persalinan terbukti:

    • Mengurangi trauma perineum,

    • Meningkatkan kontrol ibu saat mengejan.

  3. Albers (2005), J Midwifery Women’s Health
    Perineum massage secara rutin meningkatkan elastisitas dan ketahanan jaringan perineum,
    serta mempersiapkan ibu secara mental menghadapi sensasi burning ring of fire saat kepala bayi keluar.

  4. Labrecque et al. (1999)
    Ibu yang rutin melakukan perineum massage:

    • Lebih jarang mengalami robekan spontan,

    • Lebih sedikit trauma dan nyeri pasca persalinan,

    • Lebih siap secara emosional menghadapi proses lahir.

  5. Sripichyakan et al. (2023)
    Studi terbaru di Asia Tenggara menyatakan bahwa ibu yang mendapat edukasi dan praktik perineum massage:

    • Lebih sedikit mengalami luka perineum derajat 3–4,

    • Merasa lebih percaya diri dan tenang dalam menghadapi VT (vaginal toucher) dan fase melahirkan.

Manfaat Holistik Perineum Massage

Perineum massage bukan hanya latihan fisik menjelang lahiran. ini adalah bentuk perawatan tubuh yang menyeluruh—menyentuh aspek fisik, emosional, hingga spiritual. Dalam praktiknya, banyak ibu yang awalnya melakukannya karena takut dijahit, tapi kemudian merasa bahwa pijatan ini justru membuat mereka lebih sadar, tenang, dan terhubung dengan tubuh yang akan melahirkan.

Berikut manfaat perineum massage yang telah dibuktikan melalui penelitian dan pengalaman klinis:

UPAYAKAN PERINEUM UTUH (Jalur Langit & Jalur Bumi)

Setiap perempuan yang bersiap menyambut kelahiran anaknya, mungkin pernah mendengar istilah “perineum robek” atau “dijahit setelah lahiran.” Tapi jarang yang benar-benar diajak duduk, hening sejenak, dan diberi ruang untuk memahami: apa itu perineum, bagaimana menjaganya, dan mengapa ia begitu sakral.

Di ruang bersalin, kita sering menyaksikan tubuh yang membuka, bayi yang lahir, dan luka yang terjadi. Tapi di balik semua itu, ada proses sunyi yang lebih dalam: peralihan seorang perempuan dari yang mengandung menjadi yang melahirkan. Dan di titik perineum-lah semua itu berpuncak.

Perineum bukan sekadar jaringan otot.
Ia adalah pintu gerbang—jalur langit dan bumi bertemu.

Sayangnya, perineum selama ini lebih sering dibicarakan sebagai masalah teknis—apakah robek atau tidak, dijahit atau tidak, sembuhnya lama atau cepat. Padahal, perineum adalah ruang tubuh yang penuh makna. Ia bisa dijaga. Ia bisa disiapkan. Ia bisa dilindungi—bukan hanya dengan tangan, tapi juga dengan kesadaran dan cinta.

Dalam pendekatan holistic-gentle birth, menjaga perineum tidak cukup hanya dengan teknik fisik seperti kompres hangat, minyak pijat, atau posisi bersalin. Ia juga perlu dijaga melalui penyadaran diri, kepercayaan pada tubuh, afirmasi, dan doa. Karena luka bukan hanya berasal dari tarikan dan tekanan, tapi juga dari ketakutan dan ketidaktahuan.

Maka dalam bagian ini, mari kita selami lebih dalam:
Bagaimana cara menjaga perineum secara menyeluruh—dari jalur langit berupa iman (doa puasa) dan afirmasi, hingga jalur bumi berupa edukasi, gerakan, dan pendampingan sadar.

Karena tubuh ini bukan benda mati. Ia hidup, ia mendengar, dan ia mengingat. Dan setiap ibu berhak melahirkan dengan tubuh yang dihormati, bukan ditakuti.
Setiap perineum berhak dibuka dengan lembut, bukan dilukai terburu-buru.

“Tubuh ini bukan sekadar wadah. Ia adalah saksi kelahiran manusia baru.”
“Dan perineum… adalah gerbang sakral tempat kehidupan lahir ke dunia.”

Dalam pendekatan holistik, perineum bukan hanya jaringan otot dan kulit. Tapi juga ruang spiritual, emosional, dan simbolik, tempat seorang perempuan melewati ambang antara mengandung dan melahirkan. Maka dari itu, menjaga perineum bukan hanya dengan kompres atau senam—tapi juga dengan iman, afirmasi, edukasi, dan penyadaran diri.

Nah kita bahas satu satu ya, terkait apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu supaya perineum tetap utuh dan kuat saat melahirkan.

  • Jalur Langit!

Kenapa saya bilang jalur langit? Ya karena kadang kala kita sudah mengupayakan segala sesuatunya mulai dari pengetahuan, yoga, nutrisi, perineum massage, dan macem macem tapi pas hari H ternyata tiba tiba karena satu dan lain hal entah karena providernya tidak pas atau karena proses persalinan sendiri ada masalah, akhirnya tetep saja kita musti mengalami robekan jalan lahir baik tidak sengaja maupun sengaja.

demikian juga sebaliknya, kadang kita sudah siapkan segalanya dan keberuntungan dan kebetulan kebetulan terjadi akhirnya kita berhasil ngalamin gentle birth dengan perineum utuh dan nyaman.

So jalur langit artinya adalah jalur dimana kita tetap berserah melalui  doa puasa dan affirmasi meminta perkenanan dan penyertaan Tuhan supaya di berkati selalu.

1. Doa dan Afirmasi untuk Perineum Utuh

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh intervensi medis, tak banyak ruang bagi ibu untuk hening sejenak dan mendengarkan tubuhnya sendiri. Perineum bukan hanya jaringan otot.
Ia adalah pintu gerbang antara dunia dalam dan dunia luar.
Menjaganya bukan hanya dengan teknik, tapi juga dengan penyerahan dan penyadaran diri.

Apa Itu Afirmasi?

Afirmasi adalah ungkapan positif yang diucapkan berulang untuk membangun kesadaran, keyakinan, dan kesiapan mental-emosional. Ia bukan sekadar “kata-kata penyemangat,” melainkan alat yang membantu ibu membentuk hubungan yang sehat dengan tubuh dan proses kelahiran.

Menurut studi Olza et al., 2014, afirmasi yang dibacakan dengan relaksasi mendalam mampu:

  • Meningkatkan oksitosin dan endorfin (hormon pelancar kontraksi & penenang nyeri),
  • Menurunkan kortisol (hormon stres),
  • Meningkatkan koneksi antara pikiran, tubuh, dan rahim.

Doa sebagai Jembatan Spiritual

Doa bukan sekadar permintaan kepada Tuhan, tetapi jembatan penghubung antara iman dan tubuh.
Dalam konteks gentle birth, doa menjadi momen hening di mana ibu kembali menyadari:

“Tubuhku bukan milikku semata. Ia diciptakan oleh Tuhan dengan sempurna. Ia tahu cara melahirkan.”

Doa menumbuhkan perasaan:

  • bahwa ibu tidak sendiri,
  • bahwa ada kekuatan ilahi yang menyertai,
  • bahwa kelahiran bukan sekadar proses biologis, tapi peristiwa spiritual.

Dalam Leclaire Method, tubuh ibu—termasuk rahim dan perineum—dipandang sebagai bagian dari sacred feminine design, ciptaan Allah yang cerdas dan terhubung dengan dimensi spiritual sejak bayi dalam kandungan.

Afirmasi untuk Perineum: Contoh dan Makna

Berikut contoh afirmasi yang dapat digunakan untuk menjaga perineum secara batiniah dan emosional:

Afirmasi Makna dan Dampak
“Aku membuka tubuhku dengan cinta dan percaya.” Menyampaikan kesiapan tubuh secara sadar
“Perineumku lentur, kuat, dan siap menjadi gerbang kehidupan.” Menumbuhkan kepercayaan pada kelenturan alami
“Tubuhku tahu caranya melahirkan. Tuhan merancangnya dengan bijaksana.” Menyambungkan iman dengan fisiologi
“Aku hadir penuh untuk kelahiran ini. Aku tidak takut, aku terhubung.” Mengalihkan fokus dari rasa takut ke koneksi

Penelitian menunjukkan bahwa dukungan emosional dan afirmasi positif berperan penting dalam menurunkan stres dan meningkatkan elastisitas jaringan.

Studi oleh Olza et al. (2014) menjelaskan bahwa afirmasi yang berulang dan relaksasi mendalam dapat meningkatkan produksi hormon oksitosin dan endorfin, yang membantu jaringan perineum lebih lentur dan responsif selama persalinan.

Cara Praktis Melatih Doa dan Afirmasi

  1. Rutinitas Harian (3–5 menit)
  • Lakukan saat sebelum tidur atau setelah bangun pagi.
  • Duduk tenang, pejamkan mata, letakkan tangan di bawah perut dan satu tangan lagi di dada.
  • Ucapkan 1–2 afirmasi sambil menarik napas perlahan dan menghembuskan dengan lembut.
  1. Visualisasi Perineum
  • Bayangkan perineum sebagai kelopak bunga yang terbuka saat napas masuk.
  • Bayangkan tubuh ibu sebagai sungai yang mengalirkan kehidupan dengan damai.
  1. Dibacakan oleh Suami/Doula
  • Afirmasi akan lebih kuat bila didukung oleh pasangan atau pendamping, menciptakan resonansi kepercayaan bersama.
    Witt & Lothian, 2018 menyebutkan bahwa dukungan pasangan dalam afirmasi menurunkan kecemasan persalinan hingga 40%.
  1. Dipasangkan dengan Gerakan Yoga Ringan
  • Gerakan seperti Butterfly Pose, Child’s Pose, atau Squat Pose dapat disinkronkan dengan afirmasi, memperkuat keterhubungan tubuh dan kata.

Efek Jangka Panjang dari Praktik Afirmasi dan Doa

✔ Membantu ibu menghadapi persalinan dengan tenang
✔ Mengurangi persepsi nyeri dan trauma pascamelahirkan
✔ Meningkatkan rasa memiliki terhadap tubuh dan proses lahir
✔ Mempercepat pemulihan emosional, apapun hasil kelahirannya
✔ Memberi ruang spiritual untuk menyambut bayi dengan cinta, bukan cemas

Kesaksian dari Lapangan

“Waktu kontraksi makin kuat, aku mulai ulang-ulang afirmasi, dan tiba-tiba tubuhku rasanya membuka… kayak aku masuk ke ruang tenang.” – Ibu A, peserta hypnobirthing

“Suamiku bacakan afirmasi saat aku mulai takut. Aku nangis, tapi bukan karena takut—karena aku merasa didukung.” – Ibu H, kelas persiapan kelahiran Bidan Kita

  • Jalur Bumi!

Nah, supaya adil setelah kita bahas terkait dengan jalur langit berupa doa, puasa dan affirmasi visualisasi, jalur bumi atau aliyas jalur fisik. nah apa saja jalur fisik itu?:

2. Perineum sebagai Gerbang Sakral Kelahiran

Ketika seorang bayi lahir, tubuh ibu menjadi jalan pulang menuju dunia ini. Dan titik terakhir yang dilewati bayi sebelum napas pertamanya adalah perineum—area kecil yang terletak antara vagina dan anus. Namun sesungguhnya, perineum bukan hanya “tempat keluarnya bayi” secara teknis. Ia adalah gerbang kehidupan, tempat tubuh perempuan membuka ruang bagi jiwa baru untuk hadir di dunia.

“Perineum bukan hanya kulit dan otot. Ia adalah portal antara dunia rahim dan dunia nyata.”

Pandangan Tradisional: Perineum sebagai Portal Kehidupan

Ternyata, dalam banyak budaya kuno dan komunitas adat di dunia, perineum tidak pernah dianggap remeh. Ia dipandang sebagai titik transisi suci.

Beberapa contohnya:

  • Budaya Bali menyebut proses kelahiran sebagai “nunas nyawa” (meminta nyawa), di mana tubuh ibu, termasuk perineum, disucikan sebelum dan sesudah melahirkan.
  • Suku Maori (Selandia Baru) menganggap perineum dan jalan lahir sebagai wāhi tapu (ruang sakral) yang tidak boleh dilukai sembarangan.
  • Suku Navajo (Amerika Utara) melihat proses kelahiran sebagai journey of the soul yang harus dikelilingi oleh doa, nyanyian, dan rasa hormat terhadap tubuh ibu.

Di semua narasi ini, tubuh perempuan tidak pernah hanya “medis”. Ia adalah bagian dari spiritualitas alam semesta.

Pandangan Modern: Leclaire Method dan Spiritualitas Tubuh

Leclaire Method—sebuah pendekatan kelahiran sadar dari Prancis—menekankan bahwa tubuh ibu menyimpan memori emosional dan spiritual. Perineum dianggap sebagai titik “batas” antara dunia internal dan eksternal. Maka, saat perineum dibuka secara penuh dengan kesadaran, refleks alami tubuh juga lebih mudah teraktivasi.

Di antaranya:

  • Fetal Ejection Reflex: refleks alami tubuh yang mendorong bayi keluar dengan lembut tanpa intervensi kasar atau paksaan.
  • Hormon pelindung seperti beta-endorfin dan oksitosin mengalir deras bila ibu merasa aman, dipercaya, dan tubuhnya dihormati—bukan dikendalikan.

Sarah Buckley (2009) dalam bukunya Gentle Birth, Gentle Mothering menjelaskan bahwa saat tubuh ibu merasa aman dan perineum tidak dipaksa, tubuh akan melepaskan gelombang hormon yang serupa dengan orgasme spiritual—membantu kelahiran lebih lembut dan minim trauma.

Pendekatan Gentle Birth dan Hypnobirthing

Dalam praktik gentle birth dan hypnobirthing, perineum bukan sesuatu yang harus dikontrol atau dihindari robeknya dengan “menahan atau memegang”.
Justru sebaliknya, ia perlu dibiarkan bekerja, didengar, dan diberi ruang. Inilah esensi dari pendekatan hands-off atau “tidak terburu-buru.”

Menurut Reed, R. (2015) dalam artikelnya “Hands Off the Perineum”, intervensi berlebihan seperti menarik kepala bayi, menekan perineum, atau mengatur napas secara paksa justru mengganggu ritme alami tubuh dan meningkatkan risiko trauma robekan.

“Ketika kita terburu-buru membuka gerbang, ia bisa retak. Tapi ketika kita sabar, gerbang itu bisa membuka dengan sendirinya.”

Praktik Menjaga Kesakralan Perineum

Berikut adalah langkah-langkah aplikatif yang bisa dilakukan untuk menghormati dan menjaga perineum sebagai gerbang sakral:

  1. Berdoa dan Afirmasi Harian (ini jalur langit tadi)
  • Mengucapkan kalimat seperti:
    “Perineumku adalah pintu kehidupan. Aku menjaganya dengan cinta dan percaya.”
  1. Gerakan Prenatal Gentle Yoga (PGY)
  • Gerakan seperti Deep Squat, Butterfly Stretch, dan Supported Child’s Pose dapat melatih elastisitas dan kesadaran tubuh di area perineum.
  1. Posisi Melahirkan yang Memberi Ruang
  • Seperti posisi miring (lateral), jongkok dengan sandaran, atau hands-and-knees yang membuka panggul bawah secara alami tanpa tekanan berlebihan pada perineum.
  1. Kompres Hangat dan Hands-off
  • Memberi kompres hangat di area perineum saat kepala bayi mulai terlihat terbukti mengurangi risiko robekan(Dahlen et al., 2016)
  • Biarkan kepala bayi keluar perlahan, jangan ditarik.
  • Jangan paksa ibu untuk mengejan saat perineum sedang “crowning” (fase ring of fire).

Penutup: Tubuh yang Dihormati, Melahirkan dengan Lembut

Ketika kita mengubah cara pandang terhadap perineum—dari area “yang pasti robek” menjadi portal suci kehidupan, maka pendekatan kita terhadap persalinan juga ikut berubah.

Kita mulai memberi waktu, bukan memaksa.
Kita mulai mendengarkan, bukan mengatur.
Kita mulai memuliakan tubuh, bukan mencurigainya.

Karena setiap bayi layak dilahirkan melalui tubuh yang dipercaya,
dan setiap ibu layak membuka dirinya dalam suasana damai.

‍3. Edukasi untuk Ibu & Birth Partner: Hak Tubuh, Pilihan, dan Informed Consent dalam Menjaga Perineum

Banyak perempuan datang dengan keluhan:

“Saya nggak tahu apa-apa, tahu-tahu sudah digunting.”
“Dokternya bilang ‘biar cepat ya, Bu’, dan saya nggak sempat jawab.”
“Saya pikir itu normal, tapi ternyata saya trauma sampai sekarang.”

Ironisnya, banyak robekan perineum bukan terjadi karena tubuh ibu gagal, melainkan karena ia tidak diberi kesempatan untuk tahu dan memilih.
Padahal tubuh ibu memiliki hak penuh atas proses yang terjadi padanya—termasuk saat melahirkan.

Apa Itu Informed Consent?

Informed Consent adalah hak setiap pasien (termasuk ibu bersalin) untuk:

  • Mendapat penjelasan lengkap dan jujur mengenai prosedur,
  • Memahami risiko, manfaat, dan alternatifnya,
  • Memiliki waktu untuk bertanya dan mempertimbangkan,
  • Menyatakan persetujuan secara sadar dan tanpa tekanan.

Informed consent bukan sekadar “izin untuk tindakan medis”.
Ia adalah bentuk penghormatan terhadap tubuh, kesadaran, dan martabat manusia.

Panduan Holistik Pemulihan Setelah Robekan Perineum

​​“Bu, saya bantu dibuka jalannya ya…”
Belum sempat berpikir apa maksudnya, tiba-tiba… kressss!
Suara gunting memecah ruang bersalin. Sakit, nyut-nyutan, dan…mulut rasanya tercekat…tatapan matra kosong, sambil membatin dalam hati…“duh! di gunting ini!”

Banyak ibu melahirkan yang bisa menceritakan pengalaman semacam ini—dan lebih banyak lagi yang tidak sempat bercerita karena terlalu bingung, terlalu cepat, terlalu syok.

Di Indonesia, robekan perineum masih menjadi bagian “biasa” dari proses melahirkan. Bahkan terkadang dianggap sebagai sesuatu yang wajar, tidak perlu dibahas panjang, atau malah dianggap sebagai “harga yang harus dibayar” untuk menjadi seorang ibu.

Padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.

Saat Persalinan Terjadi Begitu Cepat…

Bagi banyak ibu, persalinan adalah proses yang datang dengan gelombang besar: rasa sakit, kontraksi, ketakutan, ekspektasi, harapan, dan terkadang intervensi medis yang tidak sepenuhnya dimengerti.
Bukan hal yang aneh kalau saat mengejan, tiba-tiba ada suara dari tenaga kesehatan:

“Bu, saya lebarin jalannya ya, biar cepat.”
“Nanti kalau enggak digunting, bisa robek sampai anus lho.”
“Ini bayi besar banget, bahaya kalau enggak dipotong.”
“Sudah pembukaan lengkap, kita bantu cepatkan aja ya…”

Ibu yang sedang setengah sadar antara nyeri dan dorongan mengejan itu, tentu tidak bisa langsung memahami. Dan sebelum ada ruang untuk bertanya, mencari tahu, atau menolak… gunting sudah bekerja.

Episiotomi Tanpa Persetujuan Masih Sering Terjadi

Dalam praktik kebidanan modern, episiotomi (pengguntingan perineum) seharusnya hanya dilakukan dengan indikasi medis jelas dan atas persetujuan ibu. Namun, sayangnya, di banyak tempat—baik rumah sakit maupun klinik kecil—episiotomi masih dilakukan secara rutin, tanpa informed consent.

Dan lebih menyedihkannya lagi: tidak sedikit ibu yang dijahit dalam kondisi tanpa bius.

“Katanya obat biusnya udah habis.”
“Katanya biusnya nggak usah, cuma sedikit robek kok.”
“Katanya kalau dibius malah bikin lama sembuhnya.”
“Atau cuma dijawab: sabar ya, ibu kuat kok.”

Padahal… rasa nyeri saat dijahit tanpa bius bisa jauh lebih menyakitkan dibanding rasa mengejan bayi keluar. Trauma itu menempel—bukan hanya di tubuh, tapi juga di memori emosional ibu.
Banyak yang kemudian menghindari pemeriksaan pasca bersalin, takut disentuh area intimnya, bahkan enggan berhubungan dengan pasangannya selama berbulan-bulan.

Robekannya Mungkin Sudah Jahit. Tapi Lukanya Belum Pulih.

Dan ironisnya, setelah semua itu, proses pemulihan luka perineum jarang sekali dibahas. Ibu langsung disuruh pulang, tanpa panduan jelas:

  • Bagaimana merawat luka?
  • Apa yang normal dan tidak?
  • Kapan harus khawatir?
  • Bolehkah duduk, jongkok, atau bahkan cebok biasa?

Tidak sedikit ibu yang baru tahu beberapa minggu kemudian bahwa robekannya menimbulkan keloid, nyeri berkepanjangan, atau sensasi “tertarik” yang tidak hilang.
Dan ketika kembali kontrol atau menyampaikan keluhan, kadang hanya dijawab:

“Oh itu biasa, Bu. Namanya juga habis melahirkan.”
atau malah dianggap lebay.

Robekan Perineum, Jahitan, dan Proses yang Sering Terlupakan

Melahirkan adalah peristiwa besar—bukan hanya karena bayi lahir ke dunia, tapi karena tubuh ibu juga mengalami perubahan luar biasa. Salah satu yang paling sering terjadi, namun jarang dibicarakan secara terbuka dan jujur, adalah robekan perineum.

Menurut data penelitian medis terbaru, hingga 80-90% perempuan mengalami robekan perineum setelah melahirkan secara vaginal, baik ringan (derajat 1 dan 2) maupun berat (derajat 3 dan 4). Beberapa robek secara alami karena tekanan saat kepala bayi keluar. Tapi sebagian lainnya… terjadi karena episiotomi—pengguntingan perineum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Masalahnya, episiotomi masih sering dilakukan tanpa penjelasan atau persetujuan ibu. Yang lebih menyedihkan lagi, prosedur penjahitan kadang dilakukan tanpa bius yang memadai, dengan alasan “cepat selesai saja”, atau “cuma sakit sedikit kok Bu, tahan ya.” Praktik semacam ini—yang mungkin dianggap biasa di banyak tempat—justru menjadi sumber utama trauma fisik dan emosional jangka panjang bagi ibu.

“Nggak sempat mikir Bu, tahu-tahu udah digunting dan dijahit.”
“Pas dijahit perineumnya, aku nangis. Nggak dibius, disuruh tahan aja.”
“Robekannya kecil, tapi kenapa sakitnya nggak kelar-kelar ya?”

Cerita-cerita seperti ini bukan kasus langka. Di ruang bersalin, banyak ibu yang mengalami perineum robek—baik secara alami maupun karena episiotomi (digunting oleh tenaga kesehatan). Namun, yang sering kali tidak diketahui oleh ibu maupun keluarganya adalah bagaimana proses perbaikan luka itu dilakukan. Apakah sudah benar? Apakah ada anestesi? Apakah teknis jahitnya sesuai panduan medis terbaru?

Yang Terjadi di Lapangan: Terlalu Cepat, Terlalu Diam

Praktik episiotomi yang dilakukan tanpa informed consent masih sering terjadi. Banyak tenaga kesehatan tidak memberikan penjelasan memadai, atau menggunakan bahasa kiasan/bahasa samar:

“Bu, saya bantu dibuka jalannya ya…”
“Biar cepat, kita gunting sedikit.”
“Kalau nggak digunting, nanti robeknya bisa lebih parah lho.”

Ibu, yang sedang dalam proses mengejan dan dilanda rasa sakit serta tekanan luar biasa, tidak sempat berpikir kritis. Dan begitu terdengar suara gunting, semuanya sudah terjadi. Bahkan setelah itu, proses penjahitan dilakukan dalam kondisi nyeri—karena bius tidak cukup atau bahkan tidak diberikan sama sekali.

Ini bukan hanya menyakitkan secara fisik, tapi bisa meninggalkan trauma jangka panjang, termasuk:

  • nyeri kronis di perineum,
  • kesulitan duduk atau berjalan,
  • ketakutan berhubungan intim,
  • hingga gangguan psikologis seperti anxiety dan depresi postpartum.

Apa yang Ditemukan dalam Literatur Medis?

Dalam jurnal American Journal of Obstetrics and Gynecology (2024), Schmidt dan Fenner menjelaskan bahwa:

  • Robekan perineum berdampak jangka pendek dan panjang, termasuk nyeri menetap, kesulitan berhubungan intim (dyspareunia), gangguan fungsi dasar panggul, dan bahkan depresi postpartum.
  • Risiko komplikasi luka pasca-jahitan, seperti infeksi dan dehisensi (jahitan terbuka kembali), bisa mencapai 24%.
  • Banyak ibu mengalami keluhan sisa seperti nyeri saat duduk, benjolan, keloid, bahkan inkontinensia (tidak bisa menahan kentut atau buang air besar).
  • Kunci keberhasilan pemulihan bukan hanya pada luka itu sendiri, tapi pada:
    ✅ teknik jahitan,
    ✅ jenis benang yang digunakan,
    ✅ kesiapan anestesi yang cukup, dan
    ✅ keterampilan tenaga kesehatan dalam melakukan repair.

Yang menarik, jurnal ini juga menyarankan bahwa jika tenaga kesehatan tidak yakin atau belum berpengalaman, sebaiknya menunda perbaikan luka selama 8–12 jam sampai ada provider yang lebih kompeten. Karena kesalahan repair justru memperburuk hasil jangka panjang, termasuk rasa sakit yang bertahan hingga 9 bulan atau lebih.

CEGAH Robekan Perineum Secara Holistik

Setelah membaca artikel sebelumnya tentang apa itu perineum, jenis robekan, dan berbagai faktor risiko yang bisa meningkatkannya, banyak ibu mulai berkata,

“Ternyata bisa saja melahirkan pervaginam tanpa ada robekan… tapi banyak hal yang harus dipersiapkan sejak awal.

Dan memang benar. Tubuh perempuan itu bukan rapuh—tapi butuh dipahami dan didukung. Ketika kita tahu apa saja yang bisa menjadi penyebab robekan, maka langkah selanjutnya adalah bertanya: “Apa yang bisa aku lakukan untuk menjaganya tetap utuh?”

Nah, di sinilah pentingnya pembahasan kali ini. Karena pencegahan robekan tidak cukup hanya berharap ‘tidak digunting’. Ia perlu pendekatan menyeluruh: dari dalam (kesiapan tubuh dan jaringan), dari luar (lingkungan dan posisi bersalin), hingga ke dalam jiwa—bagaimana ibu mempersiapkan diri secara sadar, lembut, dan penuh kepercayaan.

Artikel ini akan membahas langkah-langkah alami dan ilmiah untuk membantu ibu:

  1. menjaga perineum tetap lentur,
  2. mengurangi risiko intervensi medis,
  3. serta memfasilitasi kelahiran yang lebih lembut dan minim trauma.

*Kalau Anda belum baca artikel sebelumnya, yuk cek dulu bagian awalnya di:
“Takut Perineum Robek Saat Lahiran? Ini yang Wajib Ibu Tahu dari Awal” — karena di sana kita kupas dasar-dasarnya secara mendalam.

Dan sekarang… kita akan mulai perjalanan baru:
Menjaga Perineum Sejak Hamil – dengan Cara yang Alami, Fisiologis, dan Penuh Kesadaran.

Sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan, untuk mempersiapkan diri supaya menjaga perineum tetap utuh. dan berikut ini penjelasannya silahkan di baca dengan teliti ya:

‍1. Prenatal Gentle Yoga & Biomekanika: Melatih Kelenturan Perineum Sejak Hamil

Kalau kita ingin melahirkan dengan lembut, kita perlu mulai dari tubuh yang lentur—terutama bagian panggul dan perineum atau otot dasar panggul. Dan ini bukan tentang jadi fleksibel seperti penari balet, ya. Tapi tentang melatih tubuh agar punya ruang, stabilitas, dan sirkulasi yang baik sejak kehamilan. Di sinilah prenatal yoga, khususnya yang berbasis biomekanika seperti Prenatal Gentle Yoga (PGY), memainkan peran penting.

Prenatal yoga membantu ibu mengurangi ketegangan otot panggul, membuka ruang bagi janin untuk berada di posisi optimal, serta melatih jaringan perineum agar lebih siap meregang saat proses lahiran. Beberapa pose seperti Bound Angle Pose (Baddha Konasana), Goddess Pose (Utkata Konasana), atau Hip Circling on Birth Ball, terbukti dapat meningkatkan aliran darah ke area perineum dan dasar panggul.

Penelitian oleh Field (2011) dalam Journal of Perinatal Education menunjukkan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan prenatal yoga memiliki risiko robekan lebih rendah, melaporkan lebih sedikit nyeri perineum, dan lebih siap secara emosional menghadapi proses lahir. Selain itu, studi sistematis oleh Curtis et al. (2012) mencatat bahwa praktik yoga pada trimester ketiga berkontribusi terhadap improved perineal flexibility dan pelvic floor awareness yang lebih tinggi saat melahirkan.

Di Prenatal Gentle Yoga, kita juga belajar tentang prinsip ruang dan gravitasi (SPACE): bagaimana menciptakan ruang di dalam tubuh (khususnya panggul), mengaktifkan kelenturan jaringan di area pelvic floor / pintu dasar panggul melalui napas, dan menyadari postur yang selama ini membuat perineum terlalu tegang atau tertarik sepihak.

“Tubuh yang kita ajak bekerja sama sejak awal, akan bekerja sama juga saat proses lahir.”

Maka, melatih tubuh bukan hanya soal olahraga. Tapi soal hadir, menyatu, dan mempercayai tubuh kita sendiri. Latihan ini bukan cuma untuk bayi bisa lahir dengan lancar—tapi juga untuk menjaga perineum tetap utuh dan dihormati.

Anda bisa mengikuti kelas ONLINE Prenatal gentle yoga bersama bidan kita karena gerakan yang di lakukan dan di ajarkan akan berfokus pada area panggul dan pelvic floor yang akan mempersiapkan area tersebut supaya kuat namun elastis.

2. Pijat Perineum: Sentuhan Lembut untuk Persiapan Besar

Kata siapa pijat cuma buat relaksasi? Dalam konteks persalinan, pijat perineum bisa jadi “senjata rahasia” untuk mempersiapkan jaringan tubuh agar lebih lentur dan siap menerima regangan saat bayi lahir. Teknik ini sederhana, bisa dilakukan sendiri di rumah, tapi dampaknya sangat besar—asal dilakukan dengan benar dan konsisten.

Apa Itu Pijat Perineum?

Pijat perineum adalah teknik memijat jaringan antara vagina dan anus menggunakan ibu jari dan minyak alami, untuk:

  • Melatih elastisitas jaringan,
  • Mengurangi sensitivitas rasa nyeri,
  • dan mengenalkan sensasi peregangan sebelum persalinan terjadi.

Biasanya mulai dilakukan pada usia kehamilan 34 minggu, sekitar 3–4 kali seminggu, selama 5–10 menit. untuk pelumasnya sebaiknya cari pelumas yang BERBASIS AIR dan TIDAK MENGANDUNG ZAT yang bisa MENGIRITASI. hindari menggunakan MINYAK, apalagi BABY OIL. untuk memudahkan, Anda bisa menggukana lubrikan yang biasanya di jual di market place. 

Apa Kata Penelitian?

Menurut Beckmann & Garrett (Cochrane Review, 2006), pijat perineum menurunkan risiko robekan derajat sedang hingga berat dan mengurangi kebutuhan episiotomi, terutama pada ibu yang akan melahirkan pertama kali. Studi ini juga mencatat bahwa ibu yang melakukan pijat perineum lebih kecil kemungkinannya mengalami nyeri perineum berkepanjangan setelah melahirkan.

Penelitian lain oleh Labrecque et al. (1999) dalam Canadian Medical Association Journal menemukan bahwa pijat perineum secara signifikan mengurangi trauma perineum dan meningkatkan persepsi kontrol saat melahirkan, terutama pada ibu primipara.

Takut Perineum Robek Saat Lahiran? Ini yang Wajib Ibu Tahu dari Awal!

“Aku takut robek, Bid… Katanya robekan perineum itu sakit banget dan bisa sampai dijahit OBRAS.”

Kalimat ini sudah sering sekali kami dengar di kelas-kelas persiapan persalinan. Dan memang benar—ketakutan soal robekan perineum adalah keresahan umum banyak ibu menjelang persalinan

Beberapa ibu bahkan datang ke kelas sambil menggenggam tangan suaminya erat-erat, lalu berbisik, “Bidan, aku tuh lebih takut dijahitnya daripada lahirannya.” Ada juga yang bilang, “Temanku kemarin katanya robek sampai anus, aku jadi makin parno.” Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Banyak cerita yang beredar—di grup WhatsApp, obrolan posyandu, bahkan dari tenaga kesehatan sendiri—yang kadang malah bikin cemas. Padahal, setiap ibu berhak mendapatkan informasi yang utuh dan jujur, bukan hanya cerita seram yang menyudutkan tubuhnya sendiri.

Dan lucunya, kadang ibu juga bingung sendiri karena tiap orang ngomong beda. Ada yang bilang semua pasti robek, ada yang malah disarankan langsung minta digunting biar “nggak repot” atau “biar jahitannya RAPI”. Tapi… siapa yang kasih tahu kalau ternyata tubuh perempuan itu dirancang cerdas, bisa melahirkan dengan lembut dan perlahan—kalau kita beri kesempatan? Nah, supaya ibu nggak cuma bergantung pada cerita-cerita horor yang nggak jelas dasarnya, yuk kita pelajari bareng-bareng apa itu perineum, kenapa bisa robek, dan gimana kita bisa bantu tubuh kita sendiri untuk melahirkan dengan utuh dan penuh kendali.

Karena saat kita tahu cara kerja tubuh sendiri, rasa takut bisa berubah jadi rasa percaya. Kita jadi bisa bilang, “Aku paham apa yang sedang terjadi di tubuhku, dan aku siap menjalaninya dengan tenang.” Maka, mari kita mulai dari yang paling dasar. Karena sering kali, justru hal-hal yang paling penting—seperti perineum—justru jarang dibahas dengan jelas. Padahal dari sinilah semuanya bermula.

dan sering kali, ibu-ibu hanya tahu bahwa “perineum bisa robek”, tanpa benar-benar paham apa itu perineum, kenapa bisa robek, dan apa yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk meminimalkan risikonya.

Yuk kita bahas dari dasar dulu, biar ibu bisa ambil keputusan dengan percaya diri.

Apa Itu Perineum?

Perineum adalah area jaringan lunak yang terletak di antara vagina dan anus. Wilayah ini mungkin jarang kita pikirkan dalam keseharian, tapi saat persalinan, perineum punya peran yang sangat penting—karena bayi akan melewati area ini saat lahir. Saat kepala bayi menekan keluar, perineum akan meregang maksimal untuk memberi jalan.

Secara anatomi, perineum terdiri dari kulit, jaringan ikat, serta beberapa lapis otot dasar panggul yang saling bekerja sama menjaga stabilitas organ dalam dan mendukung proses lahiran. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), perineum juga merupakan bagian dari sistem dasar panggul yang kompleks, yang terhubung dengan fungsi kandung kemih, rektum, serta vagina (ACOG Practice Bulletin No. 205, 2019).

Perineum yang lentur dan sehat mampu menyesuaikan diri saat bayi lahir, terutama bila proses persalinan berlangsung secara bertahap dan tidak dipaksakan. Tapi jika tekanan datang terlalu cepat atau jaringan tidak sempat beradaptasi, maka perineum bisa mengalami robekan—baik ringan maupun berat. Dalam literatur kebidanan, International Urogynecology Journal mencatat bahwa kecepatan kelahiran kepala bayi, posisi tubuh ibu, dan intervensi medis seperti episiotomi sangat memengaruhi risiko robekan (Stedenfeldt et al., 2012).

Sayangnya, banyak ibu belum mendapat edukasi memadai tentang hal ini. Bahkan menurut studi di BMC Pregnancy and Childbirth (2020), kurangnya pengetahuan ibu hamil tentang anatomi perineum dan risiko robekan membuat mereka lebih pasrah dan takut menghadapi persalinan. Padahal, saat seorang ibu paham struktur tubuhnya sendiri, ia bisa mengambil peran aktif untuk menjaga dan mempersiapkannya sejak kehamilan.

Apa Itu Robekan Perineum?

Robekan perineum adalah kondisi di mana jaringan antara vagina dan anus mengalami sobekan saat proses melahirkan, terutama ketika kepala bayi menekan keluar. Ini bisa terjadi secara spontan—karena peregangan yang melebihi elastisitas jaringan—atau bisa juga karena intervensi medis seperti episiotomi (pengguntingan perineum oleh tenaga medis).

PRE EKLAMSIA, Bisakah Melahirkan Normal Alami dan VBAC?

Pertanyaan ini seringkali muncul dan bahkan di group komunitas bidan kita pun muncul. Bahkan untuk ibu ibu yang pengen VBAC, Pertanyaan seperti….

“bu bidan, saya ada gejala pre eklamsia, bisakah saya tetap melahirkan normal alami?”

atau….

“Bu Bidan, saya dulu preeklamsia. Kalau hamil lagi, masih bisa nggak lahiran normal?”
“Saya pengen VBAC, tapi takut kambuh lagi preeklamsianya. Gimana ya?”

Kekhawatiran seperti ini sangat valid. 

mari kita bahas supaya lebih clear ya?

Apa Itu Preeklamsia?

Preeklamsia adalah komplikasi kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah tinggi (≥140/90 mmHg) disertai tanda kerusakan organ, terutama protein dalam urin (proteinuria). Biasanya muncul setelah usia kehamilan 20 minggu.

Jika tidak ditangani dengan tepat, preeklamsia bisa berkembang menjadi eklampsia (kejang) yang berbahaya bagi ibu dan bayi.

Penyebab dan Faktor Risiko

Penyebab pasti preeklamsia belum diketahui, tapi diduga berhubungan dengan gangguan perkembangan pembuluh darah di plasenta, yang menyebabkan tekanan darah meningkat dan peradangan sistemik.

Beberapa penelitian mengungkapkan bagaimana pre eklamsia terjadi aliyas bagaimana patofisiologinya yaitu:

a. Plasentasi Abnormal

  • Pada kehamilan sehat, sel trofoblas dari janin menyusup ke dalam pembuluh darah ibu di rahim, menciptakan sirkulasi uteroplasenta yang kuat.

  • Pada preeklampsia, proses ini terhambat, sehingga aliran darah ke plasenta menjadi terbatas (hipoperfusi), dan mengakibatkan stres oksidatif.

b. Disfungsi Endotel

  • Endotel adalah lapisan pembuluh darah. Pada preeklampsia, terjadi kerusakan dan peradangan endotel akibat pelepasan zat toksik dari plasenta (seperti sFlt-1 dan endoglin).

  • Hal ini menyebabkan hipertensi, kebocoran kapiler, dan gangguan pembekuan.

c. Ketidakseimbangan Imunologis

  • Ketidakseimbangan antara sistem imun ibu dan janin menyebabkan reaksi inflamasi yang abnormal. Ini juga memperburuk stres oksidatif dan merusak sel.

d. Disfungsi Mitokondria dan Stres Oksidatif

  • Sel-sel plasenta mengalami kerusakan mitokondria, menghasilkan ROS (radikal bebas), memperburuk kerusakan jaringan, dan memicu peradangan sistemik.

Faktor risiko utama:

  • Kehamilan pertama (nullipara)
  • Usia ibu <20 atau >35 tahun
  • Riwayat preeklamsia sebelumnya
  • Tekanan darah tinggi kronis
  • Diabetes, gangguan ginjal, atau autoimun (Lupus, APLS)
  • Kehamilan ganda (kembar, triplet)
  • Obesitas atau peningkatan berat badan berlebihan

Tanda dan Gejala Preeklamsia